Selasa, Juli 28, 2009

ADZAN SEBAGAI TERAPI

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah
Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah
Aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah
Aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah
Mari kita melaksanakan sholat
Mari kita melaksanakan sholat
Mari kita menuju kebahagiaan
Mari kita menuju kebahagiaan
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
Tidak ada Tuhan selain Allah

Secara bahasa, adzan berarti memberitahukan (al-i’lam). Dalam kamus, kata adzan yang terbentuk dari tiga huruf: hamzah, dzal, dan nun memiliki pengembangan arti, antara lain: memberi izin, mengerti, mendengarkan, mengingini, mengenai telinga, memberitahu, mulai kering, dan memperingatkan (Ahmad Warson Munawwir, 1997: 15). Dari makna-makna ini, kata adzan lebih mengarah pada aspek komunikasi. Inti dari komunikasi adalah pengiriman lambang dari satu pihak (komunikator) kepada pihak lain (komunikan). Lambang dalam adzan berbentuk dzikir. Secara kronologis, pilihan dzikir ini merupakan pertimbangan terbaik dibanding beberapa alternatif yang diajukan para sahabat. Imam Abu Dawud (1994: I: 198-199) dalam Hadits nomor 498 merekam penentuan adzan sebagai media komunikasi melalui riwayat sahabat ‘Umumah RA dari golongan Anshar sebagai berikut.
“Nabi SAW memiliki keinginan bagaimana cara mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan shalat. Ada suatu pendapat yang diajukan, “Angkatlah bendera saat menjelang pelaksanaan shalat. Jika para sahabat melihatnya, maka satu sama lain saling memberitahu”. Pendapat ini tidak membuat Nabi SAW terkesan. Ada lagi yang mengusulkan terompet. “Itu seperti terompet Yahudi”, kata Ziyad RA. Usulan ini juga kurang menarik bagi Nabi SAW. “Terompet itu berasal dari tradisi kaum Yahudi”, sabda Nabi SAW. Lalu, ada yang menawarkan lonceng kepada Nabi SAW. “Lonceng merupakan tradisi kaum Nashrani”, jawab Nabi SAW. Maka, ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Abdi Rabbih RA segera pulang. Ia memiliki keinginan yang sama dengan Rasulullah SAW. Lalu, ia bermimpi adzan dalam tidurnya. Esok harinya, ia berangkat menuju Rasulullah SAW, menghaturkan salam dan menceritakan mimpinya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saat aku sedang berada antara tidur dan bangun, tiba-tiba ada seseorang yang datang kepadaku. Lalu, orang itu mengajarkan adzan kepadaku”. Sebelum pengalaman ‘Abdullah bin Zaid RA, ‘Umar bin al-Khaththab RA juga pernah mimpi yang sama dengan ‘Abdullah bin Zaid. Hanya saja, ‘Umar menyembunyikannya selama 20 hari. Setelah itu, ‘Umar memberitahukannya kepada Nabi SAW. ‘Umar ditanya oleh Nabi SAW, “Apakah yang menghalangimu untuk menceritakannya kepadaku?”. ‘Umar menjawab, “’Abdullah bin Zaid telah mendahuluiku. Aku pun menjadi malu”. Segera Rasulullah SAW menitahkan, “Wahai Bilal, berdirilah. Perhatikan apa yang diperintahkan ‘Abdullah bin Zaid kepadamu. Setelah itu, laksanakan!”. Bilal pun melaksanakan adzan. [Salah satu perawi Hadits ini, Abu Bisyr, berkomentar: Abu ‘Umair telah menceritakan kepadaku bahwa golongan Anshar menyangka: jika saja ‘Abdullah bin Zaid saat itu tidak sedang sakit, tentu ia dijadikan sebagai petugas adzan oleh Rasulullah SAW]”.
Dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujib, Muhammad bin Qasim al-Ghuzzi mendefinisikan adzan sebagai “Dzikir tertentu yang digunakan untuk memberitahukan mengenai masuknya waktu shalat wajib”. Definisi ini hanya mengarah pada fungsi adzan sebagai media pemberitahuan waktu shalat, padahal adzan juga difungsikan untuk segala hal, antara lain: bacaan untuk bayi yang baru lahir di telinga kanannya, bacaan untuk telinga kanan orang yang telah meninggal dunia, bacaan tanda penghentian perang, bacaan untuk gemuruh bencana alam. Sebagian masyarakat ada yang membuat tradisi membaca adzan untuk orang yang akan berangkat haji. Besarnya manfaat dari adzan ini dapat disimak dari Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (1988: I: 181) dari Jabir SAW, bahwa Nabi SAW bersabda, “Ketika syetan mendengarkan adzan untuk shalat, ia pergi hingga sejauh tempat al-Rauha’(36 kilometer dari kota Madinah)”. Dalam riwayat yang lain, syetan tersebut lari terbirit-birit seakan-akan telah melihat musuhnya. Adzan bisa mengusir syetan. Fungsi utama ini dapat dikembangkan lagi, hingga dapat dinyatakan bahwa adzan bisa digunakan juga sebagai terapi psikologis untuk masalah yang menekan jiwa (stres). Hal ini dapat ditelusuri dari kata-kata bacaan adzan dan maknanya.
Dari bentuk kata-kata bacaan adzan, fungsi terapisnya terletak pada aspek suara. Ada dua sisi menarik dari suara adzan, yaitu suara vokal dan suara konsonan. Suara vokal adzan paling dominan adalah suara “a”. Dalam tulisannya, suara ini berharakat fathah (terbuka) yang berarti membuka mulut saat mengucapkannya. Pengucapan suara “a” lebih ringan dibanding suara vokal lainnya, semacam suara “u”, “i”, “e”, dan “o”. Di samping itu, ada beban yang seakan-akan terlepas saat mengucapkan bunyi “a”. Beban ini semakin ringan manakala bunyi “a” diucapkan dengan keras. Anda menjerit pun selalu mengeraskan suara vokal “a”. Dalam salah satu terapi psikologis, orang yang terbebani masalah yang berat dianjurkan melepaskannya sekuat tenaga. Ada yang memukul suatu benda dengan sekeras-kerasnya; ada yang diminta berteriak hingga melengking dan menjerit; bahkan ada yang diarahkan untuk lari sekencang-kencangnya. Pendek kata, luapan emosi klien harus disalurkan hingga yang bersangkutan mencapai kepuasan batin.
Suara konsonan dari bacaan adzan dapat diperhatikan dari huruf-hurufnya. Dalam bacaan adzan, terdapat banyak huruf-huruf yang memiliki ucapan yang melegakan perasaan, yakni dengan memberikan tekanan lalu melepaskannya saat mengucapkannya. Bunyi huruf-huruf yang menekan diletakkan di awal ucapan, sedangkan bunyi huruf-huruf pelepasan di akhir masing-masing kalimat adzan. Huruf-huruf yang berada di awal ucapan masing-masing kalimat adzan adalah “hamzah” (dalam kata Allah), “hamzah” dimatikan “syin” (dalam kata asyhadu), “ya’” yang ganda (dalam kata hayya), “lam” dibaca panjang (dalam kata Laa). Sifat huruf “hamzah” adalah agak berat dan tidak dapat diucapkan dengan cepat (‘ishmat); tertahannya nafas saat mengucapkan huruf (jahr); menahan suara sejenak lalu melepaskannya secara tiba-tiba bersama udara (syiddah); merenggangnya lidah dari langit-langit lunak (infitah); dan menuturkan huruf dengan menurunkan sebagian besar lidah ke dasar permukaan mulut (istifal). ‘Ishmat, infitah, dan istifal juga menjadi sifat huruf “syin”, selain tersebarnya udara dalam mulut ketika mengucapkannya (tafasysyi), meluncurnya nafas tanpa hambatan saat mengucapkan (hams), dan meluncurnya suara tanpa hambatan saat mengucapkan (rakhawah). Sifat huruf “ya’” juga jahr, ‘ishmat, infitah, istifal, rakhawah, layin, dan khafa. Layin adalah keluarnya suara dengan mudah dan memanjang, sedangkan khafa adalah hilangnya sebagian suara huruf ketika mengucapkannya. Ia menjadi lebih berat ketika dibaca ganda (tasydid). Sifat huruf “lam” adalah istifal, infitah, idzlaq (diucapkan dengan ringan dan cepat karena tempat keluarnya diujung lidah), jahr, inhiraf (beralihnya suatu huruf setelah keluar dari makhrajnya kepada makhraj huruf lain), dan pertengahan antara syiddah dan rakhawah, yakni menyederhanakan suara ketika mengucapkan huruf. Kesimpulannya adalah sebagai berikut.
