Sabtu, Juni 13, 2009

MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH ALLAH SWT DI BUMI


“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?". Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Al-Qur’an: Surat Al-Baqarah ayat 30).


    Penciptaan Manusia Pertama

Manusia pertama adalah Nabi Adam AS. Ia diciptakan oleh Allah SWT dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Setelah itu, Allah SWT meniupkan ruh ciptaan-Nya sebagai nyawa untuk tanah tersebut. Jadi, nyawa manusia itu menjadi kekuatannya (Rahardjo, 2002: 239-240). Kita bergerak, diam, berpikir, atau melakukan apapun dengan nyawa kita. Karena nyawa yang suci ini pula, manusia unggul dibanding dengan makhluk lainnya, bahkan para malaikat pun diperintahkan Allah SWT untuk menghormati Nabi Adam AS (al-Qur’an surat al-Hijir ayat 26-31). Dari penciptaan manusia tersebut, nyatalah bahwa manusia pertama (Nabi Adam AS) merupakan makhluk yang suci. Keturunan yang dilahirkan pun juga dihukumi suci. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang diceritakan oleh Abu Dawud (1994: 240) dalam hadits nomor 4714 melalui sahabat Abu Hurairah.

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci. Lalu, kedua orang tuanya yang membuat ia beragama Yahudi dan Nashrani. Sebagaimana sekor onta yang lahir sempurna dari hewan ternak, apakah kamu mengira onta tersebut dari hewan ternak yang cacat?”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, menurut Anda, bagaimana dengan anak orang muslim yang meninggal saat masih kecil?” “Allah SWT lebih mengetahui atas apa yang mereka lakukan”, jawab Rasulullah SAW.

Nyawa yang suci ini ternodai oleh dosa-dosa manusia. Ketika manusia telah meninggal dunia, tubuhnya wajib dimandikan, sementara nyawanya melayang menghadap Allah SWT untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Tubuh manusia boleh rusak, tetapi nyawanya tetap abadi. Karenanya, kehidupan manusia terletak pada nyawanya yang oleh al-Qur’an disebut dengan al-ruh. Kita harus meyakini bahwa kematian manusia hanya pindah kehidupan: dari hidup dengan jasad menuju hidup tanpa jasad.

    Perkembangan Kehidupan Manusia

Islam menjelaskan kehidupan manusia dengan dua bentuk. Bentuk pertama adalah kehidupan manusia menuju Allah SWT. Dalam bentuk ini, manusia dimulai dari bentuk sperma (benda mati), lalu menjadi wujud manusia dengan tubuh dan nyawa (makhluk hidup), kemudian ia wafat sebagai tubuh yang tak bernyawa (benda mati). Pada saat Hari Kiamat, ia dibangkitkan dari kematiannya sebagai makhluk hidup (al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 28). Kesimpulannya, manusia itu sejatinya mati dua kali dan hidup dua kali (al-Qur’an surat Ghafir ayat 11).

Bentuk kedua adalah proses tahapan kehidupan manusia di dunia. Dalam hal ini, pembentukan manusia dimulai dari paduan air sperma, lalu menjadi darah, kemudian menjadi daging. Pada tahap ini, seluruh kehidupan manusia telah ditentukan: dari soal rezeki hingga ajalnya kelak. Begitu manusia terlahir di dunia, ia menjadi bayi, makhluk yang tidak berdaya. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, bayi tersebut menjadi manusia dewasa dengan segala kekuatannya: tubuhnya sehat dan otaknya cerdas. Apabila ia diberi umur yang panjang, niscaya kekuatannya itu semakin berkurang. Ia menjadi orang tua yang pikun dan sakit-sakitan. Akhir dari kehidupannya di dunia adalah kematian yang menjemputnya (Ibnu Katsir, 1997: III: 218-219). Al-Qur’an surat al-Hajj ayat 5 menjelaskan tahapan-tahapan tersebut sebagai berikut.



Hai manusia, jika kalian dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kalian dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kalian dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kalian sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kalian sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kalian ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kalian yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. dan kalian lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah”.



    Sifat-Sifat Dasar Manusia

Pada dasarnya, manusia memiliki sifat yang baik. Ia dianugerahi akal untuk berpikir. Ia dilengkapi dengan indera yang hebat. Ia telah diajarkan ilmu oleh Allah SWT (surat al-‘Alaq ayat 4-5). Bahkan, ia juga telah berjanji saat masih sebagai janin untuk mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya (surat al-A’raf ayat 172). Atas kelebihannya ini, manusia dipercaya menjadi khalifah untuk mengatur dan memelihara kehidupan di bumi. Selain itu, manusia juga dipandang sebagai makhluk dengan bentuk yang terbaik (surat al-Thin ayat 4).

Manusia tidak hidup sendiri, melainkan bersama orang lain. sebagai makhluk sosial, manusia mendapatkan pengaruh dari lingkungannya. Akibat pengaruh lingkungan yang buruk, manusia cenderung memiliki sifat-sifat yang buruk, antara lain: cenderung zalim dan kafir (Surat Ibrahim ayat 34; al-Hajj ayat 22, dan al-Zukhruf ayat 15), tergesa-gesa (surat al-Isra’ ayat 17 dan surat al-Anbiya’ ayat 37), kikir (surat al-Isra ayat 100), bodoh (surat al-Ahzab ayat 72), banyak membantah (surat al-Kahfi ayat 54 dan surat al-Nahl ayat 4), suka mengeluh (surat al-Ma’arij ayat 19), sangat inkar (al-‘Adiyat ayat 6), dan dalam kepayahan (al-Balad ayat 4).

Karena memiliki dua kecenderungan yang bertentangan di atas, manusia perlu pendidikan yang baik. Pendidikan berfungsi untuk mengembalikan manusia pada kodratnya yang suci, yakni sebagai khalifah di muka bumi. Melalui pendidikan, nafsu manusia diredam, akalnya dipertajam, dan hatinya disucikan.



    Tugas Dan Kedudukan Manusia

Sebelumnya menciptakan manusia, Allah SWT telah merencanakan kedudukan manusia sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana ayat di atas. Khalifah adalah pengganti. Di antara makhluk Allah SWT, manusia adalah pengganti-Nya yang bertugas memakmurkan bumi. Tugas sebagai khalifah ini diwariskan secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Namun, setiap generasi memerlukan seorang pemimpin yang mengatur cara memakmurkan bumi, agar perdamaian disebarkan, keadilan ditegakkan, dan kesejahteraan diwujudkan (Ibnu Katsir, 1997: I: 86). Pemimpin merupakan sosok manusia unggulan. Ia memiliki kelebihan dibanding orang lain yang meliputi: ilmu, harta, penampilan, budi pekerti, keturunan, dan sebagainya. Dengan keunggulannya, pemimpin diuji oleh Allah SWT: apakah ia menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Jika keunggulannya itu digunakan untuk membuat kerusakan di bumi, maka Allah SWT segera mengirimkan siksa secara cepat. Sebaliknya, pemimpin yang bisa menegakkan keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya, maka Allah SWT senantiasa mencurahkan kasih-sayang dan ampunan kepadanya (Ibnu Katsir, 1997: II: 212-213). Demikian ini merupakan maksud dari surat al-An’am ayat 165, sebagai berikut,

Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kalian atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk menguji kalian tentang apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Agar tugas sebagai khalifah terlaksana dengan baik, maka manusia harus mengangkat pemimpin yang baik. Sejarah mencatat, kerusakan di muka bumi merupakan akibat dari kejahatan para pemimpin manusia. Satu kebaikan dari seorang pemimpin membuahkan jutaan manfaat untuk umat manusia. Namun, satu kejahatan dari seorang pemimpin berdampak pada kehancuran jutaan umat manusia. Karenanya, kita tidak diperkenankan memilih pemimpin dari orang yang jahat. Demikian pula, kita juga tidak diperbolehkan membiarkan masyarakat tanpa pemimpin. Jadi, memilih pemimpin yang baik adalah kewajiban kita sebagai manusia.



Rujukan

Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats. 1994. Sunan Abi Dawud. Vol. IV. Beirut: Darul Fikr.

Ibnu Katsir, Abu al-Fada’. 1997. Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim. Beirut: Darul Fikr.

Rahardjo, M. Dawam. 2002. Ensiklopedi Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina.





GAYA HIDUP PEREMPUAN SUFISTIK MODERN

Antara Asketisme dan Materialisme

Abstrak

Doktrin dan gerakan kaum sufi cenderung bersifat feminim. Uniknya, dunia ini didominasi oleh kaum laki-laki. Hampir tidak ada ruang bagi perempuan, karena ia disimbolkan sebagai penggoda, bukan pendorong ibadah. Demikian ini merupakan konstruksi sosial masyarakat Islam klasik yang masih berpengaruh hingga saat ini. Pengaruh ini semakin kuat dengan kehadiran sistem ekonomi kapitalis yang mengeksploitasi perempuan sebagai komoditas. Tidak sedikit perempuan yang terjebak oleh hedonisme, termasuk perempuan-perempuan sufi. Gaya hidup modern dipadukan oleh perempuan sufi dengan pola hidup sufistik. Bagi perempuan sufi elit, doktrin tasawwuf dikonstruksi lebih esoteris. Namun, bagi perempuan sufi populis, tasawwuf simbolik lebih disukainya.

