Selasa, Juli 28, 2009

NIAT SEBAGAI MOTIVASI


سَبْعُ شَرَائِطٍ أَتَتْ فِيْ نِيَّةِ * تَكْفِي لِمَنْ حَوَى لـَهَا بِلَا وَسَنْ

حَقِيْقَةٌ حُكْمٌ مَحَلّ ٌ وَزَمَنْ * كَيْفِيَّة ٌ شَرْط ٌ وَمَقـْصُودٌ حَسَنْ

Tujuh Syarat berlaku dalam niat
Cukup bagi orang yang melakukannya secara tepat
Hukum, tempat, waktu, hakekat
Cara, tujuan baik, dan syarat

Syekh Abu ’Abd al-Mu’thi Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi (t.t.: 20) mengutip sya’ir di atas dalam kitabnya, Syarh Kaasyifah al-Sajaa ’alaa Safiinah al-Najaa. Syair dengan nada Bahar Rojaz (mustaf’ilun 6x) ini diperselisihkan penciptanya. Ada yang mengatakan Ibnu Hajar al-’Asqalani sebagai penciptanya, ada pula yang berpendapat bahwa sya’ir itu diciptakan oleh al-Tattai. Sya’ir di atas menjelaskan tentang tujuh komponen niat. Pertama, hakekat niat adalah menghendaki sesuatu seraya bersama dengan pelaksanaannya. Niat seiring dengan perbuatan, sedangkan ’azam mendahului perbuatan. Kedua, hukum niat adalah kewajiban menurut madzhab Syafi’i; anjuran bagi madzhab Hanafi. Ketiga, tempatnya berada di dalam hati. Meski demikian, ucapan lisan hanya anjuran, agar terhindar dari kesalahan tujuan. Keempat, niat dilaksanakan saat awal pekerjaan, yakni gerakan pertama dari suatu pekerjaan. Kelima, tata cara niat terkait dengan jenis pekerjaan yang dituju. Cara niat dalam shalat berbeda dengan niat dalam puasa. Keenam, syarat niat adalah Islam, dewasa, mengerti pekerjaan yang diniati, ada kepastian, dan tidak ada halangan. Ketujuh, mengandung maksud yang baik. Niat tidak diperhitungkan dalam kejahatan dan kemaksiatan. Niat untuk melakukan kejahatan tidak dihitung dosa hingga kejahatan itu terlaksana. Namun, niat untuk kebaikan mendapatkan pahala, apalagi pelaksanaan perbuatannya.
Niat dalam ibadah merupakan hasil ijtihad. Tidak ada hadits secara khusus yang menunjukkan niat dalam ibadah. Para ulama mendasarkannya pada hadits ’Umar bin Khathab RA yang bernilai hadits ahad shahih, yakni ada seorang periwayat dalam salah satu tingkatan –di hadits ini, ’Umar sendirian dalam tingkat sahabat- sedangkan periwayat lain setelahnya lebih banyak dan terdiri dari orang-orang terpercaya. Hadits ini menunjuk pada semua perbuatan. Selain itu, hadits tersebut mengemukakan bahwa niat seseorang mempengaruhi hasil pekerjaannya. Inilah hadist yang dimaksud.
إنما الأعمال بالنيات وإنما لامرئ ما نوى
”Sesungguhnya semua amal terkait dengan niatnya dan setiap orang memiliki niat...” (Muslim, 1988: II: 223: no. 155).

Menurut Madzhab Hanafi, hadits di atas dipahami dengan ”kesempurnaan perbuatan terkait dengan niatnya”. Ibadah tanpa niat masih tetap sah, meski kurang sempurna. Hukum niat ini adalah anjuran (manduub). Bagi ulama Madzhab Syafi’i, suatu perbuatan dianggap sah bila disertai niat. Karenanya, niat menjadi suatu rukun dalam ibadah ritual. Sikap terbaik dalam perbedaan pendapat ini adalah memilih niat daripada meninggalkannya, sehingga kedua madzhab tersebut tidak mempermasalahkannya (al-khuruuj min al-khilaaf mustahab=dianjurkan untuk keluar dari perselisihan para ulama). Dengan niat, suatu perbuatan dapat dibedakan antara perbuatan ibadah dan bukan ibadah, meski memiliki gerakan sama. Di samping itu, secara psikologis, niat memberikan kemantapan tersendiri dalam beribadah.
Dalam kamus Bahasa Arab al-Munawwir (Ahmad Warson al-Munawwir, 1997: 1479), niat berasal dari kata nawaa-yanwii-niyatan. Kata ini memiliki pengembangan ragam arti, antara lain: bermaksud, berniat, menuju, menjaga, melindungi, berpindah, pergi jauh, menjatuhkan, memenuhi, dan menentang. Arti-arti ini menunjukkan peranan niat yang tidak hanya memperteguh amal perbuatan, tetapi juga mengawal perbuatan hingga selesai. Niat harus diucapkan dalam hati, walaupun ia bisa disertakan dengan ucapan lisan. Untuk mencapai hati perlu ada pemikiran yang mendalam. Ada perhitungan yang masak. Pikiran harus dibebaskan dari segala sesuatu yang bisa merusak niat. Demikian ini dapat dilihat dari larangan memutuskan shalat di tengah pelaksanaannya. Banyak hal yang mempengaruhi seeorang untuk memutuskan shalatnya, seperti keraguan, kebutuhan mendesak, dan gangguan dari luar. Islam mengecam perbuatan yang membuat orang yang sedang shalat merasa terganggu, misalnya berjalan melewati depannya atau menggodanya dengan canda tawa.
Untuk menghilangkan keraguan, solusinya adalah menetapkan keyakinan. Nabi SAW memberikan cara dengan memutuskan pelaksanaan sesuatu yang diragukan (da’ maa yuriibuk ilaa maa laa yuriibuk=tinggalkan hal yang meragukanmu menuju hal yang tidak meragukanmu). Jika seseorang ragu tentang jumlah rekaat antara tiga dan empat rakaat, maka keputusannya adalah tiga rakaat, sehingga ia bisa melaksanakan satu rakaat dengan disertai sujud sahwi, yaitu sujud karena lupa (membaca: subhaana man laa yanam walaa yashuu = Maha Suci Dzat Yang Tidak Tidur dan Tidak Lupa). Dari hadits ini, para ulama membuat kaedah fikih: ”Pada asalnya, tidak adanya sesuatu” (al-ashlu al-’adamu). Maksudnya, keraguan itu disikapi dengan meniadakan apa yang telah diragukannya.
Selain keraguan, kebutuhan yang mendesak juga mempengaruhi niat. Seseorang dianjurkan makan terlebih dahulu jika perutnya lapar saat hendak shalat; atau ia perlu tidur sebentur –manakala waktu shalat masih memungkinkan- jika masih dalam keadaan mengantuk berat. Tidak hanya itu, pekerjaan yang masih menjadi beban pikiran saat shalat harus dituntaskan terlebih dahulu, agar kekhusyukan shalat bisa maksimal. Kita bisa saja bersiap diri dalam melaksanakan shalat, namun di tengah shalat kemungkinan ada gangguan yang tidak bisa dihindari kecuali melakukan gerakan bukan shalat. Sebagai contoh, ketika seseorang sedang melangsungkan pelaksanaan shalat, tiba-tiba ia dikejutkan oleh bahaya binatang berbisa. Dalam keadaan seperti ini ia bisa pindah tempat tanpa berbicara sepatah kata apapun, lalu di tempat yang aman ia bisa melanjutkan shalatnya.