Meskipun secara umum ucapan awal bacaan adzan memiliki tekanan yang lemah, namun posisi huruf-huruf di atas sebagai huruf yang mati (sukun) atau ganda (tasydid), kecuali huruf “hamzah” yang dimatikan oleh huruf “lam”(dalam kata Allah) atau huruf “lam” yang dipaca panjang. Adanya huruf mati atau ganda bisa menambah beratnya ucapan, terutama huruf yang memiliki sifat kuat. “Al-lah”, “Asy-hadu”, “Hay-ya”, dan “Laa” merupakan bentuk-bentuk ucapan awal pada bacaan adzan. Ucapan-ucapan ini memiliki tekanan yang kuat. Sebagai terapi, tekanan tersebut dapat ditambah kekuatannya dengan konsentrasi pikiran dan perasaan, seakan-akan semua masalah yang menyelimutinya hendak diambil dan akan dikeluarkan. Pengeluaran masalah tersebut melalui bunyi huruf mati yang berada di akhir setiap kalimat adzan.
Di akhir masing-masing kalimat adzan, ada bunyi pelepasan huruf “ra’ dalam kata akbar)”, “ha’ (dalam kata Allah dan al-sholah)”, dan “ĥa’” (dalam kata al-falah)”. Bunyi “bar” -terbentuk dari huruf “ba’” dimatikan dengan huruf “ra’” tebal- dalam kalimat Allahu Akbar mengungkapkan kelegaan dengan menutup bibir secara rapat lalu membukanya dan mengeluarkan suara yang keras. Sifat huruf “ba’” adalah jahr, syiddah, istifal, infitah, idzlaq dan qalqalah, yakni terjadi getaran sewaktu menuturkan huruf yang mati. Karenanya, huruf “ba’” termasuk hruf yang bersifat kuat sedikit lemah. Kita sering melakukan demikian ini dengan mengatakan kata “Bah !”. Orang Barat mengungkapkan kekecewaan dan kekesalan dengan kata “Bullshit”. “Busyet”, kata orang Betawi. Pelepasan huruf “ba’” semakin kuat bila dimatikan dengan huruf “ra’”. Sifat huruf “ra’” adalah jahr, infitah, istifal, idzlaq, inhiraf, pertengahan, dan takrir (bergetarnya ujung lidah saat mengucapkannya). Bunyi konsonan lainnya adalah huruf “ha’”. Sifat bunyi suara huruf ini adalah ‘ishmat, rakhawah, hams, infitah, istifal, dan khafa. Jadi, sifat huruf “ha’” adalah lemah sedikit kuat. Namun, jika huruf ini menjadi mati, maka bunyi yang hidup dikeluarkan melalui tenggorokan, sehingga terasa lega di dada. Demikian pula, huruf “ĥa’” juga mengeluarkan angin yang berada di rongga mulut, sehingga terdengar bunyi yang mendesah. Sifat huruf “ĥa’”adalah hams, rakhawah, ‘ishmat, infitah, dan istifal.
Pengungkapan emosi yang paling aman dan efektif adalah mengeluarkan suara sekeras-kerasnya. Dalam mengucapkan bacaan adzan, kita dianjurkan untuk mengeraskan suara. Tidak hanya itu, adzan sebaiknya dibaca dengan suara yang panjang, merdu, dan berirama. Untuk itu, petugas adzan dipilih dari orang yang memiliki suara terbaik suara emas). Petugas adzan utama Nabi SAW adalah Bilal RA yang memiliki ‘suara emas‘, meski ia pernah menjadi seorang budak. Begitu pula, Ibnu Ummi Maktum RA juga memiliki suara, merdu meskipun kedua matanya tidak bisa melihat.
Dengan sifat suara adzan di atas, ada dua bentuk terapi suara adzan, yaitu suara adzan dari klien dan dan untuk klien. Tentu saja, suara adzan dari klien lebih baik daripada suara adzan yang dibacakan untuk klien, karena klien bisa merasakan bacaan adzan secara langsung. Jika masalah klien sangat berat, maka sebaiknya klien diminta untuk membaca adzan sendiri sekeras-kerasnya. Bila perlu, bacaan adzan dilantunkan dengan irama yang sesuai dengan perasaan klien. Terapi adzan ini tidak cukup sekali, tetapi dilakukan berulang-kali. Mula-mula, klien dibimbing oleh psikolog untuk membaca adzan secara benar. Setelah klien dianggap mampu, ia bisa melakukannya sendiri. Demikian ini merupakan terapi katarsis yang diperkenalkan oleh Sigmund Freud, tokoh psikoanalisa. Terapi katarsis bertujuan untuk menyembuhkan gangguan psikologis (simptom) dengan membebaskan ingatan traumatik yang ditekan. Terapi ini merupakan bentuk solutif dari proses represi (penekanan), yakni proses membuang perasaan yang tidak menyenangkan atau tidak dikehendaki ke dalam alam bawah sadar. Hanya saja, adzan tidak sekedar membuang perasaan yang tidak dikehendaki, tetapi juga mengisi jiwa dengan kesadaran spiritual.
Cara di atas tidak bisa dilakukan untuk klien yang dibacakan suara adzan. Hanya saja, pembacanya harus benar-benar memiliki suara merdu serta mampu mengucapkan bunyi huruf secara fasih. Selain itu, pembaca juga harus memahami kondisi jiwa klien, sehingga lagu adzan yang dilantunkannya sesuai dengan perasaan klien. Agar tidak terganggu oleh suara lain, bunyi terapi adzan yang dibacakan harus masuk di ruang kedap suara. Dalam ruang ini, klien dibiarkan sendiri dalam ruangan yang gelap, tanpa cahaya yang masuk. Dengan keadaan ini, klien bisa memecahkan masalahnya sendiri sesuai dengan makna adzan. Oleh karena itu, terapi adzan bisa semakin efektif bila klien telah memahami makna adzan dengan benar. Klien yang membaca adzan sendiri bisa terpengaruh oleh bunyi sifat huruf, suara keras yang dikeluarkan, lagu yang dilantunkan, reaksi tubuh saat mengambil dan mengeluarkan nafas, dan pengembaraan pikiran dalam menghayati makna bacaan adzan. Melalui bacaan adzan, rintihan dan teriakan ditujukan kepada Allah SWT.
