Selasa, Juli 28, 2009

KESUCIAN DEBU MEMPERMUDAH AKTIFITAS

Penyucian dalam hukum Islam itu unik. Selain dengan air, debu bisa digunakan untuk bersuci. Debu yang mudah didapatkan bisa menjadi alternatif kedua setelah air. Selain debu, hukum Islam tidak memiliki alternatif yang lain. Hal ini berbeda dengan kebiasaan masyarakat modern yang menganggap debu sebagai sesuatu yang kotor –kita harus membedakan antara kotor dan najis. Dalam hukum Islam, debu digunakan untuk tayammum: pengganti wudlu karena tidak ada air. Menyucikan najis berat (al-mughalazhah) karena menyentuh anjing atau babi dengan menggunakan debu ditanbah enam kali basuhan air. Hamparan tanah yang diyakini tidak terkena najis juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat shalat. Bahkan, Nabi SAW juga mengarahkan tayammum kepada sahabat ‘Ammar yang berguling-guling di tanah sebagai pengganti mandi junub di kala tidak ada air. Pemngarahan Nabi SAW ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (1988: I: 173) dalam Hadits Nomor 110. Syaqiq bercerita,
“Aku duduk besama ‘Abdullah dan Abu Musa. Lalu Abu Musa berkata, “Wahai Abu ‘Abd al-Rahman, bagaimana pendapat Anda jika ada seseorang yang telaj junub, sementara selama satu bulan ia tidak menemukan air. Bagaimana ia melaksanakan shalat?”. ‘Abdullah menjawab, “Ia tidak boleh tayammum meski sebulan tidak menemukan air”. “Bagaimana dengan ayat (tayammum) di surat al-Maidah (ayat 6): “Maka, jika kalian tidak menemukan air, hendaklah bertayammum dengan debu yang suci”, timpal Abu Musa.‘Abdullah berkata, “Jika ayat tayammum ini dijadikan keringanan bagi suatu kaum, maka sungguh hampir saja tayammum dilakukan dengan debu meski mereka memiliki air yang dingin”. Abu Musa berkata kepada ‘Abdullah, “Apakah Anda belum mendengarkan cerita ‘Ammar: “Aku pernah diutus oleh Nabi SAW untuk suatu keperluan, hingga aku dalam keadaan junub. Aku tidak menemukan air. Lalu aku berguling-guling di atas debu seperti guling-gulingnya hewan ternak. Kemuadian aku mendatangi Nabi SAW dan menceritakan hal itu kepadanya. Lalu Nabi SAW bersabda: Sebenarnya, Anda cukup melakukan dengan kedua tangan Anda begini. Kemudian, Nabi SAW memukul tanah satu kali dengan kedua tangannya. Setelah itu, beliau mengusap tangan kirinya atas tangan yang kanan, punggung kedua telapak tangan, dan wajah beliau”. Aku belum pernah melihat ‘Umar tidak mendengarkan perkataan ‘Ammar”.
Debu merupakan bagian dari tanah, tepatnya permukaan tanah yang kering dan bisa beterbangan bila disapu oleh angin. Karena sifatnya mudah berhamburan, debu mudah melekat pada tembok, kaca, perabot, atau benda-benda lainnya. Kita tidak bisa menghindari debu, justru kita disibukkan oleh debu. Kita sering merasa kotor karena debu. Pernapasan kita juga bisa terganggu oleh debu. Mata kita terasa pedih manakala kemasukan debu. Debu bukan makanan dan minuman. Kita menganggapnya tidak memiliki nilai guna. Namun, kita mudah menemukannya, dimanapun dan kapanpun. Debu juga tidak memiliki bau. Ia baru mengandung bau bila tercampur dengan sesuatu yangmengandung bau. Untuk itu, tidak semua debu yang bisa digunakan untuk bersuci, melainkan debu yang suci, tanpa ada campuran najis.
Debu hanya dapat dihilangkan dengan air. Debu yang melekat dapat hanyut oleh air. Tanah yang basah hampir tidak berdebu. Tanah ini disebut dengan lumpur, sedangkan tanah yang tidak terkena air dinamakan debu. Sebaliknya, air yang terkena debu tidak merubah status air. Artinya, air tetap bernama air meskipun terkena debu yang banyak. Air yang berdebu tersebut masih digolongkan sebagai air yang suci dan bisa menyucikan, misalnya: air kolam yang keruh karena debu. Dengan demikian, status air lebih utama daripada debu, sehingga secara rasional, debu layak menjadi pengganti air, bukan sebaliknya.
Jika saja tidak dinilai kotor, debu yang bercampur air merupakan pembersih kuman yang ampuh. Dalam hal ini, Islam menggunakannya untuk menyucikan najis berat karena sentuhan anjing dan babi. Menurut analisa hukum Islam, al-Qur’an hanya mengharamkan makan daging babi, sedangkan al-Hadits memerintahkan basuhan air karena sentuhan anjing sebanyak tujuh kali yang salah satu basuhannya dengan menggunnakan debu. Ayat al-Qur’an dan hadits Nabi SAW tersebut dapat dipadukan, hingga menjadi kesimpulan hukum bahwa daging anjing dan babi haram dimakan serta sentuhannya harus disucikan dengan basuhan tujuh kali yang salah satunya dengan debu. Penyertaan debu dalam basuhan najis berat memberikan keistimewaan tersendiri. Untuk menguji keampuhan debu, Anda bisa melakukan eksperimen sendiri. Kumpulkan debu dalam suatu tempat, lalu tambahkan sedikit air, hingga debu tersebut terlihat kental seperti lumpur. Setelah itu, usapkan debu yang basah tersebut ke permukaan kulit kedua tangan dan biarkan hingga kering. Ketika debu basah telah kering, basuhlah tangan Anda dengan air yang bersih. Kini, Anda bisa menilainya sendiri: bagaimanakah rasa dan dampaknya lulur dengan debu.
Sesungguhnya, manusia dengn debu memiliki kandungan yang sama. Dahulu Allah SWT menciptakan manusia pertama (Nabi Adam AS) dari tanah lumpur (­al-thin). Setelah ditiupkan ruh-Nya, bentuk lumpur menjadi manusia yang sempurna. Dalam perkembang-biakan selanjutnya, manusia tidak lagi mengeluarkan lumpur, melainkan air sperma. Dari semangat proses penciptaan awal manusia, debu harus dijadikan nilai guna bagi kesehatan manusia, bukan dianggap sebagai biang kekotoran atau penyakit. Nilai guna debu ditambah air juga bisa dimanfaatkan untuk membersihkan kotoran perabot yang akut. Dengan mengetahui keistimewaan debu, kita akan memiliki kesadaran mengenai kebersihan lingkungan, terutama kebersihan permukaan tanah. Kita tidak membuang sampah dan kotoran di sembarang tempat. Begitu pula, kita bisa lebih leluasa menjalankan aktifitas, karena kita tidak lagi menganggap debu sebagai kotoran, meskipun perlu dibersihkan.
Dampak psikologis dari kesucian debu adalah pandangan dan sikap yang sehat terhadap orang lain. Ketika seseorang beranggapan (kognitif) bahwa debu adalah suci, maka ia tidak segan bergaul (konatif) dengan masyarakat kumuh, tidak jijik (afektif) dengan kaum petani yang penuh lumpur, serta rela (konatif) minum air sumur, air terjun, maupun air dari sumber mata air. Menilai kesucian debu berarti menilai kesucian semua benda di muka bumi. Dari pernyataan ini, dapat diungkapkan suatu kaedah bahwa “Segala sesuatu di muka bumi ini adalah suci, kecuali bila termasuk najis atau terkena najis” Sesuatu yang najis bisa dihitung dengan jari, tetapi sesuatu yang bukan najis tidak bisa terhitung. Jadi, anggapan suci bisa mengurangi sentimen pribadi kepada orang lain.
McDougall (dalam Kasmiran Wuryo dan Ali Sjaifullah, 1983: 108) mendefinisikan sentimen sebagai “suatu organisasi yang komplek dari kecenderungan afektif yang bersumber pada instink dan emosi, tetapi yang oleh pengalaman telah disangkut-pautkan dengan obyek tertentu dan atau kelas obyek tertentu”. Sentimen hampir sama dengan sikap sosial, hanya saja sentimen bersifat individual, sikap sosial berhubungan dengan orang lain. Masing-masing dipengaruhi oleh opini. Karenanya, opini yang positif akan melahirkan sentimen dan sikap sosial yang positif, demkian pula sebaliknya.
Pembentukan opini didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman seseorang. Opini dapat juga terwujud dari dugaan-dugaan (prasangka). Bagi Mar’at (1982: 114), terdapat tiga hipotesa penyebab terjadinya prasangka.
1. Adanya ketegangan situasi yang senantiasa relatif dan bersifat individual atau kelompok sentris.
2. Dalam tiap-tiap kelompok akan senantiasa ada minoritas.
3. Adanya persaingan yang menimbulkan prasangka.
Prasangka selalu terjebak pada kelompok mayoritas dan minoritas. Ketika semua orang (mayoritas) memiliki pandangan “debu sebagai sesuatu yang kotor hingga harus dihindari dan dibersihkan”, maka pandangan ini akan memunculkan sentimen atau sikap sosial yang negatif kepada orang (minoritas) yang selalu bergelut dengan debu. Jika sikap ini dilestarikan, maka pemilik sikap akan terjangkit penyakit mental narsisme, yaitu menganggap dirinya paling hebat, paling bersih, paling rapi, hingga anti kotor. (Kartini Kartono, 1983: 53).
Prasangka atas debu menyebabkan filtering, yaitu kebiasaan memikirkan semua hal negatif dan menghilangkan semua hal positif dari pikiran dan tindakan dalam satu situasi. Ia selalu mengibaskan tangannya manakala ada debu sedikit yang menempel di bajunya, t6erpikirkan adanya kuman yang menempel. Ia segera membersihkan mukanya yang baru saja terkena debu, takut terkenan influenza. Ia merasa sebagai orang yang paling bersih, selalu menghindari kotor, kumuh, dan kusam. Boleh jadi, ia menjadi angkuh, sombong, serta mudah menghina dan merendahkan orang lain. Sementara orang yang terbiasa dengan debu melihatnya dengan prasangka: aku kotor, dia bersih; aku petani, dia pegawai; aku jelek, dia tampan; dan seterusnya. Dengan kesucian debu, persepsi tentang kebersihan perlu direkonstruksi: dari kebersihan yang tampak ke kesucian yang tidak tampak. Namun demikian, menjaga kebersihan dan kesucian justru hal yang lebih utama.
Secara lebih luas, pandangan kesucian debu dapat dimaknai sebagai pandangan kesucian alam. Dengan ajaran agama ini, alam menjadi sakral. Sakral mengandung makna kesucian. Alam itu suci. Larangan untuk membunuh dan melakukan kerusakan di muka bumi adalah penegasan atas kesucian alam. Alam ini suci, karena ia diciptakan oleh Tuhan melalui proses yang suci pula. Penilaian sakral terhadap alam sesuai dengan kearifan lokal masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, upacara selametan juga dilakukan saat menjelang pembukaan lahan, masa menabur benih dan panen, bahkan mempertahankan kelestarian lingkungan desa yang dikenal dengan nama ruwat deso.
Debu juga mengingatkan manusia pada asalnya, yakni dari tanah. Tidak ada manusia yang lepas dari dosa, sebagaimana tidak ada satu pun yang hidup tanpa debu. Di samping itu, manusia juga diingatkan bahwa dirinya akan kembali ke tanah. Karenanya, keangkuhan dan kesombongan manusia terjadi karena lupa pada jati diri yang sebenarnya.
Penjelasan di atas memperkukuh asumsi bahwa suatu sikap (afektif) dan tindakan (konatif) dipengaruhi oleh pemikiran (kognitif). Untuk menumbuhkan sikap maupun tindakan yang positif, maka perlu memupuk pemikiran yang positif. Pemikiran yang positif harus dibangun dari hikmah yang tersembunyi. Meskipun dipandang dari luar buruk, seseorang tidak langsung boleh menilainya hingga mengetahui aspek dalamnya. Hal ini sama dengan pendangan tentang debu yang selama ini dianggap sebagai kotoran. Debu ada di mana-mana, sehingga jika kita masih mempertahankan pandangan tersebut, maka kehidupan kita semakin sempit. Sebaliknya, bila kita meyakini kesucian debu, maka kita bisa bergaul dengan siapapun; kita bisa tinggal dimanapun; akhirnya, kita jauh dari prasangka kotor yang dalam Fikih disebut “dominasi persangkaan” (ghalabah al-zhann). Kita tidak perlu menggunakan mikroskop untuk melihat najis di kaki kita yang terkena debu. Kita tidak perlu memarahi petugas kebersihan hanya karena masih ditemukan debu. Kita juga tidak boleh meninggalkan shalat dengan membuat alasan bahwa baju kita kotor terkena debu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar