Sabtu, Mei 30, 2009

SEHAT DENGAN SHALAT

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kalian. Sesungguhnya, sabar dan shalat yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', yaitu orang-orang yang meyakini bahwa sesungguhnya mereka akan menemui Tuhan mereka dan hanya kepada-Nya mereka akan kembali” (Surat al-Baqarah ayat 45-46). Untuk bertemu Allah SWT, ada dua cara, yaitu membaca al-Qur’an dan shalat. Kedua cara ini mensyaratkan adanya pemahaman makna. Dengan mengerti apa yang dibicarakan, Pelaku Shalat (Musholli) bisa merasakan kehadiran Allah SWT yang sangat dekat. Kedekatan ini membuat jiwanya merasa tenang dan nyaman, sehingga ia tidak ingin shalatnya berakhir, bahkan ia ingin terus memperbanyak shalatnya. Islam pun mengajarkan aneka shalat sunnah yang bisa menjadi pilihan Pelaku Shalat.
Dalam Bab Ketika Ruku’ Belum Sempurna, Imam al-Bukhari (t.t.: I: 192) meriwayatkan: “Hudzaifah RA pernah melihat seseorang yang belum menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Hudzaifah pun berkata, “Anda belum melaksanakan shalat. Jika Anda wafat, maka Anda wafat dengan tidak mengikuti fitrah yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW”. Di hadits berikutnya, Imam al-Bukhari (t.t.: I: 192) juga meriwayatkan hadits Abu Hurairah bahwa Nabi SAW pernah menyuruh seseorang untuk mengulangi shalatnya karena gerakannya kurang sempurna. Ini menunjukkan bahwa shalat yang tergesa-gesa bisa jadi berakibat tidak sah.

A. Persiapan Sebelum Pelaksanaan Shalat
Ketenangan dalam pelaksanaan shalat memerlukan keyakinan yang kuat terkait dengan keberadaan shalat. Setidaknya ada lima hal yang perlu dipikirkan sebelum melaksanakan shalat.
1. Ajaran shalat ditentukan aturan dan caranya oleh Nabi SAW. Agar shalat bisa dilaksanakan dengan ikhlas, Pelaku Shalat harus berpandangan bahwa shalat yang dilakukannya adalah perintah Allah SWT dan mengikuti Rasulullah SAW. Untuk meyakinkannya, ia harus mengerti dalilnya.
2. Waktu shalat. Kita harus yakin bahwa semua waktu kita hanya milik Allah SWT. Bukankah banyak waktu yang dijadikan Allah SWT sebagai sumpah dalam al-Qur’an, seperti wadldluhaa (demi waktu Dluha), wallaili (demi waktu malam), wannahaari (demi waktu siang), dan sebagainya. Karenanya, kita harus merelakan sebagian waktu kita untuk shalat. Tinggalkan kegiatan selama kurang lebih 30 menit untuk pelaksanaan satu shalat wajib dengan iringan shalat sunnah Qabliyyah dan Ba’diyyah. Yakinlah bahwa rezeki Anda tidak berubah dengan dikurangi waktu shalat. Anda tetap bekerja. Hanya saja, waktu yang tidak bermanfaat harus dipangkas. Anda harus tegas kepada kawan bicara Anda, “Maaf, saya harus shalat dulu”. Lebih baik, Anda telah membuat jadwal shalat, sehingga rekan Anda bisa mengatur pertemuan di luar jam shalat Anda. Tidak hanya ketegasan pengaturan waktu, pikiran pun harus dikosongkan dari semua kegiatan. Karenanya, bereskan terlebih dahulu hal-hal yang bisa menggangu pikiran saat melaksanakan shalat.
3. Fungsi shalat. Galilah secara terus-menerus hikmah-hikmah yang terkandung dalam shalat, baik dari tulisan, perkataan ulama, maupun pengalaman orang lain. semakin banyak pengetahuan kita tentang hikmah shalat, semakin tekun kita menjalankannya. Kita serius menjalankan shalat, karena kita yakin shalat lebih penting dari segalanya. Dia antara hikmah shalat adalah adanya unsur meditasi yang bisa membuat pikiran lebih segar dan perasaan lebih peka, adanya gerakan tubuh yang bisa memberikan pemijatan pada kaki, merenggangkan otot yang kaku, dan mengatur jalannya pernapasan. Shalat merupakan wahana melatih kesabaran dan mengungkapkan syukur kepada Allah SWT. Kesabaran tersebut tampak dari pengorbanan waktu, sedangkan syukur diungkapkan atas nikmat iman dan kehidupan. Shalat adalah ujian iman, karena orang mukmin mengerjakannya dengan ikhlas, orang munafik melakukannya dengan malas, dan orang kafir enggan melakukannya. Ada empat tanda orang hidup yang tercermin dalam shalat, yaitu bergerak (jasmani luar), bernafas (jasmani dalam), berpikir (rohani otak kiri), dan berperasaan (rohani otak kanan). Bagi Abu Sangkan (2005: 8), setidaknya ada lima fungsi shalat bagi kesehatan manusia, yaitu sebagai meditasi dari doa yang teratur, relaksasi melalui gerakan-gerakan shalat, hetero atau euto sugesti dalam bacaan shalat, terapi kelompok dalam komunikasi antara Pelaku Shalat dan Allah SWT, dan terapi air dari air wudlu. Apabila shalat dilengkapi dengan harum-haruman serta pakaian dan tempat tanpa corak, maka shalat bisa membuahkan terapi aroma dan warna.
4. Keberadaan Pelaku Shalat di hadapan Allah SWT. Kita harus mengukur diri kita dengan Allah SWT. Kita sekarang berada di bagian paling kecil di muka bumi, padahal bumi adalah bagian paling kecil dibandingkan tata surya langit pertama, apalagi enam langit yang lain. Kita tidak memiliki arti dibanding Kerajaan Allah SWT Yang Maha Luas. Saat ini kita hidup dan tidak mengerti kematian kita. Sebelum melaksanakan shalat, pikirkanlah bahwa kita akan mati dalam hitungan detik atau menit. Pikirkanlah dosa-dosa Anda, agar Anda merasa kecil, rendah, dan hina di hadapan Allah SWT, lalu Anda memohon ampunan kepada-Nya. Mintalah perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari godaan syetan selama melaksanaan shalat.
5. Shalat bukan hanya gerakan badan, tetapi juga gerakan pikiran. Ada yang mengatakan bahwa shalat adalah gerakan badan dan ruh. Pada setiap gerakan badan dalam shalat ada tekanan di bagian tertentu. ketika badan bergerak, perasaan Pelaku Shalat juga merasakan gerakan tersebut. Di kala bibir bergerak membaca dzikir, otak bergerak memahami makna dzikir. Tidak hanya itu, otak juga melakukan imajinasi atas bacaan dzikir. Begitu terpikir keagungan Allah SWT, otak menggambarkan keagungan Allah SWT tersebut tanpa batas. Saat membaca surat al-Fatihah ayat 7 yang menyebut “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah SWT”, otak terbayang para sahabat Nabi SAW yang utama, para ulama yang shalih, para pemimpin yang adil, dan seterusnya. Oleh karena itu, hal terpenting dari shalat khusyu’ adalah pemahaman bacaan-bacaan shalat.

B. Pelaksanaan Shalat
Pelaksanaan shalat dimulai dari takbir (membaca Alloohu Akbar = Allah Maha Besar) dan diakhiri dengan salam (membaca assalaamu’alaikum warohmatullooh). Sebelum masuk pelaksanaan shalat, Pelaku Shalat terlebih dahulu mengambil posisi berdiri dengan menghadapkan jari-jari kaki lurus ke kiblat. Berdiri dengan kepala tertunduk adalah salah satu bentuk penghormatan yang bertumpu pada kekuatan kaki. Dalam berdiri ini, diupayakan posisi santai, tidak menekan sama sekali. Pikiran juga terlebih dahulu dikosongkan dengan kesadaran tentang waktu shalat, fungsi shalat, dan posisi Pelaku Shalat di hadapan Allah SWT sebagaimana penjelasan di atas. Agar tidak keliru dalam mengucapkan niat, Pelaku Shalat perlu mengingat: bentuk shalat apakah yang akan dilaksanakan. Jika semua persiapan dianggap cukup, maka Pelaku Shalat langsung mengambil nafas lebih dalam lalu membaca takbir.
Dalam bacaan takbir (takbiratul ihram), Pelaku Shalat mengangkat kedua tangan lebih tinggi hingga dada membusung dengan mengembangkan kedua telapak tangan yang dihadapkan pada kiblat. Ujung jari jempol disentuhkan pada ujung telinga. Gerakan takbir tersebut dapat melenturkan syaraf paru-paru yang terdapat dalam ruas tulang belakang (Yusuf Amin, 2007: 41). Dalam mengangkat kedua tangan ini, dilakukan dengan pelan-pelan penuh perasaan. Artinya, Pelaku Shalat merasakan gerakan tangan yang terangkat. Bersamaan dengan itu, Pelaku Shalat membaca Alloohu Akbar yang diiringi dengan niat shalat dalam hati. Dalam kitab Safiinatun Najaa (Salim bin Samir al-Hadlrami, t.t.: 58-59) dinyatakan bahwa shalat fardlu menuntut maksud, penentuan, dan kefardluan dari shalat, sehingga bacaan niatnya yang terpendek adalah ushollii fardla .......... (sebutkan nama sholat). Jika shalatnya sunnah yang ditentukan waktunya atau karena adanya sebab, maka cukup dengan maksud dan penentuan. Bacaan niatnya adalah ushollii sunatan ..............(sebutkan nama shalat sunnahnya).
Selesai mengangkat kedua tangan yang diiringi niat, kedua tangan tersebut diletakkan di bawah susu dan di atas pusar (Abu Dawud, 1994: I: 289: no. 759; al-Turmudzi, 2005: 288: no. 252) dengan posisi sedekap, yakni tangan kanan mencengkeram kuat pergelangan tangan kiri. Bersedekap yang demikian ini bisa membantu menghilangkan pengapuran tubuh (Yusuf Amin, 2007: 53). Inilah tekanan saat posisi berdiri. Melalui sedekap, Pelaku Shalat juga diingatkan oleh kematiannya yang juga bersedekap. Dalam posisi ini, Pelaku Shalat merasakan dirinya dekat di hadapan Allah SWT. Jangankan suaranya yang lirih, suara hatinya pun bisa didengar Allah SWT. Dengan keadaan ini, Pelaku Shalat segera mengambil nafas yang lebih dalam lalu membaca doa iftitah sebagai berikut. Pelaku Shalat sebaiknya memahami, merenungkan, dan meresapi makna-maknanya.
“Inni wajjahtu wajhiya (sungguh, aku hadapkan wajahku) lil ladzi fathoros samaawaati wal ardli (kepada Allah yang menciptakan banyak langit dan bumi) haniifan muslimaa (sebagai orang yang berpegang teguh pada Islam dan orang yang pasrah kepada Kehendak Allah SWT) wamaa ana minal musyrikiin (aku bukan termasuk golongan orang-orang yang menyekutukan Allah SWT). Inna sholaatii (sesungguhnya sholatku) wanusukii (ibadahku) wamahyaaya (kehidupanku) wamamaatii (dan kematianku) lillaahi robbil ‘aalamiin (untuk Allah Yang Mengatur semua alam). Laa syariika lahuu (tidak ada sekutu apapun bagi-Nya) wabidzaalika umirtu (karena itu, aku diperintahkan) wa ana minal muslimiin (aku termasuk golongan orang-orang muslim)”. (Muslim, 1988: I: 345: no. 771; Abu Dawud, 1994: I: 289: no. 860; al-Nasa’i, 2005: I: 142: no. 894; al-Turmudzi, 2005: V: 266: no. 3432)
Lalu, Pelaku Shalat membaca ta’awwudz (Abu Dawud, 1994: I: 291: no. 764; al-Turmudzi, 2005: I: 275: no. 242; al-Nasa’i, 2005: I: 135: no. 881) dengan suara lirih, “a’uudzu billaahi (aku memohon perlindungan kepada Allah SWT) minasy syaithoonir rojiim (dari syetan yang terkutuk)”. Saat membacanya, Pelaku Shalat harus meluapkan kebencian dan permusuhan kepada syetan seraya berharap pertolongan Allah, agar syetan dijauhkan dari diri Pelaku Shalat.
Selanjutnya, Pelaku Shalat membaca surat al-Fatihah. Sebelum membaca surat al-Fatihah, Pelaku Shalat terlebih dahulu mengambil nafas lebih dalam. Dalam hal ini, Pelaku Shalat harus memperhatikan bacaan surat al-Fatihah dengan benar, selain memahami, merenungkan, dan meresapi makna-maknanya.
“Bis-mil-laa-hir-roh-maa-nir-rohiim (dengan Nama Allah SWT Yang melimpahkan sedikit kasih sayang yang dapat dirasakan oleh semua makhluk sekaligus menganugerahkan banyak kasih sayang hanya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman). Al-ham-dulil-laa-hirob-bil-‘aa-lamiin (semua pujian milik Allah SWT dan layak diperuntukkan kepada-Nya, karena hanya Allah SWT Yang Mengatur semua alam). Ar-roh-maa-nir-rohiim (Allah Yang Melimpahkan sedikit kasih sayang yang dapat dirasakan oleh semua makhluk sekaligus menganugerahkan banyak kasih sayang hanya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman kelak di akherat). Maa-likiyau-mid-diin (Allah Maha Pemilik Hari Kiamat sekaligus Maha Raja Yang Memutuskan). Iyyaa-kana’-buduwaiy-yaa-kanas-ta’iin (hanya kepada-Mu, Ya Allah, aku menyembah dan beribadah. Hanya kepada-Mu, ya Allah, aku memohon pertolongan-Mu). Ih-dinash-shiroo-thol-mus-taqiim (antarkan aku pada jalan maupun cara hidup yang benar nan lurus sesuai dengan ridlo-Mu). Shiroo-thol-ladzii-an-‘am-ta’alai-him (yakni jalan hidup orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat iman, ilmu, amal, ikhlas dalam mengabdi kepada-Mu). Ghoi-ril-magh-dluu-bi’alai-him-waladl-dlool-liin (bukan jalan hidup orang-orang yang Engkau benci karena melawan orang-orang shaleh maupun jalan hidup orang-orang sesat akibat kebodohan mereka dalam menjalankan agama mereka). Aammiin (terimalah permohonanku, wahai Tuhanku).
Meski membaca surat dalam al-Qur’an setelah bacaan surat al-Fatihah dinilai anjuran (sunnah), namun Pelaku Shalat lebih baik membacanya. Pelaku Shalat akan memahami komunikasi dialogis saat membaca ayat-ayat al-Qur’an, karena al-Qur’an merupakan firman Allah SWT. Boleh jadi Pelaku Shalat akan mendapatkan hidayah dari ayat-ayat al-Qur’an yang dibacanya. Tentu saja, Pelaku Shalat harus memahami makna setiap ayat dalam surat yang dibacanya.
Setelah surat terbaca, Pelaku Shalat mengangkat tangan sebagaimana takbir di muka sambil merasakan gerakan pengangkatan tangan. Saat mengangkat tangan langsung turun menuju posisi ruku’, Pelaku Shalat mengucapkan, “Alloohu Akbar (Allah Maha Besar)”. Sekali lagi, Pelaku Shalat perlu bergerak agak pelan, agar ruhnya dapat merasakan gerakan tubuhnya. Dalam posisi ruku’, kedua tangan Pelaku Shalat memegang dan menekan kedua lututnya. Dengan tekanan ini, kepala dan punggung Pelaku Shalat terjulur ke depan hingga tulang punggungnya lurus. Demikian pula, kedua kakinya diupayakan lurus hingga terasa regangannya. Gambaran orang yang sedang ruku’ sama dengan segitiga siku-siku: kaki tegak lurus ke atas dan badan lurus ke depan. Posisi ini tertekan pada lutut. Pelaku Shalat memberi penghormatan kepada Allah SWT yang terasa berada di hadapannya. Pelaku Shalat sebaiknya mengambil nafas yang panjang sebelum membaca doa ruku’. Bacaan doa sholat ketika ruku’ adalah sebagai berikut, “subhaana robbiyal ‘azhiim wa bihamdihi (Maha Suci Engkau, Wahai Tuhanku Yang Maha Agung dan Maha Terpuji). (Abu Dawud, 1994: I: 230: no. 870; Ibnu Majah, 2004: I: 283: no. 888). Karena merasakan kedekatan dengan Allah SWT, doa ini dibaca secara lirih. Doa ini dibaca minimal tiga kali. Jika Pelaku Shalat ingin menambahnya, maka ia dianjurkan pada hitungan ganjil, misalnya: lima kali, tujuh kali, dan seterusnya. Dalam doa ini, Pelaku Shalat menyadari bahwa dirinya demikian lemah, kecil, dan hina di hadapan Allah SWT. Sebagai penyucian Nama Allah, Pelaku Shalat meyakini bahwa Allah SWT tidak kecil dan tidak pula lemah. Allah Maha Agung, sehingga tidak ada satupun makhluk yang bisa menolak Kehendak-Nya. Maka, Allah SWT sangat layak dipuji.
Sehabis ruku’, Pelaku Shalat bangun dengan mengangkat kedua tangan seperti saat takbir pertama, yakni menghadapkan telapak tangan pada arah kiblat dengan menyentuhkan ujung jari jempol pada ujung telinga bagian bawah. Gerakan bangun dari ruku’ ini dilakukan secara pelan, agar dapat dirasakan oleh ruh Pelaku Shalat. Selama gerakan ini, Pelaku Shalat mengucapkan doa: sami’allahu liman hamidah (semoga Allah SWT meridloi siapapun yang memuji-Nya). Gerakan ini berakhir hingga posisi Pelaku Shalat dalam keadaan i’itidal, yaitu posisi berdiri yang lurus hingga membentuk angka satu. Dengan kepala tertunduk, Pelaku Shalat merasakan kehadiran Allah SWT di hadapannya yang sangat dekat, sehingga doa juga dibaca lirih. Posisi i’tidal ini juga mengandalkan kekuatan kaki. Artinya, keseimbangan tubuh merupakan anugerah bagi Pelaku Shalat yang disadari saat melaksanakan shalat. Betapa banyak orang lain yang tidak bisa berdiri, apalagi berjalan. Dengan kekuatan kaki, Pelaku Shalat mendapatkan pengalaman dari berbagai tempat. Karena itu, pujian kepada Allah SWT sangat layak diucapkan oleh Pelaku Shalat. Dalam kondisi yang santai ini, Pelaku Shalat membaca doa: robbanaa lakal hamdu mil`us samaawaati wal ardl wamil’a maa syi`ta min syai`in ba`du (Tuhanku, segala pujian untuk-Mu. Pujian ini telah memenuhi semua langit, bumi, dan apapun yang Engkau kehendaki sesudahnya). (Muslim, 1988: I: 218-219: no. 476; Abu Dawud, 1994: I: 320: no. 846; al-Turmudzi, 2005: I: 299: no. 266; al-Nasa`i, 2005: I: 212: no. 1062; Ibnu Majah, 2004: I: 280: no. 878). Saat membaca doa ini, Pelaku Shalat terbayang keagungan Kerajaan Allah SWT. Pendengaran Pelaku Shalat merasakan suara pujian-pujian dari segala penjuru yang menggetarkan. Pelaku Shalat juga menyadari bahwa ia tidak layak menerima pujian apapun dari siapapun, karena semua makhluk Allah SWT telah memuji Allah SWT. Karenanya, Pelaku Shalat juga tidak berupaya mencari pujian. Hanya ridla Allah SWT semata yang manjadi tujuannya. Pada Shalat Shubuh, ada doa Qunut setelah i’tidal (al-Turmudzi, 2005: I: 411: no. 401; Ibnu Majah, 2004: I: 371: no. 1183). Namun demikian, tanpa Qunut juga dibenarkan (al-Turmudzi, 2005: I: 412: no. 402). Karenanya, hal ini tidak perlu diperpanjang.
Kemudian, Pelaku Shalat turun untuk melaksanakan sujud. Dalam gerakan turun ini, mula-mula Pelaku Shalat menurunkan kedua lututnya ke tanah terlebih dahulu secara pelan, supaya otak kanannya bisa merasakannya. Berikutnya, Pelaku Shalat menurunkan kedua tangannya dengan menghadapkan jari-jari tangan ke arah kiblat (Abu Dawud, 1994: I: 317-218: no. 838). Posisi sujud menjadi sempurna saat dahi Pelaku Shalat turun ke tanah, sehingga anggota tubuh Pelaku Shalat yang menyentuh tanah ada tujuh anggota, yaitu dahi, kedua tepak tangan, kedua lutut, dan jari-jari kaki dari kedua kaki. Posisi sujud menekankan bagian dahi kepala. ia ditekan dengan injakan kedua kaki dan kedua tangan yang kuat. Semakin tertekan lama, semakin baik. Dahi mewakili muka dan otak. Identitas manusia hanya bisa ditelusuri dari mukanya, sedangkan otak menunjukkan pemikirannya. Dahi terletak di antara muka dan otak yang ditutupi batok kepala. Selain itu, sujud membuat aliran darah mengalir ke kepala, padahal hampir semua kegiatan manusia membuat darah mengalir deras dari kepala ke kaki. Karena besarnya hikmah sujud, para ulama menyukai sujud yang lebih lama. Hanya saja, Pelaku Shalat tidak diperkenankan membaca ayat al-Qur’an saat sujud. Doa saat sujud adalah “subhaana robbiyal a’laa wa bihamdihi” (Maha Suci Engkau, Wahai Tuhanku Yang Maha Tinggi dan Maha Terpuji). (Abu Dawud, 1994: I: 230: no. 870; Ibnu Majah, 2004: I: 283: no. 888). Seperti doa ruku’, doa sujud ini juga dibaca setidaknya tiga kali. Penambahannya juga mengikuti hitungan ganjil. Dalam doa ini, terkandung makna posisi Pelaku Shalat sebagai hamba Allah SWT yang rendah di hadapannya. Kepala yang menjadi simbol kesombongan manusia diturunkan hingga mencapai tanah di hadapan Allah SWT. Muka yang menjadi kebanggaan juga dibenamkan, hingga orang lain tidak bisa mengetahui muka orang yang sedang sujud. Kepasrahan Pelaku Shalat saat sujud seperti tawanan perang yang akan dibunuh. Pelaku Shalat menunjukkan kepasrahannya kepada Allah SWT. Apapun yang dilakukan Allah SWT atas Pelaku Shalat merupakan anugerah, meskipun terlihat penderitaan. Pelaku Shalat menyucikan nama Allah SWT dari segala kekurangan. Pelaku Shalat berbaik sangka bahwa demikian ini Kehendak Allah SWT yang terbaik untuk diri Pelaku Shalat. Atas sifat Allah Yang Maha Luhur ini, semua pujian sangat patut dipersembahkan kepada-Nya.
Usai sujud, Pelaku Shalat melakukan duduk iftirosy, yakni duduk dengan meletakkan kaki kiri di bawah pantat, sementara kaki kanan menginjakkan jari-jari kaki ke tanah. Semua jari-jari ini diupayakan menginjak seluruhnya. Tangan Pelaku Shalat diletakkan di atas paha dengan menghadapkan jari-jari ke arah kiblat. Pelaku Shalat mengatur duduk ini pelan-pelan: mula-mula membenahi posisi kaki, lalu kedua tangannya. Dalam duduk ini, tekanan terasa pada jari-jari kaki kanan yang diinjakkan di atas tanah. Setelah posisi duduk dirasakan telah sempurna, Pelaku Shalat mengambil nafas yang dalam, lalu memanjatkan doa. Agar Pelaku Shalat memahami dan mengerti apa yang dimohonkannya, Pelaku Shalat perlu mencerna makna doa iftirasy terlebih dahulu. Inilah doa yang dimaksud.
“Rabbighfirlii (Wahai Tuhanku, tutupilah dosa-dosaku dan aib-aibku), warhamnii (perhatikanlah diriku dengan kasih sayang-Mu), wajburnii (anugerahkanlah aku kekayaan yang bisa menutupi kemiskinan), warfa’nii (angkatlah derajatku di sisi-Mu) warzuqnii (limpahkan rezeki ilmu dan semua kebaikan untukku), wahdinii (antarkan aku menuju ridlo-Mu), wa’aafinii (sehatkanlah aku dan sembuhkanlah aku dari berbagai penyakit), wa’fu ‘annii (hapuskanlah semua dosa-dosaku dan kesalahanku). (Abu Dawud, 1994: I: 332: no. 850; al-Turmudzi, 2005: 312: no. 850I: Ibnu Majah, 2004: I: 286: no. 898)
Semua keinginan manusia telah terkumpul dalam doa di atas. Betapa bahagianya seseorang yang senantiasa sehat, keluarganya sehat, pengikutnya hormat, ekonominya tidak tersendat, pengetahuannya padat, imannya kuat, kepada Allah SWT taat, dalam kebaikan hingga akhir hayat, di alam kubur mendapatkan nikmat, di Hari Kiamat selamat, masuk sorga dengan rahmat. Sesungguhnya, semua bacaan dalam shalat bernuansa pujian kepada Allah SWT. Doa permohonan hanya terbaca di surat al-Fatihah ayat 6, doa iftirosy ini, dan doa di akhir Tahiyyat Akhir yang hanya sebagai anjuran (sunnah). Oleh karena itu, Pelaku Shalat harus sabar untuk tidak tergesa-gesa melakukan sujud yang kedua setelah duduk iftirosy.
Sujud kedua sama dengan sujud pertama, baik dari segi gerakan maupun bacaan. Hanya saja, saat hendak berdiri dari sujud kedua, Pelaku Shalat terlebih dahulu duduk sebentar (duduk istirohah) sebagaimana duduk iftirasy, lalu melanjutkan berdiri dengan menyentuhkan telapak tangan ke tanah untuk menahan badan. Upaya ini bisa dilakukan secara pelan, karena memerlukan sedikit tenaga untuk mengangkat badan. Tentu saja, perasaan harus dilibatkan untuk merasakan nikmat gerak badan.
Apabila sujud kedua dilanjutkan dengan tahiyyat akhir, maka Pelaku Shalat melakukan gerakan duduk. Posisi duduk pada tahiyyat akhir (duduk tawarruk) tidak sama dengan duduk iftirosy. Dalam duduk tahiyyat akhir, Pelaku Shalat meletakkan pantatnya ke tanah, kaki kirinya menahan kaki kanan, sementara kaki kanan bertumpu pada jari-jari kaki yang menginjak tanah. Telapak tangan kiri Pelaku Shalat juga diletakkan di atas paha dengan menghadapkan semua jari-jarinya ke arah kiblat, sedangkan telapak tangan kanannya menggenggam untuk mempersiapkan jari telunjuk yang akan menunjuk arah kiblat saat membaca “illallooh” pada kalimat syahadat pertama dari bacaan tahiyyat (Muhammad bin Qosim al-Ghazzi, t.t.: 15). Posisi ini juga menekankan pada jari-jari kaki sebelah kanan. Sebelum membaca doa tahiyyat, Pelaku Shalat terlebih dahulu mengambil nafas panjang dan dalam seraya berkeyakinan bahwa Allah SWT seakan-akan berada di depannya. Inilah doa tahiyyat akhir yang maknanya harus dipahami, diresapi, dan direnungkan oleh Pelaku Shalat.
“At-taahiyyaatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatulillaah (penghormatan yang suci dan shalat yang terbaik dipersembahkan untuk Allah SWT); as-salaamu ‘alaika ayyuhannabiyyu warohmatulloohi wabarokaatuh (semoga keselamatan, kasih-sayang, dan kenikmatan dari Allah SWT untuk paduka, wahai Nabi Muhammad SAW); assalaamu’alainaa wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin (semoga pula keselamatan untuk kami dan para hamba-hamba Allah SWT yang shaleh di langit maupun bumi [dalam hadits Imam Muslim (1988: I: 188: no. 402) disebutkan bahwa keadaan ini merupakan komunikasi antara Pelaku Shalat dengan hamba-hamba Allah yang shaleh, baik yang telah meninggal maupun masih hidup, di bumi mapun di langit]); asyhadu anlaailaahaillallooh (aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah); waasyhadu annamuhammadar rosulullooh (dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah); alloohumma, sholli ‘ala Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad (Ya Allah, anugerahkan rahmat buat Nabi Muahammad SAW dan keluarganya)”. (Muslim, 1988: I: 189: no. 403; Abu Dawud, 1994: I: 368: no. 974; al-Turmudzi, 2005: I: 315-316: no. 290; al-Nasa`i, 2005: I: 285: no. 1170).
Bacaan doa di atas dapat dibaca pada tahiyyat awal. Untuk tahiyyat akhir, bacaan doa tersebut ditambah kalimat sebagai berikut.
“Kamaa shollaita ‘alaa Ibroohiim wa’alaa aali Ibroohiim (sebagaimana Engkau anugerahkan rahmat untuk Nabi Ibrahim AS dan keluarganya) wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad (anugerahkanlah keberkahan kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya) kamaa baarokta ‘alaa ibroohiim wa ‘alaa aali ibroohiim (sebagaimana Engkau anugerahkan keberkahan kepada Nabi Ibrahim AS dan keluarganya) fil ‘aalamiin, innaka hamiidum majiid (di seluruh alam, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Agung)” (Muslim, 1988: I: 191-192: no. 405; Abu Dawud, 1994: I: 369-370: no. 976; al-Nasa`i, 2005: II: 46: no. 1281)
Sebelum mengucapkan salam, hendaknya Pelaku Shalat berdoa sesuai yang diajarkan oleh Nabi SAW. Inilah doa tersebut yang oleh sebagian ulama dianggap wajib, agar selama dari fitnah yang bisa menjerumuskan iman.
“Alloohumma, innii a’uudzubika min ‘adzaabi jahannam (Ya Allah, sungguh aku mohon perlindungan kepada-Mu dari siksa neraka Jahannam) wa min ‘adzaabil qobri (dan dari siksa kubur), wamin fitnatil mahyaaya wal mamaati (dan dari fitnah medan kehidupan dan fitnah medan kematian), wamin fitnatil masiihid dajjaal (dan dari fitnah Dajjal Sang Penguasa Kejahatan), waminal ma`tsami wal maghromi (dan dari jeratan dosa dan hutang)”. (Muslim, 1988: I: 263: no. 589; Abu Dawud, 1994: I: 335; no. 880; al-Nasa`i, 2005: II: 57: no. 1305)
Akhirnya, Pelaku Shalat mengakhiri shalatnya dengan bacaan salam. Salam pertama dibaca sambil menengok ke kanan dengan lurus hingga pipi Pelaku Shalat terlihat jelas dari belakang. Demikian pula, gerakan yang sama saat menengok sebelah kiri, yakni membaca salam kedua dan menengok lurus. Dengan kata lain, Pelaku Shalat menegok arah kanan dan kiri semaksimal mungkin. Tengokan inilah tekanan dalam gerakan salam. Bacaan salam pertama dan kedua adalah sama, yaitu “assalaamu’alaikum warohmatulloohibarokaatuh”(segala keselamatan, kasih-sayang, dan keberkahan dari Allah semoga terlimpah kepada kalian). (Abu Dawud, 1994: I: 376: no. 996; al-Turmudzi, 2005: I: 319: no. 295; al-Nasa`i, 2005: II: 62: no. 1315; Ibnu Majah, 2004: I: 293: no. 916).

C. Kegiatan Setelah Pelaksanaan Shalat
Setelah shalat dilaksanakan dengan sempurna, Pelaku Shalat langsung membaca doa-doa. Pada prinsipnya, doa dan dzikir dibaca sebanyak mungkin dan dalam keadaan apapun. Berbeda dengan shalat yang harus dilakukan dengan pelaksanaan yang terbaik, meski dengan bacaan yang sederhana. Al-Qur’an menuntut dzikir sebanyak-banyaknya (wadzkurullooha katsiiran) dan pelaksanaan kegiatan sebaik-baiknya (wa’maluu ‘amalan shoolihan). Meski Nabi SAW memberi tuntunan doa-doa setelah shalat, namun doa-doa lain juga bisa dibaca oleh Pelaku Shalat selama dibenarkan oleh Syari’at.
D. Penutup
Tuntunan shalat ini hanya merupakan usaha menuju ibadah yang berkualitas. Kualitas ibadah ritual tidak hanya dilihat dari sisi keikhlasan, tetapi juga memperhatikan tuntunan Nabi SAW. Dengan shalat yang berkualitas sebagaimana tehnis di atas, kita dapat menemukan fungsi shalat tidak hanya sebagai ibadah, tetapi juga sebagai cara menjaga kesehatan jasmani dan rohani. Tidak hanya itu, shalat juga bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Singkatnya, apa yang telah menjadi perintah Allah SWT yang diatur secara terperinci pasti mengandung rahasia hikmah yang tidak terhitung. Untuk itu, tulisan singkat ini harus dibaca terus-menerus, dihayati, dipraktekkan, lalu dirasakan hasilnya. Jika Pelaku Shalat merasakan hasil yang positif dalam hidupnya, ia dianjurkan untuk mengajarkan pengalamannya kepada orang lain. Tentu saja, ia tidak boleh mengabaikan tuntunan Syari’at.

Daftar Rujukan

Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats. Sunan Abi Dawud. Vol. I. Beirut: Darul Fikr, 1994.
Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-. Shahih al-Bukhari. Vol. I. Semarang: Toha Putra, t.t.
Ghozzi, Muhammad bin Qasim al-. Fath al-Qarib al-Mujib. Indonesia: Maktabah al-Nur Asia, t.t.
Ibnu Majah, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini. Sunan Ibn Majah. Vol. I. Beirut: Dar al-Fikr, 2004.
Malibari, Zain al-Din bin ‘Abd al-‘Aziz al-. Fath al-Mu’in. Surabaya: Syirkah Piramid, t.t.
Muslim. Shahih Muslim. Vol. I. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Nasa’i, Abu ‘Abd al-Rahman, Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasani al-. Sunan al-Nasa’i. Vol. I-II. Beirut: Dar al-Fikr, 2005.
Sangkan, Abu. Pelatihan Shalat Khusyu’. Jakarta: Baitul Ihsan, 2005.
Turmudzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa Ibnu Saurah al-. Sunan al-Turmudzi. Vol. I. Beirut: Dar al-Fikr, 2005.
Yusuf Amin, Bukhori Abu A. Keajaiban Senam Para Nabi. Bandung: Takbir Publishing House, 2007.

MEMOHON HIDAYAH ALLAH SWT

Abu ‘Abdirrahman al-Sulami RA pernah bercerita, “Pada suatu hari, kami bersama Rasulullah SAW yang sedang duduk bersila di atas tanah. Tiba-tiba beliau mengangkat kepalanya ke arah langit. Kemudian beliau bersabda, “maa minkum min ahadin illa qod kutiba maq’aduhu minan naari wa maq’aduhu minal jannah”(Tak seorang pun di antara kalian kecuali ia benar-benar telah dicatat tempat duduknya di neraka dan tempat duduknya di sorga). Ada sahabat Nabi yang bertanya, “Apakah kami akan pasrah, wahai Rasulullah SAW?”. “Jangan”, jawab Nabi SAW, “Setiap orang akan dimudahkan untuk sesuatu yang telah diciptakan baginya”(fa kullun muyassarun lima khuliqo lahu) .
Hadits ini menjelaskan tentang masa depan kita: sebagai penghuni sorga ataukah penghuni neraka. Kita akan pernah mengetahui nasib kita. Hanya Allah SWT Yang Maha Mengetahui. Karena ketidaktahuan ini, sikap manusia menjadi berbeda. Ada orang yang tidak peduli dengan hal ini. Kebaikan maupun kejahatannya diserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Orang lain tidak diperkenankan menilainya. Sikap orang macam ini hanya menjadikan Tuhan sebagai penyebab perbuatannya. Ia tidak merasa salah, Tuhanlah yang disalahkan. Ia pun berbuat dosa dengan topeng agama.
Sikap manusia yang lain adalah percaya kepada dirinya. Kebaikan dan kejahatannya adalah usaha dirinya semata. Ia mengingkari Kehendak dan Kekuasaan Allah SWT. Musibah, kerugian, dan kehancuran dinilainya sebagai kecerobohan manusia. Keberuntungan, dan kebahagiaan dianggapnya sebagai prestasi manusia. Ia mudah menyalahkan kesalahan orang lain serta senantiasa memuji kebaikan orang lain. Baginya, manusia memiliki kekuatan untuk merubah diri sendiri dan orang lain. Ia menyalahkan orang tua bila ada anaknya yang durhaka; ia menyalahkan pemerintah jika ada rakyatnya yang tidak sejahtera. Ia enggan berdoa kepada Allah SWT, malas mengaji agama, dan terlalu memuja akal pikirannya.
Dua sikap tersebut kurang tepat, jika enggan dikatakan salah. Sikap yang terbaik adalah memohon hidayah Allah SWT seraya berusaha berbuat baik dan menjauhi kejahatan. Allah SWT akan memudahkan kita untuk berbuat baik jika kita memohonnya kepada Allah SWT. Sebaliknya, Allah SWT akan menjerumuskan kita menuju kejahatan jika kita tidak meminta hidayah Allah SWT. Dengan sikap ini, kita akan dituntun oleh Allah SWT untuk melewati jalan lurusnya. Inilah inti dari surat al-Fatihah yang sering kita baca setiap waktu.
Surat al-Fatihah memuat tujuh ayat. Dari ketujuh ayat ini, hanya ayat Ihdinash shirathal mustaqim yang mengandung permohonan, yakni memohon hidayah Allah SWT. Ayat-ayat sebelumnya hanya mengandung pujian kepada Allah SWT. Bukankah Allah SWT telah memberikan tuntunan dalam berdoa, agar kita memuji terlebih dahulu kepada Allah SWT sebelum kita memohon kepada-Nya.
Jama’ah Shalat Jum’at yang diberi oleh hidayah Allah SWT….
Dengan permohonan hidayah, ada dua hal yang harus kita upayakan. Mula-mula kita berdo’a; setelah itu, kita berusaha. Agar do’a kita dikabulkan oleh Allah SWT, kita harus mendekatkan diri kepada-Nya dengan memperbanyak perbuatan baik serta menjauhi perbuatan jahat. Islam hanya memberi tuntunan cara berdoa dengan ajaran ibadah serta syarat dikabulkannya doa dengan ajaran halal dan haram. Selain rukun Islam, banyak ibadah sunnah yang menjadi media doa. Allah SWT tidak menerima doa orang yang pakaian dan makanannya terlumuri oleh dosa. Ingatlah, doa orang yang teraniaya mudah dikabulkan dibanding orang yang menganiaya. Dalam hal ini, orang yang saleh memiliki kekuatan yang besar manakala ia berdoa kepada Allah SWT.
Tidak diragukan lagi, doa yang benar dapat membuahkan perbuatan yang benar. Sulit dipercaya, orang yang konsisten menjalankan ajaran agamanya bisa berbuat salah. Yang banyak terjadi adalah banyak kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mematuhi ajaran agamanya. Bahkan, tidak sedikit atribut agama ditampilkan untuk menutupi kesalahannya, baik kesalahan dalam menjalankan ajaran agama maupun kesalahan dalam melakukan perbuatannya. Agar tidak terjerumus dalam dua kesalahan tersebut, hanya dua kuncinya: ilmu dan amal.

AKUNTANSI AMAL


Dalam riwayat Imam Muslim, Abdullah bin Mas’ud RA bercerita, “Ada seorang laki-laki yang telah mencium perempuan lain datang kepada Nabi SAW dan mengemukakan apa yang telah dialaminya. Setelah itu, turunlah surat Hud ayat 114.

114. Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.

‘Abdullah bin Mas’ud RA melanjutkan ceritanya. Laki-laki itu berkata, “Apakah ayat itu hanya untukku, Wahai Rasulallah?”. “Untuk umatku yang telah melakukannya”, jawab Nabi SAW.[1] “Umatku” dalam hadits ini menunjuk kepada orang-orang yang beriman, sehingga sebesar apapun amal orang yang tidak beriman tidak bisa menebus dosa-dosanya dan tidak akan diterima oleh Allah SWT.

Kita tidak terlepas dari dosa dan kesalahan. Semua itu bisa terhapus bila kita melakukan kebaikan. Dosa sangat mudah kita lakukan, sengaja maupun tidak sengaja. Kita bisa berbuat dosa melalui tangan, mata, telinga, mulut, hidung, kulit, kaki, dan semua anggota tubuh, bahkan hati dan pikiran. Pikiran kita bisa berzina bila kita mengkhayal perbuatan mesum. Seperti dosa, berbuat baik juga sangat mudah dilakukan. Tidak harus menguras harta, tenaga, dan pikiran, mengucapkan perkataan yang baik juga termasuk perbuatan yang baik, bahkan bersangka baik atau menahan diri dari perbuatan dosa juga bisa mendapatkan pahala. Kesabaran orang mukmin atas penderitaannya juga dapat mengurangi dosa-dosanya. Sengaja ataupun tanpa sengaja, ternyata kita sering melakukan kebaikan dan dosa.

Selain berbuat baik, dosa juga dapat terhapus oleh permohonan ampunan kepada Allah SWT. Acapkali kita memohon ampunan kepada Allah SWT, berulang pula Allah SWT menghapus dosa kita. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah SWT berfirman,

أذنب عبدي ذنبا فعلم أن له ربا يغفر الذنب ويأخذ بالذنب اعمل ما شئت فقد غفرت لك

HambaKu telah berbuat dosa. Ia telah mengetahui bahwa ia memiliki Tuhan yang mengampuni dan mengambil dosanya. Berbuatlah sesukamu, maka Aku telah mengampunimu.[2]

Selain permohonan ampunan dosa, Allah masih memberikan kelipatan atas pebuatan baik, tetapi tidak untuk perbuatan dosa. Maksud ingin berbuat baik juga diberi pahala, namun maksud berbuat jahat belum dicatat sebagai dosa. Kelipatan tersebut dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 245, surat al-Nisa’ ayat 39, dan surat al-An’am ayat 160. Surat al-An’am ayat 160 berbunyi:

160. Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan Barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka Dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).

Masih ada lagi keuntungan dari orang yang berbuat baik, yaitu pahala tetap mengalir manakala perbuatannya diikuti oleh orang lain. Semakin banyak orang yang mengikutinya, semakin besar pahala yang mengalir kepadanya. Boleh jadi, ia telah meninggal dunia, tetapi ia tetap mendapatkan pahala, meskipun tidak melakukannya.

Menurut penghitungan di atas, kita optimis menjadi penghuni sorga. Namun, pahala perbuatan baik yang demikian besar bisa hilang bila keikhlasan kita terganggu. Tidak hanya itu, apabila kita menganiaya orang lain, pahala kita kelak akan ditarik olehnya. Jika pahala itu sudah habis, sementara dosa penganiayaan masih tersisa, maka orang yang menganiaya akan memilkul dosa-dosa orang yang teraniaya. Menurut Nabi SAW, inilah nasib orang yang benar-benar bangkrut (al-muflis).[3]

Dosa-dosa kita terhadap sesama manusia ternyata lebih banyak daripada dosa-dosa kita kepada Allah SWT. Allah SWT Maha Pengampun, sehingga banyak dosa kita yang telah terampuni. Akan tetapi, dosa kita kepada sesama manusia harus mendapatkan pemaafan dahulu dari orang yang pernah kita sakiti. Kita mudah meminta maaf jika kesalahan kita kepada orang-orang tertentu. Kita tidak bisa membayangkan kesalahan pejabat atau pemimpin yang berbuat aniaya kepada rakyatnya. Cukupkah dengan mengembalikan uang hasil korupsinya? Cukupkah dengan pernyataan minta maaf di media massa? Yang pasti, Allah SWT tidak bisa mengampuni dosanya terhadap sesama manusia. Semoga kita sabar dalam penganiayaan dan mendapatkan pemimpin yang adil. Amin.



[1] Muslim, Shahih Muslim, Vol. II (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hal. 600-601, hadits nomor 2763.

[2] Ibid., hal. 598, hadits nomor 2758.

[3] Ibid., hal. 524, hadits nomor 2581.

DIMENSI EKSOTERIS DAN ESOTERIS DALAM ISLAM


Pendahuluan

Pusat pengendalian manusia adalah otak yang oleh Islam dibahasakan dengan al-qolbu. Tidak sedikit para ulama yang mengartikan al-qolbu sebagai hati, padahal arti ini sulit dijelaskan secara ilmiah. Otak menggerakkan manusia untuk mentransfer informasi melalui panca indera. Otak memutuskan sikap dan perbuatan manusia. Otak pula yang menyimpan segala pengetahuan dan pengalaman manusia. Atas kehebatan otak ini, Nabi SAW. bersabda,

“Sesungguhnya perkara yang halal telah jelas. Perkara haram juga jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar (syubhat). Banyak manusia yang tidak mengetahuinya. Karenanya, siapapun yang menjaga perkara-perkara yang samar, berarti ia berusaha membebaskan diri demi agama dan harga dirinya. Siapapun yang telah jatuh dalam perkara-perkara yang samar, ia pun jatuh dalam perkara yang haram. Ia laksana pengembala yang sedang merumput di sekitar tanah larangan. Ia hampir merumput di tanah tersebut. Ingatlah, setiap penguasa pasti memiliki larangan. Ingatlah, sebenarnya larangan Allah adalah hal-hal yang haram. Ingatlah, sesungguhnya dalam tubuh terdapat sepotong daging. Manakala ia baik, seluruh tubuhnya menjadi baik. Manakala ia rusak, seluruh tubuhnya menjadi rusak. Ingatlah, sepotong daging itu adalah otak”.(H.R. Imam Muslim, 1988: I: 47; nomor 1599).

Secara global, pekerjaan otak meliputi aspek keyakinan, perbuatan, dan perasaan. Keyakinan dapat dideteksi melalui pembicaraan, perbuatan dapat diketahui dengan pengetahuan inderawi, namun perasaan sulit diungkapkan. Ketiga aspek ini berhubungan satu sama lain. Keyakinan menentukan perbuatan dan perasaan. Karenanya, iman adalah segalanya dalam agama. Sebelum mengamalkan ajaran agama, mula-mula pemeluk agama diwajibkan memperteguh imannya. Perbuatan adalah bentuk yang tampak (al-zhawahir, eksoteris), sedangkan perasaan merupakan bentuk yang tersembunyi (al-bawathin, esoteris). Ajaran Islam menetapkan sanksi atas perbuatan yang tampak melalui kewenangan manusia. Sementara perasaan yang tersembunyi hanya kewenanangan Allah SWT. Kita bisa menegur orang yang shalat dengan meninggalkan sebagaian syarat atau rukunnya, tetapi kita tidak berhak menilai keikhlasan shalatnya. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita wajib memberikan penghargaan kepada orang yang dermawan, tanpa menilai keikhlasannya. Hukum harus ditegakkan atas perbuatan yang dapat dibuktikan secara nyata dengan menafikan motif perbuatan tersebut. Asas “praduga tak bersalah” bukan ranah perbuatan, melainkan perasaan berbaik sangka. Para ulama Islam, merumuskan perbuatan-perbuatan yang tampak ini sebagai obyek kajian Ilmu Fikih. Perbuatan-perbuatan yang tidak tampak dapat dijelaskan dengan disiplin Ilmu Akhlaq. Tulisan ini hendak menyajikan gambaran singkat kedua disiplin ilmu keislaman tersebut.

Ilmu Fikih

Umat Islam sering dibingungkan oleh tiga konsep: Syari’ah, Fikih, dan Hukum Islam. Sebelum memberikan definisi masing-masing, terlebih dahulu dikemukakan deskripsinya. Syari’ah terwujud dalam teks atau bacaan al-Qur’an dan al-Hadits. Syari’ah Islam masih berupa ajaran yang mentah. Syari’ah meliputi semua hal yang terkait dengan ajaran agama, sehingga ia diartikan sebagai agama (A. Djazuli, 2006: 2). Teks atau bacaan tersebut dipahami dan diolah hingga menghasilkan kesimpulan hukum. Upaya pemahaman dan pengolahan tersebut memerlukan suatu metode yang disebut dengan Ushul Fiqh. Hasil kesimpulan hukum dinamakan Fiqh yang didefinisikan sebagai mengetahui hukum-hukum syariah praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (‘Abd al-Wahhab Khallaf, 1990: 11). Ketika hasil pemahaman dalil al-Qur’an dan al-Hadits diterapkan sebagai hukum positif maupun norma sosial-kemasyarakatan, maka ia disebut dengan Hukum Islam. Dalam wilayah ini, aspek ritual bukan termasuk Hukum Islam (A. Djazuli, 2006: 13-14). Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah hukum Islam yang dirumuskan dari konsepsi Fikih. Karena itu, suatu dalil ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan secara berbeda oleh para ulama, sehingga perbedaan ini membentuk suatu pandangan atau madzhab. Ada banyak madzhab yang berkembang sepanjang sejarah umat Islam, namun hanya empat madzhab yang dikenal hingga saat ini, yaitu Madzhab Hanafi (dibentuk oleh Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit), Madzhab Maliki (dibentuk oleh Imam Malik bin Anas), Madzhab Syafi’i (dibentuk oleh Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i), dan Madzhab Hambali (dibentuk oleh Imam Ahmad bin Hanbal). Dengan demikian, Ilmu Fikih hanya sebuah disiplin ilmu yang mempelajari hasil pemikiran para ulama mengenai perbuatan yang tampak dari dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadits.

Fikih dikelompokkan dalam dua bidang, (Wahbah al-Zuhayli, 1989: 19) yaitu ‘ibadah (ritual) dan mu’amalah (sosial). Antara ibadah dan mu’amalah, terdapat karakteristik yang mendasar. Ibadah berhubungan dengan Allah SWT (al-khaliq), sedangkan mu’amalah dengan selain Allah SWT (makhluq); dalil tentang ibadah lebih terperinci daripada mu’amalah; dan pemikiran dalam masalah mu’amalah lebih besar wilayahnya daripada masalah ibadah. Lebih terperinci lagi, Fikih dapat diklasifikasi dalam delapan bidang, yaitu: ibadah murni, mu’amalah, masalah keluarga, tindak pidana, peradilan, pemerintahan, hubungan antar negara, dan persoalan budi pekerti (Abdul Azis Dahlan, 2001: I: 335).

Dari definisi dan penjelasan tentang hakekat Ilmu Fikih di atas, tampak bahwa titik berat orientasinya adalah pengaturan hidup bersama manusia dalam tatanan sosialnya. Meski aspek ritual ibadah berkaitan antara manusia dan Tuhannya, namun pembahasan Ilmu Fikih tetap berorientasi hukum. Dalam hal ini, ada lima macam hukum: wajib (keharusan), mandub/sunnah (anjuran melaksanakan), mubah (diberbolehkan), makruh (anjuran menjauhi), dan haram (larangan). Di samping itu, terdapat cara penilaian kepada sesuatu sebagai sah atau batal, yaitu dilihat dari kenyataan apakah semua syarat dan rukunnya terpenuhi atau tidak.

Ilmu Fikih telah tumbuh sejak masa Nabi SAW sendiri, yaitu peranannya sebagai pemimpin masyarakat politik (Madinah) dan sebagai hakim pemutus perkara. Surat al-Nisa’ ayat 65 menegaskan hal ini: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. Tatkala, Nabi SAW telah wafat, pemutus perkara menjadi kewenangan para sahabat senior serta sahabat-sahabat Nabi SAW yang diangkat menjadi hakim, semacam Mu’adz bin Jabal di Mesir, ‘Abdullah bin Mas’ud di Kufah, ‘Abdullah bin ‘Abbas di Mekkah, dan sebagainya. Selain sebagai hakim, para sahabat ini juga mengajarkan Ilmu Fikih kepada para muridnya yang dikenal dengan sebutan Tabi’in (para pengikut sahabat Nabi SAW). Para murid sahabat ini juga menggantikan posisi gurunya dan tersebar di berbagai wilayah kekuasaan Islam. Mereka mempunyai banyak murid yang dikenal dengan nama Tabi’ut Tabi’in (pengikut dari para pengikut sahabat Nabi SAW). Dalam generasi ini, Ilmu Fikih dikembangkan sebagai menulis beberapa kitab Fikih. Dukungan pemerintah atas perkembangan Ilmu Fikih juga tidak kecil. Para ahli Fikih mendapat posisi yang terhormat di masyarakat Islam, karena mereka menjadi konsultan hukum sekaligus hakim. Dengan pedoman Ilmu Fikih, suatu masyarakat diharapkan tumbuh menjadi masyarakat hukum (legal society) yang dasar strukturnya adalah masyarakat yang berakhlak (Sayyid Sabiq, 1968: I: 13).

Saat ini, Ilmu Fikih telah berkembang pada fase perundang-undangan (taqnin). Fase ini melibatkan unsur politik hukum agar diterima sebagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena masyarakat negara bersifat pluralis, maka Ilmu Fikih mengalami rekonstruksi: dari tekstual menjadi kontekstual. Fikih tekstualis ditandai dengan mengikuti pendapat tertulis para ulama di beberapa literatur Fikih klasik. Penerapan fikih model ini menemui hambatan, antara lain perbedaan masa dan daerah antara pendapat ulama dahulu dengan kondisi masyarakat saat ini. Apa yang dirumuskan dan diberlakukan di kawasan Arab belum tentu sesuai dengan keadaan masyarakat di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, Fikih Kontekstual diajukan untuk menghilangkan hambatan ini. Fikih ini menggali pesan moral yang universal dari suatu dalil, lalu dirumuskan hukum normatif. Berdasarkan Fikih Kontekstual, hampir semua produk perundangan-undangan di Indonesia dapat dikategorikan sebagai hukum Islam. Rumusan bakunya adalah selama peraturan perundang-undangan itu bisa menjaga eksistensi agama, menjaga nyawa makhluk, menjadi keturunan, menjaga akal manusia, dan menjaga harta, maka ia termasuk hukum Islam.