Tanpa disadari, orang yang menjerit secara emosional seringkali mengeluarkan kata-kata celaan, umpatan, dan kekesalan terhadap orang lain maupun diri sendiri. Akibatnya, ia bisa semakin sentimen kepada orang lain atau semakin kurang percaya diri. Kelemahan ini harus diatasi dengan pengungkapan makna hidup hingga mencapai kesadaran tentang dirinya. Makna hidup tersebut dapat diperdalam melalui makna bacaan-bacaan adzan. Bacaan adzan diawali dengan takbir (Allaahu Akbar) dan diakhiri dengan tahlil (Laa ilaaha illallaah). Takbir merupakan ungkapan kemahabesaran Allah SWT, sedangkan tahlil merupakan pengakuan atas ketuhanan Allah SWT. Di antara takbir dan tahlil, ada bacaan dua kalimat syahadat serta perintah penegakan shalat. Dengan demikian, secara global dapat dikemukakan bahwa adzan merupakan peringatan atas identitas diri manusia. Dengan adzan, kita senantiasa diingatkan mengenai siapakah kita sebenarnya dan apa kewajiban kita sesungguhnya. Tidak sedikit manusia yang terpesona manakala mendengarkan suara adzan jika ia benar-benar mendengarkannya dengan penuh penghayatan.
Takbir dapat dikatakan sebagai kesimpulan dari sifat-sifat Allah SWT. Sifat-sifat Allah SWT ini dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sifat yang menyucikan Allah SWT dan sifat yang mengagungkan Allah SWT. Sifat-sifat yang menyucikan Allah SWT dinamakan sifat mustahil, karena sifat-sifat ini merupakan pernyataan pertentangan dengan keadaan Allah SWT yang sesungguhnya, seperti sifat Allah SWT yang berbeda dengan makhluk, sifat Allah SWT yang tidak akan rusak, dan sebagainya. Sifat-sifat ini diungkapkan sebagai bentuk pertentangan atas penilaian makhluk Allah SWT yang durhaka dengan memberikan penghinaan-penghinaan, sebagaimana mereka menyatakan bahwa Allah itu memiliki seorang putra, Allah itu memiliki tempat semayam, dan sebagainya. Keseluruhan sifat mustahil tersebut dapat dinyatakan dengan bacaan tasbih, yakni membaca subhaanallaah (Maha Suci Allah SWT). Setelah kita meyakini atas kesucian Allah SWT, kita kemudian meyakini atas keagungan Allah SWT. Kita tidak akan berhasil mendapatkan keyakinan ini bila kita masih ragu dengan kesucian Allah SWT. Keagungaan Allah SWT memunculkan sifat-sifat yang membuat kita harus memuji-Nya, seperti sifat Allah Yang Maha Kuasa, Allah Maha Dahulu, Allah Maha Kekal, dan sebagainya. Dari sifat-sifat yang Maha Agung ini, Allah SWT memiiliki nama-nama yang baik (al-asma’ al-husna). Dalam berdoa, kita dianjurkan untuk menyertainya dengan salah satu dari nama-nama Allah SWT tersebut. Dengan memahami makna keagungan Allah SWT melalui nama-nama-Nya, kita akan mengucapkan pujian-pujian dengan suatu bacaan yang disebut dengan hamdalah, yakni membaca al-hamdulillah (segala puji hanya milik Allah). Dari tasbih dan hamdalah tersebut, muncul keyakinan bahwa Allah SWT benar-benar Maha Besar. Keyakinan ini kita ungkapkan dengan bacaan takbir, yaitu Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Oleh karena itu, takbir yang diletakkan di awal dan di akhir bacaan adzan merupakan pernyataan tentang Kemahabesaran Allah SWT. Pernyataan ini membawa pemahaman hidup yang sangat luas, sehingga manusia dapat memahami dan menyadari mengenai hakekat dirinya sebagai makhluk Allah SWT. Kesadaran ini menuntun kita untuk membuat pernyataan syahadat.
Dua kalimat syahadat dalam bacaan adzan menunjukkan tentang Islam. Pengungkapan dalam adzan ini tidak hanya sebagai pengakuan pembacanya, tetapi juga sebagai ajakan kepada orang lain, agar segera mengikuti dan melaksanakan ajaran Islam. Kita mengingatkan syahadat melalui bacaan adzan kepada bayi yang baru lahir atau orang yang telah meninggal dunia. Kita menunjukkan identitas keyakinan kita dengan bacaan adzan saat terjadi gemuruh peristiwa alam, seperti petir yang menggelegar, hujan yang sangat deras, dan sebagainya. Di tengah ketakutan yang mendalam, kita sebaiknya menunjukkan keyakinan diri kita melalui bacaan adzan. Begitu pula, bacaan adzan dapat digunakan untuk menambah kepercayaan diri kita ketika hendak melaksanakan tugas yang sangat berat. Kita sangat yakin bahwa manusia yang benar-benar menyatakan dirinya sebagai muslim akan dilindungi Allah SWT.
Penegakan shalat merupakan syarat mutlak memperoleh kebahagiaan. Apabila dikaji lebih mendalam, shalat tidak hanya ibadah ritual yang semata-mata ditujukan kepada Allah SWT, melainkan pula pengolahan rohani dan jasmani manusia. Selain melakukan gerakan tubuh, shalat juga dilaksanakan dengan pikiran dan hati yang tenang (khusyu’). Pelaksanaan shalat juga melibatkan lingkungan yang suci dari najis, tubuh yang suci dari hadats dan najis, kedewasaan (baligh), keimanan (Islam), serta penyesuaian dengan gerakan alam, yakni waktu shalat yang sesuai dengan rotasi bumi dan matahari. Dengan mengerjakan shalat yang benar, manusia bisa mendapatkan kebahagiaan di dunia serta di akherat. Dalam bahasa al-Qur’an, kebahagiaan dunia dinyatakan dengan “tanpa perasaaan takut dan tidak pernah bersedih”(laa khaufun ‘alaihim wa laa hum yahzanuun).
Akhirnya, bacaan adzan ditutup dengan ungkapan yang baik (kalimah thayyibah), yaitu bacaan tahlil. Tahlil merupakan pernyataan tauhid yang menjadi identitas manusia sesungguhnya. Artinya, manusia diciptakan untuk menjalankan misi tauhid. Karenanya, tauhid ini senantiasa menjadi misi abadi yang diingatkan kepada semua manusia. Allah SWT mengingatkan tauhid melalui diutusnya para Rasul. Dalam bacaan adzan, kalimat tauhid ini bisa menjadi kesimpulannya. Oleh karena itu, keyakinan (bacaan takbir), pernyataan (bacaan syahadat), dan pelaksanaan Islam (bacaan iqamah shalah) harus diakhiri dengan kalimat tauhid. Keadaan iman kita tergantung dari akhir hayat kita. Akhir hayat kita tergantung dari bacaan kita yang paling akhir.

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum,
    sekalian absen ya Pak...
    Nama: Rizki Amalia Nur Anwari
    Jurusan : KPI/A
    Semester: 1
    NIM : maaf lupa pak.... hehehe:)

    Pak sekalian tanya,
    Kata orangtua dulu, bahwa setiap perkataan itu juga doa itu benar tidak pak?? Lah kalau setiap perkataan itu doa, dan doa itu mengandung harapan, berarti tidak perlu shalat gitu pak?? Kan sudah lewat tiap kata yang terucap=doa? Ngapain susah2 mau doa n berharap aja pakai shalat???

    Trus pak,
    Kalau aliran Syekh Lemah Brit alias Syekh Siti Jenar itu kan tidak pernah shalat. Karena ia merasa sudah menyatu dengan Tuhan. Tuhan menyatu dengan hambanya. Atau istilahnya Manunggaling Kawula Gusti. Jadi kalau sudah menyatu dengan Tuhan kenapa harus shalat? puasa? dll.
    Kalau yang demikian itu bagaimana, Pak Bandi??

    sekian, matur suwun sanget.
    Pangapunten kalau kebanyakan tanya'.
    Wassalam, Pak...

    BalasHapus