Selasa, Juli 28, 2009

SHALAT MENURUT PSIKOLOGI HARAPAN

Jika seseorang diminta untuk mendaftarkan harapannya, tentu ia akan menuliskan sejumlah harapan yang begitu panjang. Manusia memang memiliki banyak harapan. Menurut Ibnu ‘Athaillah (t.t.: I: 63), “Harapan adalah sesuatu yang disertai dengan usaha, jika tidak ada usaha dinamakan angan-angan”. Ada harapan duniawi: sehat, sejahtera, aman, dan sebagainya; ada pula harapan ukhrawi, semacam: terhindar dari siksa kubur, mendapatkan ampunan dosa, masuk sorga, dan sebagainya. Di antara dua harapan ini, umumnya manusia lebih mementingkan harapan duniawi daripada harapan ukhrawi. Hal ini bisa dipahami mengingat manusia senantiasa mengetahui dan mengalami bentuk harapan duniawi. Tidak mudah bagi manusia untuk memohon harapan ukhrawi, kecuali dengan landasan iman yang teguh. Dalam laporan ‘Abdullah bin Mas’ud RA., Nabi SAW pernah mengingatkan Ummu Habibah RA, istrinya dari keturunan Bani Umayyah. Saat itu, Ummu Habibah RA mendoakan suami, orang tua, dan saudara-saudaranya agar diberi kelimpahan kekayaan oleh Allah SWT. Kita biasa memohon harapan seperti ini. Namun, Nabi SAW berpesan kepada Ummu Habibah RA –tentu kepada kita semua, “Kau (Ummu Habibah) telah memohon kepada Allah atas umur yang telah ditetapkan, hari-hari yang telah terbilang, dan rejeki yang telah dibagi. Allah SWT tidak akan mempercepat atau menunda sesuatu sebelum masanya. Karenanya, hendaknya kamu (Ummu Habibah) memohon kepada Allah supaya kamu dilindungi dari siksa neraka atau dari siksa kubur. Demikian ini justru lebih baik dan lebih utama”(Muslim, 1988: II: 558: Nomor 2663).

Harapan-Harapan dalam Shalat
Doa adalah harapan. Doa dianjurkan setiap saat, baik meminta perlindungan dari segala yang buruk maupun memohon hal-hal yang baik. namun, dalam shalat, doa menjadi sangat istimewa, karena ia dipanjatkan saat manusia terjalin ruhani dengan Allah SWT. Dalam shalat, harapan duniawi dan harapan ukhrawi dipanjatkan. Secara bahasa, shalat berarti doa atau ungkapan harapan. Setidaknya ada tiga permohonan yang dipanjatkan dalam shalat.
1. Permohonan yang terkandung dalam surat al-Fatihah, terutama pada kalimat, “ihdinash shiroothol mustaqiim”(Bimbinglah aku ke jalan yang lurus).
2. Permohonan yang terdapat pada salah satu bacaan ruku’ dan sujud, yakni memohon ampunan dosa: “subhaanaka robbanaa wa bihamdika allohummaghfir lii”(Maha Suci Engkau Wahai Tuhan kami. Dengan puji-Mu Ya Allah, ampunilah aku).
3. Permohonan yang terkandung dalam salah satu doa sujud, yakni memohon agar tubuh diliputi oleh cahaya. Inilah doa sujud tersebut: “Allohumaj‘al fii qolbii nuuro, waj’al fii sam’ii nuuro, waj’al fii bashorii nurro, waj’al min tahtii nuuro, waj’al min fauqii nuuro, waj’al ‘an yamiinii nuuro, wa ‘an yasaarii nuuro, waj’al amaamii nuuro, waj’al kholfii nuuro, wa a’zhim lii nuuro”(Ya Allah jadikan cahaya dalam hatiku, pendengaranku, penglihatanku, di bawahku, di atasku, di sebelah kananku, di sebelah kiriku, di depanku, dibelakangku, dan agungkanlah aku dengan cahaya).
4. Permohonan yang dikemukakan saat duduk di antara dua sujud. Bacaan doa lengkapnya adalah “robboghfir lii warhamnii wajburnii warfa’nii warzuqnii wahdinii wa’aafinii wa’fu’annii”(Wahai Tuhanku, ampunilah dosaku, kasihanilah aku, gantilah yang hilang dariku, angkatlah derajatku, berikan aku rezeki, bimbinglah aku, sehatkanlah aku, hapuslah dosaku).
5. Permohonan yang dipanjangkan sebelum mengucapkan salam pertama. Bacaan doanya adalah “Allohumma innii a’uudzubika min ‘adzaabi jahannam wamin ‘adzaabil qobri wamin fitnati mahyaaya wa mamaatii wa min fitnatil masiihid dajjaal wa minal ma`tsami wal maghromi ”(Ya Allah, sungguh aku mohon perlindungan kepadamu dari siksa neraka Jahannam, siksa kubur, fitnah kehidupan, fitnah kematian, fitnah Dajjal, perbuatan dosa, dan jeratan hutang). Di samping doa-doa di atas, ada beberapa doa harapan lainnya yang kurang populer, meski disebutkan dalam hadis.
Berikut ini adalah penjelasan beberapa harapan dari doa yang dipanjatkan ketika shalat di atas.
1. Harapan mendapatkan petunjuk, bimbingan, dan pertolongan dari Allah dalam menjalankan hidup yang benar. Petunjuk, bimbingan, dan pertolongan ini lazim disebut hidayah. Harapan ini termuat dalam bacaaan surat al-Fatihah dan bacaan duduk di antara dua sujud. Orang yang sedang menjalankan shalat tentu orang yang mengakui iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Di antara banyak harapan, hidayah merupakan harapan yang sangat didambakannya. Orang yang beriman kepada Allah SWT sedang melewati jalan yang benar. Namun, jalan ini harus ditempuh hingga sampai kepada tujuan. Agar ia tidak terpeleset dalam hidupnya, ia selalu memohon hidayah kepada Allah SWT (Shihab, 2002: I: 66). Harapan hidayah ini berulangkali dibaca ketika sedang shalat, karena ia menentukan masa depan hidup seseorang di dunia dan akherat.
2. Harapan mendapatkan ampunan dosa. Harapan ini paling banyak diulang dalam bacaan shalat: saat berdiri, membungkuk ruku’, sujud, dan duduk. Ampunan dosa bisa berarti menutupi dosa dan bisa pula terhindar dari siksa. Dosa yang ditutupi oleh Allah SWT tidak bisa diketahui siapapun, nama baik pun masih tetap dipertahankan. Orang yang masih memiliki nama baik terhindar dari kecaman orang lain serta mudah meraih kedudukan yang tinggi dan mulia. Dengan pengertian ini, ampunan dosa terkait dengan arti rahmat. Artinya, orang yang telah mendapatkan ampunan dosa berhak mendapatkan rahmat. Dalam shalat, perolehan rahmat juga menjadi salah satu harapan.
3. Harapan mendapatkan kasih-sayang dari Allah SWT. Kasih sayang ini bisa disebut dengan rahmat. Allah SWT memiliki sifat Maha Pengasih atau al-Rahman. Allah SWT juga senantiasa mencurahkan kasih-sayang-Nya kepada semua makhluk, sehingga Allah SWT adalah al-Rahim. Ada kasih-sayang Allah SWT yang umum dan khusus. Tanpa diharapkan, kasih sayang Allah SWT yang umum pasti diterima. Namun, harapan yang diajukan dalam shalat adalah kasih sayang Allah SWT secara khusus. Dalam hal ini, Allah SWT tidak saja menutupi kekurangan dan mengabulkan permintaan, tetapi juga membimbing dan mengarahkan kita menuju jalan yang benar. Kita ingin mendapatkan perhatian khusus dari Allah SWT dibanding orang lain.
4. Harapan mendapatkan kembali apa yang telah hilang, bahkan penggantinya lebih baik dari yang semula. Hati manusia memiliki kecenderungan untuk mencintai sesuatu atau seseorang. Apa yang dicintai manusia adalah tidak abadi. Ia bisa rusak atau hilang. Meski apa yang dicintainya telah tiada, namun cinta tetap menggelora. Siapapun berharap agar hilangnya apa yang dicintainya dikembalikan lagi atau digantikan yang lebih baik. Seseorang yang telah kehilangan teman hidupnya mengharapkan adanya pengganti yang setara atau lebih baik di sisinya. Kita pun lebih senang kehilangan uang seratus ribu rupiah bila digantikan dengan uang senilai satu juta rupiah.
5. Harapan mendapatkan kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah SWT. Sesungguhnya, Allah SWT telah membuat ketentuan bahwa derajat manusia berbeda satu sama lain. Perbedaan status melangsungkan kehidupan manusia, sehingga orang memiliki status lebih tinggi membutuhkan orang yang statusnya lebih rendah, begitu pula sebaliknya. Pandangan manusia terhadap suatu status berbeda dengan pandangan Allah SWT. Manusia mengukur status dari sudut materi, sementara Allah SWT mengukurnya dari sudut immateri, yakni takwa. Namun demikian, manusia yang paling beruntung adalah manusia yang memperoleh kedudukan yang tinggi dalam pandangan Allah SWT maupun manusia. Kedudukan semacam ini selalu diharapkan dalam shalat. Setidaknya, memperoleh kedudukan yang tinggi dalam pandangan Allah SWT, meski dianggap rendah oleh manusia.
6. Harapan mendapatkan rezeki dari Allah SWT. Rezeki adalah segala sesuatu yang bisa memenuhi kepuasan jasmani dan ruhani manusia. Kepuasan jasmani bisa terbatas, sedangkan kepuasan ruhani tidak terbatas. Jasmani cukup dengan perut kenyang, tidak haus, badan bisa gerak, dan sebagainya. Namun, ruhani manusia menginginkan kesenangan, penghargaan, kehormatan, kemerdekaan, kelezatan, dan sebagainya. Untuk mendapatkan rezeki, ada cara yang dilarang (haram) dan ada cara yang diperkenankan (halal). Dalam shalat, rezeki yang diharapkan berasal dar cara yang diperkenankan, bukan cara yang dilarang. Begitu pula, penggunaan rezeki diharapkan semakin meningkatkan keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT, bukan membuat durhaka dan durjana.
7. Harapan mendapatkan kesehatan jiwa dan raga. Manusia yang sehat adalah komponen jiwa dan raganya berfungsi secara sempurna. Jika ada satu komponen saja yang terserang penyakit, maka manusia belum dikatakan sehat. Boleh jadi, ada komponen yang tersusun tidak sempurna sebagaimana manusia umumnya. Demikian ini bisa dikatakan tidaka sehat, meski kata ini kurang tepat, karena ia dinamakan cacat. Serangan terhadap kesehatan tidak mengenal usia, lingkungan, atau keturunan. Seorang remaja yang kakinya diamputasi langsung dikatakan tidak sempurna. Orang yang keluar rumah dalam keadaan sehat belum terjamin pulang rumah juga sehat seperti semula. Orang yang terganggu kesehatannya, tentu berakibat pada terganggunya aktivitas hidup, pola hidup, dan sebagainya. Demikian pentingnya kesehatan bagi hidup manusia, hingga harapan hidup sehat senantiasa dipanjatkan dalam shalat.
8. Harapan penghapusan dosa oleh Allah SWT. Penghapusan dosa berarti mengembalikan kesucian manusia yang semula kotor oleh banyak dosa. Tanda dosa yang terhapus adalah tidak ada beban sekecil apapun yang dirasakan oleh seseorang. Hidupnya senantiasa optimis dan berbaik sangka kepada Allah SWT. Dalam hidup, tidak jarang kita masih ingat dosa-dosa, hingga kita bertanya, “Mungkinkah dosa sebanyak ini bisa dihapuskan?”. Orang yang merasa masih ada dosa hidupnya terasa berat seakan-akan ada beban yang dipikulnya. Tentu setiap manusia tidak luput dari dosa. Akan tetapi, harapan penghapusan dosa dalam shalat membuat seseorang berpikir positif tentang dirinya, akibat dari pikiran positif tentang Allah SWT. Katanya, “Allah SWT saja bisa menghapus dosaku hingga aku bersih dari dosa. Tentu aku menjadi hamba Allah SWT yang baik. Aku akan selalu taat kepada Allah SWT dan berbuat baik. Allah SWT pasti memberikan yang terbaik buat hamba-Nya yang baik”.
9. Harapan perlindungan dari siksa neraka. Tidak dapat diingkari bahwa siapapun tidak akan sanggup menahan siksaan neraka Allah SWT. Neraka adalah tempat akhir bagi orang-orang yang durhaka kepada Allah SWT. Di tempat ini mereka disiksa selamanya. Gambaran tentang neraka telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam banyak ayat di Al-Qur’an. Harapan perlindungan dari siksa neraka berarti harapan agar selalu dijauhkan dari hal-hal yang mengantarkan kepada jalan menuju neraka. Boleh jadi, saat ini kita telah banyak berbuat dosa, tetapi masih ada secercah harapan agar kita mudah melaksanakan taubat yang sungguh-sungguh. Dengan taubat, kita yang semula mengikuti jalan neraka berganti arah mengikuti jalan yang menuju ke sorga.
10. Harapan perlindungan dari siksa kubur. Kubur bukan gambaran alam di dalam tanah. Kubur hanya alam lain (disebut barzakh): tempat semayamnya ruh-ruh yang telah keluar dari jasadnya. Jasad boleh hancur di dalam tanah, tetapi ruh tetap hidup hingga menunggu datangnya Hari Kiamat. Selama ‘masa tunggu’ ini ruh-ruh mengalami pengalaman sesuai dengan perbuatannya di dunia. Perbuatan yang terpuji memberikan pengalaman yang menyenangkan dalam alam kubur, sedangkan perbuatan yang tercela memberikan pengalaman yang buruk. Pengalaman baik mempersingkat masa di alam kubur, meski ia dikubur pada ribuan tahun yang lalu. Pengalaman buruk memperpanjang masa di alam kubur, walaupun masa kematiannya dengan Hari Kiamat berselang beberapa hari. Sebagai contoh, shalat seseorang yang diterima Allah SWT akan menjelma sebagai pelayan yang terbaik untuk ruhnya di alam kubur. Dengan pelayanan yang menyenangkan, ruh merasa singkatnya hidup di alam kubur. Dalam shalat, kita berharap mendapat pengalaman yang menyenangkan di alam kubur, bukan pengalaman yang buruk hingga ruh menjadi tersiksa.
11. Harapan perlindungan dari fitnah kehidupan. Segala hal yang tidak dikehendaki adalah fitnah. Seringkali kita mengharapkan sesuatu kepada orang lain, tetapi harapan tersebut tidak sesuai dengan harapan kita. Ternyata keadaan ini terjadi pada lingkungan yang kita cintai: suami atau istri, orang tua, saudara, anak-anak, harta benda, teman-teman, murid, dan sebagainya. Anak-anak yang diharapkan patuh ternyata durhaka adalah bagian dari fitnah kehidupan. Fitnah harta sering dialami oleh banyak orang: dikiranya mempermudah kehidupan, tetapi kenyataannya memperumit gaya hidup. Fitnah kehidupan yang paling berbahaya adalah akhir hidup yang buruk. Melalui shalat, kita berharap agar segala yang kita miliki dan kita cintai tidak membawa fitnah. Kita juga sangat berharap agar hiduo kita diakhiri dengan keadaan yang baik.
12. Harapan perlindungan dari fitnah kematian. Proses pelepasan ruh dari jasad adalah kematian. Selama proses ini, tidak sedikit fitnah yang datang. Mula-mula syetan datang mengganggu dan menyesatkan iman kita. Ada juga fitnah sakaratul maut, yakni sakit yang dirasakan manusia saat terjadi pelepasan ruh dari jasadnya. Fitnah yang tak kalah pentingnya adalah pertanyaan yang diajukan oleh Malikat Munkar dan Malaikat Nakir. Jawaban yang kita sampaikan berpengaruh pada pengalaman di alam kubur. Demikian hebatnya fitnah kematian ini hingga kita berharap kesuksesan saat melewatinya.
13. Harapan perlindungan dari fitnah akhir zaman, terutama fitnah Dajjal. Awal akhir zaman adalah sejak diutusnya Nabi Muhammad SAW. Hingga saat ini, jarak masa Nabi SAW hingga awal millinium III saat ini adalah sekitar 15 abad. Jarak yang demikian panjang ini semakin mendekatkan kita pada Hari Kiamat. Di antara tandanya yang besar adalah muncul Dajjal, Sang Pendusta. Beberapa hadis mengemukakan bahwa saat Dajjal tiba, tidak sedikit manusia yang terjerumus dalam dustanya. Hingga saat ini makhluk Dajjal ini masih misterius, meski beberapa tandanya telah disampaikan Nabi SAW. Apapun wujud Dajjal sebenarnya, kita berharap agar tidak terpengaruh oleh dustanya.
14. Harapan perlindungan dari perbuatan dosa. Apapun yang membuat jiwa kita tidak tenang disebut dosa. Pada dasarnya, jiwa manusia itu suci. Ketika jiwa ini dikotori, maka ia menjadi gelisah. Jiwa manusia memahami kebaikan sekaligus keharusan melakukan kebaikan serta memahami keburukan sekaligus keharusan menjauhi keburukan. Jiwa manusia akan gelisah bila didorong oleh keinginan (nafsu) manusia yang tidak sesuai dengan pemahaman jiwanya yang paling dasar. Jiwa yang gelisah adalah sakit secara psikologis. Jika hal ini dibiarkan –manusia terus bergelimang dalam dosa-, maka berbagai penyakit menjangkiti manusia: tubuh, jiwa, karir, nama baik, dan sebagainya. Orang yang terungkap dosanya bisa menamatkan karirnya, meruntuhkan nama baiknya, dijauhi oleh orang-orang yang dicintainya, dan seterusnya. Kita berharap agar dilindungi Allah dari segala dosa, apapun bentuk dosanya: baik kecil maupun besar.
15. Harapan perlindungan dari jeratan hutang. Meminjam atau meminjamkan sejumlah uang atau sesuatu yang bisa dinilai dengan uang bukan hal yang dilarang, selama tidak mengandung riba. Meski diperbolehkan, hutang bisa menjerat pihak peminjam maupun pemberi pinjaman. Jeratan bagi peminjam adalah penggunaan hutang untuk sesuatu yang tidak bermanfaat, apalagi untuk hal yang dilarang. Selain itu, jeratan hutang juga terjadi pada pihak peminjam yang tidak mampu melunasinya. Orang yang terjerat hutang akan gelisah, susah, kedudukannya rendah, malas berusaha, takut, kikir, serta kemerdekaannya terpasung, bahkan keimanannya bisa ‘digadaikan’. Nabi SAW pernah mengajarkan doa sesudah shalat: “Allohumma innii a’uudzubika minal hammi wal hazani, wa a’uudzibika minal ‘ajzi wal kasali, wa a’uudzubika minal jubni wal bukhli, wa a’uudzubika min ghalabatid daini wa qohrir rijal (Ya Allah, aku mohon perlindungan kepada-Mu dari kesusahan dan kesedihan, aku mohon perlindungan kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, aku mohon perlindungan kepada-Mu dari sifat penakut dan kikir, aku mohon perlindungan kepada-Mu dari jeratan hutang dan tekanan masyarakat)”. Bagi pemberi pinjaman, jeratan hutang terjadi bila hutangnya macet atau tidak bisa kembali, sementara dirinya terus berharap pengembaliannya. Tidak sedikit pemberi pinjaman yang menggunakan kekerasan agar peminjam segera melunasi hutangnya. Persahabatan dan persaudaraan akan hancur karena hutang yang tidak terbayar. Hutang bisa merubah perilaku peminjam maupun pemberi pinjaman: dari ketaatan menjadi kedurhakaan.
16. Permohonan cahaya yang meliputi semua tubuh dari segala arah. Cahaya ini tidak bisa dilihat oleh kasat mata, melainkan dengan mata batin. Orang yang shalat dengan baik dan benar akan diliputi cahaya yang terpancar dari dalam tubuhnya. Cahaya ini menerangi jalan hidupnya maupun orang-orang yang bersama dengannya, sehingga ia tidak mudah terjerumus dalam dosa. “Sesusungguhnya shalat itu bisa mencegah perbuatan yang keji dan munkar”.
Penjelasan di atas dapat diringkas dalam tabel sebagai berikut.

NO.
BENTUK
HARAPAN
JENIS
HARAPAN
POSISI
SHALAT
01.
Harapan mendapatkan bimbingan hidup di jalan yang benar dari Allah SWT.
Ukhrawi
Berdiri, duduk
02.
Harapan ampunan dan tertutupnya dosa.
Ukhrawi
Berdiri, duduk
03.
Harapan mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari Allah SWT.
Ukhrawi
Duduk
04.
Harapan mendapatkan kekayaan harta dari Allah SWT.
Duniawi
Duduk
05.
Harapan terangkatnya derajat.
Duniawi
Duduk
06.
Harapan terlimpahkannya rezeki.
Duniawi
Duduk
07.
Harapan kesehatan jasmani dan rohani.
Duniawi
Duduk
08.
Harapan terhapusnya dosa.
Ukhrawi
Duduk
09.
Harapan perlindungan dari siksa neraka.
Ukhrawi
Duduk
10.
Harapan perlindungan dari siksa kubur.
Ukhrawi
Duduk
11.
Harapan perlindungan dari fitnah hidup.
Ukhrawi
Duduk
12.
Harapan perlindungan dari fitnah mati.
Ukhrawi
Duduk
13.
Harapan perlindungan dari fitnah Dajjal di akhir zaman.
Ukhrawi
Duduk
14.
Harapan perlindungan dari perbuatan dosa.
Ukhrawi
Duduk
15.
Harapan perlindungan dari terlilit hutang.
Duniawi
Duduk

Harapan dan Ketakutan: Kekuatan Psikologis
Doborah Eggelletion menjelaskan tesisnya: “Setiap manusia mengalami harapan”. Ada yang menyenangkan, positif (harapan tinggi, high hope), yang lain menyedihkan dan merasa frustrasi (harapan rendah, low hope). Betapa pun, harapan yang diolah, dimengerti, dan diterapkan dengan tepat dapat menjadi suatu kebajikan yang diharapkan. Webster’s New World Dictionary (College Edition 1959) menyatakan bahwa harapan adalah suatu perasaan agar sesuatu yang diinginkan bisa terjadi hasrat yang disertai antisipasi atau ekspektasi, keterandalan, kepercayaan. C. R. Synder mendefinisikan harapan dari sudut psikologi sebagai “kumpulan kekuatan keinginan ditambah kekuatan jalan (cara) ke arah tujuan seseorang. Arti tujuan sama dengan objek, pengalaman, atau hasil yang diimajinasikan dan diinginkan dalam pikiran”
Jika objek harapan dicapai, perasaan berharap menghilang, karena harapan telah terpenuhi dan dicapai. Ini sama seperti dorongan biologis rasa haus air. Sekali kebutuhan ini dipernuhi, dorongan berhenti. Selain itu, harapan memiliki awal dan akhir. Jika seorang anak kecil berharap untuk mendapatkan hadiah sebuah sepeda mini. Sekali sepeda mini itu dimiliki, berhentilah harapan itu. Al-Qur’an sering mengemukakan watak manusia yang melupakan Tuhannya saat semua harapannya terkabulkan.
Sisi positif harapan menurut ilmuwan sosial terkini menunjukkan bahwa harapan mencakup persepsi bahwa tujuan-tujuan seseorang dapat dicapai. Bila harapan dikaitkan ke suatu tujuan khusus, harapan yang terarah lebih disenangi. Psikolog melihat perlunya memiliki harapan pada tingkatan fisik-jasmani dan psikologis dalam kehidupan insani kita. Seseorang yang putus asa biasanya menghentikan tujuan atau aspirasinya. Mula-mula, harapan biasanya diaplikasi terhadap beberapa aspirasi fisik-jasmani sebelum seseorang dapat mengharapkan kehidupan abadi yang spiritual. Orang miskin berharap bisa makan untuk esok harinya, sedangkan orang kaya yang harapan jasmaninya telah terpenuhi tentu berharap lebih dari sekedar makan, misalnya rekreasi atau ingin mendapat perhatian orang lain.
Jika seseorang kini menghadapi suatu situasi atau tujuan, harapan untuk mencapai hasil yang menyenangkan harus dipraktekkan. Harapan menuntut pengorbanan seiring dengan mimpi atau visi untuk mempertahankan harapan. Pengorbanan itu dapat berupa waktu, uang, usaha fisik atau mental yang diterapkan dalam upaya ke arah tujuan. Visi atau mimpi menjaga agar usaha sampai ke terwujudnya tujuan itu. Perwujudan konkret adalah manifestasi tujuan, tantangan yang dihadapi menunjukkan kekuatan harapan. Deborah menyimpulkan bahwa tanpa prinsip harapan, tujuan, mimpi, visi, atau tantangan dalam kehidupan tidak terwujud bagi manusia. Dunia akan tenggelam dalam belenggu keputusasaan. Hal ini benar secara psikologis dan spiritual. Dunia dan manusia itu tidak akan ada tanpa harapan. (Sbelen’s Weblog, 4 Januari 2009 “Psikologi Harapan: Antara Takut dan Berharap”).
Dalam pengobatan tradisional China dipercaya bahwa emosi tertentu berhubungan dengan anggota tubuh bagian dalam. Karena itu, ketika seseorang memiliki suatu emosi yang kuat, emosi itu dapat mempengaruhi organ. Misalnya, ketakutan jangka panjang dapat mempengaruhi ginjal dan kandung kemih. Emosi positif dapat juga memberi dampak baik bagi organ-organ tubuh kita. Harapan membantu kinerja jantung. Dalam hal ini, harapan juga perlu disertai dengan ketakutan yang wajar, agar seseorang tidak sekedar memandang kesempatan, tetapi juga mengamati tantangan.
Joice McFadden menandaskan, baik harapan maupun ketakutan adalah motivator dan keduanya memiliki kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan dalam diri kita. Harapan menciptakan ruang dalam pikiran dan hati kita, sedangkan ketakutan lebih sering membatasi kita. Manakala seseorang memiliki sebuah harapan, tubuhnya terasa rileks (santai). Ia merasa tampil bersahabat dan terbuka, bukan hanya dengan orang lain, tetapi juga dengan dirinya sendiri. Dunianya mengembang dengan gagasan-gagasan, bahkan dapat mengumpulkan momentum yang lebih besar. Ia merasa termotivasi untuk bergerak ke depan. Sementara itu, ketakutan membuat seseorang merasa tersudut. Tenaganya juga terkuras. Pikirannya sempit, karena perhatiannya terfokus pada apa yang sedang ditakutkan. Karenanya, orang yang sedang takut melihat dunia ini sangat kecil, hingga kesempatan besar di depannya tidak tampak olehnya.
Jika ketakutan terlalu menggenggam kepribadian, maka pikiran menjadi kaku dan buntu, sehingga mudah terjangkit paranoia. Menurut psikiatri, paranoia adalah sakit mental tatkala seseorang percaya bahwa orang lain sedang mencoba berbuat jahat kepadanya atau merasa dirinya jauh lebih penting dari kenyataan sebenarnya. Dalam bahasa sehari-hari, paranoid berarti merasa amat curiga, takut, dan tidak percaya kepada orang lain. (Collins Cobuild, English Language Dictionary, 1993). Bila bagian yang lebih baik dari harapan dan ketakutan digunakan secara bersama-sama, maka seseorang akan berada dalam sikap dan posisi mental bahwa ia bisa, ia mampu. Bagian terbaik ketakutan mengajarkan kita tentang apa yang dikhawatirkan akan hilang. Bagian terbaik harapan mengajarkan bahwa sekali kita tahu tentang apa yang ditakutkan hilang, kita dapat bertindak untuk menjaga dan mempertahankannya, agar tetap aman dan kuat dalam genggaman kita. Ketakutan memang melahirkan power, kekuatan. Namun, dibandingkan dengan rasa takut, harapan memberi kekuatan yang lebih besar.
Ketakutan datang tepat waktu, sedangkan harapan sering datang terlambat. Begitu ketakutan datang, seketika itu pula kita merasa takut. Rasa takut ini tidak bisa ditunda. Karenanya, ada dua jalan yang ditempuh seseorang terhadap rasa takut, yaitu kembali ke jalan semula atau maju menghadapi tantangan ketakutan tersebut. Bagi orang yang memiliki harapan, ia akan maju untuk menghadapi ketakutannya. Berbeda dengan orang yang putus asa yang bertindak mundur, setidaknya diam tanpa tindakan. Harapan mungkin berkembang perlahan-lahan, tahap demi tahap. Harapan memang seperti orang yang tidak berdisiplin, sering datang tidak tepat waktu. Namun, ciri khas harapan adalah ia membuka jalan. Ketakutan berhubungan dengan mencoba bertahan hidup atau mempertahankan sesuatu. Harapan berkaitan dengan mengetahui mengapa kita menginginkan sesuatu.

Kekuatan Harapan dalam Shalat
Kekuatan harapan terletak pada kepercayaan seseorang kepada pemberi harapan. Janji atau harapan yang disampaikan orang tua kepada anaknya lebih dipercaya dan lebih kuat dibanding dari seorang pemimpin kepada rakyatnya. Semakin dekat pengenalannya, semakin teguh kepercayaannya, dan semakin kuat harapannya. “Meskipun kita menghadapi situasi sulit yang belum pernah diketahui sebelumnya, tetapi karena kita memiliki keyakinan yang kuat dan gigih, kita akan mampu melakukan tindakan yang efektif”, tulis Martin Wijokongko (1997: 75). Keteguhan kepercayaan seseorang kepada Allah SWT terkait dengan keimanannya. Orang yang memiliki iman yang teguh akan menyerahkan segala urusannya kepada Allah SWT. Secara psikologis, keteguhan didahului oleh pengalaman yang berulang-ulang. Orang yang mengalami sulitnya birokrasi pemerintahan secara berulang-ulang akan sulit diyakinkan mengenai kemudahan birokrasi. Dalam agama, terkabulnya setiap doa akan membuat seseorang semakin yakin dengan Allah SWT. Namun, penting dikemukakan bahwa doa yang tidak terkabul bukan berarti Allah SWT tidak mengindahkan harapan hamba-Nya yang telah berdoa. Allah SWT Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya yang taat. Boleh jadi, Allah SWT memberikan sesuatu di luar harapan hamba-Nya, tetapi sesuatu itu justru lebih baik daripada harapan tersebut. Di sini keteguhan iman memerlukan suatu pengertian dan pengenalan yang baik tentang Allah SWT.
Tingkat kepercayaan ditentukan oleh pengenalan seseorang atas kemampuan pemberi harapan. Orang tua sulit berharap kepada anaknya yang masih kecil untuk melakukan sesuatu sebagaimana orang dewasa. Kita lebih memilih seorang dokter untuk mengobati penyakit daripada seorang ulama, meski kita lebih dekat dengan ulama daripada seorang dokter. Karena kurang percaya dengan kemampuan anak bangsa, pemerintah negara sedang berkembang sering mengutamakan tanaga ahli dari negara maju. Jadi, kunci suatu harapan terletak pada kepercayaan atas kemampuan orang yang diharapkan. Kemampuan ini harus disertakan dengan kemauan. Kemampuan dan kemauan tersebut harus dikenali lebih dalam oleh peminta harapan. Banyak dokter di hadapan kita, tetapi kita harus memilih salah satu di antara mereka. Bila kita telah menjatuhkan pilihan, tetapi dokter yang kita pilih enggan memenuhi harapan, tentu kita memilih lagi dokter yang mau dengan harapan kita. Orang yang beriman dengan sungguh-sungguh pasti telah mengenal Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih. Tidak ada keraguan sedikit pun dalam hati orang yang beriman kepada Allah SWT. Ketika ia berharap banyak kepada Allah SWT, ia telah yakin bahwa Allah SWT akan memenuhi semua harapannya. Inilah kekuatan harapan dalam shalat. Semua harapan dalam shalat di atas hanya dapat dipenuhi oleh Allah SWT Yang Maha Kuasa. Selain AllAh SWT, tak satupun yang mampu memenuhinya. Kekuatan ini akan membawa ketenangan dan keamanan dalam hidup.
Hidup lebih tenang dan lebih aman apabila ada pihak yang memberikan jaminan. Kita bisa memperhatikan kehidupan orang-orang yang berkuasa. Ada pengawal yang siaga menjamin keamanan mereka. Ada dokter pribadi yang memperhatikan kesehatan mereka. Ada juru masak yang menyiapkan makanan kegemarannya. Ada staf ahli yang memberikan nasehat bagi keputusan mereka. Ada seniman yang siap menyuguhkan aneka hiburan. Pendek kata, keinginan orang yang berkuasa mudah terjamin dan terpenuhi. Orang yang shalat dengan benar bisa terjamin hidupnya melebihi jaminan hidup orang-orang yang berkuasa. Sandaran hidup orang yang shalat adalah Allah SWT Yang Maha Kuasa. Jaminan Allah SWT tidak terwujud material, melainkan spiritual yang diletakkan dalam hati. Dengan jaminan ini, seseorang tidak merasa takut kepada siapapun, kecuali kepada Allah SWT, meski tanpa pengawal di sisinya. Jika ia mendapatkan penganiayaan dari orang lain, ia tidak pernah merasakan sakit atau sedih sama sekali. Ia juga tidak merasakan kelaparan, kendati ia jarang menemukan makanan. Ia merasa terhormat, meskipun masyarakatnya senantiasa menghinanya. Demikian ini perbedaan antara jaminan Allah SWT dan jaminan manusia. Seorang raja yang paling berkuasa sekalipun terkadang merasa dirinya belum berkuasa; orang kaya merasa belum sepenuh kaya; orang yang paling kuat merasa masih dipecundangi; dan seterusnya. Ternyata, ketenangan dan keamanan ada dalam hati. Surat al-Ra’d ayat 28 menegaskan hal tersebut.
28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Ayat di atas mengulang kata-kata ”hati tentram dengan mengingat Allah SWT”. Pengulangan ini menunjukkan suatu perhatian yang mengandung rahasia besar. Rahasia ini terletak pada ungkapan “mengingat Allah SWT”. Sebagian masyarakat memahami ungkapan ini dengan mengucapkan kata-kata suci terus-menerus, tanpa memikirkan makna di balik kata-kata suci tersebut. Tentu saja mereka belum menemukan ketentraman. Padahal, mengingat Allah SWT harus melibatkan sisi pemikiran (kognisi) dan penghayatan (afeksi) yang terlebur dalam suatu tindakan (konasi). Orang yang mengenal Allah SWT dengan yakin serta selalu merasakan kehadiran Allah SWT di dekatnya, pasti tindakannya jauh dari kedurhakaan kepada Allah SWT.
SHALAT JAMAAH
PERSPEKTIF PSIKOLOGI SOSIAL

Muslimin muslimat
Moggo jamaah sholat
Ganjaranipun, pitulikur derajat
(Wahai umat Islam, laki-laki maupun perempuan,
marilah melaksanakan shalat secara bersama,
karena pahalanya 27 derajat)

Syair di atas merupakan pujian yang dilantunkan oleh sebagian umat Islam Jawa saat menjelang pelaksanaan shalat berjamaah. Pujian ini dirumuskan oleh para kyai yang diambil dari hadits Nabi SAW bahwa shalat jamaah unggul 27 derajat dibanding shalat sendirian. Penjelasan mengenai derajat ini umumnya dipahami sebagai kelipatan pahala. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa hal demikian juga bisa dipahami sebagai keunggulan hikmah dari shalat jamaah, sebagaimana penjelasan Syekh Zain al-Din bin ‘Abd al-‘Aziz al-Malibari (t.t.), penulis kitab Fath al-Mu’in. Kita harus mengungkap keunggulan ini, agar semakin tekun melaksanakan shalat jamaah. Di samping itu, banyaknya keunggulan hikmah shalat jamaah mendorong Nabi SAW untuk mengancam pembakaran kepada siapapun yang meninggalkan shalat jamaah. Dengan ancaman ini, para ulama –kecuali Madzhab Hanbali yang menghukumi wajib- memutuskan hukum shalat jamaah sebagai sunnah muakkad (anjuran yang sangat kuat). Shalat jamaah berlaku fardlu kifayah di masjid yang biasanya digunakan untuk ibadah shalat Juma’at. Jika sebuah masjid yang tidak mengadakan shalat wajib secara jamaah, maka semua masyarakat di sekitarnya harus menanggung dosa. Jika ada di antara mereka yang menjalankannya, maka dosa tersebut tidak tercatat. Penting dikemukakan bahwa shalat jamaah minimal dikerjakan oleh dua orang: satu sebagai imam (pemimpin) dan satunya sebagai makmum (pengikut). Dengan aturan ini, tidak sulit untuk menggalang shalat jamaah. Untuk itu, rahasia shalat jamaah perlu diungkapkan. Rahasianya dapat ditelusuri dari aturan fikih shalat jamaah.

Tata Cara Shalat Jamaah
Dalam kitab Safinah al-Naja, Syekh Salim bin Samir al-Hadlrami (t.t.: 84-88) mencatat 11 ketentuan jamaah, yaitu:
1. Makmum yakin bahwa shalatnya imam tidak batal.
2. Makmum juga yakin bahwa imam tidak menjalankan shalat qadla’.
3. Imam yang diikuti makmum tidak sebagai makmum orang lain.
4. Imam bukan termasuk orang yang lebih awam dalam ilmu agama Islam dibanding makmum.
5. Posisi shalat makmun berada di belakang imam.
6. Makmum mengetahui perpindahan gerakan shalat imam.
7. Imam dan makmum berada dalam satu masjid atau satu tempat yang jarak antara imam dan makmum kurang lebih 300 meter.
8. Mampu mengucapkan niat berjamaah atau menjadi makmum.
9. Shalat yang dikerjakan imam dan makmum sama bentuk dan rakaatnya.
10. Makmum tetap mengikuti gerakan imam dalam melakukan atau meninggalkan hal yang sunnah.
11. Makmum mengikuti imam yang bergerak lebih dahulu.
Ketentuan di atas merupakan rumusan fikih madhab Syafi’i. Ketentuan ini lebih menekankan pada tugas makmum. Dalam beberapa hadits tentang shalat jamaah, terdapat anjuran lain yang ditujukan kepada imam maupun makmum, antara lain:
1. Hendaknya ada pembagian tugas antara imam, petugas adzan dan iqamat, serta makmum.
2. Petugas adzan dan iqamat bertugas menjaga waktu shalat, imam sebagai pemimpin shalat, sementara makmum merupakan pengikut imam dalam shalat.
3. Petugas adzan dan iqamat diamanatkan kepada orang yang rajin menjaga waktu shalat serta memiliki suara merdu, keras, dan panjang.
4. Makmum hendaknya menunggu imam yang sudah ditentukan. Begitu imam telah muncul dan memerintahkan untuk iqamat, segera petugas iqamat menjalankan perintah imam.
5. Barisan shalat jamaah telah diatur, yaitu bagian paling depan adalah laki-laki dewasa, lalu dibelakngnya bagian perempuan.
6. Hendaknya imam meneliti kelurusan dan kerapatan barisan makmum. Ia bisa membuat instruksi: “Rapatkan barisan dan luruskan, barisan depan yang masih kosong harap diisi oleh barisan di belakangnya!”.
7. Imam harus memahami kondisi makmum, sehingga lamanya waktu shalat tidak berlebihan. Karenanya, ia lebih baik mengamati makmum dahulu sebelum menghadap kiblat.
8. Imam yang salah bisa dingatkan dengan bacaan “subhanallah” oleh makmum laki-laki atau menepukkan punggung tangan kanan ke telapak tangan kiri oleh makmum perempuan.
9. Usai mengucapkan salam sebagai tanda berakhirnya shalat, imam hendaknya menuntun dzikir bersama makmum dengan menghadap makmum.
10. Bagi makmum masbuq (makmum yang tertinggal dan mendapatkan sisa shalat imam), langsung mengikuti shalat imam setelah terlebih dahulu membaca takbiratul ihram (bacaan “Allahu Akbar” pertama). Jika ia mengikuti sebelum imam bangun dari ruku’, maka ia mendapatkan kesempurnaan satu rakaat. Namun, jika ia mengikuti imam saat bangun dari ruku’ atau sesudahnya, maka ia belum mendapatkan kesempurnaan rakaat. Demikian pula, ia masih bisa mengikuti imam selama belum mendengar bacaan salam dari imam, tepatnya pada kata “’alaikum” dari “assalamu ‘alaikum warahmatullah”. (al-Malibari, t.t.: 35)
Ketentuan di atas merupakan standar ideal, yakni ditemukan masyarakat yang peduli dengan shalat jamaah. Akan tetapi, banyak kasus di beberapa masjid atau mushalla yang menyelenggarakan shalat jamaah dengan beberapa orang saja, bahkan petugas adzan dan iqamat merangkap sebagai imam. Kualitas imam pun juga jauh dari ideal, karena bukan orang yang memahami bacaan al-Qur’an dengan benar. Meski demikian, fikih masih membenarkan, terutama bagi orang yang diangkat menjadi imam. Jika umat Islam berkumpul dan hendak melaksanakan shalat jamaah, maka orang yang berhak menjadi imam adalah orang yang diangkat imam oleh pengurus ta’mir masjid (al-Syairazi, t.t.: I: 99). Tentu dalam mengagkat imam masjid, pengurus ta’mir masjid harus memperhatikan kualitas bacaan al-Qur’an serta ilmu agamanya.

Tinjauan Psikologi
Situasi kebersamaan dalam shalat jamaah memberikan aspek terapeutik, yakni terapi kelompok. Tujuan utama terapi ini adalah menimbulkan suasana kebersamaan yang harmonis, sehingga komunikasi yang beku bisa cair. Melalui terapi kelompok, masing-masing individu saling menatap, saling berbicara, dan saling menyentuh. Pendek kata, semua bentuk komunikasi verbal maupun non-verbal terlibat dalam suasana kebersamaan. Oleh karena itu, terapi ini bisa menghindarkan seseorang dari perasaan keterasingan.
Tidak sedikit gangguan jiwa yang diakibatkan oleh perasaan keterasingan. Keadaan demikian ini bukan berarti terasing secara fisik, melainkan terasing secara psikhis. Hubungan yang menyakitkan terjadi bila dua orang sahabat yang duduk berdekatan, tetapi masing-masing enggan berkomunikasi. Kita merasa gembira bila teman yang jauh menyapa kita lewat telepon. Namun, kita lebih bahagia bila kita berkumpul dan berkomunikasi dengan teman-teman. Tentu gelak tawa mengiringi perkumpulan ini. Tidak hanya itu, beban hidup terasa ringan, bahkan hilang oleh persahabatan.
Situasi dalam shalat jamaah ada dua bentuk, yaitu bersama orang tidak saling mengenal dan bersama orang yang saling mengenal.
Jamaah Sekunder
Pelaksanaan shalat jamaah yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak saling mengenal dinamakan jamaah dalam lingkungan sosial sekunder. Bentuk ini sering terjadi di luar penyelenggaraan shalat jamaah awal waktu atau di masjid-masjid yang dekat dengan tempat-tempat publik, seperti mushalla mall, mushalla pasar, masjid besar dekat alun-alun, dan sebagainya. Karena pengenalan masing-masing belum mendalam, maka pemilihan imam tidak bisa menggunakan ukuran keilmuan atau kepribadian, melainkan ukuran umur. Orang yang dipandang dan diamati lebih tua harus dijadikan imam. Tentu saja, pilihan ini harus mendapatkan kesepakatan bersama di antara orang-orang yang hendak menunaikan shalat jamaah.
Dalam hal ini, situasi kebersamaan (togethersness situation) melekat pada kejiwaan masing-masing jamaah. Ada peniruan serentak dengan mengikuti irama imam. Nabi SAW sendiri menuturkan kepada para sahabat, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat gerakan shalatku”. Peniruan atau imitasi ini dilakukan oleh makmum dengan melihat gerakan shalat imam. Ketika ada kekeliruan dalam gerakan imam, lalu ada di antara makmum yang mengingatkan dengan bacaan tasbih, maka makmum yang lain –biasanya tidak mengetahui kekeliruan imam- juga meniru membaca tasbih.
Dalam imitasi, kritik individu hampir tidak terjadi. Selain itu, individu juga ingin memberikan penilaian yang sama dengan yang lain (W.A. Gerungan, 1991: 82). Individu lebih mengutamakan kehendak bersama daripada kehendak sendiri. Untuk itu, dalam shalat jamaah, individu sulit mewujudkan kritik atas ulah makmum yang mula-mula memberi peringatan. Imam yang diberi peringatan juga akan mengikuti makmum. Apa jadinya bila salah satu makmum salah dalam memberi peringatan, lalu diikuti oleh makmum yang lain, sementara imam dengan penuh keraguan juga mengikuti peringatan tersebut. Inilah kondisi psikologis shalat jamaah yang belum diantisipasi oleh fikih.
Kasus situasi kebersamaan dalam shalat jamaah yang lain adalah makmum tidak bisa memperotes amal sunnah yang dikerjakan imam. Meski makmum berbeda pandangan masalah doa Qunut saat shalat Shubuh dengan imam, otoritas pelaksanaannya tetap dalam kendali imam. Makmum yang biasanya shalat dengan cepat harus mengikuti shalat imam yang agak lambat. Makmum juga seringkali dikejutkan oleh cara shalat makmum lain yang berbeda madzhab. Seluruh perbedaan dalam shalat tersebut tidak diberikan ruang untuk berdialog. Setelah pelaksanaan shalat, ruang dialog itu terbuka lebar. Mengingat porsi imitasi besar peranannya dalam shalat jamaah, maka imam harus dipilih dari orang-orang yang mempunyai kelebihan dibanding makmumnya.
Makmum yang mengetahui kemampuan bacaan dan keilmuan imam akan semakin kuat dalam imitasi. Demikian pula, makmum yang tidak mengenal imamnya juga memperkuat imitasi dengan ukuran usia. Makmum yang lebih muda akan lebih percaya pada imam yang lebih tua. Kuatnya imitasi ini mempertinggi nilai shalat jamaah. Artinya, meski orang-orang yang melaksanakan shalat jamaah terdiri dari masyarakat awam, baik makmum maupun imamnya, namun karena imam yang lebih tua usianya, sehingga lebih dipercaya para makmum, maka nilai shalat jamaahnya lebih tinggi dibanding imam dari orang awam dan ada di antara makmum yang memiliki kelebihan bacaan maupun keilmuan, karena ada makmum yang tidak sepenuhnya percaya pada imam. M. Arifin (1993: 115) menyebut kekuatan imitasi karena pengaruh tokoh model.
Jamaah Primer
Pelaksanaan shalat jamaah yang dilakukan oleh orang-orang yang saling mengenal satu sama lain disebut jamaah dalam lingkungan sosial yang primer. Bentuk ini terjadi pada shalat jamaah di lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan kantor, bahkan dengan sesama rekan atau teman. Karenanya, kualifikasi keilmuan dan kepribadian dikenal amat baik, sehingga dalam menentukan imam, standar ideal bisa terwujud. Meski di kantor seseorang menjabat sebagai kepala, namun dalam hal shalat jamaah, ia harus rela mengikuti imam yang lebih baik bacaan al-Qur’an dan pengetahuan agamanya, sekalipun hanya seorang bawahan yang paling rendah.
Di masyarakat yang masih mempertahankan tradisi, sesepuh masyarakat biasanya lebih menguasai tata cara keagamaan dibanding anggota masyarakat yang lain. Di masjid-masjid pedesaan masih berlaku sesepuh masyarakat yang menjadi ketua ta’mir masjid sekaligus imam shalat jamaah di masjidnya. Seorang pendatang –betapapun alimnya- masih belum dipercaya menjadi imam selama masih ada sesepuh masyarakat. Bentuk shalat jamaah ini lebih tercermin pada konsep kelompok sosial.
Setidaknya, ada empat ciri dari kelompok sosial (W.A. Gerungan, 1991: 88-89).
1. Terdapat dorongan atau motif yang sama antara anggota masyarakat.
2. Reaksi-reaksi dan kecakapan yang berlainan antara individu, sehingga masing-masing saling mempengaruhi. Mereka yang bisa mempengaruhi orang lain kepada tujuannya menjadi pimpinan dari kelompok sosial.
3. Adanya pembagian tugas dan tanggung-jawab di antara anggota kelompok. Dari tugas-tugas ini, dapat diketahui kedudukan masing-masing anggota beserta peranannya. Ada yang menjadi bawahan dan ada pula sebagai atasan.
4. Untuk melangsungkan hubungan kelompok, dirumuskan norma-norma yang harus dipatuhi oleh setiap anggota.
Dengan ciri-ciri di atas, sikap dan tindakan individu tidak bebas, melainkan terikat oleh norma dan struktur kelompok sosialnya. Dalam Sosiologi, hal ini disebut Fungsional-Struktur. Pengaruhnya pada pelaksanaan shalat jamaah adalah sebagai berikut.
1. Kelompok sosial bisa menentukan pembiasaan shalat jamaah. Ada keluarga muslim yang sangat memperhatikan shalat jamaah, sehingga anggota keluarga dikoordinasikan sedemikian rupa agar pekerjaan masing-masing harus ditinggalkan sementara untuk melaksanakan shalat jamaah. Aturan ini juga bisa diberlakukan oleh manajemen perkantoran. Karenanya, rapat atau diskusi bisa diberhentikan sejenak untuk menjalankan shalat jamaah. Namun demikian, tidak sedikit kelompok sosial yang mengabaikan shalat jamaah, sehingga individu tidak perlu terikat.
2. Kelompok sosial bisa menentukan waktu pelaksanaan shalat jamaah. Umumnya, shalat jamaah dibiasakan pada awal waktu. Akan tetapi, banyak kelompok sosial juga yang menyepakati pelaksanaannya tidak pada awal waktu.
3. Kelompok sosial dapat menentukan posisi imam shalat jamaah. Seorang ayah bisa tidak tergantikan sebagai imam, kecuali ia telah memberikan peluang sebagai imam kepada putranya yang telah dewasa dan memenuhi syarat imam ideal. Karenanya, tidak ada pergantian imam shalat jamaah dalam kelompok sosial. Orang yang telah dipercaya menjadi imam, sulit menjadi makmum, kecuali ada alasan yang kuat.
4. Kelompok sosial bisa membuat aturan shalat jamaah dan menyeragamkan anggota untuk mengikuti aturan tersebut. Jika dalam suatu keluarga lebih dominan mengikuti madzhab Syafi’i, maka anggota yang berbeda madzhab terpaksa mengikutinya dalam shalat jamaah. Di tengah masyarakat muslim, tidak jarang ditemukan dua masjid atau lebih. Setiap masjid memiliki kelompok sosial yang bermadzhab sama. Tentu saja, masing-masing kelompok ini sulit disatukan.
5. Kelompok sosial bisa menambahkan amalan sunnah yang mengiringi shalat jamaah, baik sebelum maupun sesudahnya. Ada masjid yang mengumandangkan pujian-pujian sebelum pelaksanaan shalat jamaah. Ada juga masyarakat yang menghendaki adanya kuliah tujuh menit (Kultum) setelah shalat jamaah tertentu. Pendek kata, selama ada kesepakatan bersama, shalat jamaah bisa dihiasi kegiatan yang berguna.
Pengaruh kelompok sosial di atas tentu menjadikan shalat jamaah lebih efektif dalam membentuk kepribadian individu. Interaksinya lebih dari sekedar imitasi, tetapi justru lebih mendalam, yakni simpati. Individu yang berperilaku buruk bisa dengan mudah berubah menjadi baik manakala ia bersama orang-orang yang berperilaku baik. Orang yang telah terikat kebaikan oleh suatu kelompok sosial sulit melakukan tindakan yang tidak terpuji. Pertimbangan tindakan seseorang tidak hanya dari sisi kepentingan individu, namun juga sisi reputasi kelompok sosialnya. Dengan demikian, kelompok sosial bisa mempengaruhi tindakan individu, sedangkan kekuatan kelompok sosial terletak pada solidaritasnya. Shalat jamaah mempererat solidaritas itu, bahkan mengarahkan pada ketakwaan, keimanan, dan kebaikan. Kelompok sosial yang memperhatikan shalat jamaah besar kemungkinan memiliki anggota yang berkepribadian unggul.
SEHAT DENGAN SHALAT
(Keterpaduan Gerakan, Pikiran, dan Perasaan)

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kalian. Sesungguhnya, sabar dan shalat yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', yaitu orang-orang yang meyakini bahwa sesungguhnya mereka akan menemui Tuhan mereka dan hanya kepada-Nya mereka akan kembali” (Surat al-Baqarah ayat 45-46). Untuk bertemu Allah SWT, ada dua cara, yaitu membaca al-Qur’an dan shalat. Kedua cara ini mensyaratkan adanya pemahaman makna. Dengan mengerti apa yang dibicarakan, Pelaku Shalat (Musholli) bisa merasakan kehadiran Allah SWT yang sangat dekat. Kedekatan ini membuat jiwanya merasa tenang dan nyaman, sehingga ia tidak ingin shalatnya berakhir, bahkan ia ingin terus memperbanyak shalatnya. Islam pun mengajarkan aneka shalat sunnah yang bisa menjadi pilihan Pelaku Shalat.
Dalam Bab Ketika Ruku’ Belum Sempurna, Imam al-Bukhari (t.t.: I: 192) meriwayatkan: “Hudzaifah RA pernah melihat seseorang yang belum menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Hudzaifah pun berkata, “Anda belum melaksanakan shalat. Jika Anda wafat, maka Anda wafat dengan tidak mengikuti fitrah yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW”. Di hadits berikutnya, Imam al-Bukhari (t.t.: I: 192) juga meriwayatkan hadits Abu Hurairah bahwa Nabi SAW pernah menyuruh seseorang untuk mengulangi shalatnya karena gerakannya kurang sempurna. Ini menunjukkan bahwa shalat yang tergesa-gesa bisa jadi berakibat tidak sah.

A. Persiapan Sebelum Pelaksanaan Shalat
Ketenangan dalam pelaksanaan shalat memerlukan keyakinan yang kuat terkait dengan keberadaan shalat. Setidaknya ada lima hal yang perlu dipikirkan sebelum melaksanakan shalat.
1. Ajaran shalat ditentukan aturan dan caranya oleh Nabi SAW. Agar shalat bisa dilaksanakan dengan ikhlas, Pelaku Shalat harus berpandangan bahwa shalat yang dilakukannya adalah perintah Allah SWT dan mengikuti Rasulullah SAW. Untuk meyakinkannya, ia harus mengerti dalilnya.
2. Waktu shalat. Kita harus yakin bahwa semua waktu kita hanya milik Allah SWT. Bukankah banyak waktu yang dijadikan Allah SWT sebagai sumpah dalam al-Qur’an, seperti wadldluhaa (demi waktu Dluha), wallaili (demi waktu malam), wannahaari (demi waktu siang), dan sebagainya. Karenanya, kita harus merelakan sebagian waktu kita untuk shalat. Tinggalkan kegiatan selama kurang lebih 30 menit untuk pelaksanaan satu shalat wajib dengan iringan shalat sunnah Qabliyyah dan Ba’diyyah. Yakinlah bahwa rezeki Anda tidak berubah dengan dikurangi waktu shalat. Anda tetap bekerja. Hanya saja, waktu yang tidak bermanfaat harus dipangkas. Anda harus tegas kepada kawan bicara Anda, “Maaf, saya harus shalat dulu”. Lebih baik, Anda telah membuat jadwal shalat, sehingga rekan Anda bisa mengatur pertemuan di luar jam shalat Anda. Tidak hanya ketegasan pengaturan waktu, pikiran pun harus dikosongkan dari semua kegiatan. Karenanya, bereskan terlebih dahulu hal-hal yang bisa menggangu pikiran saat melaksanakan shalat.
3. Fungsi shalat. Galilah secara terus-menerus hikmah-hikmah yang terkandung dalam shalat, baik dari tulisan, perkataan ulama, maupun pengalaman orang lain. semakin banyak pengetahuan kita tentang hikmah shalat, semakin tekun kita menjalankannya. Kita serius menjalankan shalat, karena kita yakin shalat lebih penting dari segalanya. Dia antara hikmah shalat adalah adanya unsur meditasi yang bisa membuat pikiran lebih segar dan perasaan lebih peka, adanya gerakan tubuh yang bisa memberikan pemijatan pada kaki, merenggangkan otot yang kaku, dan mengatur jalannya pernapasan. Shalat merupakan wahana melatih kesabaran dan mengungkapkan syukur kepada Allah SWT. Kesabaran tersebut tampak dari pengorbanan waktu, sedangkan syukur diungkapkan atas nikmat iman dan kehidupan. Shalat adalah ujian iman, karena orang mukmin mengerjakannya dengan ikhlas, orang munafik melakukannya dengan malas, dan orang kafir enggan melakukannya. Ada empat tanda orang hidup yang tercermin dalam shalat, yaitu bergerak (jasmani luar), bernafas (jasmani dalam), berpikir (rohani otak kiri), dan berperasaan (rohani otak kanan). Bagi Abu Sangkan (2005: 8), setidaknya ada lima fungsi shalat bagi kesehatan manusia, yaitu sebagai meditasi dari doa yang teratur, relaksasi melalui gerakan-gerakan shalat, hetero atau euto sugesti dalam bacaan shalat, terapi kelompok dalam komunikasi antara Pelaku Shalat dan Allah SWT, dan terapi air dari air wudlu. Apabila shalat dilengkapi dengan harum-haruman serta pakaian dan tempat tanpa corak, maka shalat bisa membuahkan terapi aroma dan warna.
4. Keberadaan Pelaku Shalat di hadapan Allah SWT. Kita harus mengukur diri kita dengan Allah SWT. Kita sekarang berada di bagian paling kecil di muka bumi, padahal bumi adalah bagian paling kecil dibandingkan tata surya langit pertama, apalagi enam langit yang lain. Kita tidak memiliki arti dibanding Kerajaan Allah SWT Yang Maha Luas. Saat ini kita hidup dan tidak mengerti kematian kita. Sebelum melaksanakan shalat, pikirkanlah bahwa kita akan mati dalam hitungan detik atau menit. Pikirkanlah dosa-dosa Anda, agar Anda merasa kecil, rendah, dan hina di hadapan Allah SWT, lalu Anda memohon ampunan kepada-Nya. Mintalah perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari godaan syetan selama melaksanaan shalat.
5. Shalat bukan hanya gerakan badan, tetapi juga gerakan pikiran. Ada yang mengatakan bahwa shalat adalah gerakan badan dan ruh. Pada setiap gerakan badan dalam shalat ada tekanan di bagian tertentu. ketika badan bergerak, perasaan Pelaku Shalat juga merasakan gerakan tersebut. Di kala bibir bergerak membaca dzikir, otak bergerak memahami makna dzikir. Tidak hanya itu, otak juga melakukan imajinasi atas bacaan dzikir. Begitu terpikir keagungan Allah SWT, otak menggambarkan keagungan Allah SWT tersebut tanpa batas. Saat membaca surat al-Fatihah ayat 7 yang menyebut “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah SWT”, otak terbayang para sahabat Nabi SAW yang utama, para ulama yang shalih, para pemimpin yang adil, dan seterusnya. Oleh karena itu, hal terpenting dari shalat khusyu’ adalah pemahaman bacaan-bacaan shalat.

B. Pelaksanaan Shalat
Pelaksanaan shalat dimulai dari takbir (membaca Alloohu Akbar = Allah Maha Besar) dan diakhiri dengan salam (membaca assalaamu’alaikum warohmatullooh). Sebelum masuk pelaksanaan shalat, Pelaku Shalat terlebih dahulu mengambil posisi berdiri dengan menghadapkan jari-jari kaki lurus ke kiblat. Berdiri dengan kepala tertunduk adalah salah satu bentuk penghormatan yang bertumpu pada kekuatan kaki. Dalam berdiri ini, diupayakan posisi santai, tidak menekan sama sekali. Pikiran juga terlebih dahulu dikosongkan dengan kesadaran tentang waktu shalat, fungsi shalat, dan posisi Pelaku Shalat di hadapan Allah SWT sebagaimana penjelasan di atas. Agar tidak keliru dalam mengucapkan niat, Pelaku Shalat perlu mengingat: bentuk shalat apakah yang akan dilaksanakan. Jika semua persiapan dianggap cukup, maka Pelaku Shalat langsung mengambil nafas lebih dalam lalu membaca takbir.
Dalam bacaan takbir (takbiratul ihram), Pelaku Shalat mengangkat kedua tangan lebih tinggi hingga dada membusung dengan mengembangkan kedua telapak tangan yang dihadapkan pada kiblat. Ujung jari jempol disentuhkan pada ujung telinga. Gerakan takbir tersebut dapat melenturkan syaraf paru-paru yang terdapat dalam ruas tulang belakang (Yusuf Amin, 2007: 41). Dalam mengangkat kedua tangan ini, dilakukan dengan pelan-pelan penuh perasaan. Artinya, Pelaku Shalat merasakan gerakan tangan yang terangkat. Bersamaan dengan itu, Pelaku Shalat membaca Alloohu Akbar yang diiringi dengan niat shalat dalam hati. Dalam kitab Safiinatun Najaa (Salim bin Samir al-Hadlrami, t.t.: 58-59) dinyatakan bahwa shalat fardlu menuntut maksud, penentuan, dan kefardluan dari shalat, sehingga bacaan niatnya yang terpendek adalah ushollii fardla .......... (sebutkan nama sholat). Jika shalatnya sunnah yang ditentukan waktunya atau karena adanya sebab, maka cukup dengan maksud dan penentuan. Bacaan niatnya adalah ushollii sunatan ..............(sebutkan nama shalat sunnahnya).
Selesai mengangkat kedua tangan yang diiringi niat, kedua tangan tersebut diletakkan di bawah susu dan di atas pusar (Abu Dawud, 1994: I: 289: no. 759; al-Turmudzi, 2005: 288: no. 252) dengan posisi sedekap, yakni tangan kanan mencengkeram kuat pergelangan tangan kiri. Bersedekap yang demikian ini bisa membantu menghilangkan pengapuran tubuh (Yusuf Amin, 2007: 53). Inilah tekanan saat posisi berdiri. Melalui sedekap, Pelaku Shalat juga diingatkan oleh kematiannya yang juga bersedekap. Dalam posisi ini, Pelaku Shalat merasakan dirinya dekat di hadapan Allah SWT. Jangankan suaranya yang lirih, suara hatinya pun bisa didengar Allah SWT. Dengan keadaan ini, Pelaku Shalat segera mengambil nafas yang lebih dalam lalu membaca doa iftitah sebagai berikut. Pelaku Shalat sebaiknya memahami, merenungkan, dan meresapi makna-maknanya.
“Inni wajjahtu wajhiya (sungguh, aku hadapkan wajahku) lil ladzi fathoros samaawaati wal ardli (kepada Allah yang menciptakan banyak langit dan bumi) haniifan muslimaa (sebagai orang yang berpegang teguh pada Islam dan orang yang pasrah kepada Kehendak Allah SWT) wamaa ana minal musyrikiin (aku bukan termasuk golongan orang-orang yang menyekutukan Allah SWT). Inna sholaatii (sesungguhnya sholatku) wanusukii (ibadahku) wamahyaaya (kehidupanku) wamamaatii (dan kematianku) lillaahi robbil ‘aalamiin (untuk Allah Yang Mengatur semua alam). Laa syariika lahuu (tidak ada sekutu apapun bagi-Nya) wabidzaalika umirtu (karena itu, aku diperintahkan) wa ana minal muslimiin (aku termasuk golongan orang-orang muslim)”. (Muslim, 1988: I: 345: no. 771; Abu Dawud, 1994: I: 289: no. 860; al-Nasa’i, 2005: I: 142: no. 894; al-Turmudzi, 2005: V: 266: no. 3432)
Lalu, Pelaku Shalat membaca ta’awwudz (Abu Dawud, 1994: I: 291: no. 764; al-Turmudzi, 2005: I: 275: no. 242; al-Nasa’i, 2005: I: 135: no. 881) dengan suara lirih, “a’uudzu billaahi (aku memohon perlindungan kepada Allah SWT) minasy syaithoonir rojiim (dari syetan yang terkutuk)”. Saat membacanya, Pelaku Shalat harus meluapkan kebencian dan permusuhan kepada syetan seraya berharap pertolongan Allah, agar syetan dijauhkan dari diri Pelaku Shalat.
Selanjutnya, Pelaku Shalat membaca surat al-Fatihah. Sebelum membaca surat al-Fatihah, Pelaku Shalat terlebih dahulu mengambil nafas lebih dalam. Dalam hal ini, Pelaku Shalat harus memperhatikan bacaan surat al-Fatihah dengan benar, selain memahami, merenungkan, dan meresapi makna-maknanya.
“Bis-mil-laa-hir-roh-maa-nir-rohiim (dengan Nama Allah SWT Yang melimpahkan sedikit kasih sayang yang dapat dirasakan oleh semua makhluk sekaligus menganugerahkan banyak kasih sayang hanya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman). Al-ham-dulil-laa-hirob-bil-‘aa-lamiin (semua pujian milik Allah SWT dan layak diperuntukkan kepada-Nya, karena hanya Allah SWT Yang Mengatur semua alam). Ar-roh-maa-nir-rohiim (Allah Yang Melimpahkan sedikit kasih sayang yang dapat dirasakan oleh semua makhluk sekaligus menganugerahkan banyak kasih sayang hanya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman kelak di akherat). Maa-likiyau-mid-diin (Allah Maha Pemilik Hari Kiamat sekaligus Maha Raja Yang Memutuskan). Iyyaa-kana’-buduwaiy-yaa-kanas-ta’iin (hanya kepada-Mu, Ya Allah, aku menyembah dan beribadah. Hanya kepada-Mu, ya Allah, aku memohon pertolongan-Mu). Ih-dinash-shiroo-thol-mus-taqiim (antarkan aku pada jalan maupun cara hidup yang benar nan lurus sesuai dengan ridlo-Mu). Shiroo-thol-ladzii-an-‘am-ta’alai-him (yakni jalan hidup orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat iman, ilmu, amal, ikhlas dalam mengabdi kepada-Mu). Ghoi-ril-magh-dluu-bi’alai-him-waladl-dlool-liin (bukan jalan hidup orang-orang yang Engkau benci karena melawan orang-orang shaleh maupun jalan hidup orang-orang sesat akibat kebodohan mereka dalam menjalankan agama mereka). Aammiin (terimalah permohonanku, wahai Tuhanku).
Meski membaca surat dalam al-Qur’an setelah bacaan surat al-Fatihah dinilai anjuran (sunnah), namun Pelaku Shalat lebih baik membacanya. Pelaku Shalat akan memahami komunikasi dialogis saat membaca ayat-ayat al-Qur’an, karena al-Qur’an merupakan firman Allah SWT. Boleh jadi Pelaku Shalat akan mendapatkan hidayah dari ayat-ayat al-Qur’an yang dibacanya. Tentu saja, Pelaku Shalat harus memahami makna setiap ayat dalam surat yang dibacanya.
Setelah surat terbaca, Pelaku Shalat mengangkat tangan sebagaimana takbir di muka sambil merasakan gerakan pengangkatan tangan. Saat mengangkat tangan langsung turun menuju posisi ruku’, Pelaku Shalat mengucapkan, “Alloohu Akbar (Allah Maha Besar)”. Sekali lagi, Pelaku Shalat perlu bergerak agak pelan, agar ruhnya dapat merasakan gerakan tubuhnya. Dalam posisi ruku’, kedua tangan Pelaku Shalat memegang dan menekan kedua lututnya. Dengan tekanan ini, kepala dan punggung Pelaku Shalat terjulur ke depan hingga tulang punggungnya lurus. Demikian pula, kedua kakinya diupayakan lurus hingga terasa regangannya. Gambaran orang yang sedang ruku’ sama dengan segitiga siku-siku: kaki tegak lurus ke atas dan badan lurus ke depan. Posisi ini tertekan pada lutut. Pelaku Shalat memberi penghormatan kepada Allah SWT yang terasa berada di hadapannya. Pelaku Shalat sebaiknya mengambil nafas yang panjang sebelum membaca doa ruku’. Bacaan doa sholat ketika ruku’ adalah sebagai berikut, “subhaana robbiyal ‘azhiim wa bihamdihi (Maha Suci Engkau, Wahai Tuhanku Yang Maha Agung dan Maha Terpuji). (Abu Dawud, 1994: I: 230: no. 870; Ibnu Majah, 2004: I: 283: no. 888). Karena merasakan kedekatan dengan Allah SWT, doa ini dibaca secara lirih. Doa ini dibaca minimal tiga kali. Jika Pelaku Shalat ingin menambahnya, maka ia dianjurkan pada hitungan ganjil, misalnya: lima kali, tujuh kali, dan seterusnya. Dalam doa ini, Pelaku Shalat menyadari bahwa dirinya demikian lemah, kecil, dan hina di hadapan Allah SWT. Sebagai penyucian Nama Allah, Pelaku Shalat meyakini bahwa Allah SWT tidak kecil dan tidak pula lemah. Allah Maha Agung, sehingga tidak ada satupun makhluk yang bisa menolak Kehendak-Nya. Maka, Allah SWT sangat layak dipuji.
Sehabis ruku’, Pelaku Shalat bangun dengan mengangkat kedua tangan seperti saat takbir pertama, yakni menghadapkan telapak tangan pada arah kiblat dengan menyentuhkan ujung jari jempol pada ujung telinga bagian bawah. Gerakan bangun dari ruku’ ini dilakukan secara pelan, agar dapat dirasakan oleh ruh Pelaku Shalat. Selama gerakan ini, Pelaku Shalat mengucapkan doa: sami’allahu liman hamidah (semoga Allah SWT meridloi siapapun yang memuji-Nya). Gerakan ini berakhir hingga posisi Pelaku Shalat dalam keadaan i’itidal, yaitu posisi berdiri yang lurus hingga membentuk angka satu. Dengan kepala tertunduk, Pelaku Shalat merasakan kehadiran Allah SWT di hadapannya yang sangat dekat, sehingga doa juga dibaca lirih. Posisi i’tidal ini juga mengandalkan kekuatan kaki. Artinya, keseimbangan tubuh merupakan anugerah bagi Pelaku Shalat yang disadari saat melaksanakan shalat. Betapa banyak orang lain yang tidak bisa berdiri, apalagi berjalan. Dengan kekuatan kaki, Pelaku Shalat mendapatkan pengalaman dari berbagai tempat. Karena itu, pujian kepada Allah SWT sangat layak diucapkan oleh Pelaku Shalat. Dalam kondisi yang santai ini, Pelaku Shalat membaca doa: robbanaa lakal hamdu mil`us samaawaati wal ardl wamil’a maa syi`ta min syai`in ba`du (Tuhanku, segala pujian untuk-Mu. Pujian ini telah memenuhi semua langit, bumi, dan apapun yang Engkau kehendaki sesudahnya). (Muslim, 1988: I: 218-219: no. 476; Abu Dawud, 1994: I: 320: no. 846; al-Turmudzi, 2005: I: 299: no. 266; al-Nasa`i, 2005: I: 212: no. 1062; Ibnu Majah, 2004: I: 280: no. 878). Saat membaca doa ini, Pelaku Shalat terbayang keagungan Kerajaan Allah SWT. Pendengaran Pelaku Shalat merasakan suara pujian-pujian dari segala penjuru yang menggetarkan. Pelaku Shalat juga menyadari bahwa ia tidak layak menerima pujian apapun dari siapapun, karena semua makhluk Allah SWT telah memuji Allah SWT. Karenanya, Pelaku Shalat juga tidak berupaya mencari pujian. Hanya ridla Allah SWT semata yang manjadi tujuannya. Pada Shalat Shubuh, ada doa Qunut setelah i’tidal (al-Turmudzi, 2005: I: 411: no. 401; Ibnu Majah, 2004: I: 371: no. 1183). Namun demikian, tanpa Qunut juga dibenarkan (al-Turmudzi, 2005: I: 412: no. 402). Karenanya, hal ini tidak perlu diperpanjang.
Kemudian, Pelaku Shalat turun untuk melaksanakan sujud. Dalam gerakan turun ini, mula-mula Pelaku Shalat menurunkan kedua lututnya ke tanah terlebih dahulu secara pelan, supaya otak kanannya bisa merasakannya. Berikutnya, Pelaku Shalat menurunkan kedua tangannya dengan menghadapkan jari-jari tangan ke arah kiblat (Abu Dawud, 1994: I: 317-218: no. 838). Posisi sujud menjadi sempurna saat dahi Pelaku Shalat turun ke tanah, sehingga anggota tubuh Pelaku Shalat yang menyentuh tanah ada tujuh anggota, yaitu dahi, kedua tepak tangan, kedua lutut, dan jari-jari kaki dari kedua kaki. Posisi sujud menekankan bagian dahi kepala. ia ditekan dengan injakan kedua kaki dan kedua tangan yang kuat. Semakin tertekan lama, semakin baik. Dahi mewakili muka dan otak. Identitas manusia hanya bisa ditelusuri dari mukanya, sedangkan otak menunjukkan pemikirannya. Dahi terletak di antara muka dan otak yang ditutupi batok kepala. Selain itu, sujud membuat aliran darah mengalir ke kepala, padahal hampir semua kegiatan manusia membuat darah mengalir deras dari kepala ke kaki. Karena besarnya hikmah sujud, para ulama menyukai sujud yang lebih lama. Hanya saja, Pelaku Shalat tidak diperkenankan membaca ayat al-Qur’an saat sujud. Doa saat sujud adalah “subhaana robbiyal a’laa wa bihamdihi” (Maha Suci Engkau, Wahai Tuhanku Yang Maha Tinggi dan Maha Terpuji). (Abu Dawud, 1994: I: 230: no. 870; Ibnu Majah, 2004: I: 283: no. 888). Seperti doa ruku’, doa sujud ini juga dibaca setidaknya tiga kali. Penambahannya juga mengikuti hitungan ganjil. Dalam doa ini, terkandung makna posisi Pelaku Shalat sebagai hamba Allah SWT yang rendah di hadapannya. Kepala yang menjadi simbol kesombongan manusia diturunkan hingga mencapai tanah di hadapan Allah SWT. Muka yang menjadi kebanggaan juga dibenamkan, hingga orang lain tidak bisa mengetahui muka orang yang sedang sujud. Kepasrahan Pelaku Shalat saat sujud seperti tawanan perang yang akan dibunuh. Pelaku Shalat menunjukkan kepasrahannya kepada Allah SWT. Apapun yang dilakukan Allah SWT atas Pelaku Shalat merupakan anugerah, meskipun terlihat penderitaan. Pelaku Shalat menyucikan nama Allah SWT dari segala kekurangan. Pelaku Shalat berbaik sangka bahwa demikian ini Kehendak Allah SWT yang terbaik untuk diri Pelaku Shalat. Atas sifat Allah Yang Maha Luhur ini, semua pujian sangat patut dipersembahkan kepada-Nya.
Usai sujud, Pelaku Shalat melakukan duduk iftirosy, yakni duduk dengan meletakkan kaki kiri di bawah pantat, sementara kaki kanan menginjakkan jari-jari kaki ke tanah. Semua jari-jari ini diupayakan menginjak seluruhnya. Tangan Pelaku Shalat diletakkan di atas paha dengan menghadapkan jari-jari ke arah kiblat. Pelaku Shalat mengatur duduk ini pelan-pelan: mula-mula membenahi posisi kaki, lalu kedua tangannya. Dalam duduk ini, tekanan terasa pada jari-jari kaki kanan yang diinjakkan di atas tanah. Setelah posisi duduk dirasakan telah sempurna, Pelaku Shalat mengambil nafas yang dalam, lalu memanjatkan doa. Agar Pelaku Shalat memahami dan mengerti apa yang dimohonkannya, Pelaku Shalat perlu mencerna makna doa iftirasy terlebih dahulu. Inilah doa yang dimaksud.
“Rabbighfirlii (Wahai Tuhanku, tutupilah dosa-dosaku dan aib-aibku), warhamnii (perhatikanlah diriku dengan kasih sayang-Mu), wajburnii (gantilah apa yang telah hilang dariku), warfa’nii (angkatlah derajatku di sisi-Mu) warzuqnii (limpahkan kekuatan ekonomi dan kekuatan agama untukku), wahdinii (antarkan dan bimbinglah aku menuju ridlo-Mu), wa’aafinii (sehatkanlah aku dan sembuhkanlah aku dari berbagai penyakit), wa’fu ‘annii (hapuskanlah semua dosa-dosa dan kesalahanku). (Abu Dawud, 1994: I: 332: no. 850; al-Turmudzi, 2005: 312: no. 850I: Ibnu Majah, 2004: I: 286: no. 898)
Semua keinginan manusia telah terkumpul dalam doa di atas. Betapa bahagianya seseorang yang senantiasa sehat, keluarganya sehat, pengikutnya hormat, ekonominya tidak tersendat, pengetahuannya padat, imannya kuat, kepada Allah SWT taat, dalam kebaikan hingga akhir hayat, di alam kubur mendapatkan nikmat, di Hari Kiamat selamat, masuk sorga dengan rahmat. Sesungguhnya, semua bacaan dalam shalat bernuansa pujian kepada Allah SWT. Doa permohonan hanya terbaca di surat al-Fatihah ayat 6, doa iftirosy ini, dan doa di akhir Tahiyyat Akhir yang hanya sebagai anjuran (sunnah). Oleh karena itu, Pelaku Shalat harus sabar untuk tidak tergesa-gesa melakukan sujud yang kedua setelah duduk iftirosy.
Sujud kedua sama dengan sujud pertama, baik dari segi gerakan maupun bacaan. Hanya saja, saat hendak berdiri dari sujud kedua, Pelaku Shalat terlebih dahulu duduk sebentar (duduk istirohah) sebagaimana duduk iftirasy, lalu melanjutkan berdiri dengan menyentuhkan telapak tangan ke tanah untuk menahan badan. Upaya ini bisa dilakukan secara pelan, karena memerlukan sedikit tenaga untuk mengangkat badan. Tentu saja, perasaan harus dilibatkan untuk merasakan nikmat gerak badan.
Apabila sujud kedua dilanjutkan dengan tahiyyat akhir, maka Pelaku Shalat melakukan gerakan duduk. Posisi duduk pada tahiyyat akhir (duduk tawarruk) tidak sama dengan duduk iftirosy. Dalam duduk tahiyyat akhir, Pelaku Shalat meletakkan pantatnya ke tanah, kaki kirinya menahan kaki kanan, sementara kaki kanan bertumpu pada jari-jari kaki yang menginjak tanah. Telapak tangan kiri Pelaku Shalat juga diletakkan di atas paha dengan menghadapkan semua jari-jarinya ke arah kiblat, sedangkan telapak tangan kanannya menggenggam untuk mempersiapkan jari telunjuk yang akan menunjuk arah kiblat saat membaca “illallooh” pada kalimat syahadat pertama dari bacaan tahiyyat (Muhammad bin Qosim al-Ghazzi, t.t.: 15). Posisi ini juga menekankan pada jari-jari kaki sebelah kanan. Sebelum membaca doa tahiyyat, Pelaku Shalat terlebih dahulu mengambil nafas panjang dan dalam seraya berkeyakinan bahwa Allah SWT seakan-akan berada di depannya. Inilah doa tahiyyat akhir yang maknanya harus dipahami, diresapi, dan direnungkan oleh Pelaku Shalat.
“At-taahiyyaatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatulillaah (penghormatan yang suci dan shalat yang terbaik dipersembahkan untuk Allah SWT); as-salaamu ‘alaika ayyuhannabiyyu warohmatulloohi wabarokaatuh (semoga keselamatan, kasih-sayang, dan kenikmatan dari Allah SWT untuk paduka, wahai Nabi Muhammad SAW); assalaamu’alainaa wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin (semoga pula keselamatan untuk kami dan para hamba-hamba Allah SWT yang shaleh di langit maupun bumi [dalam hadits Imam Muslim (1988: I: 188: no. 402) disebutkan bahwa keadaan ini merupakan komunikasi antara Pelaku Shalat dengan hamba-hamba Allah yang shaleh, baik yang telah meninggal maupun masih hidup, di bumi mapun di langit]); asyhadu anlaailaahaillallooh (aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah); waasyhadu annamuhammadar rosulullooh (dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah); alloohumma, sholli ‘ala Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad (Ya Allah, anugerahkan rahmat buat Nabi Muahammad SAW dan keluarganya)”. (Muslim, 1988: I: 189: no. 403; Abu Dawud, 1994: I: 368: no. 974; al-Turmudzi, 2005: I: 315-316: no. 290; al-Nasa`i, 2005: I: 285: no. 1170).
Bacaan doa di atas dapat dibaca pada tahiyyat awal. Untuk tahiyyat akhir, bacaan doa tersebut ditambah kalimat sebagai berikut.
“Kamaa shollaita ‘alaa Ibroohiim wa’alaa aali Ibroohiim (sebagaimana Engkau anugerahkan rahmat untuk Nabi Ibrahim AS dan keluarganya) wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad (anugerahkanlah keberkahan kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya) kamaa baarokta ‘alaa ibroohiim wa ‘alaa aali ibroohiim (sebagaimana Engkau anugerahkan keberkahan kepada Nabi Ibrahim AS dan keluarganya) fil ‘aalamiin, innaka hamiidum majiid (di seluruh alam, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Agung)” (Muslim, 1988: I: 191-192: no. 405; Abu Dawud, 1994: I: 369-370: no. 976; al-Nasa`i, 2005: II: 46: no. 1281)
Sebelum mengucapkan salam, hendaknya Pelaku Shalat berdoa sesuai yang diajarkan oleh Nabi SAW. Inilah doa tersebut yang oleh sebagian ulama dianggap wajib, agar selama dari fitnah yang bisa menjerumuskan iman.
“Alloohumma, innii a’uudzubika min ‘adzaabi jahannam (Ya Allah, sungguh aku mohon perlindungan kepada-Mu dari siksa neraka Jahannam) wa min ‘adzaabil qobri (dan dari siksa kubur), wamin fitnatil mahyaaya wal mamaati (dan dari fitnah medan kehidupan dan fitnah medan kematian), wamin fitnatil masiihid dajjaal (dan dari fitnah Dajjal Sang Penguasa Kejahatan), waminal ma`tsami wal maghromi (dan dari jeratan dosa dan hutang)”. (Muslim, 1988: I: 263: no. 589; Abu Dawud, 1994: I: 335; no. 880; al-Nasa`i, 2005: II: 57: no. 1305)
Akhirnya, Pelaku Shalat mengakhiri shalatnya dengan bacaan salam. Salam pertama dibaca sambil menengok ke kanan dengan lurus hingga pipi Pelaku Shalat terlihat jelas dari belakang. Demikian pula, gerakan yang sama saat menengok sebelah kiri, yakni membaca salam kedua dan menengok lurus. Dengan kata lain, Pelaku Shalat menegok arah kanan dan kiri semaksimal mungkin. Tengokan inilah tekanan dalam gerakan salam. Bacaan salam pertama dan kedua adalah sama, yaitu “assalaamu’alaikum warohmatulloohibarokaatuh”(segala keselamatan, kasih-sayang, dan keberkahan dari Allah semoga terlimpah kepada kalian). (Abu Dawud, 1994: I: 376: no. 996; al-Turmudzi, 2005: I: 319: no. 295; al-Nasa`i, 2005: II: 62: no. 1315; Ibnu Majah, 2004: I: 293: no. 916).


C. Kegiatan Setelah Pelaksanaan Shalat
Setelah shalat dilaksanakan dengan sempurna, Pelaku Shalat langsung membaca doa-doa. Pada prinsipnya, doa dan dzikir dibaca sebanyak mungkin dan dalam keadaan apapun. Berbeda dengan shalat yang harus dilakukan dengan pelaksanaan yang terbaik, meski dengan bacaan yang sederhana. Al-Qur’an menuntut dzikir sebanyak-banyaknya (wadzkurullooha katsiiran) dan pelaksanaan kegiatan sebaik-baiknya (wa’maluu ‘amalan shoolihan). Meski Nabi SAW memberi tuntunan doa-doa setelah shalat, namun doa-doa lain juga bisa dibaca oleh Pelaku Shalat selama dibenarkan oleh Syari’at.

D. Penutup
Tuntunan shalat ini hanya merupakan usaha menuju ibadah yang berkualitas. Kualitas ibadah ritual tidak hanya dilihat dari sisi keikhlasan, tetapi juga memperhatikan tuntunan Nabi SAW. Dengan shalat yang berkualitas sebagaimana tehnis di atas, kita dapat menemukan fungsi shalat tidak hanya sebagai ibadah, tetapi juga sebagai cara menjaga kesehatan jasmani dan rohani. Tidak hanya itu, shalat juga bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Singkatnya, apa yang telah menjadi perintah Allah SWT yang diatur secara terperinci pasti mengandung rahasia hikmah yang tidak terhitung. Untuk itu, tulisan singkat ini harus dibaca terus-menerus, dihayati, dipraktekkan, lalu dirasakan hasilnya. Jika Pelaku Shalat merasakan hasil yang positif dalam hidupnya, ia dianjurkan untuk mengajarkan pengalamannya kepada orang lain. Tentu saja, ia tidak boleh mengabaikan tuntunan Syari’at.

KANDUNGAN SHOLAT
PENJELASAN
MANFAAT
Olah raga tubuh


Relaksasi otot


Meditasi

Mencegah naik-turunnya hormon kortisaol sebagai indikator stres
Relaksasi Kesadaran Indera
Relaksasi menuju alam bawah sadar yang mengendalikan dan menyelaraskan fungsi tubuh
Memompa darah ke seluruh tubuh, mengendalikan pernapasan dan pencernaan; serta menghilangkan imsonia (sulit tidur), depresi, dan kecemasan.
Katarsis

Semua keluhan tersalurkan kepada Allah dan tidak digeluti perasaan bersalah
Auto-sugesti

Optimis
Pembentuk kepribadian

Disiplin waktu, bekerja keras, mencintai kebersihan, cinta damai, dan berkata baik
NIAT SEBAGAI MOTIVASI


سَبْعُ شَرَائِطٍ أَتَتْ فِيْ نِيَّةِ * تَكْفِي لِمَنْ حَوَى لـَهَا بِلَا وَسَنْ

حَقِيْقَةٌ حُكْمٌ مَحَلّ ٌ وَزَمَنْ * كَيْفِيَّة ٌ شَرْط ٌ وَمَقـْصُودٌ حَسَنْ

Tujuh Syarat berlaku dalam niat
Cukup bagi orang yang melakukannya secara tepat
Hukum, tempat, waktu, hakekat
Cara, tujuan baik, dan syarat

Syekh Abu ’Abd al-Mu’thi Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi (t.t.: 20) mengutip sya’ir di atas dalam kitabnya, Syarh Kaasyifah al-Sajaa ’alaa Safiinah al-Najaa. Syair dengan nada Bahar Rojaz (mustaf’ilun 6x) ini diperselisihkan penciptanya. Ada yang mengatakan Ibnu Hajar al-’Asqalani sebagai penciptanya, ada pula yang berpendapat bahwa sya’ir itu diciptakan oleh al-Tattai. Sya’ir di atas menjelaskan tentang tujuh komponen niat. Pertama, hakekat niat adalah menghendaki sesuatu seraya bersama dengan pelaksanaannya. Niat seiring dengan perbuatan, sedangkan ’azam mendahului perbuatan. Kedua, hukum niat adalah kewajiban menurut madzhab Syafi’i; anjuran bagi madzhab Hanafi. Ketiga, tempatnya berada di dalam hati. Meski demikian, ucapan lisan hanya anjuran, agar terhindar dari kesalahan tujuan. Keempat, niat dilaksanakan saat awal pekerjaan, yakni gerakan pertama dari suatu pekerjaan. Kelima, tata cara niat terkait dengan jenis pekerjaan yang dituju. Cara niat dalam shalat berbeda dengan niat dalam puasa. Keenam, syarat niat adalah Islam, dewasa, mengerti pekerjaan yang diniati, ada kepastian, dan tidak ada halangan. Ketujuh, mengandung maksud yang baik. Niat tidak diperhitungkan dalam kejahatan dan kemaksiatan. Niat untuk melakukan kejahatan tidak dihitung dosa hingga kejahatan itu terlaksana. Namun, niat untuk kebaikan mendapatkan pahala, apalagi pelaksanaan perbuatannya.
Niat dalam ibadah merupakan hasil ijtihad. Tidak ada hadits secara khusus yang menunjukkan niat dalam ibadah. Para ulama mendasarkannya pada hadits ’Umar bin Khathab RA yang bernilai hadits ahad shahih, yakni ada seorang periwayat dalam salah satu tingkatan –di hadits ini, ’Umar sendirian dalam tingkat sahabat- sedangkan periwayat lain setelahnya lebih banyak dan terdiri dari orang-orang terpercaya. Hadits ini menunjuk pada semua perbuatan. Selain itu, hadits tersebut mengemukakan bahwa niat seseorang mempengaruhi hasil pekerjaannya. Inilah hadist yang dimaksud.
إنما الأعمال بالنيات وإنما لامرئ ما نوى
”Sesungguhnya semua amal terkait dengan niatnya dan setiap orang memiliki niat...” (Muslim, 1988: II: 223: no. 155).

Menurut Madzhab Hanafi, hadits di atas dipahami dengan ”kesempurnaan perbuatan terkait dengan niatnya”. Ibadah tanpa niat masih tetap sah, meski kurang sempurna. Hukum niat ini adalah anjuran (manduub). Bagi ulama Madzhab Syafi’i, suatu perbuatan dianggap sah bila disertai niat. Karenanya, niat menjadi suatu rukun dalam ibadah ritual. Sikap terbaik dalam perbedaan pendapat ini adalah memilih niat daripada meninggalkannya, sehingga kedua madzhab tersebut tidak mempermasalahkannya (al-khuruuj min al-khilaaf mustahab=dianjurkan untuk keluar dari perselisihan para ulama). Dengan niat, suatu perbuatan dapat dibedakan antara perbuatan ibadah dan bukan ibadah, meski memiliki gerakan sama. Di samping itu, secara psikologis, niat memberikan kemantapan tersendiri dalam beribadah.
Dalam kamus Bahasa Arab al-Munawwir (Ahmad Warson al-Munawwir, 1997: 1479), niat berasal dari kata nawaa-yanwii-niyatan. Kata ini memiliki pengembangan ragam arti, antara lain: bermaksud, berniat, menuju, menjaga, melindungi, berpindah, pergi jauh, menjatuhkan, memenuhi, dan menentang. Arti-arti ini menunjukkan peranan niat yang tidak hanya memperteguh amal perbuatan, tetapi juga mengawal perbuatan hingga selesai. Niat harus diucapkan dalam hati, walaupun ia bisa disertakan dengan ucapan lisan. Untuk mencapai hati perlu ada pemikiran yang mendalam. Ada perhitungan yang masak. Pikiran harus dibebaskan dari segala sesuatu yang bisa merusak niat. Demikian ini dapat dilihat dari larangan memutuskan shalat di tengah pelaksanaannya. Banyak hal yang mempengaruhi seeorang untuk memutuskan shalatnya, seperti keraguan, kebutuhan mendesak, dan gangguan dari luar. Islam mengecam perbuatan yang membuat orang yang sedang shalat merasa terganggu, misalnya berjalan melewati depannya atau menggodanya dengan canda tawa.
Untuk menghilangkan keraguan, solusinya adalah menetapkan keyakinan. Nabi SAW memberikan cara dengan memutuskan pelaksanaan sesuatu yang diragukan (da’ maa yuriibuk ilaa maa laa yuriibuk=tinggalkan hal yang meragukanmu menuju hal yang tidak meragukanmu). Jika seseorang ragu tentang jumlah rekaat antara tiga dan empat rakaat, maka keputusannya adalah tiga rakaat, sehingga ia bisa melaksanakan satu rakaat dengan disertai sujud sahwi, yaitu sujud karena lupa (membaca: subhaana man laa yanam walaa yashuu = Maha Suci Dzat Yang Tidak Tidur dan Tidak Lupa). Dari hadits ini, para ulama membuat kaedah fikih: ”Pada asalnya, tidak adanya sesuatu” (al-ashlu al-’adamu). Maksudnya, keraguan itu disikapi dengan meniadakan apa yang telah diragukannya.
Selain keraguan, kebutuhan yang mendesak juga mempengaruhi niat. Seseorang dianjurkan makan terlebih dahulu jika perutnya lapar saat hendak shalat; atau ia perlu tidur sebentur –manakala waktu shalat masih memungkinkan- jika masih dalam keadaan mengantuk berat. Tidak hanya itu, pekerjaan yang masih menjadi beban pikiran saat shalat harus dituntaskan terlebih dahulu, agar kekhusyukan shalat bisa maksimal. Kita bisa saja bersiap diri dalam melaksanakan shalat, namun di tengah shalat kemungkinan ada gangguan yang tidak bisa dihindari kecuali melakukan gerakan bukan shalat. Sebagai contoh, ketika seseorang sedang melangsungkan pelaksanaan shalat, tiba-tiba ia dikejutkan oleh bahaya binatang berbisa. Dalam keadaan seperti ini ia bisa pindah tempat tanpa berbicara sepatah kata apapun, lalu di tempat yang aman ia bisa melanjutkan shalatnya.

Analisa Niat Shalat
Dalam manajemen, perencanaan strategis menentukan arah pekerjaan ke depan. Ia bisa memprediksi peluang, hambatan, dan gangguan. Ia juga dapat menentukan bentuk pekerjaan, volume kerja, masa kerja, sasaran kerja, tujuan, dampak, target, pembeayaan, dan sebagainya. Perencanaan strategis ini bisa menjadi cemin dari konsep niat. Untuk lebih mudahnya, kita bisa menganalisis ucapan niat shalat fardlu yang diajarkan oleh para ulama ahli Fikih. Misalnya, niat Shalat Dhuhur diucapkan sebagai berikut.
أُصَلِي فـَرْضَ الّـظُهْرِ أَرْبَعَ رَكَعَةٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً مَـْأمُوْمًا لِلهِ تَعَالَى
“Aku menjalankan Shalat Fardlu Dhuhur dengan empat rakaat seraya menghadap kiblat sebagai pelaksanaan tunai dalam keadaan makmum karena semata-mata Allah SWT”
Berdasarkan kalimat niat di atas, ada beberapa unsur perencanaan strategis.
1. Pelaksana pekerjaan. Kata “Aku” tidak hanya mengandung unsur pelaku, melainkan pula kesengajaan pelaku. Kesadaran ini penting untuk memenuhi syarat tanggungan-jawab. “Aku” juga menunjukkan pelaku secara langsung, tanpa perwakilan. Meskipun Anda melaksanakan shalat secara berjamaah, Anda tetap diminta untuk mengucapkan ”Aku”, tidak ”Kami”. Shalat adalah tanggung-jawab pribadi. Tidak ada sistem perwakilan dalam shalat.
2. Jenis pekerjaan. Ada banyak gerakan yang sama, namun bebrbeda namanya. Olah raga dan shalat mempunyai kesamaan dalam menggerakkan tubuh. Senam Yoga yang menekankan konsentrasi sama dengan shalat yang mengfokuskan ketenangan atau khusyu’. Shalat bukan olah raga maupun senam Yoga. Ini bisa dibedakan dengan niat. Para ahli Fikih menyebut gabungan antara pelaku dan jenis pekerjaannya dengan sebutan al-qashd (memiliki maksud atau tujuan). Sebutan ini menunjuk suatu kesengajan dalam berbuat. Inti dari niat adalah kesengajaan yang mengandung tuntutan tanggung-jawab.
3. Status pekerjaan. Status menentukan kualitas dan prioritas. Dalam kaedah Fikih disebutkan bahwa status kewajiban lebih utama daripada status anjuran (al-fardlu afdlal min al-nafl). Ketika jamaah shalat wajib sedang dilaksanakan, kita tidak diperkenankan untuk melakukan shalat Sunnah, tetapi langsung mengikuti shalat wajib tersebut. Wajib mendahulukan hal yang diwajibkan daripada hal yang dianjurkan. Para ulama telah menggariskan prioritas secara hirarkhis sebagai berikut: wajib individu (fardlu ‘ayn), wajib kolektif (fardlu kifayah), anjuran pelaksanaan yang ditekankan (sunnah muakkad), anjuran pelaksanaan secara datar (sunnah), kebolehan antara melaksanakan dan meninggalkan (mubah), anjuran untuk meninggalkan (makruh), anjuran meninggalkan yang ditekankan (makruh tahrim), larangan melaksanakan (haram).
4. Nama atau bentuk pekerjaan. Masing-masing pekerjaan memiliki tata cara tersendiri. Berdasarkan tata cara ini, suatu pekerjaan diberi nama. Setiap nama berikut tata caranya bisa mengandung ragam nama dan tata cara masing-masing. Hanya saja nama dan tata cara yang terakhir tidak bisa lepas dari keterkaitan dengan nama dan tata cara yang pertama. Dalam pelaksanaan ibadah shalat, termuat beberapa doa yang diucapkan oleh lisan, dipikirkan oleh otak, dan dirasakan oleh jiwa. Untuk itu, nama shalat lebih tepat, karena secara bahasa ia berarti doa. Shalat itu bermacam-macam sesuai dengan ketentuan Syari’at Islam. Setiap macam shalat memiliki nama yang berbeda sesuai dengan target yang dikehendaki. Shalat Zhuhur, misalnya, ditargetkan untuk memenuhi kewajiban waktu Zhuhur, yakni dimulai dari hilangnya bayangan karena matahari tepat berada di atas dan berakhir hingga pada saat panjang bayangan sama dengan pemilik bayangan. Nama Zhuhur mencerminkan waktu zhuhur tersebut yang secara bahasa berarti terang, tampak, muncul, dan lahir (Ahmad Warson al-Munawwir, 1997: 883). Jadi, nama mencerminkan bentuk pekerjaaannya. Karena alasan ini, penyebutan nama pekerjaan dalam niat tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana wajib menyebutkan pelaku pekerjaan, jenis pekerjaan, dan status pekerjaan.
Keempat komponen niat di atas adalah hal yang utama dalam niat shalat. Kesalahan penyebutan bisa merusak pelaksanaan shalat. Komponen lainnya seperti jumlah rakaat, menghadap kiblat, pelaksanaan tunai, sifat shalat, dan tujuan shalat merupakan komponen teknis. Meninggalkan komponen teknis ini tidak membahayakan pelaksanaan shalat. Oleh karena itu, menurut Fikih, niat shalat wajib yang minimal adalah Ushollii fardla ....(sebutkan nama shalatnya); shalat sunnah: Ushollii sunnatan ...... (sebutkan nama shalatnya); niat puasa Ramadhan: nawaitu shouma Ramadhan fardlan; niat puasa sunnah: nawaitu shouma .... (sebutkan nama puasanya); dan seterusnya.
UKURAN IKHLAS
Pada kondisi normal, jumlah hormon kortisol di pagi hari adalah antara 38-690 nmol/liter. Pada tengah malam, antara 69-345 nmol/liter. Orang ikhlas berada dalam kondisi normal. Di luar ukuran ini, seseorang bisa diindikasikan tidak ikhlas karena tertekan.(Prof. DR. Moh. Sholeh)



Niat dan Motivasi
Dalam psikologi, terdapat beberapa istilah yang terkait dengan niat, antara lain: dorongan, keinginan, hasrat, kecenderungan, dan kemauan. Ada perbedaan antara niat dan masing-masing istilah tersebut. Dorongan adalah kekuatan dari dalam yang berlangsung di luar kesadaran, sedangkan niat dilakukan dengan kesadaran. Keinginan ditujukan untuk benda tertentu, sementara niat tidak hanya untuk meraih benda, melainkan melakukan setiap pekerjaan. Hasrat merupakan keinginan tertentu yang dapat diulang-ulang, sedangkan niat bisa digunakan untuk sekali pekerjaan. Kecenderungan adalah hasrat aktif yang menyuruh segera bertindak. Padahal, niat tidak mengandung ketergesaan. Karenanya, niat bisa dikatakan sebagai kemauan, karena antara keduanya memiliki kesamaan sebagai kekuatan yang sadar untuk melakukan sesuatu berdasarkan perasaan dan pikiran. Kemauan meliputi proses motif, perjuangan motif, keputusan, hingga perbuatan kemauan (Agus Sujanto, 1993: 84-86). Dengan demikian, niat lebih dekat dengan konsep motivasi.
Seseorang yang berniat menjalankan ibadah shalat, terlebih dahulu didorong oleh alasan yang kuat, yakni shalat sebagai perintah Allah SWT. Tidak mudah bagi orang yang berniat shalat dengan benar, karena ia dihadapkan pada motif lain selain perintah Allah, seperti pamer, keterpaksaan, dan sebagainya. Dorongan ini menentukan kualitas niat. Boleh jadi seseorang melakukan perbuatan terpuji, namun ia tidak mendapatkan pahala apapun bila keputusan niatnya salah. Keputusan niat ini juga berpengaruh pada ketekunan melakukan perbuatan. Di bawah ini ada sekelumit kisah yang menggambarkan hubungan antara niat dengan hasil akhir suatu perbuatan.

Demi Pujaan Hati
Ada gadis cantik yang menawan hati banyak pemuda Mekkah. Namanya Ummu Qais. Ada seorang pemuda yang jatuh hati padanya dan ingin meminangnya. Cintanya diterima dengan syarat: ia harus mengikuti jejak sang gadis untuk berhijrah ke Madinah bersama Nabi SAW. Demi pujaan hati, pemuda itu menyanggupinya. Begitu sampai di Madinah, kisah asmara ini terdengar Nabi SAW. Oleh Nabi SAW, pemuda itu dijuluki Muhajir Ummi Qais (orang yang berhijrah demi Ummi Qais). Selanjutnya, Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya semua perbuatan terkait dengan niatnya. Sesungguhnya tiap orang memiliki niatnya. Barangsiapa yang berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya juga kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang berhijrah demi keduniaan yang hendak diperolehnya atau gadis yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya” (Hadits riwayat Imam Muslim, 1988: II: 223: nomor 1907).


Dalam kisah di atas, hijrah karena gadis pujaan berbeda dengan hijrah karena Allah SWT. Melalui analisa niat, kita bisa memahami tindakan seseorang yang rela mengorbankan harta dan jiwanya demi tujuan tertentu. Tidak semua perang melawan agresor kaum kafir disebut jihad, kecuali diniatkan untuk menjaga dan memuliakan agama Allah (li i’la-i kalimatillah). Suatu pekerjaan bisa dijalankan dengan kurang semangat bila tidak disertai dengan niat yang kuat. Atas dasar itu, motivasi menjadi perhatian banyak ilmuwan.
Teori motivasi yang paling terkenal adalah teori kebutuhan dari Abraham Maslow. Menurut Maslow, kebutuhan manusia tersusun secara hirarkhis: (1) kecukupan fisiologis, (2) keselamatan dan keamanan, (3) keterlibatan dan hubungan sosial, (4) harga diri, lalu (5) aktualisasi diri. Ketika rumusan Maslow ini berdampak pada keserakahan manusia, ia menyadari kekeliruan piramidanya dan membalik susunannya dengan mengedapankan kebutuhan aktualisasi diri. Artinya, kekosongan makna hidup lebih berbahaya dibanding kekurangan makanan. Tidak sedikit orang yang sehat fisiknya, tetapi justru membunuh dirinya. Sebaliknya, seseorang bisa merasakan kebahagiaan tatkala memahami makna hidup, meski kebutuhan fisiologisnya serba kekurangan. Dengan asumsi ini, Danah Zohar (2005: 78) membuat formula motivasi melalui skala motivasi Ian Marshall sebagai berikut.






MASLOW
MARSHALL
SKOR
PENJELASAN
TINGGI
Pengalaman puncak
Pencerahan
+8
Penyatuan dengan Tuhan
Jiwa Dunia
+7
Kesadaran universal
Pengabdian yang lebih tinggi
+6
Penggilan jiwa pada nilai kebaikan
Aktualisasi diri
Generativitas
+5
Kreatif karena cinta
Penguasaan
+4
Menemukan jati dirinya
Harga diri
Kekuatan dari dalam
+3
Disegani dan dipercaya orang lain
Sosialisasi dan kooperasi
+2
Mudah bergaul dan kerja sama
Eksplorasi
+1
Rasa ingin tahu
RENDAH
Rasa memiliki
Penonjolan diri
-1
Kesombongan
Kemarahan
-2
Iri hati dan dengki
Rasa aman
Keserakahan
-3
Tidak pernah berkecukupan
Rasa takut
-4
Cemas, curiga, merasa terancam
Keresahan
-5
Bingung dan putus asa
Bertahan hidup
Apati
-6
Perasaan tidak berarti
Malu dan rasa bersalah
-7
Menganggap kehadirannya menambah buruk keadaan
Depersonalisasi
-8
Matinya kesadaran
Tabel Skala Motivasi

Tabel di atas dapat diterapkan untuk hubungan sesama manusia, bukan antara manusia dan Tuhannya. Dalam Islam, motivasi hanya dipilah menjadi dua bagian, yaitu motivasi duniawi dan motivasi ukhrawi. Perbuatan apapun yang dimaksudkan untuk kepentingan kehidupan dunia dinamakan motivasi duniawi. Motivasi ini tidak menghasilkan pahala dari Allah SWT, bahkan bisa mendapatkan murka Allah SWT jika perbuatannya termasuk perintah Allah SWT. Pembayaran zakat yang dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan sosialnya dikecam oleh Allah SWT. Justru orang yang menanam pohon karena menghendaki ridlo Allah SWT bisa mendapatkan pahala. Selain ditujukan untuk mencari ridlo Allah SWT maupun pahala-Nya, motivasi ukhrowi juga mensyaratkan suatu perbuatan sebagai bukan termasuk larangan Allah SWT. Meski dimaksudkan untuk membangun masjid, pencurian tidak bisa dikatakan perbuatan ukhrawi. Demi menjaga motivasi ukhrawi ini, terdapat kata “lillahi ta’ala”(karena Allah SWT) dalam ucapan niat. Oleh karena itu, jika dibandingkan dengan tabel skala motivasi di atas, motivasi ukhrowi menempati tingkat pengalaman puncak. Walaupun menjalin hubungan dengan sesama manusia, kepentingan ukhrowi harus diletakkan di atas segalanya. Artinya, motivasi keimanan tidak boleh digantikan motivasi yang lain, seperti keluar dari pekerjaan yang mengancam iman, meski dengan gaji yang sangat tinggi dan fasilitas istimewa lainnya.
Setiap orang akan dihadapkan pada beberapa motif saat hendak melakukan pekerjaan. Sulit baginya untuk memadukan berbagai macam motif, terlebih motif yang saling bertentangan. Kondisi demikian ini menimbulkan konflik motif baginya. Untuk itu, ia harus menentukan satu motif dan meninggalkan motif yang lain. Tentu saja penentuan ini telah didasarkan oleh pertimbangan yang matang. Dalam hal ini, kondisi lingkungan, kepentingan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian seseorang berpengaruh dalam menentukan motif. Semakin sulit menentukan suatu motif, semakin gelisah pula seseorang dalam menjalankan pekerjaannya. Untuk mempermudah penentuan motif, perlu mengutamakan motivasi ukhrawi di atas motivasi duniawi. Berbeda dengan motivasi duniawi yang memiliki banyak ragam, motivasi ukhrowi hanya terfokus pada Allah SWT. Selain itu, motivasi ukhrawi lebih pasti harapannya dibanding motivasi duniawi. Pilihan motivasi ukhrawi ini pun tergantung pada kekuatan iman seseorang. Hanya orang yang bisa mengenal Allah SWT dengan benar dan baik yang bisa menjalankan motivasi ukhrowi.
Apabila motivasi ukhrowi sulit dijangkau, maka motivasi psikhis bisa menggantikannya. Ketika kebutuhan jiwanya terpenuhi, manusia akan membatasi kebutuhan ragawinya serta berbagi dengan orang lain. Dengan demikian, niat memiliki tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah niat untuk Allah; tingkatan kedua adalah niat untuk ruhani manusia; dan tingkatan ketiga adalah niat untuk pemenuhan kebutuhan jasmani manusia.

Niat Kuat Hasilnya Tepat
Materi ataukah ide yang berpengaruh? Pertanyaan ini menjadi perdebatan klasik hingga saat ini. Ketika kita memandang suatu benda pikiran kita menangkap ragam makna yang menyelimuti benda tersebut. Tangkapan ini berbeda pada masing-masing individu. Pikiran individu memberi nama, warna, ukuran, dan sebagainya pada suatu benda atau obyek. Pikiran tersebut bisa sama atau berusaha untuk menyamakan dengan pikiran orang lain. Pengaruh ide ini yang membuat segala hal menjadi berbeda dan tidak pasti. Fisikawan Albert Einstein mengembangkannya dengan menemukan teori relativitas. Cepat bagi orang lain belum tentu cepat menurut kita. Begitu pula, konsep panjang, berat, hijau, dan seterusnya. Saat dikatakan warna biru, kita disusupi pertanyaan: biru yang bagaimana? Terkadang apa yang tampak dari jauh sebagai warna biru, ternyata berwarna bening manakala dilihat dari dekat, seperti warna lautan. Dengan perbedaan ini, masing-masing individu berusaha mempengaruhi idenya kepada orang lain. Individu akan menjadi pemenang bila idenya diikuti oleh orang lain. Semakin banyak orang yang mengikutinya, semakin kuat pula ide tersebut. Ide yang berbeda dengan ide yang kuat akan dinilai salah. Semua orang menyatakan bahwa air adalah benda cair, sehingga siapapun yang berpendapat sebagai benda padat atau gas berarti pendapatnya disalahkan. Oleh karena itu, suatu kebenaran dan kesalahan bersifat relatif. Kesalahan saat ini bisa jadi benar di kemudian hari. Apa yang disalahkan di ujung timur bisa benar di ujung barat. Karena pergolakan dan dinamika ide, Nabi SAW memberi tuntunan doa yang menggerakkan ide menuju kebenaran Allah SAW, agar tidak terlampau jauh dalam kesesatan dan kesalahan. Inilah doa yang diajarkan Nabi SAW tersebut (Imam Muslim, 1988: II: 555, No. 2653.). “Allahumma, mushorrifal qulub shorrif qulubana ‘ala tho’atika” (Ya Allah, Wahai Tuhan Yang Mengubah Ide. Ubahlah ide kami untuk selalu patuh kepada-Mu)
Ide membuat subyektifitas. Meski demikian, ide harus diarahkan pada obyektifitas. Bagi orang yang percaya pada obyektifitas, benda atau materi justru menjadi penentu. Benda bersifat tetap, tidak bergerak dan tidak berubah. Buku yang berada di depan Anda memiliki sifat yang tetap dengan ukuran yang tidak berubah. Namun, manakala buku tersebut tersentuh oleh ide manusia, maka obyektivitasnya berubah menjadi subyektifitas. Selain itu, ruang dan waktu juga ikut mempengaruhi sifat obyektifitas suatu benda. Hari ini buku tersebut masih bagus, namun dalam beberapa hari kemudian, buku mengalami perubahan, meski tidak disentuh maupun dipindahkan. Dengan demikian, asumsi obyektifitas materi sangat lemah. Tidak ada sesuatu yang benar-benar abadi dalam keajegannya. Semuanya pasti mengalami perubahan, baik disentuh maupun tidak disentuh oleh manusia. Pengecualian hal ini adalah Allah Yang Maha Abadi. Karenanya, niat berarti upaya awal dalam mempengaruhi segala sesuatu. Untuk memperbaiki sesuatu, langkah awal adalah niat kuat untuk memperbaiki. Dari niat ini, manusia bisa merubah dan mempengaruhi alam. Dengan niat yang kuat, manusia juga bisa berbuat kerusakan atau melakukan kebaikan. Dengan dasar ini, niat berbuat baik bisa mendapatkan pahala, meski perbuatannya belum dilaksanakan. Akan tetapi, niat berbuat jahat belum ditulis dosa selama perbuatannya belum dilaksanakan (Muslim, 1988: II: 75: N0. 203).
Niat semakin kuat bila ia diucapkan dengan hati dan lisan serta diulang-ulang. Menurut teori Labelling, kata-kata yang dijadikan panggilan untuk seseorang dan sering diucapkan untuk orang tersebut bisa mempengaruhi perilakunya. Jika kita sering memuji “cantik” kepada seorang gadis, maka gadis tersebut merasa dirinya cantik hingga berusaha tampil secantik mungkin. Kepada anak-anak, kita sering memanggilnya dengan “anak pintar” agar kelak ia benar-benar menjadi orang yang pandai. Teori Labelling ini bisa diterapkan untuk niat sebagai upaya memperkokoh komitmen. Pekerjaan yang dimulai dengan niat yang kuat tidak mudah untuk berhenti hingga tujuannya tercapai. Ketika niat dimaksudkan untuk mendapatkan pahala dan ridha Allah, maka motivasi yang lain tidak mudah menggantinya bila niat diucapkan berulang kali.
Herbert Benson dari Unversitas Harvard pernah meneliti aspek meditasi para murid Dalai Lama di Tibet. Hasilnya mencengangkan. Menurutnya, pengulangan kata-kata yang dianggap suci melalui meditasi bisa berpengaruh pada aspek fisik manusia. Tubuh jadi ringan hingga bisa terbang. Badan mendapatkan kekuatan energi yang bisa menyembuhkan segala penyakit. Kata-kata tersebut laksana petuah yang memiliki kekuatan, padahal ide yang mengolah kata-kata itulah yang bermakna. Jika hal ini diterapkan untuk ucapan niat, maka pengucapan niat yang diulang secara mendalam tidak sekedar memberikan motivasi, tetapi juga kekuatan batin yang memberikan semangat kerja. Bila Anda mendapatkan tugas tertentu yang harus diselesaikan dalam waktu yang ditentukan, Anda memerlukan motivasi yang bisa mengeluarkan dan menggerakkan potensi kemampuan Anda. Sebelum memulai tugas, Anda perlu merumuskan niat yang tepat. Dalam hal ini, niat ibadah kepada Allah lebih baik daripada niat yang lain. Motivasi akherat lebih utama dibanding motivasi dunia. Setelah itu, Anda menancapkan ucapan niat dalam hati dan pikiran. Dalam durasi waktu tertentu, niat itu perlu diulangi kembali agar fokus dan konsentrasi tujuan tugas tetap terjaga.
“Kekuatan niat dapat tampak dari perhatian seseorang pada hal-hal yang paling kecil”, tulis Syekh al-Samarqandi (t.t.: 174) dalam Tanbih al-Ghafilin (Peringatan Bagi Orang-orang yang Lupa). Orang yang bekerja dengan semangat yang tinggi akan terfokus pada pekerjaannya. Ia menjalankannya dengan ikhlas dan penun cinta. Ia enggan menerima pekerjaan lain selama pekerjaan yang sedang ditanganinya belum selesai. Ia siap menghadapi segala tantangan dan rintangannya. Ia tidak saja melihat hal-hal yang besar, tetapi juga tidak mengabaikan hal-hal yang remeh. Persoalan kecil akan menjadi besar bila tidak segera diatasi. Ketika wawancara saat lamaran kerja, tidak sedikit pelamar mengemukakan niatnya untuk bersungguh-sungguh bekerja. Namun, niat kesungguhan tersebut dapat diamati hal-hal terkecil yang terkait dengan jenis pekerjaannya. Pelamaran guru sekolah tidak boleh dilihat dari kecakapan bicara dan ketajaman pemikirannya saja, namun cara duduk, cara berpakaian, cara masuk ruangan, dan etiket lain yang terkait dengan guru tidak boleh diremehkan. Tidak sedikit orang yang telah diterima dalam suatu pekerjaan akhirnya mencari pekerjaan lainnya. Rangkap jabatan dan pekerjaan ganda ini merupakan akibat dari kelemahan niat seseorang. Di awal niatnya bisa kuat. Akan tetapi, karena tidak ada pembaruan dan pengulangan, niatnya menjadi lemah. Motivator ulung sering mengingatkan kliennya pada motivasi awal. Penasehat perkawinan juga sering menekankan niat awal saat menjadi pengantin baru.