Selasa, Juli 28, 2009

KEDEWASAAN SEBAGAI SYARAT IBADAH

Dari Abdullah bin ‘Umar, katanya: “Rasululloh SAW memeriksa saya ketika perang Uhud, sedang saya baru berumur 14 tahun. Beliau tidak mengizinkan saya untuk ikut berperang. Dan beliau memeriksa saya ketika perang Khandaq, sedang saya telah berumur 15 tahun. Beliau mengizinkan saya untuk ikut berperang” (Muslim, 1988: II: 207: No. 1868).
Tidak ada kegiatan yang melelahkan selain perang. Untuk berperang, seseorang dituntut memiliki fisik yang kuat dan prima, pikiran yang tenang, dan emosi yang stabil. Dalam perang, kemenangan berarti kemuliaan, kehormatan, dan kelangsungan hidup, sementara kekalahan adalah kematian, penghinaan, dan kehancuran peradaban. Dalam Islam, yang menentukan kemenangan dan kekalahan perang bukan hanya faktor fisik dan kelengkapan persenjataan, tetapi yang lebih penting adalah keyakinan dan keteguhan dalam memahami makna perang. Perang terhadap orang kafir yang diyakini jihad oleh para sahabat mendorong keberanian mereka untuk maju: kemenangan atau mati syahid. Bandingkan dengan tentara modern yang mengalami depresi berat ketika perang yang mereka lakukan hanya sebagai kebijakan politik yang salah. Di medan perang, bukan hanya terdengar dentingan pedang, gemuruhnya mesiu, tetapi juga gencarnya informasi dan propaganda yang secara strategis dapat melumpuhkan mental prajurit. Untuk itu, persiapan mental dan kedewasaan berpikir menjadi syarat untuk mengikuti perang.

Kedewasaan Perspektif Psikologi
Dalam melihat kedewasaan dan mental, Nabi SAW. hanya mengukur dengan usia, yakni 15 tahun. Nabi SAW. menolak ‘Abdullah bin ‘Umar untuk mengikuti perang saat ia berumur 14 tahun, dan baru menerimanya saat berusia 15 tahun. Dalam Psikologi Perkembangan, banyak pakar psikologi mengkategorikan anak yang berusia 15 tahun sebagai remaja pubertas dan umur 14 tahun akhir dari masa anak-anak atau pra pubertas. Luella Cole (dalam Bastaman, 1997: 165) membagi masa remaja menjadi empat tahap. Pertama, pra remaja (preedolescence) 11 – 13 tahun (perempuan) dan 13-15 tahun (laki-laki). Kedua, remaja pemula (early edolescence) 13 –15 tahun (perempuan) dan 15 –17 tahun (laki-laki). Ketiga, remaja madya (midle edolescence) 15 –18 tahun (perempuan) dan 17 –19 tahun (laki-laki). Keempat, remaja akhir (late edolescence) 18 – 21 tahun (perempuan) dan 19 –21 tahun (laki-laki).
E. Spranger, seperti dikutip Abu Ahmadi (1991: 88), menyebutkan tiga karakter remaja pubertas, yaitu penemuan aku, pertumbuhan pedoman kehidupan, dan keterlibatan dalam kegiatan kemasyarakatan. Ketiga karakter tersebut merupakan upaya pencarian jati diri remaja yang baru saja melampaui fase anak-anak dan hendak menapak masa dewasa. Fase anak-anak dan dewasa adalah fase yang saling berlawanan, sehingga fase remaja yang menempati di antaranya merupakan fase perkembangan dan belajar. Dilihat dari organ fisik, remaja pubertas mengalami pertumbuhan yang cepat dengan daya intelegensi yang berkembang. Dalam usia ini, rasa ingin tahu remaja lebih besar, sehingga ia lebih aktif berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Puncak kecerdasan umum remaja adalah pada usia 20 tahun dengan mulai memasuki pintu kedewasaan.
Seiring dengan perkembangan daya intelektualnya, remaja pubertas lebih kritis dalam menanggapi masalah. Sikap memberontak dan membantah mulai diapresiasikan bila ia menemukan kejanggalan, terutama pada sikap orang dewasa. Namun demikian, bagi remaja yang tertutup (introvert) mengemukakan segala persoalannya dalam catatan pribadinya. Pendek kata, remaja pubertas telah mampu membedakan perkara yang benar dan salah menurut akal sehat dengan merangkaikan pengalaman dan pengetahuannya.
Dalam konteks Fikih, indikasi psikologis bagi anak yang berusia 15 tahun atau fase remaja adalah mampu membedakan hal yang benar dan salah secara rasional. Secara biologis, hal itu ditandai dengan menstruasi bagi wanita dan mimpi basah bagi laki-laki. Hal menarik untuk dikemukakan adalah penelitian lapangan (istqra’) Imam Shafi’i dalam menentukan batasan maksimal usia baligh, yaitu usia 15 tahun bagi laki-laki. Tolok ukur usia ini dapat digunakan bila tanda-tanda biologis tersebut belum tampak. Dalam usia 15 tahun dapat diperkirakan remaja pubertas tersebut telah dewasa, mengingat daya kecerdasan umum telah tumbuh secara cepat. Dibanding dengan tolok ukur biologis dan psikologis yang memerlukan telaah lebih mendalam, tolok ukur usia jauh lebih mudah dan sering dimanfaaatkan oleh beberapa lembaga dalam memperkirakan mental seseorang, seperti usia minimal pernikahan yang ditetapkan undang-undang, usia hak pilih dalam Pemilu, dan sebagainya.
Bagi Nabi SAW., melihat usia Ibnu ‘Umar telah mencukupkan untuk menilai kedewasaannya. Nabi SAW. tidak melakukan wawancara lebih mendalam untuk melihat sisi kognitif dan afektif Ibnu ‘Umar. Boleh jadi hubungan antara keduanya telah terjalin akrab –bukankah ayahnya, ‘Umar bin al-Khattab adalah sahabat senior Nabi SAW.-, sehingga Nabi SAW. telah mengetahui lebih banyak mengenai kehidupan Ibnu ‘Umar. Jadi, usia bisa digunakan untuk menilai sebagian kepribadiannya.

Beribadah dengan Akal
Manusia dilengkapi akal oleh Allah SWT, sehingga ia bisa berpikir sekaligus berbeda dengan makhluk yang lain. Di antara fungsi akal adalah kemampuan menilai kepatutan sesuatu dengan fitrah manusia. Secara fitrah, manusia bisa mengambil sesuatu dengan tangannya. Akalnya menilai salah bila sesuatu itu diambil dengan mulutnya. Akal juga menilai bahwa manusia bisa menggunakan sesuatu yang telah menjadi miliknya. Akalnya menyalahkan orang lain yang menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Akal demikian ini dinamakan akal naluri (al-‘aql al-gharizi). Dengan akal naluri ini, seseorang bisa dinilai kedewasaannya serta dikenakan tuntutan hukum yang disebut sebagai orang mukallaf. Manusia yang ideot atau autis memiliki akal naluri yang tidak sehat dan bebas dari beban hukum. Selain akal naluri, ada akal potensi (al-aql al-muktasab) yang kekuatannya tidak sama pada tiap orang. Kita mengenal golongan kecerdasan manusia (Intellectual Quotion) dari uji akal potensi ini (al-Mawardi, 1995: 10). Akal potensi ini berfungsi mempercepat penalaran dalam akal naluri.
Dalam literatur Fikih, salah satu syarat sahnya ibadah ritual adalah akal dalam kondisi yang sehat. Ada dua indikator kesehatan akal, yaitu fisik dan psikis. Indikator fisik dilihat dari kerja otak yang normal. Orang yang pingsan berarti sistem otaknya tidak berjalan, sehingga ia tidak bisa melakukan ibadah. Gila, ayan, atau gejala tidak sadar lainnya termasuk fisik otak yang tidak sehat. Lupa adalah gejala di bawah sadar tanpa kesengajaan, sehingga ia tidak membatalkan ibadah. Shalat dengan keadaan lupa bisa diatasi dengan sujud sahwi. Saat Anda dalam keadaan puasa, lalu lupa makan, maka puasa Anda tidak batal, bahkan makanan karena lupa tersebut dianggap sebagai rahmat Allah SWT. Hal ini berbeda dengan kondisi mabuk setelah meneguk minuman keras atau obat-obatan terlarang (narkoba). Orang yang mabuk juga berada di antara bawah sadar dan tidak sadar. Namun, hal ini merupakan kehendak yang disengaja. Selain itu, kondisi mabuk menutup kerja otak secara normal, yakni membedakan hal yang baik dan buruk. Kaum sufi menyebut keadaan mabuk sebagai sumber kemaksiatan (ra`su kulli ma’shiyyah). Secara umum, manusia diwajibkan menghidupkan otak dan dilarang merusak kerjanya, apalagi membunuhnya. Hidup tanpa tidur bisa diharamkan bila menyebabkan kelelahan otak. Makanan atau minuman apapun yang bisa merusak jaringan otak adalah haram. Demikian pula, aktivitas apapun yang beresiko membahayakan otak bisa diharamkan. Larangan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan beribadah. Dalam Islam, ibadah tidak sekedar dilaksanakan dengan kesadaran, namun juga dengan berpikir.
Otak yang sehat secara fisik juga belum tentu membuat ibadah menjadi sah. Perlu adanya sehat secara kejiwaan yang sering diistilahkan dengan baligh. Penjelasan di atas menunjukkan indikator kedewasaan dari sisi fisik maupun usia. Penting dicatat bahwa ukuran kedewasaan seseorang ternyata terkait dengan pengalaman organ seksual, yakni menstruasi bagi perempuan dan keluarnya sperma bagi laki-laki. Kenyataannya, tidak ada kesamaan dalam masing-masing individu mengenai pengalaman organ seksualnya. Boleh jadi, ada anak perempuan di bawah umur sembilan tahun –umur yang yang menjadi patokan minimal Imam Syafi’i- atau anak laki-laki yang telah keluar spermanya sebelum usia 15 tahun. Menurut Fikih, tanda fisik ini lebih kuat dibanding tanda usia. Secara psikologis, perkembangan kedewasaan anak yang prematur lebih disebabkan oleh pengetahuan dan pengalamannya yang berhubungan dengan seksualitas. Anak yang sering berhubungan dengan pornografi akan cepat mengalami kedewasaan fisik. Dalam hal ini, persoalan fikih mencuat: apakah anak yang menstruasi di usia tujuh tahun diharuskan (taklif) menjalankan ibadah? Apa kaitan seksualitas dengan ibadah? Apakah kedewasaan fisik menjamin kedewasaan psikis?
Jawaban atas pertanyaan-pertaanyaan di atas dapat dianalisa dari aspek fisik manusia. Dalam Fikih, ukuran taklif mula-mula dilihat dari aspek fisiknya. Dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujib, Muhammad bin Qasim al-Ghazzi menjelaskan bahwa seorang gadis bisa mengalami menstruasi meski usianya belum mencapai sembilan tahun (t.t.: 11). Usia sembilan tahun merupakan hasil penelitian Imam al-Syafi’i. “Aku telah mendengar bahwa usia yang paling cepat menstruasi dari para gadis Tuhamah adalah sembilan tahun,” katanya (Muhammad al-Syarbini, t.t.: I: 85). Sebagaimana para gadis, anak laki-laki juga dinilai baligh bila spermanya telah keluar. Demikian ini juga tidak ada ketentuan umur yang pasti. Begitu pula, tidak ada jaminan bahwa anak perempuan lebih dahulu dewasanya dibanding anak laki-laki. Kedewasaan yang ditandai dengan gejala fisik ini tergantung pada pengetahuan dan pengalaman masing-masing. Oleh karena itu, dewasa secara fisik bisa dipastikan dewasa secara psikis. Kedewasaan psikis mendahului kedewasaan fisik.
Jika kedewasaan diukur dengan gejala fisik, tepatnya organ seksualitas, maka unsur seksualitas menjadi penting dalam perkembangan manusia. Pemuka Psikoanalis, Sigmund Freud, menyebutnya dengan fase genital. Dalam fase ini, fokus perhatian seseorang tidak lagi pada kenikmatan oral (seperti bayi yang memainkan tangan di mulutnya) atau kenikmatan anal (sebagaimana anak-anak yang suka melihat dan memainkan kotorannya), melainkan pada kenikmatan alat kelamin. Anak-anak mulai mempertanyakan perbedaan alat kelamin dari masing-masing lawan jenisnya atau alat kelamin anak dan orang dewasa. Selain itu, anak-anak masa ini suka mempermainkan alat kelaminnya. Mereka tertawa saat nama alat kelamin itu dikemukakan. Fase genital ini bisa dikatakan usia lanjutan anak-anak setelah mengerti kegunaan masing-masing fungsi tubuh. Anak-anak sudah bisa mandi sendiri, berpakaian sendiri, makan sendiri, dan sebagainya. Dalam fikih, fase demikian ini disebut mumayyiz, yakni kemampuan anak untuk memainkan nalurinya secara mandiri. Fase mumayyiz belum dikatakan dewasa atau baligh.
Antara mumayyiz dan baligh terdapat kaitan antara akal dan dewasa. Fungsi dasar akal mulai tampak saat anak mumayyiz. Anak yang belum dewasa ini harus diajarkan ibadah, baik dengan penjelasan teoritis maupun percontohan praktis. Saat anak mengalami perubahan organ seksualnya, ia baru menapaki tahapan kedewasaan yang dalam Fikih disebut dengan taklif. Pada masa ini, anak sudah dibebani kewajiban dan larangan serta menerima pahala dan dosa atas perbuatannya. Akan tetapi, anak yang belum pernah mengalami perubahan organ seksualnya tidak berarti lepas dari beban. Ia tetap mendapatkan beban tersebut berdasarkan usia, yakni 15 tahun. Standar usia ini mengungkapkan suatu hikmah bahwa hal utama dalam beribadah adalah kesempurnaan akal. Tidak ada alternatif bagi orang yang akalnya belum sempurna, sebagaimana alternatif standar usia atas disfungsi organ seksual. Akal menunjukkan suatu kesadaran, mendorong kedewasaan, serta menggali pemahaman. Selain itu, akal yang kurang sehat berpengaruh pada kesehatan jiwa yang pada gilirannya bisa merusak organ tubuh manusia hingga mudah terseran penyakit. Sebaliknya, akal yang sehat bisa merasakan kenikmatan ibadah. Tidak hanya itu, ibadah sendiri bisa menyehatkan akal, menyehatkan jiwa, lalu menyehatkan tubuh. Jadi, ibadah menggerakkan komponen akal, jiwa, dan tubuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar