Selasa, Juli 28, 2009

TERAPI WAKTU SHALAT

Waktu menunjukkan kehidupan seseorang secara menyeluruh. Gaya hidupnya dapat dilihat cara pemanfaatan waktunya. Kesukaannya dapat diamati dari penggunaan waktu kesehariannya yang paling besar. Kedisiplinannya dapat dinilai dari ketepatannya dalam mematuhi perencanaan waktu yang telah dibuat. Produktifitasnya dapat dianalisis dari kualitas penggunaan waktunya. Oleh karena itu, kita tidak bisa menilai pribadi seseorang dari pengamatan beberapa saat, melainkan perlu bergaul dengannya tiap hari penuh.
Waktu juga menunjukkan budaya suatu bangsa. Ada masyarakat yang memiliki tradisi menghargai waktu dan ada pula tradisi yang mengabaikannya. Ada masyarakat yang menghargai penggunaan waktu untuk tujuan tertentu, seperti waktu untuk beribadah bagi masyarakat relijius, waktu untuk bisnis bagi masyarakat materialis, waktu untuk konsumsi bagi masyarakat hedonis, dan sebagainya. Kemajuan dan kemunduran suatu bangsa ditentukan oleh norma penggunaan waktu. Karena pentingnya waktu tersebut, Islam mengajarkan cara menggunakan waktu dengan membaginya menjadi lima waktu sebagaimana ajaran tentang shalat wajib lima waktu. Dengan waktu shalat ini, dapat diajukan konsep manajemen waktu bagi individu dalam kehidupan sehari-hari maupun lembaga-lembaga yang menginginkan keseimbangan kerja. Namun, hikmah pengaturan waktu shalat perlu ditalaah terlebih dahulu sebelum merumuskan konsep manajemen waktu. Setelah itu, konsep ini didiskusikan dengan realitas manajemen waktu yang berlaku secara umum di masyarakat.
Ketentuan Waktu Shalat
Ibadah ritual dalam Islam selalu terkait dengan waktu (al-muaqqat). Ibadah Haji dilaksanakan pada tiap tanggal 8-13 Dzulhijjah. Ibadah puasa wajib dikerjakan selama sebulan penuh tiap Bulan Ramadhan. Ibadah shalat wajib juga ditegakkan berdasarkan waktu, seperti dinyatakan dalam surat al-Nisa’ ayat 103. Begitu juga dengan ibadah-ibadah sunnah. Ada shalat yang dilaksanakan pada waktu Dluha (Shalat Dluha), pada waktu malam (Shalat Tahajjud dan Shalat Witir), di saat Hari Raya (Shalat ‘Idul Fithri dan Shalat ‘Idul Adlha), dan semua ibadah puasa juga terkait dengan waktu tertentu. Meski demikian, Islam tidak menganjurkan penggunaan semua waktu untuk beribadah. Ada kesimbangan waktu antara dunia dan akherat, walaupun tujuan akherat menjadi utama.
Setidaknya, kehidupan setiap orang Islam dijalankan berdasarkan lima waktu shalat wajib, yaitu ‘Isya’, Shubuh, Dhuhur, ‘Ashar, dan Maghrib. Di antara masing-masing waktu terdapat rentangan yang memberikan keleluasaan (al-muwassa’) dalam melaksanakan shalat wajib: bisa tepat waktu, di tengah waktu, atau diakhir selama waktu masih belum habis. Karenanya, pelaksanaaan shalat secara tepat waktu hanya merupakan anjuran, bukan suatu kewajiban. Kelenturan ini menunjukkan karakteristik ajaran Islam yang sesuai dengan fitrah manusia, yakni tidak mempersulit dan mempersempit aktivitas manusia. Fitrah manusia ini juga diartikan kesesuaian kehidupan manusia dengan gerakan alam. Ketentuan lima waktu shalat wajib sesuai dengan gerakan matahari dan bumi berdasarkan surat al-Isra’ ayat 78.
78. Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).
Ayat ini menerangkan waktu-waktu shalat yang lima: tergelincir matahari untuk waktu shalat Zhuhur dan Ashar; gelap malam untuk waktu Magrib dan Isya; dan fajar adalah tanda waktu Shubuh. Kelima waktu ini juga dapat dibagi menjadi tiga kelompok: dua kelompok merupakan dua ujung yang berbeda, sedangkan satu kelompok sebagai penengahnya. Kedua ujung tersebut adalah ujung matahari terbit- matahari terbenam dan ujung pertengahan malam-pertengahan siang. Matahari terbit menggambarkan akhir waktu Shubuh; matahari terbenam menunjukkan awal waktu Maghrib; pertengahan malam mengisyaratkan akhir waktu ‘Isya’; dan pertengahan siang juga merupakan awal waktu Zhuhur. Waktu ‘Ashar adalah penengahnya, sehingga Shalat ‘Ashar disebut juga sebagai al-shalah al-wustha (shalat pertengahan). Pengelompokan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Waktu hanya dijadikan dasar pelaksanaan shalat, bukan tujuannya. Selama waktu masih berputar –adanya pergantian malam dan siang- pelaksanaan shalat masih bisa dimungkinkan. Shalat sulit dilaksanakan tatkala matahari terbit dari arah barat sebagai tanda datangnya Hari Kiamat. Ketentuan waktu shalat yang lebih jelas dan terperinci dikemukakan oleh Nabi SAW dalam sebuah Hadits riwayat Abu Dawud (1994: I: 163) nomor 395 sebagai berikut.
“Dari Abu Musa, bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Nabi SAW. Tidak ada jawaban apapun dari Nabi SAW untuknya, hingga Nabi SAW memerintahkan Bilal RA. Shalat Shubuh pun ditegakkan ketika fajar mulai tampak. Nabi SAW melaksanakan shalat manakala seseorang tidak bisa mengenal wajah sahabatnya atau seseorang tidak mengenal orang yang berada di sisinya. Berikutnya, Nabi SAW memerintahkan Bilal RA agar shalat Zhuhur dilaksanakan saat matahari tergelincir, hingga seseorang bertanya: “Apakah waktu siang telah berada di tengah”, padahal ia lebih mengetahuinya. Kemudian, Nabi SAW memerintahkan Bilal RA agar shalat Ashar dilaksanakan, sementara matahari berwarna putih dan masih tinggi. Nabi SAW memerintahkan Bilal RA untuk menegakkan shalat Maghrib tatkala matahari telah tenggelam. Nabi SAW memerintahkan Bilal RA untuk menegakkan shalat ‘Isya’ ketika mega telah hilang. Esok harinya, shalat Shubuh dilaksanakan dan bubar. Kita berkata, “Apakah matahari telah terbit?”. Shalat Zhuhur juga ditegakkan saat menjelang waktu ‘Ashar. Shalat ‘Ashar dilaksanakan sewaktu matahari telah berwarna kuning, atau ada yang mengatakan, “Telah masuk waktu sore”. Shalat Maghrib dikerjakan ketika mega belum hilang. Shalat ‘Isya dilakukan hingga saat sepertiga malam. Kemudian, Nabi SAW bersabda, “Manakah orang yang bertanya? Rentang waktu shalat adalah waktu yang berada di antara dua waktu ini”.
Berdasarkan ayat dan hadits di atas, Fikih Madzhab Syafi’i merumuskan waktu shalat sebagai berikut.
1. Waktu Maghrib, dimulai dari terbenamnya matahari hingga hilangnya mega yang berwarna merah (al-syafaq al-ahmar). Waktu ini paling singkat. Ada yang mengukurnya dengan aktifitas: mulai bersuci, menutup aurat, membaca adzan, membaca iqamat, hingga melaksanakan shalat lima rakaat. Seluruh aktifitas ini dilakukan dengan kecepatan yang sedang. Dalam riwayat Abu Dawud (1994: I: 172) di Hadits nomor 418, Martsad bin ‘Abdullah RA pernah bercerita, “Abu Ayyub RA bersama ‘Uqbah bin ‘Amir RA pernah datang kepada kami sebagai tentara yang saat itu memerangi Mesir. Lalu ‘Uqbah menunda shalat Maghrib. Abu Ayyub mendatanginya, lalu bertanya, “Shalat apa ini, ‘Utbah?”. “Kami sangat sibuk”, jawab ‘Utbah. Abu Ayyub berkata, “Apakah kamu pernah mendengar sabda Nabi SAW: “Umatku selalu mendapatkan kebaikan –atau mengikuti fitrah [keraguan perawi]- selama mereka tidak menunda shalat Maghrib hingga bintang-bintang mulai bercampur-aduk”.
2. Waktu ‘Isya’, dimulai saat mega merah telah hilang dan berakhir hingga sepertiga malam, menurut waktu ikhtiyar (batas keleluasaan memilih waktu untuk shalat); atau hingga munculnya fajar, menurut waktu jawaz (batas waktu yang masih diperbolehkan shalat).
3. Waktu Shubuh, dimulai dari munculnya fajar hingga saat langit mulai terang (al-isfar), menurut waktu ikhtiyar; atau hingga terbitnya matahari, menurut waktu jawaz. “Barang siapa yang masih menemukan satu rakaat shalat Shubuh sebelum terbitnya matahari, maka ia benar-benar telah menemukan shalat Shubuh. Barang siapa yang masih menemukan satu rakaat shalat ‘Ashar sebelum matahari terbenam, maka ia benar-benar telah menemukan shalat ‘Ashar”, demikian redaksi (matn) Hadits riwayat Imam Muslim (1988: I: 271) nomor 608 yang bersumber dari Abu Hurairah.
4. Waktu Zhuhur, dimulai dari hilangnya bayangan karena matahari tepat berada di atas dan berakhir hingga pada saat panjang bayangan sama dengan pemilik bayangan.
5. Waktu ‘Ashar, dimulai dari panjang bayangan sedikit lebih panjang dari pemilik bayangan dan berakhir hingga panjang bayangan dua kali lipat panjang pemilik bayangan, menurut waktu ikhtiyar; atau hingga terbenamnya matahari, menurut waktu jawaz. Al-‘Ala’ bin ‘Abd al-Rahman menuturkan, “Kami masuk ke rumah Anas bin Malik RA di Bashrah saat waktu Zhuhur usai. Rumahnya di sebelah masjid. Tatkala aku memasukinya, ia berkata kepadaku, “Apakah kamu sudah shalat ‘Ashar?”. “Waktu Zhuhur kan baru usai”, jawab kami. Ia berkata, “Kerjakan shalat ‘Ashar !”. Kami pun segera melaksanakan shalat ‘Ashar. Ketika kami telah selesai shalat, ia berkata, “Aku pernah mendengar sabda Nabi SAW : “Menunda shalat ‘Ashar tanpa ‘udzur merupakan shalatnya orang munafik. Ia duduk sambil memperhatikan matahari hingga berada di antara dua ‘tanduk syetan’. Ia berdiri lalu melaksanakan shalat empat rakaat dengan cepat. Dalam shalat, ia tidak berdzikir kecuali sedikit”. (Muslim, 1988: I: Hadits nomor195)
Penjelasan Fikih di atas –dengan merujuk pada petunjuk Hadits- menggunakan alam sebagai media penentu waktu. Ia bisa dikatakan sebagai media tradisional. Media ini masih dipakai di beberapa masjid kuno dengan membuat apa yang dikenal dalam tradisi Jawa sebagai Bencek. Bencek adalah bentuk meja permanen –biasanya dibangun dengan tembok- yang dipasang sebuah tongkat kecil di tengahnya. Tongkat ini dikelilingi gambar lingkaran yang memiliki sumbu sama dengan ukuran panjang tongkat tersebut. Bayangan tongkat merupakan penentu dari waktu shalat secara tradisional. Media bencek tersebut dapat digambar sebagai berikut.

Gambar 2 : Media Tradisional (Bencek) Penentu Waktu Shalat

Dengan perkembangan Ilmu Astronomi (‘Ilm al-Falak) dan teknologi pengukur waktu, waktu shalat dapat dilihat dari hitungan jam. Kita cukup melihat angka jam untuk menentukan waktu shalat. Akan tetapi, angka jam tersebut pasti berubah saat dikaitkan waktu shalat, mengingat perputaran angka jam statis, sedangkan perputaran bumi dan matahari dinamis. Angka jam yang disesuaikan, bukan rotasi alamnya. Karena pergantian malam dan siang tidak sama dalam semua kawasan bumi, maka jam waktu shalat di masing-masing kawasan juga tidak sama. Kawasan yang paling timur lebih dahulu mengalami waktu shalat, karena matahari terbit dari dari sisi timur. Untuk itu, penggunaan jam bukan sebagai penentu waktu shalat yang utama, melainkan hanya untuk lebih memudahkan. Jika lima hari yang lalu waktu Maghrib jatuh pada pukul 18.00 WIB, misalnya, maka saat ini bisa berubah sedikit –berkurang maupun bertambah- apalagi pada beberapa bulan ke depan. Dengan demikian, ukuran valid untuk menentukan waktu shalat masih tetap menggunakan pengamatan alam, perputaran bumi, atau rotasi siang dan malam.
Persoalan waktu shalat mengemuka manakala cahaya amatahari tertutup oleh mendung atau seseorang berada di ruang yang tertutup. Solusi untuk persoalan ini adalah kemantapan hati setelah mencurahkan pemikiran yang mendalam (ijtihad). Sikap ini tetap dibenarkan, meski ada kekeliruan di saat kemudian. Bagi umat Islam yang berada di wilayah negeri yang mayoritas penduduknya muslim, ketentuan waktu shalat bisa merujuk pada suara adzan. sementara adzan dikumandangkan berdasarkan keputusan ulama yang telah mengamati gejala alam atau mengikuti kalender jadwal waktu shalat yang dibuat oleh para ulama ahli Ilmu Astronomi (‘Ilm al-Falak). Namun, situasi demikian tidak bisa dirasakan oleh umat Islam yang berada di negeri non-muslim, negeri dengan umat islam sebagai minoritas. Di negeri ini, suara adazan hampir tidak terdengar, sehingga penentuan waktu shalat harus diamati secara mandiri. Karenanya, hukum mempelajari Ilmu Astronomi yang berkaitan dalam nenetukan waktu shalat adalah fardlu kifayah, yakni harus ada salah satu dari umat Islam di kawasan tertentu yang mempelajarinya.
Manajemen Waktu Shalat
Keterkaitan waktu shalat dengan gejala alam menunjukkan universalisme Islam. Artinya, pola ini relevan digunakan di kawasan bumi manapun. Tidak hanya itu, keterkaitan tersebut dapat juga diartikan sebagai penyesuaian aktifitas manusia dengan gejala alam. Penyesuaian ini juga memberikan dampak yang positif bagi kehidupan manusia. Munculnya kerusakan kehidupan manusia disebabkan oleh pertentangannya dengan gejala alam. Manusia memerlukan gerak kerja sekaligus istirahat. Masing-masing membutuhkan waktu tersendiri: ada waktu untuk bekerja, ibadah, istirahat, belajar, atau bergaul dengan masyarakat. Malam hari adalah waktu yang tepat untuk istirahat, sedangkan siang hari lebih baik digunakan untuk bekerja. Al-Qur’an surat al-Naba’ ayat 9-11 mengisyaratkan tidur sebagai istirahat, terutama di waktu malam yang laksana pakaian, dan waktu siang digunakan untuk mencari kehidupan. Kesehatan manusia akan terganggu jika ia bekerja di malam hari dan istirahat di siang hari.
Waktu shalat juga terkait dengan pola makan manusia. Waktu shalat dapat melancarkan pencernaan serta menambah selera makan. Shalat Shubuh dilakukan sebelum sarapan pagi. Gerakan di waktu Shubuh bisa mempermudah proses metabolisme atau Buang Air Besar (BAB). Setelah kotoran dikeluarkan, perut menjadi kosong hingga selera makan bertambah. Setelah sarapan pagi, manusia kembali beraktifitas. Seperti Shalat Shubuh, Shalat Dhuhur yang dilaksanakan sebelum makan siang berfungsi untuk menggerakkan tubuh, agar keringat dan kotoran dalam tubuh bisa keluar. Shalat ‘Ashar dilaksanakan saat proses pencernaan sedang berlangsung hingga datang waktu Maghrib. Setelah Shalat Maghrib, makan malam bisa dilangsungkan. Pencernaannya dibantu dengan Shalat ‘Isya’. Karenanya, manusia yang hendak tidur malam sebaiknya tidak setelah makan malam. Tidur malam berfungsi untuk mengistirahatkan semua anggota tubuh luar, sementara anggota tubuh bagian dalam mengolah makanan. Penting dikemukakan pula bahwa meski makan dilakukan tiga kali, namun setiap makan sebaiknya dengan porsi yang sedikit, yakni tidak membuat terlalu kenyang (Ahmad Riznanto, 2008: 42-48).
Kajian yang mendalam tentang waktu shalat menunjukkan keseimbangan hidup: antara kepentingan dunia dan akherat; antara kebutuhan jasmani dan rohani; serta antara kehidupan individu dan sosial. Meskipun tidak ada perintah atau anjuran secara tegas untuk mengikuti waktu shalat, namun waktu shalat mengandung hikmah yang besar bagi aktifitas manusia, sehingga ia menjadi sebuah kebutuhan hidup. Karenanya, manusia secara umum dituntut untuk mengikutinya. Setidaknya, ada tiga dasar mengenai perlunya manusia memperhatikan waktu shalat.
1. Anjuran melaksanakan shalat pada tepat waktu. Jika hal ini dilaksanakan secara konsisten, maka kehidupan seseorang yang mengikuti rentang waktu shalat wajib. Apapun bentuk aktifitasnya, shalat tepat waktu menjadi prioritas, sehingga target waktunya juga disesuaikan dengan rentang waktu shalat tersebut. Sebagai contoh, seminar dihentikan dahulu sementara untuk melaksanakan shalat di awal waktu secara berjamaah, setelah itu dilanjutkan kembali; rencana menulis buku semacam ini juga bisa diperhitungkan sesuai dengan rentang waktu shalat, sehingga penulis tidak memaksakan penulisan sesuai target pekerjaan; berjualan di pasar juga mementingkan rentang waktu shalat, sehingga tokonya segera ditutup manakala akan tiba waktu shalat; dan seterusnya.
2. Kedua, anjuran melaksanakan shalat wajib secara berjamaah. Sifat anjuran ini sangat kuat (sunnah muakkad), sehingga ia hampir menjadi suatu kewajiban. Ini berarti penyesuaian aktifitas manusia dengan waktu shalat bukan urusan individu, melainkan dapat dikategorikan sebagai persoalan sosial. Untuk mewujudkannya, perlu bangunan institusi sosial yang merumuskan norma mengenai penyesuaian masyarakat dengan waktu shalat. Ketika rapat berlangsung, pimpinan bisa menghentikan sejenak untuk mengajak peserta rapat shalat berjamaah tepat waktu. Agar masyarakat aktif mengikuti shalat berjamaah tepat waktu di masjid, pemuka masyarakat bisa membuat norma mengenai hal tersebut yang dipatuhi bersama.
3. Ketiga, pemberlakuan pengumandangan bacaan adzan sebagai tanda awal waktu shalat. Suara adzan ini diharapkan terdengar oleh banyak orang, sehingga awal waktu shalat menjadi perhatian bersama. Untuk itu, melantunkan bacaan adzan harus dengan suara yang keras. Dalam hal ini, teknologi pengeras suara bisa dimanfaatkan untuk adzan. Gema suara adzan tersebut terdengar oleh umat Islam dan umat non-muslim. Tentu saja bagi umat Islam dimaknai sebagai tanda waktu shalat, namun umat non-muslim tidak mengartikannya sebagai ibadah. Siapapun yang terdengar suara adzan merupakan orang yang diingatkan oleh waktu kehidupannya. Waktu ini yang meminta umat manusia untuk mengganti aktifitasnya. Kita akan memahami fungsi adzan yang lebih luas bila kita mengetahui rahasia waktu shalat.
Rahasia waktu shalat terletak pada kelima bagian dan rentangannya. Rentangan yang paling panjang adalah waktu antara ‘Isya’ dan Shubuh: kurang lebih sembilan jam. Di bawahnya adalah rentangan antara waktu Shubuh dan Zhuhur: kurang lebih tujuh jam. Lebih pendek lagi adalah rentangan waktu antara Zhuhur dan ‘Ashar: kurang lebih empat jam. Setelah itu, rentangan waktu antara ‘Ashar dan Maghrib: kurang lebih tiga jam. Rentangan yang paling pendek adalah waktu antara Maghrib dan ‘Isya’: kurang lebih satu jam. Keterangan ini dapat digambarkan dalam sebuah tabel sebagai berikut.
Berdasarkan rentangan di atas, manusia bisa menyusun perencanaan waktunya. Dalam hal ini, tingkat keimanan seseorang berpengaruh dalam penggunaan waktu shalat sebagai parameter aktifitasnya. Oleh karena itu, terdapat perbedaan antara waktu manusia mukmin dan tidak mukmin (kafir, fasik, munafik, maupun musyrik). Manusia yang tidak mukmin lebih mengabaikan waktu shalat, justru ia memiliki parameter tersendiri yang umumnya berorientasi pada kehidupan materi dunia. Kualitas waktu manusia bukan mukmin diukur dari sudut politik, ekonomi, dan sosial. Politik mempertimbangkan waktu yang memberikan peluang untuk meraih jabatan dan kekuasaan. Ekonomi memilih waktu yang menjanjikan keuntungan finansial dan eksistensi rumah tangga ekonomi. Aspek sosial lebih mengutamakan waktu yang bisa memberikan prestise dan kemuliaan. Dengan parameter ini, manusia bukan mukmin sibuk bekerja tanpa batas. Pikirannya dicurahkan untuk peningkatan jumlah kekayaan. Karena terlalu sibuk, ia tidak banyak menikmati kekayaannya, bahkan hidupnya diliputi kekhawatiran kehilangan harta. Erich Fromm menyebutnya sebagai manusia pemilik, bukan manusia menjadi. Ia memiliki segalanya, tetapi semua itu tidak bisa menjadikan dirinya sebagai manusia.
Bertolak-belakang dengan kehidupan manusia bukan mukmin, manusia mukmin justru lebih memandang tujuan akherat di atas segalanya, termasuk kebutuhan hidup di dunia. Ia tidak meninggalkan tujuan materi dunia sama sekali, namun tujuan ini hanya sebagai sarana mencapai tujuan akherat. Ia bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya: ia dan keluarganya bisa makan, menempati rumah yang layak huni, berbusana sebagai penutup aurat, bisa melanjutkan sekolah, dan ada asuransi kesehatan. Di luar ini, ia menggunakan waktunya untuk tujuan akherat: beribadah, mengkaji ilmu agama, menyantuni anak yatim dan fakir-miskin, dan sebagainya. Ia bekerja mengikuti waktu, bukan waktu mengikuti pekerjaannya. Di antara alternatif aktifitas yang mengikuti waktu adalah sebagai berikut.
1. Setelah melaksanakan shalat ‘Isya’ berjamaah tepat waktu, Anda mengikutinya dengan shalat sunnah Ba’diyah dan shalat sunnah Witir. Selanjutnya, Anda langsung tidur dengan harapan bisa bangun pada pertengahan malam. Tidur malam ini diperkirakan selama tujuh jam: waktu yang cukup untuk istirahat malam. Tidur setelah shalat ‘Isya’ merupakan anjuran Nabi SAW. Pembicaraan dan aktifitas setelah shalat ‘Isya’ di luar pengajian disebut al-samar, perbuatan yang tidak dikehendaki oleh Nabi SAW. Justru, Nabi SAW memberikan teladan dalam menggunakan waktu malam. Diriwayatkan dari al-Aswad RA yang bertanya kepada ‘Aisyah RA, “Bagaimanakah shalat Nabi SAW pada waktu malam ?”. ‘Aisyah RA menjawab, “Nabi SAW tidur di awal malam dan bangun di akhir malam. Lalu, Nabi SAW melaksanakan shalat, kemudian kembali ke tempat tidurnya. Ketika petugas adzan melantunkan bacaan adzan, Nabi SAW melompat bangun. Jika Nabi SAW memiliki kebutuhan, Nabi SAW mandi. Jika tidak kebutuhan, Nabi SAW berwudlu dan keluar (al-Bukhari, t.t.: I: 47). Suatu hari setelah pelaksanaan shalat ‘Isya’, Salman al-Farisi RA meminta Abu al-Darda’, “Tidurlah”. Ketika di akhir malam, Salman berkata, “Bangunlah”. Nabi SAW bersabda, “Salman memang benar”. “Wahai ‘Abdullah, janganlah kamu seperti orang yang bangun malam, lalu meninggalkan shalat malam”, pesan Nabi SAW kepada ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash RA (al-Bukhari, t.t.: I: 49). Jadi, di akhir malam Anda bangun untuk melaksanakan shalat malam dengan menanti datangnya waktu Shubuh. Anda beribadah selama kurang lebih 1,5 jam.
2. Ketika tiba saat waktu Shubuh, Anda segera melaksanakan shalat Shubuh berjamaah. Setelah itu, Anda bisa melakukan aktifitas di rumah hingga matahari terbit, seperti mencuci, memasak, makan, mandi, atau mempersiapkan kebutuhan pekerjaan Anda. Jika Anda merupakan pasangan suami-istri, maka aktifitas ini bisa dilaksanakan secara bersama. Anda harus bisa menyelesaikan pekerjaan rumah dalam waktu dua jam.
3. Saat matahari mulai terbit, Anda segera berangkat bekerja di kantor, pasar, sawah, pabrik, atau manapun sesuai dengan pekerjaan Anda. Anda bekerja sejak matahari terbit hingga matahari berada tepat di atas. Perkiraan waktunya sekitar enam jam. Apabila pekerjaan Anda berkualitas dan produktif, maka lama waktu ini bisa memberikan hasil yang optimal. Sebaliknya, durasi waktu enam jam bisa anggap tidak cukup jika Anda tidak meningkatkan kualitas dan produktifitas kerja. Penting dikemukakan bahwa di tengah pekerjaan Anda, perlu disempatkan melakukan shalat Dluha, walaupun dilaksanakan di tempat kerja Anda.
4. Manakala waktu Zhuhur tiba, Anda segera melaksanakan shalat Zhuhur berjamaah. Tentu saja Anda masih berusaha melakukan shalat sunnah sebelum (Qabliyyah) dan sesudah (Ba’diyyah) shalat Zhuhur. Sesudah itu, Anda perlu tidur siang yang oleh Nabi SAW disebut sebagai tidur Qoilulah. Jika Anda masih melanjutkan pekerjaan Anda, tidur siang Anda cukup sekitar satu jam. Bila waktu ini diakumulasikan dengan waktu tidur malam selama tujuh jam, maka waktu tidur Anda dalam sehari semalam adalah delapan jam, waktu tidur yang sehat. Selanjutnya, Anda kembali bekerja. Namun, apabila waktu kerja Anda hingga waktu Zhuhur, Anda bisa tidur siang hingga menjelang waktu ‘Ashar: kira-kira tiga jam.
5. Anda menjalankan shalat ‘Ashar secara berjamaah begitu tiba waktunya. Sebelumnya, Anda melakukan shalat sunnah sebelum (Qabliyyah) shalat ‘Ashar. Antara waktu ‘Ashar hingga waktu Maghrib ada durasi sekitar tiga jam. Selama waktu ini, Anda bisa menggunakannya untuk keluarga: mengajar ngaji anggota keluarga, makan bersama, bercengkerama, dan sebagainya. Jika Anda masih berada di tempat kerja, waktu ini digunakan untuk mengakhiri pekerjaan Anda, pulang, dan memberikan waktu untuk keluarga.
6. Saat masuk waktu Maghrib, Anda sudah mandi, makan, serta mempersiapkan diri menghadapi waktu malam. Setelah shalat Maghrib berjamaah dengan tepat waktu, Anda melakukan shalat sunnah setelah (Ba’diyyah) shalat Maghrib. Selanjutnya, Anda menggunakan waktu selama satu jam untuk kegiatan sosial, seperti mengikuti dzikir bersama, mendiskusikan masalah keagamaan, dan sebagainya. Anda juga bisa memanfaatkannya untuk membaca al-Qur’an.
Manajemen waktu di atas hanya merupakan bentuk alternatif. Anda bisa membentuk alternatif yang lain, selama masih dalam koridor mengikuti waktu shalat wajib. Ada ketentuan penggabungan dua pelaksanaan shalat (Jama’) dalam satu waktu, jika disibukkan bepergian yang memakan waktu hingga minimal dua hari. Dalam manajemen waktu shalat, dibedakan keadaan seseorang ketika berada di rumah (ayyam al-hadlar) dan saat bepergian (ayyam al-safar). Alternatif pengaturan waktu di atas diperuntukkan bagi orang yang bisa berada di rumah tiap hari dengan aktifitas yang normal. Orang yang bepergian memiliki waktu yang tidak tertentu serta dinyatakan sebagai keadaaan kesulitan, situasi yang tidak normal.

Terapi Energi Waktu Shalat
Setiap waktu mengandung energi yang berbeda. Ketika siang ada energi matahari. Saat malam hawa terasa dingin serta tidak ada sinar matahari. Energi waktu ini bisa dirasakan melalui kulit tubuh, terutama telapak tangan. Gerakan shalat maupun jumlah rakaat shalat juga mengikuti energi alam ini. Ini ditelaah dengan pertanyaan kunci: mengapa saat siang mencekam atau malam yang dingin, jumlah rakaat shalat hanya empat. Sedangkan saat pagi dan petang –ketika matahari hendak terbit dan terbenam- justru jumlah rakaatnya lebih sedikit, yakni dua rakaat untuk shalat Shubuh dan tiga rakaat untuk shalat Maghrib.
Kenyataan bahwa waktu shalat wajib ditentukan berdasarkan rotasi alam, bukan ukuran jam. Hal ini tidak menunjukkan sisi primitif, melainkan penyesuaian gerakan manusia dengan gerakan alam. Gerakan-gerakan ini dapat dijelaskan melalui lima shalat wajib (www.wisatahati.com).

1. Shalat Maghrib Sebagai Terapi Ginjal
Energi yang diperoleh dari waktu ini adalah energi air. Waktunya berlaku pada pukul 18..00 sampai dengan 23.00 (efektif pukul 18.00-20.00). Pada waktu shalat Maghrib, hawa udara semakin menurun. Sistem ginjal mulai menyesuaikan diri dengan alam dan energi di sekitarnya. Ginjal dan kandung kemih adalah organ yang berpasangan. Keduanaya akan mengontrol tulang, sumsum, dan otak. Kedua organ ini memainkan peran yang sangat penting dalam metabolisme air dan mengendalikan cairan tubuh. Gerakan shalat di waktu Maghrib sangat membantu penyesuaian organ tubuh dengan keadaan alam sekitar. Karena itu, gerakan shalat di waktu ini akan menjaga energi panas dalam tubuh agar selalu seimbang.
2. Shalat ‘Isya’ Sebagai Terapi Prikardium
Prikardium adalah membuang kelebihan energi dari jantung dan dikir ke titik leogong yang terletak di telapak tangan. Energi waktu ini sama dengan waktu Maghrib. Hanya saja, waktu Isya’ yang terakhir mengikuti energi kayu, yakni sejak pukul 23.00 hingga 06.00. Energi kayu berfungsi membuang racun dari dalam tubuh. Selama waktu isya’ berlangsung, terjadi penurunan kerja organ internal, terutama kerja jaringan otot yang digunakan untuk gerakan dan pikiran. Seluruh tubuh akan memasuki masa istirahat. Waktu dan gerakan shalat Isya’ membuang kelebihan energi dari jantung, sehingga proses istirahat menjadi sempurna.
3. Shalat Shubuh Sebagai Terapi Paru-paru
Dinginnya waktu malam masih terasa di waktu Shubuh. Namun, dinginnya malam ini terasa sangat segar. Waktu Shubuh dimulai dari terbit fajar hingga terbitnya matahari. Energi kayu masih bekerja untuk membuang zat-zat beracun dalam tubuh (detoksin). Saat menjelang waktu Shubuh, pembuangan racun telah mencapai paru-paru. Dari paru-paru, darah mengambil bahan bakar yang masih bersih. Seluruh organ tubuh menerima pasokan nutrisi yang bersih, sehingga tubuh terasa lebih segar.
4. Shalat Dhuhur Sebagai Terapi Jantung dan Usus Kecil
Waktu Dhuhur tepat dengan energi api, yakni pukul 12.00-18.00 (efektif 12.00-15.00). Energi api membawa udara panas, emosi meningkat, dan kerja jantung mencapai puncaknya. Namun, air wudlu mampun menstabilkan panas jantung. Selain itu, gerakan shalat juga lebih efektif dalam memompa darah untuk membawa sari makanan guna disalurkan ke organ tubuh yang lain.
5. Shalat ‘Ashar Sebagai Terapi Kandung Kemih
Energi api masih mengiringi waktu ‘Ashar. Shalat ‘Ashar yang dilakukan di saat siklus panas ke dingin membuat organ tubuh mudah membuang zat-zat kimia di dalam tubuh. Keadaan ini sesuai dengan sifat organ kandung kemih dalam tubuh manusia. Fungsi utama kandung kemih adalah mengubah cairan tubuh menjadi air kencing dan mengeluarkannya dari tubuh. Terjadinya keseimbangan kimia dalam tubuh membuat metabolisme bisa terjaga.
Selain kelima shalat wajib di atas, ada beberapa shalat sunnah yang terikat oleh waktu, seperti shalat Dluha dan shalat Tahajjud. Shalat Dluha dilaksanakan setelah matahari terbit hingga matahari berada hampir di tengah. Waktu ini mengandung energi tanah yang berfungsi untuk membantu pencernaan makanan yang baru saja dimakan sebagai sarapan pagi. Sementara itu, shalat Tahajjud dilakukan pada malam hari, sehingga shalat Tahajjud dinamakan juga sebagai shalat malam. Energi kayu yang membersihkan zat-zat beracun dalam tubuh dimulai pada jam 23.00 malam. Pembersihan ini diawali dari otak yang memakan waktu sekitar tiga jam, yakni pukul 23.00-02.00.
Penutup
Allah SWT telah menentukan kelima waktu shalat di atas. Ketentuan ini mengingatkan kita pada ketentuan waktu yang dibuat oleh pendidik untuk anak didiknya. Karenanya, ketentuan Allah SWT mengenai pengaturan waktu shalat pasti mengandung hikmah yang luar biasa. Hikmah ini bisa digali dengan menggunakan kata tanya: “Mengapa?”. Mengapa durasi kelima waktu shalat berbeda? Mengapa tanda-tanda alam dijadikan ukuran batasan waktu? Mengapa..? Mengapa..?

2 komentar:

  1. OCTAVIA DEWI IRMA ROCHMANA B.
    KPI 1A
    jadi menurut keterangan diatas setiap sholat memiliki terapi tersendiri?
    apakah sholat sunnah yang lainnya juga memiliki tersendiri juga pak?
    seperti sholat istisqo', istikhoroh, dan sholat-sholat sunnah yang lainnya?

    BalasHapus
  2. maaf lupa
    OCTAVIA DEWI IRMA ROCHMANA B.
    KPI 1A
    B31209011

    BalasHapus