Kata-kata Kunci: perempuan, Tasawwuf, dan Modernitas


Mukaddimah

Dalam dunia tasawwuf, perempuan sering diletakkan sebagai posisi penggoda bagi orang yang berupaya mendekatkan diri kepada Allah. Perempuan adalah bagian dari perhiasan duniawi yang oleh para sufi –umumnya laki-laki- harus dijauhi. Dalam biografi para sufi, hampir tidak diungkapkan sisi perkawinan atau hubungan suami-istri mereka setelah menempuh jalan tasawwuf. Ini menarik untuk ditelah lebih lanjut mengingat pernikahan adalah sunnah Nabi SAW. Pernikahan berarti pergaulan antara laki-laki dan perempuan, sehingga perjalanan sufistik juga tidak dapat lepas dari hak dan kewajiban sufi sebagai suami terhadap istrinya. Selain itu, sufi laki-laki lebih dominan daripada sufi perempuan. Sufi laki-laki ditampilkan sebagai orang suci, sedangkan sufi perempuan banyak dikemukakan dengan wajah pengabdian. Penampilan ini juga berpengaruh pada tingkat pengalaman sufistik. Konsep mahabbah yang diajukan oleh Rabi’ah al-Adawiyyah lebih feminim dari konsep wahdatul wujud dari Ibnu al-‘Araby. Mahabbah terwujud dalam keterpisahan makhluk dan Khaliq, sementara Wahdatul Wujud penyatuan makhluk pada Khaliq. Mahabbah bahasa hati dan perasaan (bersifat feminim), sedangkan Wahdatul Wujud adalah bahasa jiwa dan akal (bersifat maskulin).

Hampir sama dengan dunia tasawwuf, dunia modern menjadikan perempuan sebagai komoditas yang sering dieksploitasi. Nilai fisik perempuan lebih berharga dibanding nilai non-fisiknya. Sebagian besar komoditi produk modern diarahkan untuk memperindah fisik perempuan. Pemujaan terhadap materi ini berpengaruh pada pola pikir, gaya hidup, dan perilaku perempuan modern. Perilaku konsumtif perempuan hampir seluruhnya diarahkan untuk kepentingan fisik dan keluarganya. Masalah ini senantiasa diperbincangkan oleh kalangan perempuan modern dan menjadi perhatian menarik bagi mereka dalam kondisi apapun.

Dengan asumsi di atas, tulisan ini akan menggambarkan tipologi dari perempuan muslimah modern. Kendala yang dilalui oleh perempuan modern adalah kehidupan materialisme yang menjadi simbol modernitas. Seharusnya, materialisme dijauhi agar mudah menapaki jalan mendekatkan diri kepada Allah, namun tidak sedikit perempuan modern terjebak pada kehidupan hedonisme. Di sisi lain, karakter perempuan lebih dekat dengan dunia sufistik yang penuh dengan bahasa cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu, tulisan ini lebih dulu memaparkan aspek askestisme perempuan sebelum mengungkapkan aspek meterialisme perempuan.


Tasawwuf Islam Lebih Feminim ?

Banyak definisi tasawwuf yang diajukan para ulama sufi sesuai dengan pengalaman sufistik mereka, sehingga definisi itu berbeda satu sama lain. Namun demikian, secara ringkas dapat dikatakan bahwa tasawwuf adalah suatu jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengertian ini menunjukkan hubungan antara makhluk dan Khaliqnya, dengan asumsi bahwa Khaliq selalu dekat dengan makhluk-Nya, tetapi belum tentu makhluk dekat dengan Khaliqnya. Upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT juga merupakan proses yang panjang dan pasti menemukan banyak rintangan. Untuk itu, proses perjalanan sufistik harus melalui bimbingan yang lebih intensif. Dalam hal ini, terjadi interaksi antara murid dan mursyidnya, atau salik dan syekhnya. Dalam dunia sufi, tidak ada perbedaan gender dalam interaksi tersebut. Artinya, mursyid perempuan dapat memberikan bimbingan rohani kepada muridnya yang laki-laki atau sebaliknya, sebagaimana Ibnu al-‘Araby mendapat bimbingan dari mursyid perempuan, yaitu Fathimah dari Cordova.1

Proses perjalanan sufistik juga dominan melalui jalan perdamaian, kelembutan, cinta, dan kasih sayang. Sangat jarang sejarah Islam yang menampilkan tokoh sufi yang terlibat pergolakan politik. Kenyataannya adalah kaum sufi lebih cenderung meninggalkan kehidupan duniawi dan menyebarkan kasih sayang antar sesama makhluk Allah SWT. Dominasi cinta dan kasih sayang ini ditengarai Reynold A. Nicholson sebagai terinspirasi dari ajaran Nashrani.2 Padahal, cinta dan kasih sayang ini bersumber dari teladan Nabi Muhaammad SAW. Sebagai contoh, Nabi SAW. yang agung ini pernah mencium anak laki-laki dan diprotes oleh orang-orang Baduwi, karena dianggap feminim. Cinta dan kasih sayang adalah simbol perempuan. Uniknya para sufi terkenal lebih didominasi kaum laki-laki daripada kaum perempuan.

Cinta dan kasih sayang adalah strategi utama perjuangan Nabi SAW. Cinta dan kasih sayang menjadi landasan pernikahan Nabi SAW., landasan persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshor, pijakan pembebasan kota suci Makkah, bahkan menjadi pedoman dalam peperangan. Karena cinta dan kasih sayang merupakan naluri insani abadi, maka Islam yang disebarkan dengan cinta dan kasih sayang dapat mudah diterima oleh siapapun. Kaum sufi juga mengelola cinta dan kasih sayang sebagai metode pendekatan diri kepada Allah SWT, seperti lahirnya konsep zuhud, istiqomah, wara’, ikhlash, ridla, tawakkul, fana’, muraqabah, dan sebagainya. Konsep-konsep tasawwuf bernuansa ‘ngalah’ untuk menang. Kehidupan sufistik lebih diarahkan untuk mencapai ketenangan jiwa dan raga. Ia lebih intens dalam amar ma’ruf dibanding nahy munkar, karena yang terakhir ini memerlukan kekuatan. Orang-orang sufi rela mendapat perlakuan yang kasar dan kejam tanpa sedikitpun membalas. Oleh karena itu, pengikut gerakan tasawwuf lebih karena simpati yang mendalam dan akhirnya menjadi pengikut yang fanatik. Demikian pula, kelembutan tokoh sufi semakin meningkatkan kharismanya yang pada gilirannya menjadi pujaan selama hayatnya. Hingga saat ini, kelembutan tokoh sufi dikenang dalam bentuk manaqib dan mereka didoakan serta dihubungkan melalui bacaan surat al-Fatihah.

Beberapa kaum sufi menggunakan alunan musik dan keindahan bait syair sebagai media pendekatan diri kepada Allah. Musik dan syair lebih menggugah perasaan daripada pikiran. Perasaan yang halus dan peka lebih mudah mencerna musik dan syair. Karenanya, kaum perempuan lebih tergoda oleh kata-kata manis dan indah, apalagi diiringi dengan lantunan musik yang merdu. Jadi, jiwa sejati kaum sufi adalah feminim, bukan maskulin.

Sasaran gerakan tasawwuf adalah kesucian jiwa manusia agar dapat dekat dengan Allah SWT. Proses penyucian jiwa ini banyak dilakukan secara eksklusif dan menjadi problem yang privat. Kondisi jiwa manusia berbeda satu sama lain, sehingga terapinya pun juga tidak sama. Kaum sufi sangat jarang terlibat dalam urusan publik, tetapi sering menangani masalah domestik. Pengikut tokoh sufi juga tidak banyak dan tidak terbatas oleh garis teritorial negara, namun ajarannya dapat lebih kekal dari usia suatu dinasti. Jadi, gerakan tasawwuf menyentuh jiwa manusia yang paling dalam. Jiwa adalah simbol perempuan, sedangkan ruh atau akal adalah simbol laki-laki.

Pencapaian kesempurnaan adalah tahapan yang diraih kaum sufi. Kesempurnaan merupakan sifat ketuhanan yang dibedakan dengan sifat kefakiran yang dimiliki makhluk. Meskipun demikian, dalam upaya mencapai kesempurnaan, jiwa kaum sufi harus berusaha memiliki sifat ketuhanan, terutama kesempurnaan keindahan (jamal). Sifat ketuhanan yang termaktub dalam 99 nama-nama Allah (al-asma’ al-husna) dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu sifat kesempurnaan keindahan (jamal) dan sifat kesempurnaan keagungan (jalal).3 Sifat-sifat kesempurnaan keindahan adalah feminim, antara lain: Maha Pengasih , Maha Penyayang, Maha Mulia, Maha Pemaaf, dan sebagainya. Sifat-sifat kesempurnaan keagungan merupakan maskulin, antara lain: Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha Penjaga, dan sebagainya. Dengan demikian, kaum sufi selayaknya mempunyai sifat feminim, dan selayaknya pula didominasi oleh kaum hawa.

Meskipun ajaran sufistik lebih feminim, namun pandangan terhadap perempuan masih bias gender. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan bahwa sufi perempuan tidak lebih unggul dari sufi laki-laki, karena terdapat beberapa hari yang tidak diperkenankan bagi perempuan untuk ibadah, yakni saat haid dan nifas.4 Ungkapan ini bertentangan dengan nash Al-Qur’an yang mengungkapkan secara setara antara laki-laki dan perempuan dalam hal ibadah. Di samping itu, perempuan juga dinilai sebagai penggoda orang yang beribadah. Beberapa kisah yang ditulis di kitab tasawwuf, seperti Irsyadul ‘Ibad, Tanbihul Ghafilin, al-Majalisus Saniyyah, lebih mengarah pada godaan perempuan kepada laki-laki, bukan sebaliknya. Padahal, dalam Al-Qur’an, peran perempuan diberi porsi yang sama sebagaimana peran laki-laki, yakni sebagai penggoda (kisah Zulaikha yang menggoda Nabi Yusuf AS sama dengan Raja yang menggoda istri Nabi Ibrahim AS), sebagai korban fitnah (kisah Maryam yang melahirkan Nabi ‘Isa AS sama dengan fitnah yang menimpa Nabi Yusuf AS), sebagai pendamping dan motivator setia (kisah istri Nabi Musa AS saat di bukit Shina’i sama dengan Nabi Harun AS dan Nabi Musa AS saat menghadap Raja Fir’aun), sebagai pejuang gigih (istri Fir’aun yang membelot sama dengan pembelotan Nabi Ibrahim AS dari ayahnya), dan sebagainya.

Ketika gerakan tasawwuf memasuki ruang publik sebagai gerakan tarekat serta berkolaborasi dengan fikih, maka peran perempuan semakin tenggelam. Dalam konsep fikih, diskriminasi gender masih dominan dan peran negara masih diharapkan. Untuk itu, beberapa tarekat yang muncul memiliki sanad yang diklaim sambung dengan Nabi SAW. Dalam sanad tersebut, hampir tidak ditemukan atau tercantum nama mursyid perempuan. Kaum sufi perempuan hanya menjalankan proses sufistiknya tanpa dikenal secara publik (man masyhur fi al-sama’ ghoiru masyhur fi al-ardl). Literatur Islam kurang menyentuh peranan Fathimah, putri Nabi SAW., dibanding para istri Nabi SAW., seperti Aisyah atau Khadijah, karena Fathimah menjalankan wanita sufi yang domestik. Akan tetapi, Aisyah dan Khadijah juga kurang disebut jika dibandingkan dengan para sahabat senior Nabi SAW., seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan ‘Ali, karena peran perempuan lebih terbatas pada persoalan domestik. Medan jihad perempuan adalah masa antara mengandung hingga menyapih anaknya.5 Arti ayat 12 surat al-Mumtahanah berikut ini juga menjelaskan janji kaum perempuan kepada Nabi SAW yang umumnya terkait masalah domestik.

“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.


Perempuan dan Materi

Perempuan adalah makhluk hidup, sedangkan materi merupakan benda mati. Makhluk hidup lebih berharga daripada benda mati. Menyamakan makhluk hidup dengan benda mati merupakan pelecehan, jika tidak dikatakan penghinaan. Demikian juga, memberikan sifat makhluk hidup dengan sifat benda mati juga mengabaikan peranannya. Pada zaman kuno, sebelum kedatangan Islam, perempuan telah dianggap sebagai benda mati yang dapat dijualbelikan, dibunuh, dipertaruhkan, atau dijadikan hadiah. Menurut peraturan Manu yang pernah berlaku di India, perempuan hanya sebagai pelayan bagi suami dan ayahnya, sementara ia tidak memiliki hak harta. Bangsa Romawi dan Yunani lama menganggap perempuan sebagai barang dagangan yang tidak memiliki hak waris. Dalam ajaran Yahudi dan Nashrani, perempuan dianggap sebagai pangkal kejahatan dan sumber dosa. Di masyarakat Cina kuno, jika seorang suami mati, istrinya tidak diperbolehkan menikah lagi sepanjang hayatnya. Dalam kepercayaan leluhur orang-orang Hindu, perempuan tidak layak hidup setelah ditinggal mendiang suaminya, bahkan ia harus dibakar hidup-hidup bersama mayat suaminya. Ironisnya, masyarakat Jerman mempertaruhkan istri-istrinya di meja perjudian. Pada tahun 586 M, Perancis pernah mengadakan pertemuan untuk membahas apakah perempuan dianggap manusia atau bukan.6

Cara pandang terhadap perempuan di atas ‘dipinjam’ oleh Al-Qur’an dalam memberikan deskripsi tentang perempuan kepada masyarakat dunia saat itu. Namun deskripsi ini dungkapkan dengan kata-kata yang lebih mulia, antara lain: kesenangan hidup di dunia (mata’ al-hayat al-dunya=Ali ‘Imran: 14), tempat bercocok tanam (nisa’ukum hartsun lakum=al-Baqarah: 223), dan pakaian (hunna libas lakum wa antum libas lahunn=al-Baqarah: 187). Ungkapan-ungkapan ini tidak boleh dibaca substansial, tetapi harus dipandang sebagai fungsional. Kesenangan hidup di dunia merupakan gambaran perempuan yang menarik orang lain untuk mencintainya. Kelembutan, keindahan, kemerduan, keharuman, dan kehangatan perempuan merupakan kekuatannya, sehingga siapapun yang berhubungan dengannya, baik laki-laki maupun sesama perempuan, secara naluri manusiawi pasti menyukainya. Begitu pula, tempat bercocok tanam yang menunjuk pada fungsi perkembang-biakan manusia melalui rahim perempuan. Terkait dengan ini, penghormatan kepada perempuan sebagai ibu adalah kewajiban bagi siapapun, setelah penghormatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam ungkapan pakaian, terdapat beberapa fungsi perempuan bagi laki-laki sebagaimana fungsi pakaian bagi pemakainya. Pertama, perempuan sebagai pelindung dan pembela laki-laki yang menjadi suaminya, demikian pula sebaliknya. Kedua, perempuan adalah penghias dan pendamping laki-laki yang menjadi suaminya, demikian pula sebaliknya. Ketiga, perempuan adalah penjaga kehormatan laki-laki yang menjadi suaminya, demikian pula sebaliknya.

Ungkapan lainnya adalah penjelasan al-Qur’an mengenai asal mula kejadian manusia pertama (Nabi Adam AS) dalam surat al-Nisa’: 1. Dalam ayat ini, terdapat satu kata yang masih samar dan membutuhkan penafsiran, yakni nafsin wahidah. Uniknya para mufassir memiliki pendapat yang saling bertentangan: ada yang menafsirkan sebagai Nabi Adam AS yang laki-laki, ada yang menafsirkan Hawa yang perempuan, dan ada yang menafsirkan sesuatu selain Adam dan Hawa.7 Penyamaran ini membawa hikmah bahwa tidak ada klaim gender yang terkait dengan asal mula manusia. Ayat ini juga menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan merupakan makhluk hidup, karena bisa berkembang-biak serta diperlakukan sebagai makhluk hidup yang berakal hingga diperintahkan untuk bertakwa.

Selain itu, al-Qur’an juga menetapkan banyak hukum yang berkenaan dengan perempuan yang umumnya terkait dengan hukum privat. Hukum privat al-Qur’an mengangkat posisi perempuan menjadi lebih setara dengan kaum pria. Perempuan diberi kewenangan, hak, dan kewajiban sesuai dengan fitrahnya. Derajat wanita dapat menjadi rendah jika berada di bawah atau di atas garis ketentuan tersebut. Artinya, perempuan tidak boleh diposisikan berada di bawah laki-laki atau menempati posisi di atas laki-laki. Laki-laki dan perempuan hidup sebagai kemitraan, bukan persaingan. Sebagai kemitraan, perempuan memiliki wilayah dan tugas tersendiri dan harus diakui oleh laki-laki, demikian pula sebaliknya. Hal ini berlawanan dengan konstruksi sosial masyarakat yang menganggap hampir semua tugas laki-laki lebih mulia dibanding tugas perempuan. Sebagai gambaran, melahirkan dan menyusui sering dinilai kurang produktif, sehingga banyak perempuan modern terjebak aborsi atau menggantikan ASI dengan susu sapi demi mempertahankan karirnya.

Harmonisasi gender melenyapkan materialisme. Pemujaan terhadap materi cenderung mendorong penindasan gender. Bentuk penindasan ini adalah eksploitasi gender. Perempuan sering dijadikan korban eksploitasi gender, karena asumsi perempuan sebagai materi masih sangat kuat dalam benak masyarakat modern.8 Sebagai materi, semua bentuk fisik perempuan menarik bagi gerakan panca indra: dilihat, diraba, dicium, didengar, dan dikecap (baca: dibicarakan). Gerakan setiap lima panca indra untuk masing-masing anggota tubuh perempuan telah menghasilkan berbagai macam produk untuk fisik perempuan dengan jenis, bentuk, dan merk yang berbeda pula. Sebagai contoh, rambut perempuan menghasilkan berbagai macam produk yang ditujukan untuk keindahan, keseburan, dan kenikmatan rambut. Oleh karena itu, fisik perempuan selalu menjadi ukuran dan pertimbangan bagi masyarakat. Perempuan yang cantik berarti cantik secara fisik.

Kecantikan fisik juga konstruksi sosial. Persepsi masyarakat tentang kecantikan perempuan berbeda satu sama lain. Mitos kecantikan menyebabkan perempuan memandang kecantikan bukan sebagai estetika yang sifatnya privat, melainkan keinginan perempuan untuk mendapatkan pengakuan sosial yang dituntut masyarakat. Perempuan selalu merasa tidak puas dengan diri sendiri. Keindahan tubuh perempuan lain menimbulkan rasa sakit, malu, dan sedih, sehingga sering muncul perasaan cemburu dan iri.9

Kecantikan ini menjadi komoditas produk dengan perempuan sebagai media dan sasarannya. Sebagai media, perempuan ditampilkan menjadi bintang iklan atau artis yang diharapkan dijadikan public figure oleh masyarakat. Dalam penampilan ini, nilai-nilai kapitalis menggeser nilai-nilai normatif di masyarakat. Citra perempuan disesuaikan dengan selera bisnis, sehingga perempuan kembali menjadi komoditas ekonomis dan diperlakukan sebagai materi, bukan makhluk hidup. Sebagai sasaran, massa perempuan yang lebih banyak daripada laki-laki merupakan pasar potensial yang diharapkan menjadi pengguna produk. Perempuan yang terjebak oleh jeratan kapitalis dengan budaya materialismenya sering tidak memperhatikan kepentingannya sendiri, seperti kesehatan dan keselamatan. Ia sanggup melawan sakit dan kematian atau mengeluarkan uang habis-habis demi tampil cantik. Oleh karena itu, gaya hidup dan pola konsumsi perempuan juga tergantung dari konstruksi kaum kapitalis. Dengan strategi komunikasi massa efektif, konstruksi kapitalis global telah merambah komunitas perempuan muslimah, tak terkecuali perempuan sufistik.


Pola Konsumsi dan Gaya Hidup Perempuan Sufistik

Fenomena semaraknya pengajian keagamaan untuk ibu-ibu dan remaja putri di perkotaan dan pedasaan tidak terlepas dari nuansa sufistik. Pengajian jenis ini selalu diiringi dengan dzikir bersama, sholat sunnah berjamaah, sedekah kolektif, bahkan tema yang diusung lebih banyak untuk ketenangan jiwa. Dalam pengajian ini, hal yang menarik untuk dikupas adalah gaya hidup yang ditampilkan peserta pengajian maupun pengasuhnya. Gaya hidup ini menjadi kental tatkala perempuan menjadi sasaran kapitalis dalam memasarkan produknya. Dampaknya adalah esensi pengajian bisa menjadi hilang digantikan dengan pamer komoditi dan penampilan.

Upaya perempuan untuk memperlihatkan anggota tubuh maupun perhiasannya sehingga menimbulkan fitnah distilahkan dengan tabarruj.10 Al-Qur’an dalam surat Al-Ahzab: 33 menyebutnya sebagai tabarruj jahiliyyah. Batas anggota tubuh yang harus ditutupi disebut aurot. Dalam pandangan ulama Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, ketika bersama orang laki-laki, semua tubuh perempuan adalah aurot, sedangkan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik mengecualikan wajah dan telapak tangan. Namun saat bersama dengan perempuan muslimah, aurat perempuan adalah antara pusar dan lutut.11 Demikian pula, perhiasan dibagi para ulama menjadi dua macam, yaitu perhiasan kecantikan anggota tubuh dan perhiasan kecantikan yang melekat anggota tubuh. Jenis perhiasan yang terakhir ini dibagi tiga macam, yaitu perhiasan dengan memberikan warna, perhiasan dengan barang yang berharga, dan perhiasan pakaian.12 Islam mengharamkan tabarruj aurot maupun perhiasan dan menggantikannya dengan pakaian jilbab, seperti yang digariskan dalam surat al-Ahzab: 50.

Tabarruj semakin tersebar akibat dari pola konsumsi dan gaya hidup yang diciptakan kapitalisme Barat dengan mengatasnamakan modernitas. Pola konsumsi dan gaya hidup merupakan dua konsep yang saling terkait. Hubungan antara pola konsumsi dan gaya hidup dapat dinyatakan bahwa pola konsumsi dapat menciptakan gaya hidup, atau sebaliknya, gaya hidup dapat mendorong untuk konsumsi juga menunjukkan status konsumen. Selera, identitas, atau gaya hidup adalah sesuatu yang dapat berubah dan terfokus pada kualitas simbolik dari barang serta tergantung dari persepsi dari orang lain.13 Gaya hidup sering dikaji kaitannya dengan karakter sosial, semacam kelas sosial, atau masyarakat rural, urban, dan sub urban.14 Budaya konsumsi juga dapat dilihat dari sisi kepuasan dan kesenangan estetis dalam memilih dan menggunakan produk.15 .

Dengan menggunakan teori kelas, pola konsumsi dan gaya hidup perempuan sufistik dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Masing-masing kelas ini memuat pemikiran keagamaan santri. Kelas menunjukkan dimensi ekonomis, yakni kemampuan masyarakat melakukan konsumsi, sementara pola keagamaan terkait dengan selera. Bagi kaum santri perempuan, barang-barang dan jasa konsumsi yang diminati adalah sesuatu yang menunjukkan identitas konsumen perempuan sebagai orang yang taat beragama. Mereka tertarik pada komoditas yang menjadi simbol keagamaan, seperti busana muslimah, kitab yang dipajang di ruang tamu, atau sticker keagamaan yang ditempel di kaca mobil.

Perempuan santri kelas atas melihat materi sebagai anugerah yang harus disyukuri. Dalam wujud syukur tersebut, mereka melakukan sedekah, penyantunan, dan mendaftarkan diri sebagai donatur. Mereka bekerja tidak untuk diri sendiri, tetapi juga memperdulikan orang lain. Selain itu, mereka memuaskan diri dengan keterlibatan kepada kelompok elit muslimah, seperti aktif dalam pengajian eksklusif, mengikuti umroh atau haji dengan bimbingan ulama ternama, atau mengkoleksi aksesoris keagamaan yang mewah. Mereka berpikir positif tentang materi dunia dan takdir Tuhan, sehingga mereka memiliki semangat hidup yang tinggi. Mereka juga tidak suka zuhud diartikan sebagai hidup miskin dan menjauhi dunia. Mereka memiliki perspektif positif mengenai konsepsi tasawwuf. Deemikian pula, pandangan mereka tentang harta yang dianggap bukan penghalang ibadah, tetapi menjadi sarana ibadah. Mereka lebih mengikuti tasawwuf esoteris daripada tasawwuf eksoteris.

Dengan pemikiran keagamaan yang modern dan positif, mereka memiliki semangat misi dan dakwah yang tinggi pula. Atas nama agama, mereka mudah bergerak dalam batas-batas yang rasional. Umumnya mereka bergerak secara eksklusif dengan keberagamaan yang inklusif. Karakteristik kelompok ini kurang lebih sama dengan pengusaha-pengusaha Calvinis-Protestan yang oleh Max Weber dinilai memiliki tiga rukun semangat kapitalisme, yaitu motif memperoleh laba (profit motive), hidup zuhud dan sederhana (ascetic orientation), dan semangat misi (ideas of calling).16 Namun demikian, Bryan S. Turner melihat perbedaan gaya hidup kaum protestan elit dan kaum muslim elit. Turner menulis,

Terdapat perbedaan yang nyata antara puritan yang khas terhadap kemewahan serta dandanan pribadi dan motif-motif Islam. Dalam sektarianisme Protestan, orang menemukan gaya hidup yang teratur dan rasional serta penggunaan modal yang sistematis yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari para pengusaha, tukang, dan pemilik toko. Dalam Islam, baik prajurit maupun pedagang Timur menganggap kemewahan pribadi sebagai petunjuk yang tepat dari status sosial dalam masyarakat. Mereka memiliki semua minat yang khas pada pemakaian yang menyolok dari suatu golongan yang santai. Jika dengan demikian, Puritanisme mengembangkan motif-motif yang menganggap pencarian keuntungan sebagai irrasional dan secara moril tidak pantas, maka tradisi Islam dengan senang menggambarkan pakaian yang mewah, wangi-wangian, serta gaya potongan jenggot orang-orang sholeh yang apik”.17

Kelas menengah perempuan sufistik melakukan konsumsi dengan memadukan antara aspek-aspek modern dan tradisional. Di satu sisi, mereka mempercayai dan memegang tradisi, di sisi lain mereka menerima rasonalitas. Afiliasi kelompok ini lebih menonjol dibanding kompetisi dan individualismenya. Karena berbaur dengan komunitas muslim lainnya, maka pola konsumsinya tidak terlalu mencolok. Apa yang mereka beli merupakan barang umum yang dimiliki orang lain. Dalam studi Geertz, dikemukakan bahwa kedermawanan, keterlibatan dalam urusan masyarakat, berziarah, menunaikan ibadah haji yang dilakukan santri memberi dampak pada akumulasi modal budaya yang dimiliki. Hal ini menghindari cemoohan masyarakat sebagai orang kikir dan tamak harta.18 Namun demikian, hal yang membedakan dengan kelas menengah lainnya adalah kaum sufi perempuan lebih senang menggunakan simbol-simbol keagamaan, meski dalam kadar tidak terlalu mewah. Kehidupan meraka dibatasi oleh norma-norma sosial dan agama. Mereka dapat hidup dengan masyarakat bawah dan atas, sehingga leluasa berinteraksi. Dengan simbol keagamaan yang dimiliki, mereka juga dipercaya sebagai elit agama oleh semua elemen masyarakat.

Perilaku konsumtif hampir tidak tampak pada perempuan sufistik kelas bawah. Mereka berusaha mempertahankan hidup dengan memenuhi kebutuhan primer secara subsisten. Kaum perempuan sufi kelas bawah ini dapat menerima keadaannya, karena kebanyakan mereka menyadari bahwa semuanya menjadi takdir Allah. Karena tidak memiliki sumber ekonomi yang cukup, kelas bawah ini tidak jarang melakukan resiprositas dengan gotong-royong atau memberikan tenaga kasar dengan harapan imbalan upah. Secara sederhana, resiprositas adalah pertukaran timbal balik antar individu atau antar kelompok. Terdapat motif bagi pelaku resiprositas dalam meningkatkan hubungan personal, yaitu harapan untuk mendapatkan prestise sosial.19 Resiprositas perempuan sufi kelas bawah terkait dengan golongan santri yang lebih tinggi kelasnya, misalnya menjadi pembantu rumah tangga, pramuniaga, atau buruh perempuan untuk kaum kelas atas. Dengan resiprositas ini, masyarakat kelas bawah dapat merasakan dan mengikuti kehidupan masyarakat yang lebih tinggi kelasnya, seperti perempuan miskin yang menjadi pembantu rumah tangga pemuka agama sempat menikmati mobil mewah dan pernah diajak makan di restoran. Penting pula dicatat bahwa hubungan mereka dengan golongan abangan tidak sedekat seperti dengan golongan santri. Terdapat kesepemahaman keberagamaan di antara mereka.

Sebagai upaya justifikasi, perempuan sufi kelas bawah lebih dekat dengan konsepsi tasawwuf yang ‘pesimis’, seperti qana’ah, sabar, tawakkul, dan sebagainya. Dzikir yang dipilih adalah wirid yang menjanjikan kekayaan. Mereka memasuki jalan tasawwuf untuk mencari kemakmuran. Tentu saja hal ini dipahami dengan baik oleh mursyidnya, sehingga permohonan kekayaan ini selalu disisipkan dengan bahasa yang dipahami mereka. Selain itu, mereka juga rela mengeluarkan uang –meski dengan cara hutang- untuk pembelian sesuatu yang bisa menjanjikan kekayaan.

Di kalangan masyarakat menengah dan bawah, gaya hidup yang mereka saksikan mendorong untuk mengikutinya dengan melakukan konsumsi, setidaknya konsumsi secara simbolik. Mereka mengikuti arus yang diciptakan oleh industri, ditayangkan dengan iklan, serta dipertontonkan oleh komunitas kelas atas. Selain itu, dukungan juga berasal dari gejala diskon harga, siklus kehidupan keluarga, peningkatan pendapatan, peningkatan status, dan pengetahuan produk. Jika pengajian untuk golongan atas diadakan di hotel mewah, terkadang hal ini ditiru oleh golongan menengah, bahkan golongan bawah, yang sesekali mengadakannya di hotel meski tidak mewah. Demikian pula, elit agama yang membimbing rohani kelas bawah dan menengah juga ikut-ikutan meniru gaya hidup pembimbing agama kelas atas: membawa mobil mewah dengan sopirnya, handphone, berkacamata, dan memakai busana yang mahal. Oleh karena itu, pendapatan sebagai satu-satunya pendorong konsumsi –sebagaimana klaim Ilmu Ekonomi- tidak dapat dijadikan ukuran. Apalagi dengan adanya sistem kartu kredit atau kredit lunak yang dikeluarkan oleh perbankan, banyak pemakainya yang terjerumus dalam apa yang disebut Krugman dengan “Silly Effect”.20 Jadi, orang miskin pun bisa menjadi konsumtif. Ternyata, kehidupan sufistik termanipulasi oleh budaya konsumtif.

Khatimah

Apa yang dinilai suci dan sakral dalam ritual keagamaan kaum perempuan, ternyata menyisakan pola hidup dan gaya hidup tersendiri. Bimbingan sufistik juga tidak terlepas dari gencaran gaya hidup yang berasal dari motivasi ekonomi. Bagi kaum perempuan yang menjadi pasar potensial, pengajian tidak hanya menjadi sarana pengembaraan intelektual, tetapi juga sebagai ajang pertunjukan gaya hidup. Tentu saja gaya hidup masing-masing kelompok berbeda satu sama lain, tergantung dari kelas masing-masing.





1 Haidar Bagir, “Falsafah Ibnu ‘Arabi”, http:// www.ummahonline.com/index/modules.php?Name= News&file= article&sid=92

2 Reynold A. Nicholson, Aspek Rohaniah Peribadatan Islam di dalam Mencari Keridhaan Allah, ter. A. Nashir Budiman (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1995), 111.

3 Ahmad Gibson Al-Bustomi dan bambang Q. Anees, “Perempuan dalam Paradigma Taswwuf Wujudi: Analisis Tasawwuf Terhadap Pluralitas Gender”, http://hhmsociety.multiply.com/reviews/item/32.

4 Martin van Bruinessen, “Kitab Kuning dan Perempuan, Perempuan dan Kitab Kuning”, http://www.let.uu.nl/~martin.vanbruinessen/personal/publications/kitab_kuning_dan_perempuan

5 Muhajirin, “Pendidikan Wanita Dulu dan Sekarang”, http://www.amanah.or.id/detail.php?id=800.

6 Ibid.

7 Keterangan lengkap, baca Abdul Mustakim, “Feminisme dalam Pemikiran Riffat hassan”, Jurnal Al-Jami’ah, No. 63. Vol. VI Tahun 1999, 93-110.

8 Yasraf A. Piliang, “Terkurung di Antara Realitas-realitas Semu”, Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4 Vol. V Tahun 1994, 102-113.

9 Annastasia Melliana S., Menjelajah Tubuh: Perempuan dan Mitos Kecantikan (Yogyakarta: LKiS, 2006), 5.

10 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, ter. M. Tholib (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), 133.

11 Muhammad ‘Ali al-Shobuni, Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, vol. II (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 153-155.

12 Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, vol. XI (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1967), 229.

13 Damsar, Sosiologi Ekonomi (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002), 119.

14 Janet Hankin, “Life Styles and Health” dalam Edgar F. Borgatta dan Marie L. Borgatta, Encyclopedia of Sociology, Vol. III (New York: Macmillan Ribrari Referenc, 1992), 159.

15 Mike Featherstone, Posmodernisme dan Budaya Konsumen, ter. Misbah Zulfa Elizabeth (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 29-30.

16 Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial (Bandung: Rosdakarya, 2000), 106,

17 Bryan S, Turner, Sosiologi Islam, ter. G.A. Ticoalu (Jakarta: Rajawali, 1984), 365.

18 Damsar, Sosiologi Ekonomi (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002), 78.

19 Sjafri Sairin, Pujo Semedi, dan Bambang Hudayana, Antropologi Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 47-53.

20 Ibid.

HUKUM PERKAWINAN ISLAM

Kelompok sosial yang terkecil dan paling menentukan adalah keluarga. Keburukan suatu keluarga akan berdampak luas pada kelompok sosial yang lebih besar. Untuk itu, keluarga harus diperkuat oleh tatanan yang tangguh, yakni perkawinan. Tradisi perkawinan yang berbeda antara satu masyarakat dengan lainnya menunjukkan pengakuan setiap masyarakat atas kekuatan perkawinan tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman, kekuatan perkawinan lambat laun dikikis oleh modernitas. Manusia modern yang cenderung hedonis-materialis justru menganggap perkawinan sebagai hambatan. Mereka pun membangun sistem yang menggantikan perkawinan, sehingga muncul budaya ‘kumpul kebo’, seks bebas, bahkan mengoyak ketabuan virginitas. Jika mereka mengikuti tradisi perkawinan, sakralitasnya hanya terbatas pada pestanya. Usai pesta, mereka kembali mencapakkan nilai-nilai perkawinan sesungguhnya. Dengan budaya semacam ini, dampak yang berkembang adalah semakin tingginya angka perceraian, pesta perkawinan juga semakin mewah, dan masyarakat semakin takut dengan perkawinan.

Hukum Islam memberikan perhatian lebih besar pada aspek perkawinan. Menurut proporsinya, ayat-ayat al-Qur’an yang membahas masalah perkawinan lebih besar dibanding masalah ekonomi, politik, pidana, dan peradilan. Tentu porsi masalah perkawinan ini lebih kecil dibanding masalah akidah dan ibadah. Ini berarti bahwa manusia diperintahkan memperhatikan hubungannya dengan Allah SWT dan Rasul-Nya. Setelah itu, perhatiannya kepada keluarganya. Dalam hadis, masalah perkawinan tidak hanya terpotret pada perkawinan Nabi SAW, melainkan pula penyelesaian Nabi SAW atas kasus-kasus perkawinan yang dialami para sahabat. Dalam kitab-kitab hukum karya para ulama Fikih, hukum perkawinan juga diletakkan setelah ibadah, karena perkawinan merupakan tanggung-jawab individu yang utama kepada masyarakatnya. Hukum perkawinan dimulai dari masa pengenalan, ikatan perkawinan, hubungan suami-istri, hingga kepengasuhan anak, waris, dan perceraian. Tulisan ini membahas hukum perkawinan Islam secara singkat dan menyeluruh. Namun, pembahasan tersebut ditekankan pada aspek hikmah pemberlakuannya


Makna dan Asas Perkawinan

Dalam hukum perkawinan Islam, perkawinan diistilahkan dengan pernikahan. Ada dua makna nikah secara bahasa: persetubuhan dan pernyataan ikatan (akad). Secara istilah, nikah adalah akan yang mencakup rukun dan syarat perkawinan (al-Ghazzi, t.t.: 43). Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dikemukakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara luas pernikahan dalam Islam memiliki arti sebagai berikut (A. Rahman I Doi, 1996: 209).

  1. Merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar.

  2. Suatu mekanisme untuk mengurangi ketegangan.

  3. Cara untuk memperoleh keturunan yang sah.

  4. Mempunyai fungsi sosial.

  5. Mendekatkan hubungan antar keluarga dan solidaritas kelompok.

  6. Merupakan perbuatan menuju takwa.

  7. Merupakan suatu bentuk ibadah, yaitu pengabdian kepada Allah SWT dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW.

Dengan sisi positif di atas, maka hukum dasar perkawinan adalah dianjurkan. Namun demikian, perkawinan bisa dihukumi wajib bila seseorang khawatir tertimpa perzinahan, sementara ia telah mampu untuk menikah. Sebaliknya, perkawinan menjadi haram bila dilakukan oleh orang yang hanya melampiaskan nafsu seksualnya saja tanpa ada kemampuan untuk perkawinan. Kemampuan tersebut dinilai dari kesanggupan seseorang untuk memberikan tanggung jawab lahir dan batin kepada pasangan hidupnya.

Dalam hukum Islam, perkawinan merupakan sistem yang mengatur hubungan seksualitas. Ia merupakan tatanan untuk menjaga keturunan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa manusia memiliki instink berkembang biak, sebagaimana makhluk hidup lainnya. Agar manusia bertanggung-jawab atas anak-anaknya, maka diberlakukan hukum keluarga. Jika tidak demikian, maka dapat terjadi manusia menganiaya dan membunuh anaknya sendiri. Hal ini pernah terjadi pada masa sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul. Hukum keluarga dalam Islam dihimpun dalam pembahasan masalah perkawinan. Oleh karena itu, hukum perkawinan Islam tidak hanya mencakup hubungan suami-istri, tetapi juga hubungan orang tua-anak dan hubungan antar saudara, baik yang terkait dengan harta dan hak-hak lainnya. Oleh karena itu, asas hukum perkawinan dalam Islam adalah kebersamaan. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan keluarga dalam menentukan hubungan suami-istri. Asas ini tidak berbeda dengan asas perkawinan dalam undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang juga menekakankan asas kekeluargaan.

Menurut pengertian perkawinan dalam undang-undang di atas, asas perkawinannya adalah monogami (Amir Martosoedono, 1992: 16). Disebutkan dalam pengertian tersebut, “seorang suami dan seorang istri” (pasal 3 ayat 1). Tentu asas ini berbeda dengan hukum perkawinan Islam yang menganut asas poligami, sebagaimana tercermin dalam surat al-Nisa’. Meski demikian, ada pembatasan dalam poligami, agar tidak dilakukan sewenang-wenang.


Pinangan yang Menentukan Masa Depan

Islam menilai ikatan perkawinan sebagai ikatan yang sangat kuat (mitsaqan ghalizhan). Kekuatannya terletak pada status hukum dengan segala akibatnya. Sebelum kawin, seseorang tidak memiliki tanggung-jawab keluarga sebagaimana ketika ia berada dalam perkawinan. Dengan status ini pula, sanksi perzinahan juga dibedakan. Selain itu, kekuatan ikatan juga bisa dilihat dari persyaratan perkawinan yang dipersiapkan melalui sistem pinangan. Perkawinan tidak langsung terjadi, tetapi melalui proses. Mula-mula pengenalan masing-masing calon mempelai. Pengenalan ini tidak dimaksudkan sebagai pacaran seperti yang dipahami selama ini, melainkan berupa kesediaan masing-masing pihak untuk menjalani hidup bersama. Dalam hukum Islam, ajakan kesediaan tidak monopoli pihak laki-laki. Pihak perempuan pun tidak dianggap tabu untuk memulai ajakan menikah. Nabi sendiri pernah diminta oleh seorang perempuan untuk mengawininya. Di samping itu, kesediaan ini dibedakan antara gadis dan janda. “Izinnya gadis adalah diamnya, sementara izinnya janda terletak pada keputusannya”, sabda Nabi SAW. Dalam Fathul Qarib (al-Ghazzi, t.t.: 45), ketentuan gadis dan janda terletak pada pengalaman hubungan seksual. Seseorang dikatakan gadis bila belum pernah menjalankan hubungan seksual, meski ia pernah terikat perkawinan. Begitu pula, janda adalah orang yang pernah mengalami hubungan seksual, meski sejatinya belum pernah terikat perkawinan.

Pinangan juga dijadikan sebagai sarana penelitian sebelum pernikahan. Hal yang diteliti adalah kesediaan, asal-usul, keluarga, status perkawinan, perencanaan pesta perkawinan, bahkan cacat fisik yang mengganggu organ seksual. Pendek kata, pinangan adalah keterbukaan demi masa depan. Tidak boleh ada sesuatu yang disembunyikan dalam pinangan. Sebaliknya, apa yang telah dibuka saat pinangan tidak diperkenankan untuk disebarluaskan di luar acara pinangan. Hasil dari suatu pinangan adlah dua kemungkinan: sedia dan tidak bersedia. Jika masing-masing saling menutupi jati dirinya, maka perkawinan rentan terhadap masalah. Misalnya, seorang gadis tidak dikemukakan kenyataannya bahwa dirinya memiliki organ seksual yang tidak normal. Setelah berlangsungnya ikatan perkawinan, kelemahan ini baru diketahui oleh suaminya. Dalam hal ini, suami memiliki hak untuk membatalkan perkawinannya karena alasan tersebut. Pembatalan ini dinamakan fasakh.


Pernyataan Ikatan (Akad Nikah): Simbol Kontrak Perkawinan

Dalam hukum Islam, perkawinan itu dibahasakan dengan istilah nikah. Para ulama menekankan nikah pada sisi pernyataan ikatan atau akad. Adanya pernyataan ikatan membuat perkawinan tidak berbeda dengan pernyataan kelangsungan bisnis. Bukankah pernyataan: “Aku terima perkawinannya” sama dengan pernyataan: “Aku terima pembeliannya”?. Bisnis berlaku sistem pertukaran (barang dengan barang atau barang dengan uang), sebagaimana pertukaran perkawinan yang berupa mahar dengan diri mempelai perempuan. Meski demikian, pernyataan perkawinan dilangsungkan dengan kehadiran mempelai, wali dari mempelai perempuan, dan dua orang saksi, sedangkan pernyataan bisnis bisa dilangsungkan tanpa kehadiran siapapun selain penjual dan pembeli. Memang ada juga bisnis yang disaksikan oleh banyak orang. Dalam pernyataan perkawinan, disebutkan bentuk dan jumlah mahar, seperti penyebutan alat pembayaran yang berlaku dalam bisnis. Dengan demikian, perkawinan dalam hukum Islam merupakan bentuk kontrak yang dinyatakan di hadapan publik.

Dalam Undang-undang Perkawinan, perkawinan harus sah menuru ajaran agama dan terbukti secara tertulis. Pernyataan ikatan menurut ajaran Islam dikemukakan dengan lisan, sedangkan bagi negara diwujudkan melalui tulisan. Ketentuan negara yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan menghapus perbedaan ulama, sehingga nikah sirri yang tidak tercatat dinilai tidak sah menurut agama. Demikian pula, ketentuan wali dan saksi yang dimuat undang-undang telah menghapus berbagai pendapat ulama yang ditulis di kitab Fikih. Jadi, klaim perkawinan menurut agama, tetapi mengabaikan hukum negara, sama dengan mengabaikan hukum agama yang memerintahkan umat agar taat kepada pemerintah. Baik ketentuan agama maupun negara, perkawinan dianggap sebagai kontrak yang mengikat secara kuat.

Kontrak perkawinan (bedakan dengan perkawinan kontrak) menyangkut hal-hal sebagai berikut. Pertama, pembatalan perkawinan dibenarkan jika ditemukan hal-hal yang merusak syarat perkawinan atau cacat yang menghalangi hubungan seksual. Perkawinan bisa batal bila di kemudian hari mempelai laki-laki diketahui bukan beragama Islam. Kedua, kontrak perkawinan memandang kemungkinan perceraian dan kelangsungan. Namun, hal ini tidak dinyatakan dalam pernyataan ikatan. Justru hak dan kewajiban suami-istri dikemukakan dalam pernyataan ikatan dalam bentuk ta’liq talak. Ketiga, kontrak perkawinan memuat sistem tawar-menawar. Mahar yang diajukan oleh pihak mempelai perempuan harus disetujui oleh mempelai laki-laki. Jika tidak ada kesepakatan, perkawinannya pun bisa gagal. Selain itu, mempelai perlu melihat fisik masing-masing. Dalam hal ini, perwakilan diperbolehkan, seperti mempelai laki-laki yang meminta saudara perempuannya untuk melihat fisik calon istrinya secara menyeluruh. Setelah itu, diambil keputusan antara kelangsungan dan kegagalan.

Meski terkandung unsur kontrak, ikatan perkawinan Islam tetap sangat kokoh, tetapi bersifat sederhana dan mudah. Kesederhanaan hukum perkawinan Islam terlihat dari tidak adanya tuntutan keabadian perkawinan. Ini realistis, mengingat tujuan utama hukum perkawinan Islam adalah sebagai upaya membolehkan hubungan seksual. Kemudahannya tampak dari tuntutan untuk segera melaksanakan perkawinan bila persyaratannya telah terpenuhi. Tampaknya, sistem kontrak ini mudah meretakkan bangunan perkawinan. Padahal, hukum talak sebagai upaya mengakhiri kontrak perkawinan tidak mudah dilaksanakan. Ia harus didasari oleh alasan yang kuat serta melalui beberapa tahapan.


Tahapan-tahapan Menuju Perceraian

Salah satu prinsip hukum perkawinan Islam adalah mempermudah perkawinan dan mempersulit perceraian. Perkawinan terikat hubungan kerja sama sesama manusia, sebagaimana bentuk kerja sama yang lain, semacam persaudaraan, persahabatan, maupun kemitraan. Dalam kerja sama ini, terjadi interaksi sosial, baik dalam bentuk konflik maupun keharmonisan. Hukum perkawinan Islam memandang bahwa konflik dalam perkawinan tidak dapat dihindari. Konflik yang berkepanjangan dan semakin tajam justru akan merusak kemanusiaan itu sendiri. Manusia tidak akan hidup tenang jika ia terus mempertahankan konflik. Oleh karena itu, perceraian perkawinan tidak dinilai sebagai sesuatu yang salah dan haram. Manusia yang gagal dalam perkawinan tidak berarti gagal segalanya. Perkawinan dan perceraian merupakan suatu keniscayaan: perkawinan memungkinkan adanya perceraian dan perceraian membuka perkawinan baru lagi.

Perceraian, menurut hukum perkawinan Islam, merupakan langkah terakhir ketika kerja sama perkawinan tidak bisa dipertahankan kembali. Penyelesaian konflik rumah tangga harus mengedepankan aspek pendidikan. Artinya, ketika muncul sebuah konflik (nusyuz), langkah-langkah penanganannya adalah

  1. Memberikan teguran dan peringatan secara bijak. Jika langkah ini tidak membuat kesadaran dan pengertian, maka langkah berikutnya harus diambil.

  2. Pisah ranjang, yakni tidur secara terpisah. Pendidikan yang diberikan dalam pisah ranjang adalah tekanan psikologis sebagai sanksi sosial keluarga. Tentu ini memberatkan, mengingat adanya pemberhentian kebersamaan yang senantiasa terjaga. Jika solusi ini masih belum berubah lebih baik, maka solusi berikutnya perlu dilalui.

  3. Pemukulan yang mendidik. Pemukulan ini tidak diarahkan pada kepala atau bagian vital lainnya serta tidak membuat luka pada fisik. Pemukulan yang mendidik hanya menggerakkan tangan secara lemah, namun diiringi oleh perasaan yang mendalam. Dengan sentuhan pukulan ini, diharapkan ada kesadaran untuk memperbaiki hubungan kembali. Jika tidak ada kesadaran, maka perlu menapaki tahap solusi berikutnya.

  4. Menyerahkan persoalan konflik kepada masing-masing wali. Ada pihak ketiga yang diajukan oleh suami maupun istri yang sedang mengalami konflik. Pihak ketiga ini berperan sebagai mediator, karena pada taraf ini komunikasi antara suami-istri telah terputus. Jika mediator tersebut belum meredakan konflik, maka alternatif berikutnya bisa menjadi pilihan.

  5. Perceraian pertama dapat dijatuhkan. Selama masa perceraian pertama ini, suami-istri memiliki waktu untuk berpikir kembali. Waktu tersebut dinamakan ‘iddah, yakni masa menunggu. Pada masa ini, suami-istri diberi waktu tiga kali suci atau tiga kali menstruasi. Jika tidak ada keputusan kembali (rujuk) hingga habisnya masa menunggu, maka baik suami maupun istri diperkenankan menjalin perkawinan baru dengan orang lain. Namun, bila ada kehendak untuk kembali kepada perkawinan semula, maka suami-istri harus mengadakan perkawinan baru. Dalam perkawinan baru ini, penanganan konflik kembali ke awal hingga tiga kali putaran. Jika terjadi perceraian yang ketiga, maka suami-istri tidak bisa membangun perkawinannya kembali, kecuali setelah mengalami perkawinan bersama orang lain. cerai tertutup ini dinamakan talak bain atau cerai tiga. Proses di atas dapat dijelaskan dalam gambar sebagai berikut.


Gambar Proses Perceraian dalam Hukum Perkawinan Islam


Dalam gambar di atas, proses menuju perceraian tertutup sangat panjang. Boleh jadi, seumur hidup seseorang sulit untuk menuju cerai tertutup jika proses di atas dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu konflik bisa diselesaikan pada tahap pisah ranjang, maka tahapan kembali ke awal. Sebagai contoh, sepasang suami-istri bertengkar mengenai masalah keuangan. Pertengkaran ini akhirnya bisa diselesaikan pada pisah ranjang. Dengan penyelesaian ini, tidak ada lagi tahapan. Jika muncul konflik yang lain, maka tahapan dimulai dari awal, yakni teguran. Dengan demikian, perkawinan dalam hukum Islam mengarahkan pada keabadian, meski terkesan ada sistem kontrak. Keabadian ini akan semakin kuat bila perceraian diputuskan di hadapan sidang Pengadilan Agama, sebagaimana pernyataan pasal 117 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Jika suami dapat menceraikan istrinya pada setiap waktu dan tempat, maka ikatan perkawinan akan cepat pudar. KHI lebih menekankan aspek mempersempit perceraian (Makinudin, 1999: 68-84).

Upaya memperkuat ikatan perkawinan juga terlihat pada adanya rujuk, yakni memperbarui perkawinan dengan pasangan yang telah diceraikan. Dalam kawin baru, berlaku persyaratan dan rukun sebagaimana perkawinan semula, seperti adanya mempelai, wali, saksi, mahar, dan pernyataan ikatan. KHI telah mengatur secara lengkap tentang rujuk, baik yang bersifat normatif, teknis, dan administratif. Secara normatif, masalah rujuk diatur dalam KHI pada Bab XVIII pasal 163, 164, 165, dan 166. Secara teknis, rujuk diatur dalam KHI pasal 168 jo. pasal 33, 34, 169, dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975. Secara administratif, rujuk diatur dalam pasal 167, 168, dan 169. Dalam pasal-pasal tersebut ditegaskan adanya perlindungan kepada pihak istri yang sering diperlakukan secara sewenang-wenang oleh suami. Kerelaan istri adalah penting dalam pelaksanaan rujuk.

Perceraian dalam hukum perkawinan Islam menjaga keseimbangan antara kewenangan suami dan istri. Suami berhak menjatuhkan cerai. Demikian pula, istri juga memiliki hak pada gugat cerai yang lazim disebut khulu’. Karena perceraian istri sebagai gugatan, maka istri menebus mas kawin yang pernah diterimannya. Agar istri tidak lebih teraniaya, pemerintah menetapkan beaya gugat cerai secara sepihak, tanpa menuntut persetujuan suami sebagai pihak yang tergugat.


Perceraian Akibat Seksualitas

Permasalahan umum perkawinan dalam hukum Islam adalah masalah seksualitas. Pada dasarnya, perkawinan adalah salah satu pintu untuk membolehkan hubungan seksual. Pintu yang lain adalah perbudakan. Kejahatan seksual dinyatakan oleh Islam sebagai perbuatan yang keji. Artinya, kejahatan seksualitas merusak tatanan moral masyarakat. Kejahatan yang merusak material masyarakat dinamakan kemunkaran. Oleh karena itu, bentuk-bentuk sebab perceraian dalam hukum Islam juga terkait dengan kejahatan seksualitas.

Pertama, menyamakan anggota tubuh istri dengan anggota tubuh ibunya dengan maksud mengharamkan diri berhubungan seks dengan istrinya. Ini yang dinamakan zhihar. Karena kejengkelan suami kepada istrinya, suami enggan mengumpuli istrinya. Kejengkelan tersebut terluapkan dalam kata-kata yang buruk. Kata-kata ini tentu menyinggung perasaan istri. Dalam Islam, mengharamkan hal yang diperbolehkan termasuk perbuatan aniaya. Begitu pula, suami yang mengharamkan hubungan seksual dengan istrinya termasuk orang yang berdosa. Jika diluapkan dengan kata-kata buruk, bisa berakibat perceraian zhihar. Dalam Islam, perceraian jenis ini harus ditebus dengan membebaskan seorang budak muslim. Jika tidak mampu melaksanakannya, maka diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut. Ia harus berusaha menjalankan puasa tersebut. Jika ia tidak mampu melakukannya, maka ganti yang paling akhir adalah memberi makan kepada 60 orang miskin yang masing-masing mendapatkan dua ons makanan pokok.

Kedua, bersumpah untuk tidak melakukan hubungan seksual selama kurang lebih empat bulan. Demikian ini dikatakan ila’. Bagi Imam Malik, tanpa sumpah pun, jika istri diabaikan selama empat bulan, maka bisa dikategorikan ila’. Untuk menghindari penganiayaan terhadap istri berlarut-larut, maka bentuk ini diberlakukan oleh hukum perkawinan Islam.

Ketiga, menuduh istri berbuat zina tanpa bukti yang kuat. Perbuatan ini disebut li’an. Perzinahan merupakan aib dan perbuatan keji. Namun, tuduhan zina tanpa bukti yang kuat juga lebih keji, karena ia meruntuhkan martabat seseorang. Jika tuduhan itu dialamatkan kepada istrinya, tentu ini berimplikasi pada keruntuhan kepercayaan suami-istri. Membiarkan hal ini berarti membuat keretakan rumah tangga berlarut-larut.


Penutup

Perkawinan melibatkan keluarga. Asas ini semakin terkikis, hingga sering terjadi kasus seseorang yang mengawinkan dirinya sendiri. Jika ini dibiarkan, maka kehancuran keluarga akan berada di ambang pintu. Untuk itu, peranan negara dalam mengatur perkawinan merupakan keniscayaan. Masyarakat modern yang menganggap perkawinan sebagai persoalan pribadi merupakan opini yang membahayakan.


Daftar Pustaka

Doi, A. Rahman I. Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan. Ter. Zaimudin dan Rusydi Sulaiman. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.

Ghazzi, Muhammad bin Qasim al-. Fath al-Qarib al-Mujib. Indonesia: Maktabah al-Nur Asia, t.t.

Makinudin. “Komparasi Studi Hukum Islam Tentang Rujuk: Problematika Hukum Rujuk Antara Fiqh dan KHI”. Jurnal Akademika. Vol. V. Nomor 1 Tahun 1999.

Martosedono, Amir. Apa dan Bagaimana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Semarang: Dahara Prize, 1992.






MAHASISWA MITRA DOSEN


Imam Muhammad bin Malik dikenal sebagai pakar Nahwu, karena ia telah menulis sebuah kitab Alfiyah: 1000 bait tentang Nahwu (gramatikal) dan Sharaf (leksikal). Imam al-Khalil bin Ahmad dikenal sebagai pakar Sastra Arab, karena ia yang menciptakan nada-nada sya’ir ‘Arab yang dikenal dengan nama Bahar (lautan). Kedua ulama ini sesungguhnya menjalin mitra dengan memadukan keilmuan masing-masing. Imam Ibnu Malik sejatinya adalah pakar sastra, sedangkan Imam al-Khalil merupakan pakar Nahwu, murid dari Imam Sibawaih, ulama Nahwu yang tersohor. Keduanya bersepakat mendiskusikan keilmuan masing-masing, sekaligus berupaya menciptakan karya ilmiah di luar bidangnya. Imam Ibnu Malik harus menulis tentang Nahwu, meski ia ahli di bidang sastra, sementara Imam al-Khalil juga menulis tentang sastra, walaupun ia pakar Nahwu. Begitu Imam Ibnu Malik telah berhasil menulis kitab Alfiyah-nya, Imam al-Khalil belum menciptakan sama sekali. Dalam kebingungan ini, ia melewati lautan dengan sebuah kapal. Ombak lautan yang menggerakkan kapal ternyata membuat bunyi yang indah. Dari sinilah, Imam al-Khalil menemukan apa yang sekarang dikenal dengan Bahar, yakni nada-nada sya’ir Arab.

Tradisi keilmuan Islam klasik bersifat kemitraan. Saat ini menjadi mahasiswa, besok dapat menjadi seorang dosen. Dosen Agama berarti orang yang mendalami tentang Agama dan bisa mengajarkannya, tetapi di luar Agama belum tentu menguasainya. Dosen ini dapat menjadi mahasiswa kepada siapapun yang mau berdiskusi tentang disiplin ilmu di luar bidang Agama. Dahulu, KH Hasyim Asy’ari mengaji di hadapan Syekh Kholil Bangkalan. Ketika Kyai Hasyim mendapatkan sanad kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Syekh Mahfuzh al-Tarmisi, Syekh Kholil menyempatkan diri untuk mengaji di hadapan Kyai Hasyim. Uniknya, setelah pengajian ini berakhir, kedua ulama mitra ini berebut mengambilkan sandal mitranya.

Tradisi akademik adalah kemitraan keilmuan. Dengan kemitraan ini, tidak ada hubungan hirarkhis antara dosen dan mahasiswa. Imam al-Syairozi, penulis kitab al-Muhadzdzab, biasa memanggil para santrinya dengan sebutan sahabat. “Di antara para sahabatku ada yang berpendapat ….(min ashhabina man qaala…)”, demikian salah satu bunyi teks kitab al-Muhadzdzab. Pijakan utama sebuah kemitraan keilmuan adalah nilai kebenaran ilmiah. Ada satu kaedah tentang hal ini, yaitu: “Kebenaran sejati hanya ada satu, namun setiap orang yang mencurahkan pemikiran dengan sungguh-sungguh dapat dibenarkan” (al-haqq wahid wa kullu mujtahid mushib). Kaedah ini memandang optimis kepada setiap orang yang berusaha mengembangkan ilmu. Mahasiswa dapat dibenarkan jika ia mengikuti pelajaran dosen, menyimak dan mendiskusikannya, serta membuat tugas yang diperintahkannya, meski ia tidak memahami dengan benar apa yang telah diutarakan oleh dosennya. Oleh karena itu, hasil pelajaran bukan dilihat dari hasil nilainya, melainkan proses mengembangkan ilmu. Dengan kata lain, dosen harus mempertimbangkan aspek keaktifan dan kreatifitas mahasiswa, bukan aspek kualitas pengerjaan soal dan tugas.

Inovasi –istilah dari Joseph Schumpeter- menjadi target dari kemitraan keilmuan akademik. Dalam dunia akademik, tidak hanya mahasiswa yang terlibat dalam proses pembelajaran, tetapi dosen juga harus aktif belajar. Bagi dosen, tidak ada kata “mengajar”, melainkan “belajar”. “Jam pertama saya akan belajar bersama mahasiswa Jurusan Manajemen”, misalnya. Belajar bersama berarti dorongan kebersamaan menuju inovasi. Jika mahasiswa mendapatkan tugas, dosen pun harus mengadakan pengkajian. Jika mahasiswa hadir dalam pelajaran, dosen pun diharapkan aktif dalam diskusi keilmuan. Jika mahasiswa mendapatkan tugas lapangan (PSG), dosen pun harus melakukan pengabdian kepada masyarakat. Tidak terlalu penting melihat hasilnya, namun perlu memperhatikan prosesnya. Hasil kerja masing-masing dosen dan mahasiswa dipertemukan dan didiskusikan di kelas. Hasilnya adalah inovasi. Salah satu inovasi dari Imam al-Syafi’i adalah karya monumentalnya yang dikenal dengan nama kitab al-Umm (Kitab Induk). Namun, siapa sangka jika kitab tersebut merupakan hasil diskusi dengan para mahasiswanya. Tiga mahasiswanya, al-Juwaini, al-Buwaithi, dan al-Rabi bin Sulaiman, merekam diskusi tersebut dan menulisnya dengan disandarkan kepada dosennya, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Contoh lain adalah George Herbert Mead yang menggagas teori Interaksionisme Simbolik. Pengkaji teori ini selalu menemukan kesulitan, karena gagasan tersebut telah diolah oleh para mahasiswa Mead sendiri menjadi sebuah buku, Mind, Self, and Society. Dalam konteks pembelajaran di kampus, dosen bersama mahasiswa dapat membuat target bahwa Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di kampus harus menjadi sebuah buku. Caranya, mahasiswa diminta untuk mencari bahan yang relevan dan mendiskusikannya, selanjutnya dosen merevisinya. Dengan kemitraan keilmuan ini, pembelajaran di kelas dapat dibaca oleh orang lain di luar kelas.

Sisi lain dari inovasi KBM adalah kesungguhan sebagai dasar utama, sebagaimana kaedah di atas. Nilai kesungguhan ini memiliki arti penting bagi kreativitas mahasiswa selanjutnya. David McClelland menyebutnya kebutuhan berprestasi (the need for achievement). Di kemudian hari, mahasiswa akan bangga dengan pekerjaannya, meskipun mendapatkan hasil di luar harapannya. Ia tidak terlalu peduli dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK), karena ia telah memiliki kemampuan dan penguasaan dalam keilmuan tertentu. Bukankah nilai IPK belum tentu mencerminkan kemampuan mahasiswa? Kemampuan (kompetensi) beserta prosesnya merupakan bekal yang berarti dalam menghadapi pesoalan global di masa mendatang. Masyarakat global tidak akan percaya dengan nilai yang tertera di ijazah. Masyarakat global menghendaki seseorang yang bisa mengatasi masalah. Untuk hal ini, pengalaman John Maynard Keynes, pencetus ide ekonomi fiskal, perlu diperhatikan. Keynes berhasil mengatasi masalah resesi ekonomi Amerika Serikat pada tahun 1930-an. Para pengagumnya mengembangkan pemikirannya dan memberikan nama dengan Keynesian. Akan tetapi, siapa sangka kalau Kaynes dahulu adalah mahasiswa yang nilainya biasa-biasa saja. Ia sering menentang ajaran dan teori-teori klasik dari dosen- dosennya, sehingga ia tidak pernah mendapat nilai yang memuaskan dalam mata kuliah ekonomi. “I evidently know more about economics than my examiners (saya terbukti tahu banyak mengenai ekonomi dibanding para penguji saya)”, reaksi Keynes. Seperti Keynes, Stephen Howking menulis buku fiksi ilmiah dengan judul, “Black Hole (Lobang Hitam)”. Dari imajinasi Howking ini, para ilmuwan menemukan teori Lobang Hitam –seperti judul buku Howking- yang menyatakan bahwa di bumi ini ada lobang hitam yang menembus porosnya. Kini, saatnya dosen harus mengapresiasikan kesungguhan mahasiswanya.