Analisa Niat Shalat
Dalam manajemen, perencanaan strategis menentukan arah pekerjaan ke depan. Ia bisa memprediksi peluang, hambatan, dan gangguan. Ia juga dapat menentukan bentuk pekerjaan, volume kerja, masa kerja, sasaran kerja, tujuan, dampak, target, pembeayaan, dan sebagainya. Perencanaan strategis ini bisa menjadi cemin dari konsep niat. Untuk lebih mudahnya, kita bisa menganalisis ucapan niat shalat fardlu yang diajarkan oleh para ulama ahli Fikih. Misalnya, niat Shalat Dhuhur diucapkan sebagai berikut.
أُصَلِي فـَرْضَ الّـظُهْرِ أَرْبَعَ رَكَعَةٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً مَـْأمُوْمًا لِلهِ تَعَالَى
“Aku menjalankan Shalat Fardlu Dhuhur dengan empat rakaat seraya menghadap kiblat sebagai pelaksanaan tunai dalam keadaan makmum karena semata-mata Allah SWT”
Berdasarkan kalimat niat di atas, ada beberapa unsur perencanaan strategis.
1. Pelaksana pekerjaan. Kata “Aku” tidak hanya mengandung unsur pelaku, melainkan pula kesengajaan pelaku. Kesadaran ini penting untuk memenuhi syarat tanggungan-jawab. “Aku” juga menunjukkan pelaku secara langsung, tanpa perwakilan. Meskipun Anda melaksanakan shalat secara berjamaah, Anda tetap diminta untuk mengucapkan ”Aku”, tidak ”Kami”. Shalat adalah tanggung-jawab pribadi. Tidak ada sistem perwakilan dalam shalat.
2. Jenis pekerjaan. Ada banyak gerakan yang sama, namun bebrbeda namanya. Olah raga dan shalat mempunyai kesamaan dalam menggerakkan tubuh. Senam Yoga yang menekankan konsentrasi sama dengan shalat yang mengfokuskan ketenangan atau khusyu’. Shalat bukan olah raga maupun senam Yoga. Ini bisa dibedakan dengan niat. Para ahli Fikih menyebut gabungan antara pelaku dan jenis pekerjaannya dengan sebutan al-qashd (memiliki maksud atau tujuan). Sebutan ini menunjuk suatu kesengajan dalam berbuat. Inti dari niat adalah kesengajaan yang mengandung tuntutan tanggung-jawab.
3. Status pekerjaan. Status menentukan kualitas dan prioritas. Dalam kaedah Fikih disebutkan bahwa status kewajiban lebih utama daripada status anjuran (al-fardlu afdlal min al-nafl). Ketika jamaah shalat wajib sedang dilaksanakan, kita tidak diperkenankan untuk melakukan shalat Sunnah, tetapi langsung mengikuti shalat wajib tersebut. Wajib mendahulukan hal yang diwajibkan daripada hal yang dianjurkan. Para ulama telah menggariskan prioritas secara hirarkhis sebagai berikut: wajib individu (fardlu ‘ayn), wajib kolektif (fardlu kifayah), anjuran pelaksanaan yang ditekankan (sunnah muakkad), anjuran pelaksanaan secara datar (sunnah), kebolehan antara melaksanakan dan meninggalkan (mubah), anjuran untuk meninggalkan (makruh), anjuran meninggalkan yang ditekankan (makruh tahrim), larangan melaksanakan (haram).
4. Nama atau bentuk pekerjaan. Masing-masing pekerjaan memiliki tata cara tersendiri. Berdasarkan tata cara ini, suatu pekerjaan diberi nama. Setiap nama berikut tata caranya bisa mengandung ragam nama dan tata cara masing-masing. Hanya saja nama dan tata cara yang terakhir tidak bisa lepas dari keterkaitan dengan nama dan tata cara yang pertama. Dalam pelaksanaan ibadah shalat, termuat beberapa doa yang diucapkan oleh lisan, dipikirkan oleh otak, dan dirasakan oleh jiwa. Untuk itu, nama shalat lebih tepat, karena secara bahasa ia berarti doa. Shalat itu bermacam-macam sesuai dengan ketentuan Syari’at Islam. Setiap macam shalat memiliki nama yang berbeda sesuai dengan target yang dikehendaki. Shalat Zhuhur, misalnya, ditargetkan untuk memenuhi kewajiban waktu Zhuhur, yakni dimulai dari hilangnya bayangan karena matahari tepat berada di atas dan berakhir hingga pada saat panjang bayangan sama dengan pemilik bayangan. Nama Zhuhur mencerminkan waktu zhuhur tersebut yang secara bahasa berarti terang, tampak, muncul, dan lahir (Ahmad Warson al-Munawwir, 1997: 883). Jadi, nama mencerminkan bentuk pekerjaaannya. Karena alasan ini, penyebutan nama pekerjaan dalam niat tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana wajib menyebutkan pelaku pekerjaan, jenis pekerjaan, dan status pekerjaan.
Keempat komponen niat di atas adalah hal yang utama dalam niat shalat. Kesalahan penyebutan bisa merusak pelaksanaan shalat. Komponen lainnya seperti jumlah rakaat, menghadap kiblat, pelaksanaan tunai, sifat shalat, dan tujuan shalat merupakan komponen teknis. Meninggalkan komponen teknis ini tidak membahayakan pelaksanaan shalat. Oleh karena itu, menurut Fikih, niat shalat wajib yang minimal adalah Ushollii fardla ....(sebutkan nama shalatnya); shalat sunnah: Ushollii sunnatan ...... (sebutkan nama shalatnya); niat puasa Ramadhan: nawaitu shouma Ramadhan fardlan; niat puasa sunnah: nawaitu shouma .... (sebutkan nama puasanya); dan seterusnya.
UKURAN IKHLAS
Pada kondisi normal, jumlah hormon kortisol di pagi hari adalah antara 38-690 nmol/liter. Pada tengah malam, antara 69-345 nmol/liter. Orang ikhlas berada dalam kondisi normal. Di luar ukuran ini, seseorang bisa diindikasikan tidak ikhlas karena tertekan.(Prof. DR. Moh. Sholeh)



Niat dan Motivasi
Dalam psikologi, terdapat beberapa istilah yang terkait dengan niat, antara lain: dorongan, keinginan, hasrat, kecenderungan, dan kemauan. Ada perbedaan antara niat dan masing-masing istilah tersebut. Dorongan adalah kekuatan dari dalam yang berlangsung di luar kesadaran, sedangkan niat dilakukan dengan kesadaran. Keinginan ditujukan untuk benda tertentu, sementara niat tidak hanya untuk meraih benda, melainkan melakukan setiap pekerjaan. Hasrat merupakan keinginan tertentu yang dapat diulang-ulang, sedangkan niat bisa digunakan untuk sekali pekerjaan. Kecenderungan adalah hasrat aktif yang menyuruh segera bertindak. Padahal, niat tidak mengandung ketergesaan. Karenanya, niat bisa dikatakan sebagai kemauan, karena antara keduanya memiliki kesamaan sebagai kekuatan yang sadar untuk melakukan sesuatu berdasarkan perasaan dan pikiran. Kemauan meliputi proses motif, perjuangan motif, keputusan, hingga perbuatan kemauan (Agus Sujanto, 1993: 84-86). Dengan demikian, niat lebih dekat dengan konsep motivasi.
Seseorang yang berniat menjalankan ibadah shalat, terlebih dahulu didorong oleh alasan yang kuat, yakni shalat sebagai perintah Allah SWT. Tidak mudah bagi orang yang berniat shalat dengan benar, karena ia dihadapkan pada motif lain selain perintah Allah, seperti pamer, keterpaksaan, dan sebagainya. Dorongan ini menentukan kualitas niat. Boleh jadi seseorang melakukan perbuatan terpuji, namun ia tidak mendapatkan pahala apapun bila keputusan niatnya salah. Keputusan niat ini juga berpengaruh pada ketekunan melakukan perbuatan. Di bawah ini ada sekelumit kisah yang menggambarkan hubungan antara niat dengan hasil akhir suatu perbuatan.

Demi Pujaan Hati
Ada gadis cantik yang menawan hati banyak pemuda Mekkah. Namanya Ummu Qais. Ada seorang pemuda yang jatuh hati padanya dan ingin meminangnya. Cintanya diterima dengan syarat: ia harus mengikuti jejak sang gadis untuk berhijrah ke Madinah bersama Nabi SAW. Demi pujaan hati, pemuda itu menyanggupinya. Begitu sampai di Madinah, kisah asmara ini terdengar Nabi SAW. Oleh Nabi SAW, pemuda itu dijuluki Muhajir Ummi Qais (orang yang berhijrah demi Ummi Qais). Selanjutnya, Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya semua perbuatan terkait dengan niatnya. Sesungguhnya tiap orang memiliki niatnya. Barangsiapa yang berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya juga kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang berhijrah demi keduniaan yang hendak diperolehnya atau gadis yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya” (Hadits riwayat Imam Muslim, 1988: II: 223: nomor 1907).


Dalam kisah di atas, hijrah karena gadis pujaan berbeda dengan hijrah karena Allah SWT. Melalui analisa niat, kita bisa memahami tindakan seseorang yang rela mengorbankan harta dan jiwanya demi tujuan tertentu. Tidak semua perang melawan agresor kaum kafir disebut jihad, kecuali diniatkan untuk menjaga dan memuliakan agama Allah (li i’la-i kalimatillah). Suatu pekerjaan bisa dijalankan dengan kurang semangat bila tidak disertai dengan niat yang kuat. Atas dasar itu, motivasi menjadi perhatian banyak ilmuwan.
Teori motivasi yang paling terkenal adalah teori kebutuhan dari Abraham Maslow. Menurut Maslow, kebutuhan manusia tersusun secara hirarkhis: (1) kecukupan fisiologis, (2) keselamatan dan keamanan, (3) keterlibatan dan hubungan sosial, (4) harga diri, lalu (5) aktualisasi diri. Ketika rumusan Maslow ini berdampak pada keserakahan manusia, ia menyadari kekeliruan piramidanya dan membalik susunannya dengan mengedapankan kebutuhan aktualisasi diri. Artinya, kekosongan makna hidup lebih berbahaya dibanding kekurangan makanan. Tidak sedikit orang yang sehat fisiknya, tetapi justru membunuh dirinya. Sebaliknya, seseorang bisa merasakan kebahagiaan tatkala memahami makna hidup, meski kebutuhan fisiologisnya serba kekurangan. Dengan asumsi ini, Danah Zohar (2005: 78) membuat formula motivasi melalui skala motivasi Ian Marshall sebagai berikut.






MASLOW
MARSHALL
SKOR
PENJELASAN
TINGGI
Pengalaman puncak
Pencerahan
+8
Penyatuan dengan Tuhan
Jiwa Dunia
+7
Kesadaran universal
Pengabdian yang lebih tinggi
+6
Penggilan jiwa pada nilai kebaikan
Aktualisasi diri
Generativitas
+5
Kreatif karena cinta
Penguasaan
+4
Menemukan jati dirinya
Harga diri
Kekuatan dari dalam
+3
Disegani dan dipercaya orang lain
Sosialisasi dan kooperasi
+2
Mudah bergaul dan kerja sama
Eksplorasi
+1
Rasa ingin tahu
RENDAH
Rasa memiliki
Penonjolan diri
-1
Kesombongan
Kemarahan
-2
Iri hati dan dengki
Rasa aman
Keserakahan
-3
Tidak pernah berkecukupan
Rasa takut
-4
Cemas, curiga, merasa terancam
Keresahan
-5
Bingung dan putus asa
Bertahan hidup
Apati
-6
Perasaan tidak berarti
Malu dan rasa bersalah
-7
Menganggap kehadirannya menambah buruk keadaan
Depersonalisasi
-8
Matinya kesadaran
Tabel Skala Motivasi

Tabel di atas dapat diterapkan untuk hubungan sesama manusia, bukan antara manusia dan Tuhannya. Dalam Islam, motivasi hanya dipilah menjadi dua bagian, yaitu motivasi duniawi dan motivasi ukhrawi. Perbuatan apapun yang dimaksudkan untuk kepentingan kehidupan dunia dinamakan motivasi duniawi. Motivasi ini tidak menghasilkan pahala dari Allah SWT, bahkan bisa mendapatkan murka Allah SWT jika perbuatannya termasuk perintah Allah SWT. Pembayaran zakat yang dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan sosialnya dikecam oleh Allah SWT. Justru orang yang menanam pohon karena menghendaki ridlo Allah SWT bisa mendapatkan pahala. Selain ditujukan untuk mencari ridlo Allah SWT maupun pahala-Nya, motivasi ukhrowi juga mensyaratkan suatu perbuatan sebagai bukan termasuk larangan Allah SWT. Meski dimaksudkan untuk membangun masjid, pencurian tidak bisa dikatakan perbuatan ukhrawi. Demi menjaga motivasi ukhrawi ini, terdapat kata “lillahi ta’ala”(karena Allah SWT) dalam ucapan niat. Oleh karena itu, jika dibandingkan dengan tabel skala motivasi di atas, motivasi ukhrowi menempati tingkat pengalaman puncak. Walaupun menjalin hubungan dengan sesama manusia, kepentingan ukhrowi harus diletakkan di atas segalanya. Artinya, motivasi keimanan tidak boleh digantikan motivasi yang lain, seperti keluar dari pekerjaan yang mengancam iman, meski dengan gaji yang sangat tinggi dan fasilitas istimewa lainnya.
Setiap orang akan dihadapkan pada beberapa motif saat hendak melakukan pekerjaan. Sulit baginya untuk memadukan berbagai macam motif, terlebih motif yang saling bertentangan. Kondisi demikian ini menimbulkan konflik motif baginya. Untuk itu, ia harus menentukan satu motif dan meninggalkan motif yang lain. Tentu saja penentuan ini telah didasarkan oleh pertimbangan yang matang. Dalam hal ini, kondisi lingkungan, kepentingan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian seseorang berpengaruh dalam menentukan motif. Semakin sulit menentukan suatu motif, semakin gelisah pula seseorang dalam menjalankan pekerjaannya. Untuk mempermudah penentuan motif, perlu mengutamakan motivasi ukhrawi di atas motivasi duniawi. Berbeda dengan motivasi duniawi yang memiliki banyak ragam, motivasi ukhrowi hanya terfokus pada Allah SWT. Selain itu, motivasi ukhrawi lebih pasti harapannya dibanding motivasi duniawi. Pilihan motivasi ukhrawi ini pun tergantung pada kekuatan iman seseorang. Hanya orang yang bisa mengenal Allah SWT dengan benar dan baik yang bisa menjalankan motivasi ukhrowi.
Apabila motivasi ukhrowi sulit dijangkau, maka motivasi psikhis bisa menggantikannya. Ketika kebutuhan jiwanya terpenuhi, manusia akan membatasi kebutuhan ragawinya serta berbagi dengan orang lain. Dengan demikian, niat memiliki tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah niat untuk Allah; tingkatan kedua adalah niat untuk ruhani manusia; dan tingkatan ketiga adalah niat untuk pemenuhan kebutuhan jasmani manusia.

Niat Kuat Hasilnya Tepat
Materi ataukah ide yang berpengaruh? Pertanyaan ini menjadi perdebatan klasik hingga saat ini. Ketika kita memandang suatu benda pikiran kita menangkap ragam makna yang menyelimuti benda tersebut. Tangkapan ini berbeda pada masing-masing individu. Pikiran individu memberi nama, warna, ukuran, dan sebagainya pada suatu benda atau obyek. Pikiran tersebut bisa sama atau berusaha untuk menyamakan dengan pikiran orang lain. Pengaruh ide ini yang membuat segala hal menjadi berbeda dan tidak pasti. Fisikawan Albert Einstein mengembangkannya dengan menemukan teori relativitas. Cepat bagi orang lain belum tentu cepat menurut kita. Begitu pula, konsep panjang, berat, hijau, dan seterusnya. Saat dikatakan warna biru, kita disusupi pertanyaan: biru yang bagaimana? Terkadang apa yang tampak dari jauh sebagai warna biru, ternyata berwarna bening manakala dilihat dari dekat, seperti warna lautan. Dengan perbedaan ini, masing-masing individu berusaha mempengaruhi idenya kepada orang lain. Individu akan menjadi pemenang bila idenya diikuti oleh orang lain. Semakin banyak orang yang mengikutinya, semakin kuat pula ide tersebut. Ide yang berbeda dengan ide yang kuat akan dinilai salah. Semua orang menyatakan bahwa air adalah benda cair, sehingga siapapun yang berpendapat sebagai benda padat atau gas berarti pendapatnya disalahkan. Oleh karena itu, suatu kebenaran dan kesalahan bersifat relatif. Kesalahan saat ini bisa jadi benar di kemudian hari. Apa yang disalahkan di ujung timur bisa benar di ujung barat. Karena pergolakan dan dinamika ide, Nabi SAW memberi tuntunan doa yang menggerakkan ide menuju kebenaran Allah SAW, agar tidak terlampau jauh dalam kesesatan dan kesalahan. Inilah doa yang diajarkan Nabi SAW tersebut (Imam Muslim, 1988: II: 555, No. 2653.). “Allahumma, mushorrifal qulub shorrif qulubana ‘ala tho’atika” (Ya Allah, Wahai Tuhan Yang Mengubah Ide. Ubahlah ide kami untuk selalu patuh kepada-Mu)
Ide membuat subyektifitas. Meski demikian, ide harus diarahkan pada obyektifitas. Bagi orang yang percaya pada obyektifitas, benda atau materi justru menjadi penentu. Benda bersifat tetap, tidak bergerak dan tidak berubah. Buku yang berada di depan Anda memiliki sifat yang tetap dengan ukuran yang tidak berubah. Namun, manakala buku tersebut tersentuh oleh ide manusia, maka obyektivitasnya berubah menjadi subyektifitas. Selain itu, ruang dan waktu juga ikut mempengaruhi sifat obyektifitas suatu benda. Hari ini buku tersebut masih bagus, namun dalam beberapa hari kemudian, buku mengalami perubahan, meski tidak disentuh maupun dipindahkan. Dengan demikian, asumsi obyektifitas materi sangat lemah. Tidak ada sesuatu yang benar-benar abadi dalam keajegannya. Semuanya pasti mengalami perubahan, baik disentuh maupun tidak disentuh oleh manusia. Pengecualian hal ini adalah Allah Yang Maha Abadi. Karenanya, niat berarti upaya awal dalam mempengaruhi segala sesuatu. Untuk memperbaiki sesuatu, langkah awal adalah niat kuat untuk memperbaiki. Dari niat ini, manusia bisa merubah dan mempengaruhi alam. Dengan niat yang kuat, manusia juga bisa berbuat kerusakan atau melakukan kebaikan. Dengan dasar ini, niat berbuat baik bisa mendapatkan pahala, meski perbuatannya belum dilaksanakan. Akan tetapi, niat berbuat jahat belum ditulis dosa selama perbuatannya belum dilaksanakan (Muslim, 1988: II: 75: N0. 203).
Niat semakin kuat bila ia diucapkan dengan hati dan lisan serta diulang-ulang. Menurut teori Labelling, kata-kata yang dijadikan panggilan untuk seseorang dan sering diucapkan untuk orang tersebut bisa mempengaruhi perilakunya. Jika kita sering memuji “cantik” kepada seorang gadis, maka gadis tersebut merasa dirinya cantik hingga berusaha tampil secantik mungkin. Kepada anak-anak, kita sering memanggilnya dengan “anak pintar” agar kelak ia benar-benar menjadi orang yang pandai. Teori Labelling ini bisa diterapkan untuk niat sebagai upaya memperkokoh komitmen. Pekerjaan yang dimulai dengan niat yang kuat tidak mudah untuk berhenti hingga tujuannya tercapai. Ketika niat dimaksudkan untuk mendapatkan pahala dan ridha Allah, maka motivasi yang lain tidak mudah menggantinya bila niat diucapkan berulang kali.
Herbert Benson dari Unversitas Harvard pernah meneliti aspek meditasi para murid Dalai Lama di Tibet. Hasilnya mencengangkan. Menurutnya, pengulangan kata-kata yang dianggap suci melalui meditasi bisa berpengaruh pada aspek fisik manusia. Tubuh jadi ringan hingga bisa terbang. Badan mendapatkan kekuatan energi yang bisa menyembuhkan segala penyakit. Kata-kata tersebut laksana petuah yang memiliki kekuatan, padahal ide yang mengolah kata-kata itulah yang bermakna. Jika hal ini diterapkan untuk ucapan niat, maka pengucapan niat yang diulang secara mendalam tidak sekedar memberikan motivasi, tetapi juga kekuatan batin yang memberikan semangat kerja. Bila Anda mendapatkan tugas tertentu yang harus diselesaikan dalam waktu yang ditentukan, Anda memerlukan motivasi yang bisa mengeluarkan dan menggerakkan potensi kemampuan Anda. Sebelum memulai tugas, Anda perlu merumuskan niat yang tepat. Dalam hal ini, niat ibadah kepada Allah lebih baik daripada niat yang lain. Motivasi akherat lebih utama dibanding motivasi dunia. Setelah itu, Anda menancapkan ucapan niat dalam hati dan pikiran. Dalam durasi waktu tertentu, niat itu perlu diulangi kembali agar fokus dan konsentrasi tujuan tugas tetap terjaga.
“Kekuatan niat dapat tampak dari perhatian seseorang pada hal-hal yang paling kecil”, tulis Syekh al-Samarqandi (t.t.: 174) dalam Tanbih al-Ghafilin (Peringatan Bagi Orang-orang yang Lupa). Orang yang bekerja dengan semangat yang tinggi akan terfokus pada pekerjaannya. Ia menjalankannya dengan ikhlas dan penun cinta. Ia enggan menerima pekerjaan lain selama pekerjaan yang sedang ditanganinya belum selesai. Ia siap menghadapi segala tantangan dan rintangannya. Ia tidak saja melihat hal-hal yang besar, tetapi juga tidak mengabaikan hal-hal yang remeh. Persoalan kecil akan menjadi besar bila tidak segera diatasi. Ketika wawancara saat lamaran kerja, tidak sedikit pelamar mengemukakan niatnya untuk bersungguh-sungguh bekerja. Namun, niat kesungguhan tersebut dapat diamati hal-hal terkecil yang terkait dengan jenis pekerjaannya. Pelamaran guru sekolah tidak boleh dilihat dari kecakapan bicara dan ketajaman pemikirannya saja, namun cara duduk, cara berpakaian, cara masuk ruangan, dan etiket lain yang terkait dengan guru tidak boleh diremehkan. Tidak sedikit orang yang telah diterima dalam suatu pekerjaan akhirnya mencari pekerjaan lainnya. Rangkap jabatan dan pekerjaan ganda ini merupakan akibat dari kelemahan niat seseorang. Di awal niatnya bisa kuat. Akan tetapi, karena tidak ada pembaruan dan pengulangan, niatnya menjadi lemah. Motivator ulung sering mengingatkan kliennya pada motivasi awal. Penasehat perkawinan juga sering menekankan niat awal saat menjadi pengantin baru.

3 komentar:

  1. badrul ibad
    kpi 1A

    ttg orang yang hijjah saya setuju bnget dengan ap yang ada diatas!! tapi kalau seandainya ada orang yang hijjar k mlaysia untuk keja cari uang yang banyak tp kenyataanya dy tdk mendapatkan semua itu shngga dia plang dengan tangan kosong!! lah yang spt itu termasuk apa?/ sdah niat tapi tdk sesuai dg tujuannya???

    BalasHapus
  2. pak sory tulisanya salah yang saya maksud itu hijjrah...

    badrul ibad
    kpi 1A

    BalasHapus
  3. niat,,,! setiap kita akan melakukan&mengerjakan sesuatu kita akan mengucap kata-kata itu baik secara terang-terangan atau hanya dalam hati,jika kita mengucapkan niat dengan ikhlas dan percaya bahwa dengan itu kita bisa mencapai apa yang kita kehendaki,maka allah akan selalu dalam langkah kita,niat yang baik akan berbuah baik dan sebaliknya niat yang buruk akan berakibat buruk pula.KPI:1 ESTU FITRI R. NIM:31209004

    BalasHapus