Ilmu Akhlaq

Secara bahasa, kata “akhlaq” berarti tabiat, budi pekerti, kebiasaan, keprawiraan, kesatriaan, kejantanan, agama, dan kemarahan (al-Munawwir, 1997: 364). Dalam al-Qur’an, kata “akhlaq” dikemukakan bentuk pluralnya: “khuluq”. Di surat al-Syu’ara’ ayat 7, “khuluq” diartikan adat istiadat, “(agama kami) ini tidak lain hanyalah adat istiadat orang terdahulu”. Kata “khuluq” dalam surat al-Qalam ayat 4 berarti budi pekerti: “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Dari berbagai makna ini, dapat dinyatakan bahwa akhlak merupakan suatu watak atau tabiat seseorang yang dapat meletupkan emosi dan membangkitkan kemarahan untuk menjaga keprawiraan, dan kesatriaannya. Watak ini juga bisa menjadi semangat menjalankan perbuatan baik. Karena menjadi dorongan manusiawi, watak dan tabiat tersebut muncul berulang-ulang dan akhirnya menjadi kebiasaan. Apabila kebiasaan ini dilakukan secara kolektif, maka ia akan membentuk adat istiadat. Ketika adat tersebut disakralkan, maka ia dapat meningkat menjadi suatu agama. Dengan pemahaman terbalik, pembentukan akhlak menjadi sebuah adat dan agama harus terlebih dahulu melalui pembiasaan, pelatihan, dan pembinaan individu, kemudian dilanjutkan pada sasaran kelompok dan masyarakat. Merubah suatu akhlak yang telah menjadi adat dan agama adalah hal yang paling sulit. Tidak jarang para agen perubahan menerima perlakuan kasar dan kekerasan seperti yang pernah dialami oleh para Nabi.

Dari sudut istilah, akhlak memiliki ragam definisi. Definisi yang singkat mengenai akhlak dikemukakan oleh Ibnu Maskawaih (dalam Musa, 1963: 81), yaitu “Keadaan jiwa yang selalu mendorong manusia untuk berbuat tanpa berpikir”. Jadi, akhlak adalah dorongan jiwa secara spontanitas. Ia tidak tampak, namun memiliki dampak. Kekuatan dorongan jiwa muncul dari pembiasaan. Seseorang akan enggan membiasakan sesuatu bila tidak memiliki keyakinan yang kuat mengenai hal tersebut. Pelaksanaan ibadah shalat dapat menjadi contoh. Tidak semua umat Islam memiliki kesamaan dalam melaksanakan shalat: ada yang enggan, ada yang jarang melakukannya, dan ada pula yang rajin. Mereka yang rajin menjalankannya juga bisa diklasifikasikan: ada yang melaksanakannya dengan cepat dan ada pula yang tenang. Perbedaan ini terkait dengan pembiasaan shalat serta pengetahuan tentang shalat. Bagi orang yang terbiasa shalat dengan tenang, tentu pengetahuannya tentang shalat bisa lebih mendalam dibanding orang lain. Ketika seseorang telah mengetahui hikmah yang besar dalam shalat, ancaman bagi yang meninggalkannya, serta ketenangan sebagai salah satu rukunnya, maka ia berusaha menjalankan shalat dengan sebaik-baiknya. Inilah paduan antara ilmu dan amal. Oleh karena itu, akhlak merupakan perantara ilmu dan amal; pikiran dan perbuatan; kognitif dan motorik.

Ada dua macam akhlak, yaitu akhlak yang buruk dan akhlak yang baik. Pengetahuan yang salah atau tidak memiliki pengetahuan sama sekali bisa mengantar seseorang untuk memiliki akhlak yang buruk. Sebaliknya, pengetahuan yang benar akan membawanya menuju akhlak yang baik. Akhlak yang buruk berdampak pada perbuatan yang jahat dan akhlak yang baik akan berbuah perbuatan yang bermanfaat. Untuk menilai baik-buruknya akhlak serta upaya pembiasaannya diperlukan Ilmu Akhlak. Sejatinya, setiap manusia yang dewasa dan berakal sehat bisa membedakan akhlak yang baik dan buruk. Akan tetapi, adanya nafsu sebagai kelengkapan manusia yang lain untuk mempertahankan eksistensi dirinya menjadikan akal senantiasa bertarung dengan nafsu. Orang yang bertindak kejahatan pasti mengerti bahwa apa yang dilakukannya adalah jahat. Ada faktor-faktor tertentu yang mendorong dirinya untuk melakukan itu, seperti keserakahan, egoisme, kesombongan, dan sebagainya. Faktor-faktor ini muncul sebagai akibat tidak adanya ilmu. Selain itu, fungsi utama agama adalah menuntun manusia agar lebih mengendalikan nafsunya dan menggali potensi akalnya. Agama yang berintikan akhlak mengembangkan faktor dorongan tersebut. Dorongan yang paling kuat adalah keimanan. Tentu saja iman juga bersifat fluktuatif: terkadang bertambah kuat, terkadang semakin lemah. Pengetahuan tentang ajaran agama yang mendalam akan memperkokoh keimanan. “Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka ia akan diberi pemahaman mengenai agamanya,“ sabda Nabi SAW (Ibnu Majah, 2004: I: 85: nomor 220). Kekuatan iman ini selalu mendorong jiwa untuk berbuat sesuai dengan ketetapan agama. Al-Qur’an dalam banyak ayat telah mendorong manusia agar senantiasa menggunakan potensi akal pikirannya untuk memperkokoh imannya. Karena tidak tampak, ilmu, iman, dan akhlak menjadi misteri. Keunggulan manusia terletak pada kedalaman ilmu, kokohnya iman, kebaikan akhlak, hingga menghasilkan perbuatan baik yang bermutu. Nabi Saw menyatakan bahwa “Sesungguhnya Allah tidak memperhatikan postur tubuh dan harta kalian, melainkan memperhatikan perbuatan dan hati (otak) kalian” (Muslim, 1988: II: 516: nomor 2559; Ibnu Majah, 2004: II: 549: nomor 4143).

Akhlak juga terbagi antara hubungan manusia dan makhluk serta hubungan manusia dan Tuhannya. Akhlak kepada Tuhan mempengaruhi akhlak kepada makhluk, terutama sesama manusia. Ketika seseorang itu takut kepada Tuhannya, maka dapat dipastikan bahwa ia akan senantiasa berhati-hati dalam bergaul dengan sesama manusia. Ia takut murka Allah manakala berbuat aniaya terhadap makhluk-Nya. Untuk itu, Ilmu Akhlak dalam Islam lebih menitikberatkan aspek hubungan antara manusia dan Tuhannya. Perbaikan dalam hal ibadah menjadi menu yang utama. Pelajaran demikian ini melahirkan disiplin ilmu Tasawwuf. Orang yang mempraktekkan tasawwuf (sufi) terlihat sebagai ahli ibadah. Para sufi tidak cukup dengan praktek ibadah lahir, tetapi juga menjalankan ibadah batin. Jika mereka melaksanakan shalat, mereka tidak hanya memenuhi syarat dan rukunnya, melainkan juga berusaha ihsan, yakni merasakan kehadiran Allah saat shalat. Dalam Tasawwuf, dikenal beberapa tahapan ibadah yang harus dilampaui oleh para sufi. Ketika semua tahapan telah dicapai secara sempurna, para sufi baru membangun hubungan sesama makhluk. Saat demikian ini, para sufi mudah terhindar dari hal-hal yang tercela. Jangankan perbuatan yang haram, berpikir yang tidak baik pun dijauhinya. Karenanya, orang yang telah mencapai tingkatan ini dinamakan orang yang menjadi kekasih Allah atau wali.

Penjelasan di atas bisa menjadi jawaban atas berbagai moral yang berkembang di masyarakat. Tidak jarang ditemukan kasus orang yang memahami ajaran agama dengan baik, namun sikap dan perbuatannya dipandan rendah oleh masyarakatnya. Dalam hal ini, terdapat dua kemungkinan. Pertama, boleh jadi ia berbuat sesuai dengan ilmu yang dipahaminya, sementara masyarakatnya masih belum memahami ilmunya. Ia dianggap asing bagi masyarakatnya. Kedua, ia mengetahui kebaikan, tetapi enggan melaksanakannya. Ia lebih mengikuti nafsunya. Orang seperti ini paling berbahaya: ia sesat dan bisa menyesatkan orang lain. Fitnah di masyarakat, dekadensi moral, hingga mosi tidak percaya kepada pemuka agama lebih disebabkan oleh liarnya nafsu pemuka agama yang dilegitimasi oleh ilmunya. Untuk membedakan kedua kemungkinan tersebut, dapat digunakan batasan halal dan haram. Jika seseorang melakukan hal yang haram, maka ia bisa disalahkan, meski ia memberikan sejuta argumen. Korupsi diharamkan oleh agama dan negara dalam kondisi apapun. Pemuka agama yang terbukti melakukan kejahatan ini dapat disalahkan, meski ia mengajukan macam dalih. Jika ada kyai yang dituduh menghamili santrinya, maka tuduhan itu harus dibuktikan. Tuduhan yang tidak berdasar kepada pemuka agama bisa menjauhkan umat dari agamanya. Masyarakat sering mengecam pemuka agama hanya karena persoalan yang masih diperdebatkan. Poligami masih diperdebatkan hingga kini, tetapi masyarakat selalu menyalahkan pemuka agama yang melakukannya. Ada prinsip moral yang bisa dijadikan pegangan untuk hal ini: “Orang yang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan keharamannya tidak boleh dikecam. Namun, kecaman bisa diarahkan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang disepakati keharamannya (la yunkarul mukhtalaf fih wainnama yunkarul muttafaq ‘alaih)”.

Penutup

Dalam ajaran Islam, terdapat ruangan publik dan ruangan privat. Islam menentukan ruangan publik dengan moral universalnya. Tehnis pelaksanaannya diserahkan kepada umat manusia untuk mengaturnya. Dalam ruangan ini, kesalahan dapat dilekatkan selama didukung oleh bukti yang kuat. Berbeda dengan ruangan privat yang hanya diketahui oleh Allah saja. Orang lain tidak berhak menilainya. Keduanya berhubungan secara erat: ruangan privat menentukan kualitas ruangan publik. Ruangan privat yang terletak di otak berpengaruh pada ruangan publik yang diamati dari gerakan badan manusia. Ada perbuatan yang dinilai baik oleh manusia, tetapi dipandang sebaliknya oleh Allah SWT. Dengan demikian, dimensi eksoteris harus selaras dengan dimensi esoterisnya.

Bibliografi

Dahlan, Abd. Azis (et.al.). Ensiklopedi Hukum Islam. Vol. I. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.

Djazuli, A. Ilmu Fiqih. Jakarta: Kencana, 2006.

Ibnu Majah. Sunan. Beirut: Dar al-Fikr, 2004.

Khallaf, ‘Abd al-Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyyah Syabab al-Azhar, 1990.

Munawwir, Ahmad Warson al-. al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progessif, 1997.

Musa, Muhammad Yusuf. Falsafah al-Akhlaq fi al-Islam wa Shilatuha bi al-Falsafah al-Gharbiyyah. Kairo: Muassasah Khanjiy, 1963.

Muslim bin al-Hajaj al-Qusyairi al-Naisaburi. Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Kuwait: Dar al-Bayan, 1968.

Zuhayli, Wahbah al-. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Damaskus: Dar al-Fikr, 1989.

Jumat, Mei 29, 2009

PENGENDALIAN DIRI

Suatu hari, ada seorang laki-laki yang mencaci-maki Abu Bakar ash-Shiddiq RA, sahabat dan mertua Rasulullah SAW. Saat itu Rasulullah SAW. sedang duduk berada di sisinya. Melihat cacian tersebut, Rasulullah SAW. heran dan diam saja. Tak tahan oleh cacian itu, Abu Bakar RA segera membalasnya. Melihat hal itu, Rasulullah SAW. menjadi marah dan berdiri menghadapi Abu Bakar RA. Abu Bakar RA membela diri, “Wahai Rasulullah, dia mencaci-maki diriku, sementara Anda duduk di sampingku, mengapa Anda marah dan menghadapiku saat aku handak membalas caci-makinya”. Rasulullah SAW. menjawab,”Sesungguhnya ada satu malaikat yang hendak membalasnya. Namun, ketika kamu hendak membalas cacimakinya, ada syetan yang datang. Aku sekali-kali tidak akan pernah duduk bersama syetan” (Ibnu Hamzah al-Husayni, t.t. : I: 259-260).

A. Dorongan Nafsu dan Akal

Semua makhluk hidup –termasuk manusia- dilengkapi nafsu oleh Allah SWT. Berkembang-biak, mempertahankan diri dan keluarganya, serta menjaga kelangsungan hidup adalah beberapa ciri mahkluk hidup yang didorong oleh nafsu. Dalam diri manusia, ada hasrat seksual, hasrat marah, hasrat dipuja, dan hasrat hidup lebih lama. Nafsu adalah diri. Mementingkan diri merupakan kewajaran, namun terlalu mementingkan diri disebut egois. Orang yang egois selalu mengikuti nafsunya. Tanpa kontrol dan pengendalian, nafsu bisa menjerumuskan seseorang kepada kerusakan dan kejahatan. Nafsu tidak akan pernah merasa puas. Orang yang egois pun tidak memperdulikan orang lain, pembawaannya suka marah, makannya berlebihan, gejolak seksualnya liar, tidak pernah memikirkan kematian, sukar diajak kebaikan, bahkan selalu dalam kemaksiatan. Nafsu demikian ini dikatakan al-Qur’an (surat Yusuf ayat 53) sebagai nafsu ammaroh. Musuh sejati manusia (syetan) mendorong dengan kuat ke arah nafsu ammaroh melalui kenikmatan-kenikmatan duniawi. Karena manusia juga dilengkapi dengan akal, maka setiap manusia pasti mengetahui nafsu ammaroh termasuk dorongan kejahatan. Tidak sedikit manusia yang telah terjerumus kejahatan dan kemaksiatan menyadari kesalahannya. Nafsu yang menyesal ini disebut al-Qur’an (surat al-Qiyamah ayat 2) dengan nafsu lawwamah. Ketika manusia disadarkan oleh kesalahannya, ia masih didorong syetan lagi menuju nafsu jahat (ammaroh). Namun, manusia yang masih menggunakan akalnya pasti selalu mengendalikan nafsunya. Nafsu yang terkendali ini dinamakan al-Qur’an (surat al-Fajr ayat 27) dengan nafsu muthmainnah. Inilah ayat-ayat tentang nafsu tersebut.

1. Nafsu Ammaroh (diri yang tak terkendali).

“Dan aku (Nabi Yusuf AS) tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang” (surat Yusuf ayat 53).

2. Nafsu Lawwamah (penyesalan diri).

“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)” (surat al-Qiyamah ayat 2).

3. Nafsu Muthmainnah (diri yang terkendali).

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka, masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam syurga-Ku” (surat al-Fajr ayat 27-30).

Nafsu menjadi tenang bila mengikuti akal. Identitas manusia terletak pada akalnya. Dengan akal, manusia bisa hidup lebih baik dan lebih berkualitas. Tidak sekedar membuat makanan, akal manusia bisa membuat makanan yang lezat dan bergizi. Binatang yang buas dan kuat bisa ditundukkan manusia dengan akalnya. Alam lingkungan pun bisa dikuasai manusia. Akal juga mengarahkan manusia kepada kebaikan, bahkan menunjukkan kebenaran. Pekerjaan akal adalah berpikir: membedakan perkara yang benar dan salah. Akal mempu menjangkau sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh indera. Akal juga mampu merenungkan masa lalu, masa kini, dan meramalkan masa mendatang (al-Mawardi, 1995: 10-11). Namun demikian, tidak semua kebaikan dan kebenaran terjangkau oleh akal. Dalam hal ini, agama yang mampu menjangkaunya. Agama Islam tidak bertentangan dengan akal, bahkan tidak sedikit ajarannya yang tidak terjangkau oleh akal, seperti kejadian di Hari Kiamat, suasana sorga dan neraka, alam kubur, dan sebagainya. Islam mendorong manusia untuk mendayagunakan akalnya, agar menempati derajat yang mulia. Membaca al-Qur’an pun hars melibatkan akalnya untuk merenungi (tadabbur) ayat-ayatnya. Karenanya, manusia yang mengikuti akalnya –ia menjadi manusia sejati- lebih unggul dibanding makhluk yang lain. Sebaliknya, manusia yang tidak menggunakan akalnya –cenderung pada nafsunya- bisa disamakan dengan binatang, bahkan lebih rendah darinya. Allah WT berfirman,

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati (akal), tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai” (surat al-A’raf ayat 179).

B. Cara Pengendalian Diri

Nafsu dan akal saling mempengaruhi hati manusia. Al-Qur’an menyebut hati dengan al-qalb (berbolak-balik) yang sering kita ucapkan dengan istilah kalbu. Hati atau kalbu ini yang menentukan sikap dan tindakan manusia, termasuk mempengaruhi kesehatan tubuh manusia. “Ingatlah, sesungguhnya dalam tubuh terdapat sepotong daging. Manakala ia baik, seluruh tubuhnya menjadi baik. Manakala ia rusak, seluruh tubuhnya menjadi rusak. Ingatlah, sepotong daging itu adalah hati”, sabda Nabi SAW (H.R. Imam Muslim, 1988: I: 47; nomor 1599). Untuk mengendalikan diri, hati harus cenderung mengikuti akalnya daripada nafsunya. Ada orang yang rela membantu orang lain tanpa pamrih. Hati orang ini tidak berpihak kepada nafsu yang mementingkan diri sendiri, melainkan cenderung kepada akal yang mengarahkannya kepada kebaikan. Pada dasarnya, semua ibadah dalam Islam –shalat, puasa, zakat, haji, membaca dan merenungkan isi al-Qur’an, dan sebagainya- memperkuat akal dan mendidik nafsu. Penting dicatat bahwa nafsu tidak boleh dihilangkan sama sekali, tetapi hanya dikendalikan atau dididik (tahdzibun nafsi). Jadi, tidak dibenarkan hidup dengan menyakiti diri, seperti hidup tanpa menikah, membiarkan perut dalam kelaparan, tidak bermasyarakat, enggan mandi, dan seterusnya. Mengendalikan nafsu berarti tidak membiarkannya berkeliaran dan juga tidak membunuhnya, melainkan mengikatnya sesuai dengan kehendak akal.

Makanan nafsu adalah kesenangan jasmani, sedangkan makanan akal adalah ilmu. Kesenangan jasmani ini meliputi banyak makan, banyak tidur, terlalu berurusan dengan harta, dan sering membuang waktu untuk hal yang tidak bermanfaat. Nabi SAW bersabda, “Termasuk kesempurnaan iman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak memberikannya manfaat” (H.R. al-Turmudzi). Pendek kata, kegiatan apapun yang tidak membuat akal bekerja akan mudah dimasuki oleh nafsu. Selama seseorang berpikir secara positif, selama itu pula ia tidak dipengaruhi nafsu. Inilah manfaat dari kegiatan yang baik serta bergaul dengan orang-orang yang baik. Demikian ini juga merupakan kerja dari orang yang selalu memperhatikan ilmu. Masyarakat yang dikenal budaya membacanya akan membangun peradaban yang maju, seperti beberapa negara maju saat ini. Masyarakat suka hura-hura sulit bergaul dengan masyarakat senang membaca. Orang yang lebih mencintai harta sulit menjadi teman akrab bagi orang yang mencintai ilmu. Harta di tangan ilmuwan bisa bermanfaat, karena langsung digunakan bukan untuk diri sendiri saja, melainkan untuk hal-hal yang bermanfaat. Jadi, cara yang paling baik untuk mengendalikan nafsu adalah bergaul dengan orang-orang memberikan manfaat ketenagan jiwa, mempelajari ilmu yang bermanfaat, lalu membuahkan perbuatan yang bermanfaat.

Rujukan

Husayni, Ibnu Hamzah al-. al-Bayan wa al-Ta’rif fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif. Vol. I. Beirut: Dar al-Tsaqofah al-Islamiyyah, t.t.

Mawardi, Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-. Adab al-Dunya wa al-Din. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.

Muslim. Shahih Muslim. Vol. I. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

MENDIDIK DENGAN NURANI

Apa yang Anda lakukan di ruang gelap tanpa cahaya sama sekali? Anda pasti tidak melakukan apapun. Anda bingung. Jika dibiarkan lama, Anda akan panik dan marah, seperti masyarakat kita yang mengalami pemadaman listrik yang agak lama. Dalam kegelepan, kita membutuhkan cahaya, meskipun hanya sebatas pantulannya, walaupun cahayanya redup. Kita sering menyebut cahaya dengan nama “nur”(dari Bahasa Arab, “al-nuur”). Dari kata “nur” ini, terbentuk istilah “nurani”, sepadan dengan kata “ruh” menjadi “ruhani” atau “jism” menjadi “jasmani”. Nurani adalah cahaya spiritual yang terpancar dari lubuk hati. Biasanya, kita menyebutnya “hati nurani”. Nurani tidak menyinari tubuh manusia, melainkan menerangi jiwa atau nurani manusia. Seperti cahaya material, nurani bisa diciptakan, dipantulkan, dibentuk dengan aneka warna, serta memiliki frekuensi dan panjang gelombang yang tidak sama. Berdasarkan fungsi-fungsi nurani ini, kita bisa merumuskan pola pendidikan dengan pendekatan nurani.

Mendidik dengan nurani berarti memaksimalkan potensi nurani guru untuk menerangi nurani para siswanya. Asumsi dasarnya adalah kesucian nurani setiap manusia. Nurani tidak pernah berdusta, meskipun lidahnya penuh dengan kedustaan. Seseorang bisa membedakan perbuatan baik dan buruk dengan nuraninya. Setelah meyakin asumsi in, guru harus menggugah nurani para siswanya melalui pembelajaran yang mengedepankan sentuhan spriritualitas dan relijiusitas. Di antara pembelajaran yang berbasis nurani adalah bacaan doa sebelum dan sesudah pelajaran. Materi doa ini sebaiknya menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh para siswa, bukan dengan Bahasa Arab, serta tidak terlalu panjang. Bacaan doa ini tidak monopoli guru agama, melainkan setiap guru mata pelajaran apapun perlu menggunakan doa dalam pengajarannya, karena doa merupakan sugesti para siswa dalam menatap masa depan mereka. Jika seorang guru mengatakan di depan para siswanya, “Semoga kalian menjadi pemimpin bangsa yang hebat”, maka para siswa akan termotivasi untuk menjadi pemimpin. Jika di antara mereka kelak menjadi pemimpin, ia akan teringat oleh doa gurunya.

Tehnik pembelajaran berbasis nurani lainnya adalah memberikan sisipan nasehat yang bermakna ketika sedang menjelaskan pelajaran inti. Selain sebagai rekreasi untuk melepas ketegangan, nasehat juga mengandung arti perhatian guru kepada para siswanya. Perhatian ini semakin dirasakan para siswa manakala guru memberikan tatapan atau pandangan yang penuh dengan keikhlasan serta optimis dengan keberhasilan para siswa. Sikap optimis ini ditunjukkan oleh guru dengan tidak mencela atau merendahkan ketidakmampuan para siswanya, karena hal ini bisa membuat para siswa mencitrakan dirinya secara negatif. Mengajar dengan nurani harus dijauhkan dari buruk sangka, putus asa, kurang peduli, dan pencelaan negatif.

Memberikan contoh-contoh realitas kehidupan juga bisa menggugah nurani para siswa. Contoh dapat membantu dalam memahami konsep-konsep yang abstrak. Memperlihatkan contoh saja juga bisa menimbulkan persepsi dan penafsiran yang keliru. Karena itu, guru harus memperlihatkan contoh sekaligus menjelaskannya sesuai dengan kemampuan para siswanya. Tujuannya adalah menggugah nurani para siswa agar bisa ikut merasakan pengalaman orang lain. Rekreasi yang baik adalah megajak para siswa menyelami dunia orang lain, seperti anak yatim, masyarakat nelayan, masyarakat santri, dan sebagainya. Guru bisa mengajak para siswanya untuk menjenguk dan mendoakan teman mereka yang sedang sakit. Tradisi semacam ini sudah terkikir, jika tidak dikatakan telah habis.

Pemantulan nurani berarti pandangan para siswa kepada gurunya. Ketika para guru mengajar di ruang kelas, para siswa tidak hanya memperhatikan pelajaran yang disampaikan, tetapi juga cara guru duduk, berdiri, berbicara, mengenakan pakaian, merawat tubuh, bersepatu, serta apapun yanag terkait dengan gerak-gerik dan penampilan guru. Tidak hanya itu, di luar kelas, guru juga disorot oleh para siswanya: kendaraan yang dipakai, hobby, keadaan rumah tangga, dan semua kehidupan guru. Apabila kehidupan guru itu terpuji, maka nuraninya akan memantulkan kebaikan kepada para siswanya. Sebaliknya, kehidupan guru yang tercela juga akan memantulkan negatif kepada nurani para siswa.

Nurani yang diciptakan maupun dipantulkan memiliki pengaruh yang berbeda kepada para siswanya. Untuk melihat hasil pendidikan dengan nurani, perlu waktu yang relatif panjang. Namun demikian, pengaruh itu tertanam sangat kuat dalam kehidupan para siswa di kemudian hari. Kadangkala, para siswa terketuk kesadarannya setelah lulus sekolah. Boleh jadi, hanya sedikit nurani guru yang diserap oleh para siswanya. Sebagaimana cahaya material, nurani guru tidak akan diserap jika para siswa mencoba untuk menutupi sinarnya. Hal ini dapat terjadi pada para siswa dan guru yang saling membenci dan terlibat permusuhan.

BELAJAR BERSAMA: TRADISI YANG TERABAIKAN

Budaya khas masyarakat Indonesia adalah gotong royong. Sebagai negara agraris, sistem gotong royong mutlak dibutuhkan dalam kegiatan bercocok-tanam. Dari kegiatan ini, penggunaan gotong royong dikembangkan dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan, semacam pendirian rumah, penyelenggaraan kenduri, upacara hari besar keagamaan, upacara pernikahan, upacara kelahiran dan kematian, bahkan proses pembelajaran masyarakat. Masing-masing daerah memiliki kearifan lokal dalam mengelola gotong-royong tersebut. Akan tetapi, karakteristik gotong royong tidak terlepas dari hubungan timbal balik sosial sesama warga masyarakat yang dalam Antropologi disebut dengan sistem resiprositas. Ketika ada warga yang hendak mendirikan rumah, maka masyarakat sekitarnya ikut membantunya (soyo) dengan harapan kelak warga tersebut juga membantu pada kegiatan yang sama. Dalam tradisi hajat pernikahan kita, ada istilah bowo dan biyodho. Bowo adalah pemberian bantuan uang atau barang kepada orang yang memiliki hajat pernikahan. Jika bantuannya berupa tenaga, dinamakan biyodho. Tentu saja orang yang menerima bantuan tersebut terbebani secara moral untuk membantu orang yang memberikan bowo atau biyodho.

Bentuk resiprositas dalam kegiatan pembelajaran masyarakat adalah bimbingan belajar oleh seorang terpelajar. Pembimbing ini pernah mengenyam pendidikan di luar daerah dengan iringan doa, uang saku, bahkan pengiring dari masyarakat. Selain itu, bila suatu hari pelajar tersebut kekurangan bekal, maka masyarakat secara gotong-royong membantu sumbangan uang atau pemberian hutang. Pada waktu sekolah belum semarak seperti saat ini, sedikit pelajar yang melanjutkan sekolahnya keluar daerah. Jika ada pelajar yang berminat, masyarakat hanya memberikan dorongan dan bantuan finansial secukupnya. Umumnya, tradisi ini terjadi pada pelajar yang belajar di pondok pesantren, sehingga ia diharapkan masyarakat untuk dapat mengajar “ngaji” di masyarakatnya. Namun, kenyataannya juga terjadi pada pelajar yang hendak belajar di perguruan tinggi. Setelah ia menjadi sarjana, ia diharapkan memajukan pendidikan di masyarakatnya. Di samping mendukung warganya yang melanjutkan sekolah, masyarakat juga mendukung kedatangan warga baru yang terpelajar. Jalur yang paling umum untuk mendatangkannya adalah melalui pernikahan. Setelah resmi menjadi warga tetap, warga terpelajar tersebut dibantu oleh masyarakat dalam pengadaan fasilitas pembelajaran. Karena itu, sebelum didirikan sekolah oleh pemerintah, di beberapa desa telah berdiri sekolah swasta yang dibangun oleh masyarakat. Guru-gurunya adalah orang-orang yang terpelajar di masyarakat. Guru-guru ini tidak hanya mengajar secara formal di sekolah, tetapi juga memberikan pelajaran tambahan di rumahnya. Bagi guru agama, ia membuka pengajian di langgar atau masjid yang oleh Zamakhsyari Dhofier diistilahkan dengan ‘nggon ngaji’. Tradisi semacam ini sekarang telah terabaikan, bila enggan dikatakan punah.

Pergeseran nilai kolektivitas menjadi individualitas dapat dianggap sebagai penyebab utama perubahan tradisi pembelajaran di atas. Paling tidak, ada empat faktor yang menunjang pergeseran nilai tersebut. Pertama, masuknya nilai individualisme kaum metropolis melalui media massa, khususnya televisi. Hampir setiap rumah telah terpasang pesawat televisi, sehingga sulit ditemukan tradisi “nonton bareng” di masyarakat. Dengan durasi acara hingga 24 jam, manajemen waktu setiap warga juga mengikuti acara favorit dalam televisi. Karenanya, kebersamaan masyarakat juga sulit diwujudkan, termasuk penyesuaian waktu di antara sesama pelajar untuk belajar bersama atau antara pelajar dan gurunya. Kedua, industrialisasi yang masuk daerah pedesaan juga ikut menyuburkan individualisme. Manajemen waktu masyarakat didasarkan pada jam kerja pabrik, selain acara televisi di atas. Ketergantungan sosial ekonomi juga beralih ke perusahaan. Dalam istilah Sosiologi: dari solidaritas mekanis ke solidaritas organis. Untuk itu, perhatian kepada sesama masyarakat juga berkurang, sehingga pembelajaran masyarakat diperhitungkan dengan nilai ekonomis. Guru pun kurang dihargai, karena ilmunya dianggap seperti barang yang dijualbelikan. Hubungan guru dan orang tua tak ubahnya seperti hubungan konsumen dan produsen. Ketiga, sulitnya ekonomi yang membuat tingginya angka pengangguran, terutama pengangguran kaum intelektual. Bimbingan belajar secara sukarela sudah hampir musnah. Pekerjaan guru tidak lagi dominan unsur sosialnya, melainkan lebih berorientasi bisnis. Hal ini juga diperkuat oleh tuntutan ekonomi para guru kepada pemerintah. Meski tuntutan ini dianggap wajar, tetapi sebagian masyarakat memandangnya sebagai sikap yang kurang menerima dengan tugas. Akhirnya, gelar pahlawan tanpa tanda jasa menjadi tereduksi. Keempat, pola hidup masyarakat yang konsumeris dan hedonis ikut menggoda gaya hidup seorang guru. Gaya hidup ini tampak dari kemewahan yang ditunjukkan oleh sebagian para guru di masyarakat dan sekolah. Padahal, guru telah lama dijadikan panutan oleh masyarakat. Dengan gaya hidup ini, komersialisasi pendidikan, termasuk pembelajaran masyarakat, juga menjadi tujuan pengabdian guru. Banyak kegiatan belajar bersama di masyarakat saat ini telah berubah menjadi lahan bisnis. Tidak sedikit guru yang lebih memilih sebagai guru privat di kalangan masyarakat elit.

Untuk mengembalikan tradisi belajar bersama di atas, langkah penting pertama adalah perbaikan mental guru sekaligus peningkatan kesejahteraannya oleh pemerintah. Pemerintah perlu membuat pola kebijakan yang mendorong para guru untuk lebih kreatif dan proaktif dengan kebutuhan masyarakat. Karena itu, pemerintah harus membuat tolok ukur dan penilaian guru dalam pengabdiannya kepada masyarakat. Namun, sebelumnya, para guru harus dibina kepribadiannya, agar mereka benar-benar memiliki kesadaran yang tinggi mengenai tugasnya sebagai pendidik masyarakat. Dengan strategi ini, harapan belajar bersama antara masyarakat dengan guru sebagai fasilitatornya dapat tercapai secara maksimal.