Selasa, Juli 28, 2009

MEMULIHKAN STAMINA
DENGAN MANDI JINABAT

Para sahabat Nabi SAW gempar. Para sahabat dari golongan Muhajirin dan golongan Anshor berselisih pendapat. Menurut golongan Muhajirin, mandi hanya diwajibkan karena keluarnya air mani (sperma). Bagi golongan Muhajirin, mandi diwajibkan justru jika terjadi persetubuhan. “Aku akan menyelesaikan perselisihan kalian ini”, kata Abu Musa al-Asy’ari RA menawarkan diri. Abu Musa segera beranjak menuju ‘Aisyah RA dan diizinkan menemuinya. Setelah mendapatkan izin, Abu Musa bertanya, “Wahai Ibu, aku ingin menanyakan sesuatu kepada Anda, tetapi aku malu”. “Jangan malu untuk bertanya kepadaku mengenai sesuatu seperti Anda menanyakannya kepada ibu Anda yang melahirkan Anda. Bukankah aku juga ibumu?”, timpal Umm al-Mu’minin, ‘Aisyah RA. Abu Musa kembali bertanya, “Apakah yang bisa mewajibkan mandi?”. “Kebetulan sekali”, jawab ‘Aisyah, “Rasulullah SAW telah bersabda: Apabila seorang laki-laki duduk di antara empat cabang tubuh orang perempuan, maka wajib mandi”. (Muslim, 1988: I: 168: Nomor 349).
Dengan hadits di atas, kewajiban mandi jinabat tidak hanya karena keluar air mani (sperma), tetapi juga bisa karena persetubuhan, meskipun tidak mengeluarkan air mani. Air mani (sperma) merupakan embrio manusia. Di dalamnya terkandung kekuatan genetika yang mewakili keseluruhan diri manusia. Ketika manusia telah mengeluarkan air maninya, maka hampir semua tenaga dan pikirannya terkuras. Semakin banyak air mani yang keluar, maka kondisi tubuhnya juga semakin lelah dan lemas. Manusia tidak bisa menahan keluarnya air mani, tetapi upayanya dapat dimungkinkan. Upaya mengeluarkan air mani dapat dilakukan dengan sengaja seperti persetubuhan, onani, atau masturbasi, maupun dengan tanpa sengaja semacam mimpi basah. Air mani orang laki-laki mengalir dari tulang belakang (al-shulb), sementara air mani orang perempuan dari tulang dada (al-taraib). Pernyataan ini didasarkan pada surat al-Thariq ayat 6-7.
5. Maka hendaklah manusia memperhatikan dari Apakah Dia diciptakan?
6. Dia diciptakan dari air yang dipancarkan,
7. Yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.
Dalam menafsirkan ayat di atas, M. Quraish Shihab (2002, XV: 181-182) justru mennyatakan bahwa air mani laki-laki keluar di antara tulang punggung dan tulang dada. Ia tidak mengemukakan air mani perempuan dengan alasan bahwa jenis kelamin anak ditentukan oleh air mani laki-laki. Air mani yang keluar juga bersifat terpancar, sehingga hanya sedikit sekali. Namun, manusia bisa mengusahakan agar air mani bisa keluar lagi. Tentu saja proses pengeluarannya yang melelahkan itu tidak bisa seketika dan volumenya juga terbatas. Dalam proses tersebut, manusia memerlukan tenaga dan konsentrasi yang maksimal. Terkadang proses ini membuahkan kegagalan hingga menyebabkan kekecewaan. Namun, keberhasilan keluarnya air mani dapat memberikan kepuasan dan kebahagian yang sulit terlukiskan. Demikian ini mengisyaratkan adanya kelelahan setelah air mani keluar. Untuk memulihkan staminanya, ajaran Islam mewajibkan mandi bagi orang yang air maninya keluar.
Proses pengeluaran air mani yang paling melelahkan adalah melalui persetubuhan (jima’). Persetubuhan melibatkan gerakan dan dorongan tubuh. Gerakan ini bisa berlangsung lama atau hanya beberapa menit. Setidaknya, persetubuhan melalui empat tahapan.
1. Tahap bangkitnya gairah. Orang akan bernafas lebih cepat dan otot-otot seluruh tubuh menjadi kaku.
2. Tahap platen. Otot-oto tubuh terus dalam keadaan tegang dan semakin banyak darah di permukaan kulit.
3. Tahap orgasme. Ini adalah klimaks dari persetubuhan, yaitu keluarnya sperma.
4. Tahap resolusi. Penumpukan darah mulai menurun dan ketegangan otot mengendor.
Persetubuhan akan memakan waktu yang lebih lama, bila sebelumnya diawali dengan percumbuan, sebagaimana anjuran ajaran Islam. Selain itu, Islam juga menganjurkan perlunya kepuasan suami-istri atas persetubuhan tersebut. Hal ini juga bisa memperpanjang waktu bila keduanya bergantian dalam mencapai kenikmatan persetubuhan. Apabila persetubuhan diulangi kembali, maka kelelahan manusia semakin bertambah.
Manusia itu mempunyai dua nafsu: nafsu hewani dan nafsu malaki. Nafsu hewani berkaitan dengan alam binatang, sedangkan nafsu malaki terkait dengan alam malaikat. Ketika seorang itu melakukan persetubuhan, jiwa yang berkaitan dengan alam malaikat tersiksa dalam badan yang najis, menanggung sakit karena jinabat. Kalau orang tersebut sudah mandi dari jinabat, jiwa malaki menjadi tenang kembali dan hilanglah apa yang dibenci oleh manusia.
(‘Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuh, Vol.I)
Untuk mengurangi kelelahan tersebut –sekaligus sebagai bentuk penyegaran- Nabi SAW menganjurkan agar berwudlu terlebih dahulu sebelum memulai persetubuhan berikutnya. “Apabila di antara kalian telah meyetubuhi istrinya, kemudian ia ingin mengulanginya, maka hendaklah ia berwudlu’”, sabda Nabi SAW. (Muslim, 1988: I: 153: nomor 308). Proses gerakan persetubuhan tersebut sangat melelahkan, meskipun hasilnya tidak mengeluarkan air mani. Karenanya, setelah persetubuhan diwajibkan mandi. Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah (t.t.: 197) menulis,
“Terdapat pemulihan stamina dan ketenangan jiwa dalam mandi dan wudlu’ setelah bersetubuh. Selain itu, beberapa hal yang terlepas karena bersetubuh juga diganti. Kesucian dan kebersihan menjadi sempurna. Watak yang panas berkumpul masuk ke dalam tubuh setelah mengalami puncak (orgasme) persetubuhan. Kebersihan yang dicintai Allah telah dihasilkan. Demikian ini aturan yang terbaik dalam persetubuhan dan menjaga kesehatan serta kekuatan tubuh”
Selain air mani yang membuat kita lelah, keluarnya darah pun juga dapat melemaskan tubuh. Darah berasal dari saripati makanan. Namun, tidak demikian dengan darah haid yang dialami setiap perempuan normal. Darah haid merupakan indung telur (tempat dengan banyak telur) yang tidak dibuahi. Jika indung telur tidak menerima pembuahan, maka badan kuning yang berada didalamnya akan mati. Jika ini terjadi, maka lapisan dinding rahim menjadi mengerut dan mengakibatkan pembuluh darahnya kusut, hingga terjadi pendarahan di bagian dalam. Dalam waktu beberapa jam, jumlah darah dalam rongga rahim begitu banyak hingga menyebabkan rahim mengerut dan mengeluarkan darah melalui leher rahim ke vagina (Derek Llwellyn dan Jenes MD, t.t.: 44-45). Darah haid adalah darah kotor, sehingga perempuan yang sedang haid dianggap masih melakukan hadats besar. Jika darah haid tersebut telah berhenti mengalir, maka perempuan yang telah haid diwajibkan mandi. Dalam hal ini, mandi difungsikan sebagai penyucian dan pembersihan tubuh dari darah haid yang kotor.
Perempuan yang sedang mengalami haid berbeda dengan perempuan yang tidak mengalalami haid. Ada perubahan secara fisik maupun psikologis. Selain terjadinya pengkerutan rahim, perubahan fisik juga terjadi pada tubh bagian luar, seperti wajah yang sedikit pucat, nyeri di punggung dan perut, bau badan yang menyengat, dan sebagainya. Perubahan fisik ini berpengaruh pada perubahan psikologis, antara lain: kurang konsentrasi, kurang bergairah, kurang energik, lebih temperamental hingga emosi yang kurang stabil. Akibat perubahan fisik dan psikhis ini, muncul banyak mitos tentang haid. Ada yang menganggap perempuan yang sedang haid membuang kotoran hingga harus diisolasi; ada yang menilainya sebagai perempuan yang tidak berharga hingga bisa diperlakukan semaunya; dan ada yang memandang perempuan haid sebagai suatu kewajaran, sehingga diperlakukan juga secara wajar dalam batas-batas tertentu. Ajaran Islam dalam surat al-Baqarah ayat 222 memilih pandangan yang wajar atas perempuan yang sedang haid. Ia tidak diperkenankan ke tempat ibadah, melakukan ibadah, dan tidak boleh disetubuhi. Karena terjadi perubahan fisik dan psikhis di atas, maka mandi diwajibkan setelah haidnya tuntas, agar kesegaran, kebersihan, kesucian, dan stamina pulih kembali.
Sebagaimana darah haid, darah nifas yang dialami oleh perempuan setelah melahirkan juga menyebabkan lelah dan lemas. Kelelahan ini juga ditopang saat setelah melahirkan. Tempo mengalirnya darah nifas tidak sama antara satu perempuan dan perempuan lainnya. Karenanya, ia tidak terbatas secara periodik atau batasan tertentu. Fikih Madzhab Syafi’i yang mengemukakan batasan minimal satu tetes darah dan batasan maksimal 40 hari merupakan hasil dari penelitian lapangan. Hasil penelitian ini juga bisa terbantahkan, mengingat kondisi geografis ikut mempengaruhi siklus kehidupan masyarakat. Kelelahan perempuan yang sedang nifas juga diperberat dengan pemberian Air Susu Ibu (ASI) kepada sang bayi. Pada masa-masa ini, perempuan tidak hanya memerlukan gizi tinggi, tetapi juga perhatian psikologis yang lebih intens. Secara psikologis, perempuan yang sedang nifas sekaligus menyusui bayinya cenderung ingin diperhatikan. Hal ini wajar, mengingat perasaannya sebagai orang yang berkorban untuk keluarga. Oleh karena itu, mandi wajib setelah nifas dimaksudkan untuk menghilangkan kelelahannya, mengurangi tekanan psikologisnya ketika perhatian yang diharapkan kurang tepenuhi, memulihkan staminanya akibat mengeluarkan darah dan air susu, serta menycukan dan meembersihkan tubuhnya.
Mandi jinabat diakui sebagai metode paling ampuh dalam menghilangkan kebekuan arus listrik di tubuh. Ia juga melenyapkan ketegangan dan kerumitan pikiran, serta membersihkan badan. Karena itu, mandi merupakan satu penyembuhan efektif untuk stres dan ketidakteraturan gangguan fungsi fisik dan kejiwaan.

1 komentar: