Selasa, Juli 28, 2009

MENJAGA DARI HADATS,
MENJAGA DARI DOSA

Dalam suatu pengajian, Abu Hurairah RA mengutarakan sebuah hadits dari Rasulullah SAW, “Shalatnya orang yang memiliki hadats tidak diterima hingga ia berwudlu’”. Ada seorang laki-laki dari Hadlramaut yang bertanya kepada Abu Hurairah RA, “Apakah hadats itu, wahai Abu Hurairah?”. “Kentut tanpa bunyi (fusa’) dan kentut dengan bunyi (dlurrath).(al-Bukhari, t.t.: I: 43). Jawaban Abu Hurairah ini tampak kurang relevan, mengingat hadats itu tidak hanya kentut. Apa yang keluar dari alat kelamin (qubul) dan anus (dubur) juga dinamakan hadats. Selain itu, penjabaran jenis kentut –yang berbunyi maupun tidak berbunyi- juga terkesan pemborosan kalimat. Akan tetapi, kita dapat mengetahui kecerdasan jawaban Abu Hurairah RA manakala kita menelaah tentang kentut. Kentut sendiri merupakan angin yang keluar dari anus, baik berbunyi maupun tidak berbunyi. Dibandingkan hadats-hadats yang lain, kentut termasuk bentuk hadats yang paling kecil dan ringan.
Menurut Fikih Islam, hadats dapat terbagi menjadi dua bentuk, yaitu hadats kecil dan hadats besar. Sesungguhnya, hadats itu tidak memiliki wujud. Bentuk besar dan kecil tersebut merupakan hukumnya, karenanya hadats juga disebut dengan najis hukmi. Hadats besar adalah suatu tindakan yang menyebabkan seseorang wajib melakukan mandi jinabat. Termasuk orang yang memiliki hadats besar adalah orang yang keluar air maninya (sperma), orang yang bersetubuh (meski air maninya tidak keluar), perempuan yang mengeluarkan darah haid (menstruasi), perempuan yang mengeluarkan darah habis melahirkan (nifas). Hadats kecil adalah suatu tindakan yang menyebabkan seseorang wajib melakukan wudlu bila ada air atau tayammum dengan debu bila tidak ada air. Hal-hal yang termasuk hadats kecil juga dapat dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah hadats-hadats yang telsh disepakati oleh para ulama, yaitu: kencing, buang air besar, keluar air madzi (dari alat kelamin karena rangsangan birahi, umumnya keluar sebelum keluarnya air mani/sperma), keluar air wadi (dari alat kelamin akibat kecapekan), dan keluar kentut. Kelompok kedua adalah hadats-hadats yang masih diperselisihkan oleh para ulama, antara lain: najis yang keluar dari selain alat kelamin dan anus, tidur, menyentuh kulit lawan jenis, menyentuh alat kelamin, memakan makanan hasil pembakaran, gelak tertawa dalam shalat, dan membawa mayit (Ibnu Rusyd, t.t.: I: 24-29). Dari dua kelompok tersebut, kita lebih memperhatikan kesepakatan para ulama daripada perbedaannya. Ada kaedah Fikih yang relevan: “Dianjurkan keluar dari perselisihan para ulama (al-khuruj min al-khilaf mustahabb)”. Dengan memperhatikan hadats besar dan hadats kecil yang telah disepakati para ulama, kita bisa memahami jawaban Abu Hurairah di atas bahwa kentut merupakan hadats kecil yang paling ringan. Penguraian jenis kentut juga berarti bahwa kentut yang tidak berbunyi juga termasuk hadats, sementara anggapan masyarakat saat itu, kentut jenis ini bukan termasuk hadats.
Penyucian hadats didasarkan pada ritual Syari’at Islam, sehingga ia dikategorikan sebagai ibadah murni (mahdlah). Demikian ini membedakannya dengan penyucian najis. Menurut Fikih Madzhab Syafi’i, penyucian hadats memerlukan niat, sedangkan penyucian najis diperbolehkan tanpa niat (Abu Ishaq al-Syairazi, t.t.: I: 14). Ketika Anda telah melakukan buang air besar (BAB), tubuh Anda mengandung najis berupa kotoran di anus (dubur) sekaligus mengandung hadats kecil. Najis kotoran tersebut dapat disucikan dengan menyiramkan air di tempat najis hingga hilang, semenatara hadats kecil dihilangkan dengan melakukan wudlu’. Saat menyiram najis (istinja’), Anda tidak perlu niat, tetapi ketika berwudlu, Anda harus niat. Uniknya, alat kelamin sebagai anggota tubuh penyebab hadats tidak dibasuh dalam wudlu’. Oleh karena itu, penyucian hadats dapat dimaknai sebagai penyucian kotoran jiwa. Dengan kata lain, ketika tubuh mengeluarkan najis dari alat kelamin maupun anus, maka jiwa ikut merasakan kotor. Perasaan ini dapat dihilangkan dengan penyucian hadats.
Hadats itu manusiawi. Tidak mungkin kita bisa menahan kencing maupun buang air besar. Namun, jika kita melakukan hadats, kita sebaiknya lekas bersuci lagi. Demikian ini merupakan wujud dari penjagaan dari hadats yang telah menjadi tradisi bagi para ulama salaf yang shaleh. Mereka berusaha dalam keadaan suci dari hadats hampir sepanjang waktu, bahkan menjelang tidur pun, mereka terlebih dahulu bersuci. Menjaga diri dari hadats lebih berat daripada menjaga diri dari dosa. Syarat utama penjagaan dari hadats adalah kemauan yang kuat sekaligus tetap mempertahankan kemauan tersebut. Kemauan ini lahir dari suatu motif tertentu. Ada dua motif yang mendasari kemauan tersebut, yaitu motif keagamaan dan motif non-keagamaan. Dalam khazanah Tasawwuf, ada orientasi akherat, ada orientasi dunia, dan ada orientasi keduanya. Motif keagamaan adalah tujuan dari hubungan antara manusia dan Tuhannya. Sedangkan motif non-keagamaan ialah terkait dengan hubungan manusia dengan sesama manusia lainnya. Untuk apakah Anda melakukan hal itu? Ada banyak ragam jawaban. Jika jawaban Anda berharap ridla Allah SWT, pahala di akherat, terhindar dari siksa neraka, atau semata-mata mencintai Allah SWT, maka motif keagamaan paling dominan dalam diri Anda. Sebaliknya, bila Anda melakukannya untuk mendapatkan pujian dari orang lain, penghargaan, atau nilai sosial-ekonomis, maka Anda didorong oleh motif non-keagamaan. Motif keagamaan harus diperkuat jika kemauan untuk menjaga diri dari hadats masih ingin dipertahankan. Meskipun kajian ilmiah menyatakan hal itu menyehatkan secara jasmani maupun rohani, motif keagamaan harus tidak boleh digeser. Untuk memperkokoh motif keagamaan, Anda harus memperluas dan memperdalam pengetahuan dan pengalaman keagamaan. Anda harus mengaji tanpa henti.
Melalui motif keagamaan, penyucian diri dari hadats akan mengalami kenaikan spiritual. Menurut al-Ghazali (t.t.: I: 125), suci dari najis dan hadats merupakan tangga menuju kesucian tubuh dari perbuatan dosa dan perbuatan haram. Tangga berikutnya adalah penyucian hati dari budi pekerti yang buruk. Setelah itu, sebagai puncaknya, penyucian rahasia hati dari segala sesuatu selain Allah SWT. Oleh karena itu, menjaga kesucian dari hadats secara terus-menerus, otomatis memelihara jiwa dari perbuatan dosa dan perbuatan haram. Ini merupakan perawatan jiwa yang paling efektif. Orang yang menjaga dirinya dari hadats tidak mudah melakukan aktifitas sehari-hari sebagaimana umumnya. Ia akan melakukan buang air besar di suatu tempat yang memungkinkan dirinya bisa bersuci kembali. Ia juga harus menjaga anggota tubuhnya agar tidak tersentuh oleh kulit lawan jenisnya. Ia juga segan memasuki tempat yang penuh dengan najis. Pakaiannya saja dijaga dari najis. Hampir tiap waktu ia akan selalu ingat kesucian dirinya. Ingatan ini membawanya untuk senantiasa mengingat Tuhannya. Dengan ingatan-ingatan semacam ini, hampir dipastikan ia jarang melakukan perbuatan dosa.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim (1988, II: 514: nomor 2553), “Kebaikan adalah budi pekerti yang terpuji, sedangkan dosa adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah dan tidak senang bila orang lain mengetahuinya” (al-birr husn al-khuluq wa al-itsm ma haaka fi shadrik wa karihta an yaththali’a ‘alaih al-nas). Dengan berpedoman pada hadits ini, orang yang menjaga diri dari hadats akan memperoleh ketenangan jiwa, karena ia menjaga diri dari dosa. Tidak hanya itu, pemikirannya juga jernih, khawatir dengan berpikir negatif, ia akan mendapatkan hadats. Sikapnya juga penuh pertimbangan dan kewaspadaan, karena ia terlatih untuk selalu hati-hati. Demikian pula, perilakunya juga memberikan manfaat kepada dirinya dan orang lain. Ia memiliki budi pekerti yang baik. Tentu saja ia tidak terlepas godaan dan rintangan. Namun, karena memiliki kesabaran yang tinggi, semua rintangan dihadapinya dengan baik. Penting dicatat pula, bahwa orang yang senantiasa menjaga diri dari hadats memiliki aura yang bersinar hingga membuat orang lain segan kepadanya. Konon, orang yang masih dalam keadaan suci sulit dipengaruhi secara magis. Pola hidup demikian ini merupakan tahapan manusia beragama pada tingkatan yang tinggi. Untuk menjelaskan hal ini, Erich Fromm (1988: 26) menulis,
“Jika seseorang telah berhasil mengintegrasikan energi-energinya dalam rangka meraih kualitas dirinya yang lebih tinggi, ia menyalurkan energi tersebut untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih rendah; jika ia tidak mempunyai gambaran tentang dunia dan posisi dirinya yang sebenarnya yang relatif mendekati kebenaran, maka ia akan menciptakan gambaran khayali (ilusioner) dan melekatkan kepadanya dengan tingkat ketabahan yang sama seperti apa yang para religionis percayai dalam dogmanya”.
Pernyataan Erich Fromm di atas hanya menggambarkan fenomena psikologis orang-orang yang taat beragama. Agama telah dipercaya ikut meningkatkan kualitas pribadi seseorang. Orang yang beragama percaya dengan kebenaran agama, meski sulit dibuktikan secara ilmiah. Ia bisa merasakan kebenaran tersebut, tetapi sulit mengatakannya. Jika kita paksakan, ia akan membuat ilustrasi yang oleh Sigmund Freud dianggap sebagai ilusi. Kita yang belum mampu menjaga diri dari hadats juga bisa menyatakan ilusi atas pengalaman mereka yang telah mampu melakukannya. Pengalaman keagamaan orang yang mampu menjaga diri dari hadats memberikan kontribusi yang positif bagi psikoterapi Islam. Artinya, kita bisa membimbing klien dalam mengatasi masalahnya sendiri melalui penjagaan diri dari hadats. Model terapi ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, karena tidak meninggalkan atau mencegah hadats, tetapi hanya bersuci kembali setelah melakukan hadats. “Sejarah menunjukkan bahwa agama dan nilai-nilai agama bersifat merusak, seperti juga psikoterapi, jika tidak dilakukan dengan benar. Karena itu penulis tidak mendukung semua agama. penulis hanya menyarikan tema-tema menonjol dalam tradisi keagamaan, yang dihipotesiskan menjadi tambahan positif bagi pemikiran klinis”, tulis Allen A. Bergin (1994: 8)
Menjaga dari hadats sebenarnya telah lama dialami oleh banyak orang. Ia merupakan tradisi orang-orang yang shaleh. Kita perlu mengambil hikmah dari pengalaman mereka. Untuk mengembangkannya, kita bisa menggunakan Psikologi Transpersonal. Secara singkat, Psikologi Transpersonal didefinisikan oleh Jalaluddin Rakhmat (2005: 130) sebagai ”Pendekatan reflektif ilmiah untuk hal-hal yang secara tradisional dianggap religius dan spiritual”. Tidak sedikit ajaran Islam yang memiliki nilai positif untuk dijadikan model terapi alternatif.

1 komentar:

  1. Why we love our casino games. Why we love our casino
    I was on 룰렛 a little bit of a rock in Vegas when I was looking at 사다리게임 사이트 Las Vegas Sands, and 토토 사이트 목록 the 1xbet korea casino was in the same 온카판 state. The reason was that

    BalasHapus