Selasa, Juli 28, 2009

PERCAYA DIRI
DENGAN KESUCIAN LINGKUNGAN

Salim bin ‘Abdullah, cucu ‘Umar bin al-Khaththab pernah menarik dengan keras baju orang yang hendak shalat di masjid, karena ia mencium bau tidak sedap dari mulut orang tersebut. Kamudian, Salim meminta orang tersebut untuk memuntahkan makanan dari perutnya (Malik bin Anas, t.t.: 38-39). Apa yang dilakukan oleh ulama ini hanya untuk menjaga masjid dari bau yang tidak sedap. Sebagai tempat ibadah, masjid harus dijauhkan dari najis, kotoran, hingga bau busuk yang menyengat. Orang yang akan menunaikan shalat Jum’at di masjid disunnahkan mandi dan memakai wawangian.
Tidak hanya masjid, lingkungan manapun harus terjaga kesuciannya. Untuk itu, Syari’at Islam mengatur cara dan etika membuang kotoran. Tidak diperkenankan membuat hajat di sembarang tempat, terutama tempat yang menjadi fasilitas umum. Memungut sesuatu yang bisa menimbulkan keresahan, kesakitan, ataupun gangguan orang lain yang melewati jalan dinilai sebagai sedekah. Termasuk dalam keresahan tersebut adalah sesuatu yang menyebabkan pandangan dan penciuman menjadi tidak sedap, semacam sampah dan kotoran. Dengan demikian, kesucian lingkungan dapat membuat diri kita dan orang lain merasakan hidup yang ‘lebih hidup’.
Ada dua tipe kepribadian seseorang saat berhadapan dengan lingkungannya. Ada orang yang berusaha mempengaruhi lingkungan sekitarnya, yaitu tipe kepribadian autoplastis. Tentu orang semacam ini harus memiliki kekuatan dan kelebihan, sehingga orang lain dan lingkungannya bisa’ditundukkan’. Jika ia tidak memiliki kelebihan tersebut, ia akan berusaha untuk mendapatkannya. Ia bisa merubahan lingkungan yang kotor menjadi bersih atau lingkungan bersih menjadi kotor.
Tipe kepribadian yang lain adalah alloplastis, yakni pribadi yang senantiasa larut dengan lingkungan. Ia selalu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, apapun bentuk lingkungan tersebut. Pribadi semacam ini harus dibina dan diarahkan menuju jalan yang benar. Ia harus disadarkan tentang kesucian lingkungan, bukan kekotoran dan kekumuhan.
Berangkat dari kesucian lingkungan, muncul kesadaran untuk menyucikan diri sendiri. Kita akan merasa asing bila diri kita kumuh, sementara lingkungan kita bersih. Anda pasti kurang percaya diri bila Anda yang memiliki masalah ‘bau badan’ bergaul di tengah kelompok orang-orang yang mengedepankan kesucian. Bau tidak sedap tidak bisa menyatu dengan bau harum; najis tidak bisa berkumpul dengan kesucian; kotor selalu tidak serasi dengan bersih. Agar dicintai oleh Allah SWT, kita harus memilih suci, bersih, dan harum. Dengan menjaga keadaan ini, secara otomatis kita akan menyucikan jiwa kita dari perasaan dan pikiran yang kotor. Ini adalah hukum alam. Mungkin Anda meragukan ini, karena fakta yang dilihat adalah banyaknya orang yang berpenampilan bersih dan harum, tetapi memiliki hati yang busuk. Keraguan Anda ini bisa dihapus dengan membedakan antara bersih (al-nazhafah) dan suci (al-thaharah).
Apa yang kita pandang bersih belum tentu suci, sedangan hal yang dinilai suci pasti bersih. Kita sering menjumpai orang yang bersih, tetapi jarang kita menemukan orang yang suci. Orang yang suci tidak hanya pada kesucian lingkungan, pakaian, dan badan, tetapi juga kesucian dirinya dari hadats kecil maupun besar. Orang yang menjaga kesucian sangat selektif dalam memilih tempat, memilih teman, memilih barang, memilih air, bahkan memilih makanan dan minuman. Kita juga sering tertipu dengan seseorang yang menggunakan atribut Islam –kopyah, surban, sarung, baju koko, tasbih, dan sebagainya- tetapi tidak memperdulikan kebersihan dan kesucian. Ia menjadi potret seorang muslim yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Agama Islam mengajarkan kebersihan dan kesucian, memilih sesuatu yang suci dan bermutu, berpikir teentang kesucian, serta mendakwahkan kesucian.
Ada keterkaitan antara kesucian diri dan lingkungan (al-thaharah) dengan kesucian jiwa (al-tazkiyyah). Kurt Lewin berpendapat bahwa perilaku (B) adalah paduan karakteristik individu (P) dan lingkungan (E), sehingga B= f(P,E). Karakteristik manusia meliputi beberapa variabel, seperti motif, nilai-nilai, kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain. Setelah itu, karakteristik ini berinteraksi dengan lingkungan hingan menciptakan perilaku (Saifuddin Azwar, 1995: 11). Hubungan ini dapat dilihat dari ritual ibadah dalam ajaran Islam: mendahulukan kesucian diri dan lingkungan sebelum melakukan penyucian jiwa melalui ibadah. Sebelum melaksanakan shalat, terlebih dahulu melakukan menyucikan tempat shalat, pakaian untuk shalat, tubuh dari hadats, bahkan ditambah pengharum di sekujur tubuh atau pakaian. Demikian ini juga dilakukan menjelang pelaksanaan ibadah haji, puasa, membaca al-Qur’an, menuntut ilmu agama, atau ibadah lainnya (Abdul Mun’im Qindil, 2001: 13).
Dalam surat al-Baqarah ayat 222 dikemukakan bahwa Allah menyukai orang-orang yang telah membersihkan jiwanya dengan bertaubat (al-tawwabin) dan orang-orang yang telah menyucikan diri dan lingkungannya (al-mutathahhirin). Selain itu, kesucian diri dan lingkungan serta kesucian jiwa menunjukkan bahwa apa yang tersebunyi dalam jiwa dapat dilihat dari apa yang tampak dalam diri dan lingkungannya. Kita tidak bisa melihat isi hati seseorang, namun kita hanya bisa mengamati gejalanya yang tampak dalam sikap dan perbuatan. Bergitu pula, kepribadian seseorang dapat terbaca dari sisi penampilan dan lingkungannya. Secara lebih khusus, kesucian diri dan lingkungan berhubungan erat dengan rasa percaya diri seseorang.
Kepercayaan diri adalah sikap positif individu yang mengembangkan penilaian positif, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya. Percaya diri bukan berarti bahwa individu mampu dan kompeten mengatasi sesuatu seorang diri. Namun, orang yang percaya diri telah memperhitungkan segala sesuatu secara cermat hingga mengambil keputusan yang mantap. Perhitungan ini terkait dengan potensi aktual yang sama dengan harapan realistis, atau bahkan potensi tersebut lebih dari harapan realistisnya. Rumusannya adalah PD=PA≥HR. PD adalah Percaya Diri; PA adalah Potensi Aktual; dan HR adalah Harapan Realistis. Berikut adalah beberapa karakter individu yang percaya diri (e-psikologi.com).
1. Percaya akan kemampuan diri, sehingga ia tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, atau rasa hormat dari orang lain.
2. Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima orang lain atau kelompok.
3. Berani menerima dan mengahadapi penolakan orang lain.
4. Punya pengendalian diri yang baik.
5. Memiliki harapan yang realistis terhadap diri sendiri.
Pribadi yang percaya diri memiliki pendirian yang teguh dan keyakinan yang kuat. Ia tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain, meskipun ia dianggap aneh dan asing. Tentu saja kekuatan ini didapatkan dari keluasan dan kedalaman pengetahuan, pengalaman, dan wawasan. Dalam Syari’ah Islam, ajaran pertama yang harus diajarkan adalah akidah, setelah itu ibadah, kemudian akhlak. Akidah yang kuat melahirkan iman yang kokoh. Dengan iman yang kokoh ini, seorang muslim dapat terarah dalam beribadah maupun berperilaku. Ia tidak takut kepada siapapun, kecuali Allah SWT. Ia juga tidak merasa bersedih atas sikap orang lain terhadap dirinya. Kepasrahannya kepada Allah SWT sangat tinggi, ia tidak mudah menggantungkan diri kepada orang lain. Ia hidup mandiri. Al-Qur’an membahasakan kepribadiannya dengan “Tidak ada rasa takut dan tidak merasa bersedih (wa laa khaufun ‘alayhim wa laa hum yahzanuun)”.
Secara lebih terperinci, Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (t.t.: 155-156) mengemukakan karakter pribadi muslim yang percaya diri sebagai berikut.
1. Berkeyakinan bahwa hanya Allah SWT Yang mengatur alam (tauhid al-rububiyyah).
2. Berkeyakinan bahwa hanya Allah SWT yang menjadi satu-satunya Tuhan (tauhid al-ilahiyyah).
3. Berkeyakinan keesaan Allah SWT menurut ilmu (al-tauhid al-‘ilmiy al-i’tiqadi).
4. Berkeyakinan bahwa Allah SWT tidak menganiaya hamba-Nya serta Allah SWT menyiksa hamba-Nya dengan seuatu sebab.
5. Mengakui bahwa hambalah yang berbuat aniaya.
6. Membuat sesuatu yang paling disukai Allah SWT sebagai perantara menuju kepada-Nya.
7. Meminta pertolongan hanya kepada Allah SWT.
8. Ketetapan hamba dengan harapan.
9. Menyatakan pasrah dan pengakuan kepada Allah SWT.
10. Hatinya tertambat dalam ‘taman’ al-Qur’an dengan berpegang teguh kepada ajarannya.
11. Selalu meminta ampun kepada Allah SWT.
12. Senantiasa bertaubat.
13. Memperjuangkan agama Allah SWT (al-jihad).
14. Mendirikan shalat lima waktu.
15. Membebaskan diri dari kekuatan dan daya selain Allah SWT.
Orang yang senantiasa menjaga kesucian diri dan lingkungannya pasti memiliki kesadaran yang tinggi dalam memberikan kebaikan untuk dirinya dan orang lain. Kesucian bukan masalah individu, tetapi juga menjadi masalah sosial. Jika kediaman kita kotor dan penuh najis, maka tetangga kita juga ikut merasakan dampaknya. Dengan adanya dampak sosial, pengabaian mengenai masalah kesucian diri dan lingkungan merupakan dosa yang luas kepada sesama manusia. Sebaliknya, perhatian terhadap kesucian tersebut memberikan pahala yang besar serta tetap mengalir. Jika Anda menyapu masjid atau jalan umum, maka Anda akan mendapatkan pahala dari para pengguna jalan atau masjid. Semakin banyak para pengguna yang menikmatinya, semakin besar pula pahala yang diterimanya. Semakin lama kesucian yang dilestarikannya, semakin panjang pula aliran pahala yang diterimanya. Selain itu, menjaga kesucian dapat dinilai sebagai ibadah, bahkan termasuk ibadah yang bermanfaat untuk orang banyak. “Kebaikan yang bermanfaat untuk orang banyak lebih utama daripada kebaikan dengan manfaat yang terbatas (al-khair al-muta’addi afdlal min al-qashir)”, demikian bunyi dari salah satu Kaedah Fikih.
Ketika orang lain merasakan manfaat dari kesucian diri dan lingkungan, maka perhatian yang positif serta kata-kata pujian selalu diarahkan kepada orang yang menjaga kesucian tersebut. Pandangan orang lain yang positif kepada seseorang akan menumbuhkan citra diri yang positif baginya. Ada dua ragam citra diri, yaitu citra diri yang positif dan citra diri yang negatif. Citra diri positif terbentuk karena seseorang secara terus-menerus sejak lama menerima umpan balik yang positif berupa pujian dan penghargaan, sedangkan citra diri negatif dikaitkan dengan umpan balik negatif, seperti ejekan dan perendahan. Kedua umpan balik itu diterima oleh orang-orang di sekitarnya, terutama dari orang-orang yang memberi pengaruh besar kepada penerima umpan balik (the significant others). Dari umpan balik ini, seseorang bisa membentuk dirinya sebagai “Orang Baik” (The Good-me) dan “Orang Buruk”(The Bad-me).(Hanna Djumhana Bastaman, 1997: 13).
Dalam hubungan sesama manusia, setidaknya ada tiga teori yang bisa menggambarkan (Tri Dayakisni, 2006: 85).
1. Hubungan yang dijalin atas dasar pengukuhan (reinforcement affect theory). Relasi, persahabatan, atau persaudaraan didasarkan pada pemberian ganjaran dan hukuman. Bila ia baik, maka kita berbuat baik kepadanya; bila ia jahat, kita juga berupaya membalasnya dengan perbuatan yang tidak menyenangkan. Terkait dengan lingkungan, kita akan menjaga kebersihan jika lingkungannya tampak telah bersih. Namun, bila lingkungannya terlihat kotor, kita enggan membersihkan, tetapi justru menambah kekotoran.
2. Hubungan untung-rugi yang lazim dinamakan teori pertukaran sosial. Hubungan ini terjalin secara selektif. Tidak semua orang menjadi teman kita. Kita hanya mau bersahabat dan bergabung dengan orang-orang yang bisa menguntungkan kita (biasanya keuntungan ekonomis). Kita akan memberikan sesuatu yang berharga berdasarkan keuntungan yang akan didapatkan. Lingkungan yang kotor sekalipun akan dipertahankan bila ada keuntungan yang diraihnya.
3. Hubungan yang diikat oleh rasa keadilan dan kemanusiaan (equity theory). Tidak ada pertimbangan apapun dalam hubungan ini kecuali demi keharmonisan dan kepuasan. Terkadang seseorang harus berhubungan dengan orang yang tidak disukainya, agar dipandang harmonis oleh orang lain. Hubungan demikian ini akan mendorong seseorang untuk membersihkan lingkungan yang terlihat kotor, meski hal ini melelahkannya.
Dari komitmen untuk menjaga kesucian dirinya, seseorang berusaha mempengaruhi orang lain dan lingkungannya, agar bisa suci seperti dirinya. Demikian ini yang membedakan antara orang yang terbiasa hidup suci dan hidup kotor. Orang yang terbiasa hidup suci tidak nyaman bersama dengan orang yang terbiasa hidup kotor. Untuk menghilangkan hal yang tidak nyaman ini, ia berusaha merubah lingkungannya. Sementara itu, orang yang terbiasa hidup kotor selalu pasif, sulit berkeinginan untuk mempengaruhi orang lain. Sesungguhnya ia ingin hidup suci, barangkali keadaan yang memaksa dirinya untuk terbiasa hidup kotor.
Dari citra diri yang positif, seseorang yang selalu menjaga kesucian diri dan lingkungan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Pujian dan penghargaan yang diterimanya juga tidak membuatnya sombong, karena ia hanya manjalankan Syari’at Islam yang benar. Tujuan dasar ini yang membedakan orang yang menjaga kesucian karena ibadah dan bukan karena ibadah. Masyarakat yang memiliki kesadaran tinggi tentang kesucian diri dan lingkungan dan bukan didorong oleh perintah agama akan mudah meremehkan orang lain yang mengabaikan kesucian. Mereka membandingkan dirinya dengan masyarakat lain melalui pernyataan yang merendahkan. Selain itu, mereka juga enggan memberikan solusi dan mengajak masyarakat lain untuk menyadari pentingnya kesucian. Lebih dari itu, mereka justru mencemari masyarakat lainnya dengan limbah dan kotoran. Demikian ini merupakan gambaran kecil dari pandangan sebagian masyarakat luar negeri kepada masyarakat Indonesia.
Di negara maju, masyarakat memiliki kesadaran tinggi mengenai kebersihan. Namun, kesadarannya tidak ditumbuhkan kepada masyarakat lain, justru mereka mencemari lingkungan dengan limbah dan kotoran. Oleh karena itu, proses membentuk kesadaran umat Islam harus dimulai dari pendekatan agama, bukan pendekatan hukum atau pendekatan politik. Pendekatan agama mendorong umat Islam agar berlomba-lomba untuk menjadi hamba Allah SWT yang dicintai Allah SWT serta memperoleh pahala yang besar dan tetap mengalir. Begitukah harapan Anda?

2 komentar:

  1. badrul ibad
    kpi1A

    ktka kta sholat d bali/yang laenya padahl disana bnyak babi tp qt sholat dengan tdk menanyakan pda ta'mr msjidnya ttg ksucian masjid tersebut. itu gmna?? dan ktika ditengah2 sholat tba2 ada seekor babi naik ke masjid apa yang harus qta lakukan???

    BalasHapus
  2. prastiyanto kurnia s
    kPi 1A


    putih itu suci kan pak???
    suci jg berarti menjaga dimana kita berada....

    dan apabila ada sesuatu orang yang di sucikan tetapi ia tidak bisa menjaga kesuciannya apakah ia akan berdosa besar???
    seperti sama orang yang berbuat maksiat dll ????? mohon penjelasannya...

    hatur nuhun......

    BalasHapus