Selasa, Juli 28, 2009

SHALAT JAMAAH
PERSPEKTIF PSIKOLOGI SOSIAL

Muslimin muslimat
Moggo jamaah sholat
Ganjaranipun, pitulikur derajat
(Wahai umat Islam, laki-laki maupun perempuan,
marilah melaksanakan shalat secara bersama,
karena pahalanya 27 derajat)

Syair di atas merupakan pujian yang dilantunkan oleh sebagian umat Islam Jawa saat menjelang pelaksanaan shalat berjamaah. Pujian ini dirumuskan oleh para kyai yang diambil dari hadits Nabi SAW bahwa shalat jamaah unggul 27 derajat dibanding shalat sendirian. Penjelasan mengenai derajat ini umumnya dipahami sebagai kelipatan pahala. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa hal demikian juga bisa dipahami sebagai keunggulan hikmah dari shalat jamaah, sebagaimana penjelasan Syekh Zain al-Din bin ‘Abd al-‘Aziz al-Malibari (t.t.), penulis kitab Fath al-Mu’in. Kita harus mengungkap keunggulan ini, agar semakin tekun melaksanakan shalat jamaah. Di samping itu, banyaknya keunggulan hikmah shalat jamaah mendorong Nabi SAW untuk mengancam pembakaran kepada siapapun yang meninggalkan shalat jamaah. Dengan ancaman ini, para ulama –kecuali Madzhab Hanbali yang menghukumi wajib- memutuskan hukum shalat jamaah sebagai sunnah muakkad (anjuran yang sangat kuat). Shalat jamaah berlaku fardlu kifayah di masjid yang biasanya digunakan untuk ibadah shalat Juma’at. Jika sebuah masjid yang tidak mengadakan shalat wajib secara jamaah, maka semua masyarakat di sekitarnya harus menanggung dosa. Jika ada di antara mereka yang menjalankannya, maka dosa tersebut tidak tercatat. Penting dikemukakan bahwa shalat jamaah minimal dikerjakan oleh dua orang: satu sebagai imam (pemimpin) dan satunya sebagai makmum (pengikut). Dengan aturan ini, tidak sulit untuk menggalang shalat jamaah. Untuk itu, rahasia shalat jamaah perlu diungkapkan. Rahasianya dapat ditelusuri dari aturan fikih shalat jamaah.

Tata Cara Shalat Jamaah
Dalam kitab Safinah al-Naja, Syekh Salim bin Samir al-Hadlrami (t.t.: 84-88) mencatat 11 ketentuan jamaah, yaitu:
1. Makmum yakin bahwa shalatnya imam tidak batal.
2. Makmum juga yakin bahwa imam tidak menjalankan shalat qadla’.
3. Imam yang diikuti makmum tidak sebagai makmum orang lain.
4. Imam bukan termasuk orang yang lebih awam dalam ilmu agama Islam dibanding makmum.
5. Posisi shalat makmun berada di belakang imam.
6. Makmum mengetahui perpindahan gerakan shalat imam.
7. Imam dan makmum berada dalam satu masjid atau satu tempat yang jarak antara imam dan makmum kurang lebih 300 meter.
8. Mampu mengucapkan niat berjamaah atau menjadi makmum.
9. Shalat yang dikerjakan imam dan makmum sama bentuk dan rakaatnya.
10. Makmum tetap mengikuti gerakan imam dalam melakukan atau meninggalkan hal yang sunnah.
11. Makmum mengikuti imam yang bergerak lebih dahulu.
Ketentuan di atas merupakan rumusan fikih madhab Syafi’i. Ketentuan ini lebih menekankan pada tugas makmum. Dalam beberapa hadits tentang shalat jamaah, terdapat anjuran lain yang ditujukan kepada imam maupun makmum, antara lain:
1. Hendaknya ada pembagian tugas antara imam, petugas adzan dan iqamat, serta makmum.
2. Petugas adzan dan iqamat bertugas menjaga waktu shalat, imam sebagai pemimpin shalat, sementara makmum merupakan pengikut imam dalam shalat.
3. Petugas adzan dan iqamat diamanatkan kepada orang yang rajin menjaga waktu shalat serta memiliki suara merdu, keras, dan panjang.
4. Makmum hendaknya menunggu imam yang sudah ditentukan. Begitu imam telah muncul dan memerintahkan untuk iqamat, segera petugas iqamat menjalankan perintah imam.
5. Barisan shalat jamaah telah diatur, yaitu bagian paling depan adalah laki-laki dewasa, lalu dibelakngnya bagian perempuan.
6. Hendaknya imam meneliti kelurusan dan kerapatan barisan makmum. Ia bisa membuat instruksi: “Rapatkan barisan dan luruskan, barisan depan yang masih kosong harap diisi oleh barisan di belakangnya!”.
7. Imam harus memahami kondisi makmum, sehingga lamanya waktu shalat tidak berlebihan. Karenanya, ia lebih baik mengamati makmum dahulu sebelum menghadap kiblat.
8. Imam yang salah bisa dingatkan dengan bacaan “subhanallah” oleh makmum laki-laki atau menepukkan punggung tangan kanan ke telapak tangan kiri oleh makmum perempuan.
9. Usai mengucapkan salam sebagai tanda berakhirnya shalat, imam hendaknya menuntun dzikir bersama makmum dengan menghadap makmum.
10. Bagi makmum masbuq (makmum yang tertinggal dan mendapatkan sisa shalat imam), langsung mengikuti shalat imam setelah terlebih dahulu membaca takbiratul ihram (bacaan “Allahu Akbar” pertama). Jika ia mengikuti sebelum imam bangun dari ruku’, maka ia mendapatkan kesempurnaan satu rakaat. Namun, jika ia mengikuti imam saat bangun dari ruku’ atau sesudahnya, maka ia belum mendapatkan kesempurnaan rakaat. Demikian pula, ia masih bisa mengikuti imam selama belum mendengar bacaan salam dari imam, tepatnya pada kata “’alaikum” dari “assalamu ‘alaikum warahmatullah”. (al-Malibari, t.t.: 35)
Ketentuan di atas merupakan standar ideal, yakni ditemukan masyarakat yang peduli dengan shalat jamaah. Akan tetapi, banyak kasus di beberapa masjid atau mushalla yang menyelenggarakan shalat jamaah dengan beberapa orang saja, bahkan petugas adzan dan iqamat merangkap sebagai imam. Kualitas imam pun juga jauh dari ideal, karena bukan orang yang memahami bacaan al-Qur’an dengan benar. Meski demikian, fikih masih membenarkan, terutama bagi orang yang diangkat menjadi imam. Jika umat Islam berkumpul dan hendak melaksanakan shalat jamaah, maka orang yang berhak menjadi imam adalah orang yang diangkat imam oleh pengurus ta’mir masjid (al-Syairazi, t.t.: I: 99). Tentu dalam mengagkat imam masjid, pengurus ta’mir masjid harus memperhatikan kualitas bacaan al-Qur’an serta ilmu agamanya.

Tinjauan Psikologi
Situasi kebersamaan dalam shalat jamaah memberikan aspek terapeutik, yakni terapi kelompok. Tujuan utama terapi ini adalah menimbulkan suasana kebersamaan yang harmonis, sehingga komunikasi yang beku bisa cair. Melalui terapi kelompok, masing-masing individu saling menatap, saling berbicara, dan saling menyentuh. Pendek kata, semua bentuk komunikasi verbal maupun non-verbal terlibat dalam suasana kebersamaan. Oleh karena itu, terapi ini bisa menghindarkan seseorang dari perasaan keterasingan.
Tidak sedikit gangguan jiwa yang diakibatkan oleh perasaan keterasingan. Keadaan demikian ini bukan berarti terasing secara fisik, melainkan terasing secara psikhis. Hubungan yang menyakitkan terjadi bila dua orang sahabat yang duduk berdekatan, tetapi masing-masing enggan berkomunikasi. Kita merasa gembira bila teman yang jauh menyapa kita lewat telepon. Namun, kita lebih bahagia bila kita berkumpul dan berkomunikasi dengan teman-teman. Tentu gelak tawa mengiringi perkumpulan ini. Tidak hanya itu, beban hidup terasa ringan, bahkan hilang oleh persahabatan.
Situasi dalam shalat jamaah ada dua bentuk, yaitu bersama orang tidak saling mengenal dan bersama orang yang saling mengenal.
Jamaah Sekunder
Pelaksanaan shalat jamaah yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak saling mengenal dinamakan jamaah dalam lingkungan sosial sekunder. Bentuk ini sering terjadi di luar penyelenggaraan shalat jamaah awal waktu atau di masjid-masjid yang dekat dengan tempat-tempat publik, seperti mushalla mall, mushalla pasar, masjid besar dekat alun-alun, dan sebagainya. Karena pengenalan masing-masing belum mendalam, maka pemilihan imam tidak bisa menggunakan ukuran keilmuan atau kepribadian, melainkan ukuran umur. Orang yang dipandang dan diamati lebih tua harus dijadikan imam. Tentu saja, pilihan ini harus mendapatkan kesepakatan bersama di antara orang-orang yang hendak menunaikan shalat jamaah.
Dalam hal ini, situasi kebersamaan (togethersness situation) melekat pada kejiwaan masing-masing jamaah. Ada peniruan serentak dengan mengikuti irama imam. Nabi SAW sendiri menuturkan kepada para sahabat, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat gerakan shalatku”. Peniruan atau imitasi ini dilakukan oleh makmum dengan melihat gerakan shalat imam. Ketika ada kekeliruan dalam gerakan imam, lalu ada di antara makmum yang mengingatkan dengan bacaan tasbih, maka makmum yang lain –biasanya tidak mengetahui kekeliruan imam- juga meniru membaca tasbih.
Dalam imitasi, kritik individu hampir tidak terjadi. Selain itu, individu juga ingin memberikan penilaian yang sama dengan yang lain (W.A. Gerungan, 1991: 82). Individu lebih mengutamakan kehendak bersama daripada kehendak sendiri. Untuk itu, dalam shalat jamaah, individu sulit mewujudkan kritik atas ulah makmum yang mula-mula memberi peringatan. Imam yang diberi peringatan juga akan mengikuti makmum. Apa jadinya bila salah satu makmum salah dalam memberi peringatan, lalu diikuti oleh makmum yang lain, sementara imam dengan penuh keraguan juga mengikuti peringatan tersebut. Inilah kondisi psikologis shalat jamaah yang belum diantisipasi oleh fikih.
Kasus situasi kebersamaan dalam shalat jamaah yang lain adalah makmum tidak bisa memperotes amal sunnah yang dikerjakan imam. Meski makmum berbeda pandangan masalah doa Qunut saat shalat Shubuh dengan imam, otoritas pelaksanaannya tetap dalam kendali imam. Makmum yang biasanya shalat dengan cepat harus mengikuti shalat imam yang agak lambat. Makmum juga seringkali dikejutkan oleh cara shalat makmum lain yang berbeda madzhab. Seluruh perbedaan dalam shalat tersebut tidak diberikan ruang untuk berdialog. Setelah pelaksanaan shalat, ruang dialog itu terbuka lebar. Mengingat porsi imitasi besar peranannya dalam shalat jamaah, maka imam harus dipilih dari orang-orang yang mempunyai kelebihan dibanding makmumnya.
Makmum yang mengetahui kemampuan bacaan dan keilmuan imam akan semakin kuat dalam imitasi. Demikian pula, makmum yang tidak mengenal imamnya juga memperkuat imitasi dengan ukuran usia. Makmum yang lebih muda akan lebih percaya pada imam yang lebih tua. Kuatnya imitasi ini mempertinggi nilai shalat jamaah. Artinya, meski orang-orang yang melaksanakan shalat jamaah terdiri dari masyarakat awam, baik makmum maupun imamnya, namun karena imam yang lebih tua usianya, sehingga lebih dipercaya para makmum, maka nilai shalat jamaahnya lebih tinggi dibanding imam dari orang awam dan ada di antara makmum yang memiliki kelebihan bacaan maupun keilmuan, karena ada makmum yang tidak sepenuhnya percaya pada imam. M. Arifin (1993: 115) menyebut kekuatan imitasi karena pengaruh tokoh model.
Jamaah Primer
Pelaksanaan shalat jamaah yang dilakukan oleh orang-orang yang saling mengenal satu sama lain disebut jamaah dalam lingkungan sosial yang primer. Bentuk ini terjadi pada shalat jamaah di lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan kantor, bahkan dengan sesama rekan atau teman. Karenanya, kualifikasi keilmuan dan kepribadian dikenal amat baik, sehingga dalam menentukan imam, standar ideal bisa terwujud. Meski di kantor seseorang menjabat sebagai kepala, namun dalam hal shalat jamaah, ia harus rela mengikuti imam yang lebih baik bacaan al-Qur’an dan pengetahuan agamanya, sekalipun hanya seorang bawahan yang paling rendah.
Di masyarakat yang masih mempertahankan tradisi, sesepuh masyarakat biasanya lebih menguasai tata cara keagamaan dibanding anggota masyarakat yang lain. Di masjid-masjid pedesaan masih berlaku sesepuh masyarakat yang menjadi ketua ta’mir masjid sekaligus imam shalat jamaah di masjidnya. Seorang pendatang –betapapun alimnya- masih belum dipercaya menjadi imam selama masih ada sesepuh masyarakat. Bentuk shalat jamaah ini lebih tercermin pada konsep kelompok sosial.
Setidaknya, ada empat ciri dari kelompok sosial (W.A. Gerungan, 1991: 88-89).
1. Terdapat dorongan atau motif yang sama antara anggota masyarakat.
2. Reaksi-reaksi dan kecakapan yang berlainan antara individu, sehingga masing-masing saling mempengaruhi. Mereka yang bisa mempengaruhi orang lain kepada tujuannya menjadi pimpinan dari kelompok sosial.
3. Adanya pembagian tugas dan tanggung-jawab di antara anggota kelompok. Dari tugas-tugas ini, dapat diketahui kedudukan masing-masing anggota beserta peranannya. Ada yang menjadi bawahan dan ada pula sebagai atasan.
4. Untuk melangsungkan hubungan kelompok, dirumuskan norma-norma yang harus dipatuhi oleh setiap anggota.
Dengan ciri-ciri di atas, sikap dan tindakan individu tidak bebas, melainkan terikat oleh norma dan struktur kelompok sosialnya. Dalam Sosiologi, hal ini disebut Fungsional-Struktur. Pengaruhnya pada pelaksanaan shalat jamaah adalah sebagai berikut.
1. Kelompok sosial bisa menentukan pembiasaan shalat jamaah. Ada keluarga muslim yang sangat memperhatikan shalat jamaah, sehingga anggota keluarga dikoordinasikan sedemikian rupa agar pekerjaan masing-masing harus ditinggalkan sementara untuk melaksanakan shalat jamaah. Aturan ini juga bisa diberlakukan oleh manajemen perkantoran. Karenanya, rapat atau diskusi bisa diberhentikan sejenak untuk menjalankan shalat jamaah. Namun demikian, tidak sedikit kelompok sosial yang mengabaikan shalat jamaah, sehingga individu tidak perlu terikat.
2. Kelompok sosial bisa menentukan waktu pelaksanaan shalat jamaah. Umumnya, shalat jamaah dibiasakan pada awal waktu. Akan tetapi, banyak kelompok sosial juga yang menyepakati pelaksanaannya tidak pada awal waktu.
3. Kelompok sosial dapat menentukan posisi imam shalat jamaah. Seorang ayah bisa tidak tergantikan sebagai imam, kecuali ia telah memberikan peluang sebagai imam kepada putranya yang telah dewasa dan memenuhi syarat imam ideal. Karenanya, tidak ada pergantian imam shalat jamaah dalam kelompok sosial. Orang yang telah dipercaya menjadi imam, sulit menjadi makmum, kecuali ada alasan yang kuat.
4. Kelompok sosial bisa membuat aturan shalat jamaah dan menyeragamkan anggota untuk mengikuti aturan tersebut. Jika dalam suatu keluarga lebih dominan mengikuti madzhab Syafi’i, maka anggota yang berbeda madzhab terpaksa mengikutinya dalam shalat jamaah. Di tengah masyarakat muslim, tidak jarang ditemukan dua masjid atau lebih. Setiap masjid memiliki kelompok sosial yang bermadzhab sama. Tentu saja, masing-masing kelompok ini sulit disatukan.
5. Kelompok sosial bisa menambahkan amalan sunnah yang mengiringi shalat jamaah, baik sebelum maupun sesudahnya. Ada masjid yang mengumandangkan pujian-pujian sebelum pelaksanaan shalat jamaah. Ada juga masyarakat yang menghendaki adanya kuliah tujuh menit (Kultum) setelah shalat jamaah tertentu. Pendek kata, selama ada kesepakatan bersama, shalat jamaah bisa dihiasi kegiatan yang berguna.
Pengaruh kelompok sosial di atas tentu menjadikan shalat jamaah lebih efektif dalam membentuk kepribadian individu. Interaksinya lebih dari sekedar imitasi, tetapi justru lebih mendalam, yakni simpati. Individu yang berperilaku buruk bisa dengan mudah berubah menjadi baik manakala ia bersama orang-orang yang berperilaku baik. Orang yang telah terikat kebaikan oleh suatu kelompok sosial sulit melakukan tindakan yang tidak terpuji. Pertimbangan tindakan seseorang tidak hanya dari sisi kepentingan individu, namun juga sisi reputasi kelompok sosialnya. Dengan demikian, kelompok sosial bisa mempengaruhi tindakan individu, sedangkan kekuatan kelompok sosial terletak pada solidaritasnya. Shalat jamaah mempererat solidaritas itu, bahkan mengarahkan pada ketakwaan, keimanan, dan kebaikan. Kelompok sosial yang memperhatikan shalat jamaah besar kemungkinan memiliki anggota yang berkepribadian unggul.

6 komentar:

  1. badrul ibad
    dakwah kpi 1A
    B01209032

    diatas ada tulisan orang yang berbuat dosa dan diketahui oleh orang laen maka segaklanya akan hancur...!! trus yang saya tanyakan apakah orang tersbt tdak akan bsa dpercaya lagi stlah dy tobat dg sungguh2 da berjanji tidak akan mengulangi lag!! dan apakah masyarakat tdak akan pera menerimannya lagi padhl ktka dhubungkan dg sfat than yang maha pengasih! itu gamana pendapat bapat! allah aja memberi ampunan pada umatnya yang taubat masa' manusia ngga'..? dan apa yang harus dilakukan olh dy spy bs dtrima lagi di tengah2 masyarakat.

    BalasHapus
  2. badrul ibad
    kpi 1A

    lbih utama mana orang perpuan jamaah d masjid dar pada sholat sendirian d rmah?? pdhl ktka nanti jamaah ke masjid tambah akan mengundang fitnah dan d rmah tidak? itu gmana? apa yang terbaek bwt perenpuan spt itu??

    dan pertanyaan yang awal tadi salah tempat...!! itu bwt sub yang laen!! tanks..

    BalasHapus
  3. wahyu nur anisah kpi 1A.
    Sholat berjama'ah sangat di butuhkan untuk pengembangan kepribadian masyarakat, spesifiknya pada masyarakat yg beragama Islam.Tak dapat dielak-kan generasi muda zaman ini meremehkan sholat berjama'ah.Contoh yg bisa di jadikan bukti adl betapa sedikitnya anak muda yg mengikuti sholat berjama'ah di masjid maupun mushola.Padahal menurut bpk, sholat berjama'ah akan mencetak kepribadian yg unggul bahkan dapat menciptakan suasana kebersamaan yg harmonis.
    Dan bagi saya sholat berjama'ah adl salah satu media paling mudah untuk menambah konsentrasi dlm mencapai kekhusuk-an antara hamba dg Tuhannya.Tapi sangat disayangkan tidak ada generasi muda tak mampu memahaminya.terimakasih

    BalasHapus
  4. Dengan sholat berjama'ah kita dpt menjalin kebersamaan antar jamaah yang lainnya,sholat berjamah pahalanya lebih besar dibandingkan kita sholat sendiri dirumah,tapi itu semua harus didasari oleh niat mencari ridho allah apabila dari pd itu kta lakukan maka insya allah ridho allah akan bersama kita,jika kita mengerjakan sholat berjamah bukan karena allah mk janganlah mengharapkan keridhoan allah & pahala 27 derajat itu akan bersama kita. Janganlah mengharap pujian dari orang lain mengharaplah pujian dari allah swt. KPI:1 NIM.B31209004

    BalasHapus
  5. dengan sholat berjamaah kita dapat menjalin kebersaan antar jamaah lain,sholat berjamaah pahalanya lebih besar dibandingkan kita sholat dirumah,tapi itu semua harus didasari oleh niat mencari ridho allah,apabila dari pada itu kita lakukan maka insya allah ridho allah akan besrta kita,kita kita mengerjkan sholat berjamaah bukan karena allah mk janganlah mengharap ridho allah & pahala 27 derajat itu besrta kita. Janganlah mengharap pujian dari orang lain,mengharaplah pujian hanya dari allah. KPI 1 ESTU FITRI R. NIM.B31209004

    BalasHapus
  6. dengan sholat berjmaah kita dapat menjalin kebersamaan antar jamaah yang lainnya,sholat berjamaah pahalanya lebih besar dibandingkan dengan sholat sendiri dirumah,tapiitu semua harus didasari oleh niat mencari keridhoan allah akan bersama kita. Jika kita mengerjakan sholat ber jamaah bukan karena allah maka janganlah berharap ridho allah bersama kita & pahala 27 derajat akan bersama kita.Janganlah mengharap pujian dari orang lain,mengharaplah pujian dari allah swt.KPI:1 NIM:B31209004

    BalasHapus