Jumat, Juni 05, 2009

PERMOHONAN KEPADA ALLAH SWT

Nabi SAW pernah mendengar doa dari tiga orang sahabat. Sahabat pertama berdoa: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang sempurna”. Nabi SAW menyela, “Kenikmatan sempurna yang bagaimana?”. “Doa yang kumohonkan dengan berharap semua kebaikan”, jawab sahabat tersebut. Nabi SAW bersabda, “Yang termasuk kenikmatan yang sempurna adalah masuk sorga dan selamat dari neraka”. Nabi SAW juga mendengar doa sahabat yang kedua: “Wahai Dzat Yang Maha Agung dan Maha Mulia”. Nabi SAW menyela, “Doamu telah dikabulkan, mintalah!”. Doa sahabat ketiga yang telah didengarkan Nabi SAW: “Ya Allah, aku mohon kesabaran kepada-Mu”. Nabu SAW juga menyela, “Justru kamu memohon bencana kepada Allah SWT. Maka, mohonlah keselamatan saja kepada Allah SWT”.

(Hadits Riwayat Imam Abu Dawud, 2005: V: 312: nomor 3538)

  1. Memohon Ampunan Kepada Allah SWT dengan Taubat

Semula bersih, lalu kotor. Awalnya suci, kemudian najis. Asalnya baik, akhirnya rusak. Jika kita menghadapi hal ini, tentu kita marah. Kita ingin kotorannya dihilangkan, najisnya dilenyapkan, dan kerusakannya diperbaiki seperti semula. Demikian halnya dengan ruh kita: ditiupkan Allah SWT saat dalam kandungan sebagai ruh yang suci (fithrah). Begitu lahir di dunia dan hidup dengan dosa, ruh kita menjadi kotor, najis, dan rusak. Untuk membersihkan dan memperbaikinya, kita harus bertaubat. Dengan taubat, ruh kita kembali suci. Saat diambil oleh Allah SWT, ruh suci ini diletakkan berada di sisi-Nya. Ruh ini dipanggil, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku” (surat al-Fajr ayat 27-30). Bila ruh tersebut masih kotor oleh noda dosa, ia ditolak Allah SWT dan menerima siksaan yang abadi di neraka.

Secara singkat, taubat adalah meninggalkan perbuatan dosa dengan penuh penyesalan dan bertekad untuk tidak mengulanginya kembali (Imam al-Ghazali, 1993: 198). Taubat merupakan tahapan awal dalam beribadah kepada Allah SWT, agar kita dalam keadaan suci dari dosa sebelum menapaki ibadah berikutnya. Ruh atau jiwa kita harus disucikan dahulu (takhliyyah=pengosongan) sebelum dihiasi dengan amal-amal yang saleh (tahliyyah=penghiasan). Selama kita masih ada noda dosanya, kita sulit menjalankan ibadah dengan baik. Dosa juga membuat kita menjadi terhina di hadapan Allah SWT (Imam al-Ghazali, t.t.: 9-10). Namun, kita tidak bisa terlepas dari dosa, karena nafsu kita senantiasa digoda syetan, musuh utama manusia. Karenanya, hukum taubat adalah wajib. Acapkali kita melakukan dosa, acapkali pula kita harus bertaubat. Jika kita berdosa, lalu tidak segera bertaubat, maka kita dianggap maksiat (Syekh al-Malibari, t.t.: 114). Kapanpun dan dimanapun kita bisa bertaubat. Hanya saja, pintu taubat akan tertutup saat nyawa meregang di tenggorokan atau ketika matahari terbit dari sisi barat sebagai tanda Hari Kiamat. Hakekat taubat ini telah ditegaskan dalam surat al-Nisa’ ayat 17-18.

17. Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, Maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

18. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang". dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.

Taubat berhubungan dengan dosa. Ada dosa yang dilakukan dengan sengaja dan ada pula yang tidak disengaja. Ada dosa yang berhubungan dengan Allah SWT dan ada dosa yang terkait dengan sesama manusia. Kita berdosa bila kita meninggalkan shalat wajib, puasa wajib, dan perintah-perintah Allah SWT lainnya. Kita juga berdosa kepada Allah SWT jika kita melakukakan perzinahan, perjudian, atau larangan-larangan Allah SWT lainnya. Allah SWT Maha Penerima Taubat. Bila kita membuat kesusahan orang lain, kita menanggung dua dosa, yaitu dosa menerjang larangan Allah SWT dan dosa kepada sesama manusia. Di samping itu, ada pula dosa besar dan ada dosa kecil. Sebesar apapun dosa-dosa kita, selama bukan dosa menyekutukan Allah SWT, kita akan mendapat pengampunan dari Allah SWT manakala kita bertaubat. Taubat kita akan diterima bila memenuhi beberapa syarat sebagai berikut (Imam al-Ghazali, t.t.: 10).

  1. Meninggalkan perbuatan dosa secara sukarela, tanpa ada paksaan.

  2. Dosa yang dimintakan ampunan pernah dilakukan. Karenanya, taubat tidak berlaku pada dosa yang belum pernah dilaksanakannya.

  3. Upaya meninggalkan dosa lain yang sepadan tingkatannya dengan dosa yang pernah dilakukannya. Jika ia pernah melakukan salah satu dosa besar, maka dosa besar lainnya juga harus ditinggalkan.

  4. Taubat dilakukan semata-mata untuk Allah SWT, tanpa tujuan yang lain.

Selain keempat syarat di atas, masih ada empat syarat lagi: menghentikan perbuatan dosa seketika itu; menyesali dosa-dosa yang pernah dilakukan di masa lalu; bertekad kuat untuk tidak mengulanginya di masa mendatang; dan mengembalikan dan memenuhi hak kemanusiaan yang pernah diambilnya (Imam Ibnu Katsir, 1997: IV: 409). Taubat yang telah memenuhi semua persyaratan di atas dinamakan dengan taubat nashuha, sebagaimana diperintahkan Allah SWT dalam surat al-Tahrim ayat 8. Secara ritual, taubat dilakukan dengan mandi, shalat sunnah taubat, memperbanyak bacaan istighfar, dan meminta maaf kepada orang-orang yang pernah kita sakiti. Setelah kita menyucikan diri dari noda dosa dengan taubat nashuha, tahapan berikutnya adalah menghiasai diri dengan melaksanakan perintah dan anjuran Allah SWT serta meninggalkan larangan Allah SWT. Agar giat melaksanakan perintah Allah SWT, kita perlu harapan besar pada pahala Allah SWT yang lazim disebut raja’. Demikian pula, kita harus memupuk perasaan takut pada siksa Allah SWT agar mampu meninggalkan larangan-Nya. Perasaan takut ini disebut dengan khauf.

  1. Berharap Pahala Allah SWT Melalui Raja’

Raja’ adalah kepuasan hati untuk menunggu terjadinya sesuatu yang diidamkannya (Imam al-Ghazali, t.t.: IV: 139). Kita bisa menerjemahkan raja’ dengan harapan. Namun, harapan ini disertai dengan usaha untuk meraihnya. Jika ada kebaikan yang bisa diraih oleh orang yang menghendakinya, namun ia tak kunjung berusaha untuk meraihnya, maka orang tersebut disebut pandir atau bodoh. Pengecualian bagi harapan yang sulit atau mustahil diwujudkan. Harapan ini sia-sia, meskipun ada usaha untuk mencapainya. Ia bukan raja’, melainkan tamanni (berangan-angan), yakni harapan yang sulit terwujud. Suatu harapan disertai dengan usaha untuk mewujudkannya, sedangkan dalam angan-angan tidak ada upaya apapun (Syekh Ibnu ’Athaillah, t.t.: I: 63). Kita hanya berangan-angan menjadi orang shaleh bila tidak ada upaya apapun untuk memenuhinya.

Harapan terkait dengan kepercayaan. Kita berharap kepada seseorang karena kita percaya kepadanya. Sementara itu, kepercayaan muncul dari prasangka baik. Kita sulit mempercayai seseorang bila kita masih berpikir buruk mengenai dirinya. Demikian halnya dengan harapan kita pada rahmat dan ridla Allah SWT. Selama kita masih berburuk sangka kepada Allah SWT, kita sulit berharap apapun dari-Nya. Kita menjadi enggan berdoa, malas beribadah, bahkan kita cenderung menerjang larangan-Nya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mendalami sifat-sifat Allah SWT, janji-janji Allah SWT, serta merenungkan karunia Allah SWT yang dianugerahkan kepada kita. Harapan kepada Allah SWT (raja’) bisa diperkuat dengan dua hal, yaitu mengambil pelajaran dan hikmah dari nikmat-nikmat yang dimilikinya serta menelaah ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW yang terkait dengan rahmat Allah SWT (Imam al-Ghazali, t.t.: IV: 143).

Melakukan sesuatu karena terdorong harapan lebih baik daripada terdorong ancaman. Harapan melahirkan sebuah kesadaran, sedangkan ancaman membuahkan keterpaksaan. Dalam al-Qur’an, Allah SWT banyak menebar janji dibanding ancaman. Janji Allah SWT pasti terpenuhi. Allah SWT menjanjikan kebahagiaan dunia dan akherat bagi siapapun yang menaati perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Janji-janji Allah SWT lain yang luar biasa besarnya itu menjadi harapan kita. Semakin banyak janji Allah SWT yang kita pahami, semakin besar harapan kita kepada Allah SWT, semakin giat kita beribadah kepada-Nya. Agar kita tidak terlalu terlena dengan janji hingga membuat kita ceroboh, kita perlu mengimbanginya dengan memperhatikan ancaman Allah SWT. Dengan ancaman-Nya, kita memiliki perasaan takut kepada Allah SWT (khauf). Harapan kepada Allah SWT tidak hanya berfungsi mengembalikan putus asa seseorang, tetapi juga menjadi keseimbangan dari takut yang berlebihan. Orang yang putus asa bisa meninggalkan ibadah, sedangkan orang yang terlalu takut bisa merusak dirinya dengan beribadah yang melampaui batas (Imam al-Ghazali, t.t.: IV: 142).

  1. Memohon Perlindungan Allah SWT dari Murka-Nya dengan Khauf

Bagaimana kita menghadapi suatu ancaman yang tidak disenangi, sementara kita tidak mampu menghindari dan menghadapinya? Tentu, kita merasa ketakutan. Jika sesuatu itu disebut, kita gemetar, menangis, bahkan menjerit. Takut adalah kepedihan dan kesusahan hati yang disebabkan oleh terjadinya sesuatu yang tidak disukai di kemudian hari (Imam al-Ghazali, 1988: 150). Perasaan takut ini berangkat dari pemahaman tentang ancaman tersebut. Kita tidak akan takut neraka jika tidak ada pemahaman sama sekali tentang seluk beluknya. Begitu pula, orang-orang kafir mengejek siksa Allah SWT yang pernah disampaikan oleh para nabi. Meski diberi pemahaman yang jelas, mereka tidak mau mengerti dan tidak takut sama sekali. Akibatnya, mereka membuat kerusakan di muka bumi. Ini berbeda dengan orang-orang mukmin yang memahami kemurkaan Allah SWT secara mendalam, sehingga sebutan kata Allah SWT saja bisa menggetarkan hatinya (surat al-Anfal ayat 2). “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (surat Fathir ayat 28). Dampaknya, orang-orang mukmin berhati-hati dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Mereka tidak mudah berbuat dosa. Al-Qur’an menyebut orang-orang mukmin yang takut ini sebagai golongan yang beruntung, karena siksa neraka yang ditakutkannya pasti terjadi. Mereka bisa terhindari dari siksa neraka.

Ada dua cara yang dapat menumbuhkan rasa takut, yaitu mengenal Allah SWT lebih jauh dan melihat keadaan orang-orang yang takut, seperti para nabi dan para ulama (Imam al-Ghazali, 1988: 150-151). Semakin mengenal Allah SWT, kita akan semakin mengetahui kekuasaan dan kebesaran-Nya. Dengan mengetahui kebesaran Allah SWT, kita akan lebih mengetahui diri kita sebagai hamba Allah SWT yang lemah. Akhirnya, kita semakin takut dengan murka Allah SWT. Jika hal ini kurang berdampak pada ketakutan, maka kita bisa menelaah teladan dari para nabi dan para ulama. Melalui telaah ini, kita akan memperoleh jawabn, mengapa mereka takut kepada Allah SWT. Selain itu, kita juga mendapatkan cara-cara menumbuhkan rasa takut kepada Allah SWT dari pengalaman keagamaan mereka.

Untuk menutup pembahasan ini, kita sebaiknya mengutarakan permohonan ampunan, pertolongan, dan perlindungan kepada Allah SWT. Para ulama telah mengajarkan permohonan tersebut dalam pujian sebagai berikut.

مـَوْلَايَ صَــلِّ وَسـَلِّمْ دَائـِمًا أَبَـدًا * عَلىَ حَبِيْبِكَ خَيْرَ اْلخَلْقِ كُلَّ حِيْنٍ

هُوَاْلحَبِيْبُ الَّذِيْ تُرْجَى شَفَاعَتُهُ * لِكُلِّ هَوْلٍ مِنَ اْلأَهْوَالِ مُفْتَحِمِ

يَا رَبِّ بِاْلمُصْطَفَى بَلِّغْ مَقَاصِدَنَا * وَاغْفِرْ لَنَا مَا مَضَى يَا وَاسِعَ اْلكَرَمِ



Wahai Tuhanku,

Anugerahkan shalawat dan salam selamanya

Kepada kekasih-Mu, makhluk terbaik sepanjang masa

Dialah Kekasih yang diharapkan pertolongannya

Untuk setiap kesusahaan yang tak tertahankan

Wahai Tuhanku,

Melalui Nabi yang terpilih

Sampaikan tujuan kami

Ampunilah dosa-dosa kami yang telah lalu

Wahai Dzat Yang Maha Luas kasih sayangnya

Rujukan

Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-. Minhaj al-‘Abidin. Surabaya: al-Hidayah, t.t.

-------------------. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Vol. IV. Semarang: Toha Putra, t.t.

-------------------. Kitab al-Arba’in fi Ushul al-Din. Beirut: Dar al-Jail, 1988.

-------------------. Mukhtashar Ihya’ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Fikr, 1993.

Ibnu ‘Athaillah, Ahmad bin Muhammad bin ‘Abd al-Karim. Matn al-Hikam. Vol. I. T.k.p.: Dar Ihya’ al-Kutub al-’Arabiyyah, t.t.

Ibnu Katsir, Abu al-Fada’. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Vol. IV. Beirut: Darul Fikr, 1997.

Malibari, Zain al-Din bin ‘Abd al-‘Aziz ibn Zain al-Din al-. Irsyad al-‘Ibad. t.k.p.: Syirkah al-Nur Asia, t.t.

BERBAIK SANGKA SUMBER KEBAIKAN

Shofiyyah RA. (istri Nabi SAW) bercerita:

Suatu saat Rasulullah SAW sedang melakukan i’tikaf (berdiam diri di masjid). Aku datang hendak mengunjunginya di malam yang gelap gulita. Aku pun bercakap-cakap dengannya, lalu aku pun berdiri hendak kembali pulang. Rasulullah SAW juga ikut berdiri hendak mengantarkan aku pulang. Shofiyyah bertempat tinggal di rumah Usamah bin Zaid. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan dua sahabat Anshar. Begitu kedua sahabat ini melihat Nabi SAW bersama dengan seorang perempuan, mereka mempercepat jalannya. Nabi SAW pun menegur mereka, “Pelan-pelan saja, perempuan ini adalah Shofiyyah putri Huyyai”. “Subhanallah, wahai Rasulullah,” kata mereka. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya syetan mengalir dari tubuh manusia mengikuti aliran darah. Aku khawatir syetan itu membisikkan kejahatan dalam hati kalian”. (Abu Dawud, 1994: IV: 327: nomor 4994)

    Dari Persangkaan ke Keputusan

Persangkaan adalah dugaan. Kebenaran dugaan tidak ditunjang dengan bukti maupun tanda yang jelas. Dugaan belum mencapai derajat keyakinan ilmu yang telah diuji dan dibuktikan secara jelas berulang kali. Namun demikian, dugaan bukan merupakan keraguan, karena dugaan dipengaruhi oleh persepsi sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang berada dalam memori otak. Demikian pula dengan keraguan, hanya saja tingkat persepsi dugaan lebih tinggi dibanding keraguan. Untuk memperjelas pernyataan ini, kiranya dapat dilihat tabel sebagai berikut.

HASIL

TARAF

NILAI

KETERANGAN

Ilm

Yakin

100%

Diuji berulang kali dan terbukti dengan banyak data

Zhann

Dugaan

75%

Menyamakan setiap kasus yang berbeda dengan kasus yang telah teruji

Syakk

Ragu

50%

Terdapat kekuatan yang sama antara hal yang berlawanan

Wahm

Anggapan

25%

Sesuatu dengan sedikit data dan belum teruji

Jahl

Tidak Tahu

0%

Sesuatu tanpa dukungan data sama sekali

Dari tabel di atas, prasangka merupakan upaya menemukan titik persamaan di antara kasus-kasus yang berbeda. Padahal persamaan yang diperolehnya seringkali merupakan tipuan bagi dirinya. Ketika SMKN masuk kategori favorit, maka setiap siswanya pun diduga masyarakat sebagai anak terpelajar. Padahal, tidak semua siswa SMKN sesuai dengan dugaan masyarakat. Tidak sedikit orang terkecoh dengan prasangka, hingga Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah prasangka, karena prasangka merupakan perkataan yang paling dusta. Janganlah kalian berusaha mencari berita aib manusia dan jangan pula memperdengarkannya” (Abu Dawud, 1994: IV: 303: nomor 4917; Muslim, 1988: II: 517: nomor 2563).

Kedustaan prasangka terletak pada persepsi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Selain itu, prasangka belum dibuktikan, namun ada dorongan kuat untuk mempercayainya. Informasi salah yang tampak salahnya lebih baik dari informasi salah tetapi tidak tampak kesalahannya (Muhammad ‘Abd al-’Aziz al-Khouli, t.t.: 137). Setelah muncul prasangka buruk, timbul sikap permusuhan, curiga dan tidak percaya. Jika sikap ini tidak dikikis, maka ia bisa berbuat kejahatan. Hampir semua kejahatan berangkat dari motif prasangka. Setelah diadakan penyelidikan hingga tidak ada bukti atas prasangkaannya, baru pelaku kejahatan menyesali diri. Sebaliknya, prasangka yang baik akan membuahkan pikiran yang positif, sehingga kita mudah menjalin persahabatan dan saling percaya. Orang yang dinilai jahat oleh orang lain masih dinilai baik oleh orang yang berprasangka baik. Meski demikian, prasangka baik mudah tertipu. Karenanya, Islam menganjurkan untuk menerima informasi yang dilandasi ilmu dengan data-data yang valid dan akurat. Dari sini, kita diwajibkan untuk senantiasa mengadakan penelitian yang berbuah ilmu pengetahuan.

    Jenis Persangkaan

Sesungguhnya, prasangka itu bersifat netral. Ia bisa menjadi positif yang disebut prasangka baik dan juga bisa bersifat negatif yang dinamakan prasangka buruk. Prasangka dikatakan baik bila obyeknya adalah kebaikan dan didukung oleh beberapa tanda, sehingga tidak terkesan mengada-ada. Kita bisa saja menduga seseorang sebagai orang baik setelah kita mengetahui tanda-tanda kebaikan dalam dirinya. Sebaliknya, prasangka buruk tidak didukung oleh tanda-tanda yang bisa membuktikan keburukan ynag menjadi obyeknya. Kita akan menduga tamu yang datang sebagai orang jahat dari tanda-tandanya yang menggedor pintu rumah. Dugaan kita tidak termasuk prasangka buruk. Namun, tamu yang datang dengan cara yang baik dan kita menyangkanya sebagai orang jahat berarti sangka kita adalah buruk. Seorang guru yang memberi nilai buruk tidak semerta-merta dianggap sebagai sentimen, kecuali ada tanda-tanda kuat yang mengarah sentimen. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, “Janganlah Anda menyangka kalimat yang keluar dari saudara Anda sesama muslim kecuali hal yang baik. Anda dibebani untuk menemukan kebaikan dalam kalimat tersebut” (Ibnu Katsir, 1997: IV: 219). Kita memperhatikan kebaikan dan mengabaikan keburukan dari orang lain. Kita pun memandang setiap orang sebagai orang baik, bahkan mendoakannya agar menjadi orang baik. Hal ini berbeda dengan pandangan buruk atas orang lain yang bisa menimbulkan kebencian kepadanya. Pandangan negatif ini bisa menimbulkan dosa sebagaimana isyarat surat al-Hujurat ayat 12 sebagai berikut.

12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.


    Mengatasi Masalah dengan Berbaik Sangka

Berbaik sangka merupakan bagian dari kebaikan ibadah”, sabda Nabi SAW. dalam riwayat Abu Dawud (1994: IV: 326: nomor 4993). Berbaik sangka berarti mengembalikan manusia kepada fitrahnya, yaitu suci dari dosa. Saat dilahirkan, manusia tidak menanggung dosa apapun, termasuk tidak ada dosa asal. Dosa manusia juga bisa terhapus melalui taubat yang sungguh-sungguh. Dosa yang dilakukan itu pun boleh jadi didorong oleh keterpaksaan atau ketidaktahuan. Tidak hanya itu, orang non-muslim pun masih memungkinkan untuk menjadi orang mukmin. Pendek kata, banyak jalan bagi manusia untuk menjadi orang baik. Dengan pemikiran ini, kita bisa menyebarkan perdamaian di muka bumi. Kita melawan kekerasan dengan kelembutan. Kita mudah memaafkan setiap kesalahan. Kita selalu mendoakan kebaikan dan mengharapkan semua orang menjadi orang baik. Akhirnya, kita merasakan tidak ada masalah, meski orang lain merasakan adanya masalah. Ternyata, berbaik sangka tidak sekedar ibadah, bahkan merupakan ibadah yang terbaik.

Berbaik sangka melahirkan optimis. Optimis memiliki arti kecenderungan untuk bersikap tetap berharap akan terjadinya sesuatu yang menyenangkan, walaupun mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Dalam pengertian ini, tersirat adanya harapan dan keyakinan akan terjadinya sesuatu yang baik di hari depan. Intinya, seseorang tidak mudah menyerah, meskipun mengalami kegagalan (www.binuscareer.com). Berharap kebaikan harus dimulai dari berbaik sangka. Optimis adalah kebaikan, sedangkan pesimis merupakan godaan syetan. Hadits di atas menunjukkan bahwa syetan mempengaruhi otak kita. Berburuk sangka berdampal pada keraguan, bahkan antipati. Tidak hanya bisikan kejahatan yang dijadikannya sebagai virus, namun juga keraguan atas kebenaran. Di bawah ini, ada dialog antara Ibnu ‘Abbas RA dan Abu Zumail mengenai pengaruh syetan dalam membangkitkan keraguan (Abu Dawud, 1994: IV: 365: nomor 5110).

Abu Zumail : “Aku menemukan sesuatu dalam dadaku”.

Ibnu ‘Abbas : “Apa itu”.

Abu Zumail : “Demi Allah, aku tidak bisa mengatakannya”.

Ibnu ‘Abbas : “Apakah sesuatu itu dari keraguan ?”.

Abu Zumail tertawa.

Ibnu ‘Abbas : “Tak seorang pun yang terhindar darinya, sehingga Allah SWT menurunkan ayat: “Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu” (surat Yunus ayat 94). Jika Anda telah menemukan sesuatu dalam diri Anda, maka ucapkanlah: “Dialah yang Awal dan yang Akhir yang Zhahir dan yang Bathin; dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu” (surat al-Hadid ayat 3).

Rujukan

Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats. Sunan Abi Dawud. Vol. IV. Beirut: Dar al- Fikr, 1994.

Ibnu Katsir, Abu al-Fada’. Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim. Vol. IV. Beirut: Dar al- Fikr, 1997.

Khouli, Muhammad ‘Abd al-’Aziz al-. al-Adab al-Nabawi. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Muslim. Shahih Muslim. Vol. II. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

MEMBANGUN KEMBALI KEWIBAWAAN GURU

Siswa menghormati gurunya dan guru menghargai siswanya. Ungkapan ini merupakan hubungan timbal-balik ideal antara guru dan siswa. Masing-masing memiliki hak dan kewajiban serta tuntutan dan harapan secara seimbang. Antara penghormatan dan penghargaan, ada dua pilihan strategi: penghormatan siswa mendorong penghargaan guru ataukah penghargaan guru menumbuhkan penghormatan siswa. Strategi pertama dimulai dari aksi siswa, yakni guru akan memberikan penghargaan bila siswa terlebih dahulu menghormatinya. Dalam hal ini, proses pendidikan lebih menitikberatkan pada kesadaran siswa mengenai budi pekerti yang luhur. Tradisi pendidikan yang konvensional membuat norma sosial yang menekankan kewajiban siswa. Ada jarak antara siswa dan guru. Tempat duduk guru diatur lebih tinggi dari tempat duduk siswa. Ketika guru menjelaskan pelajaran, siswa dilarang membantah atau bertanya, kecuali diizinkan oleh gurunya. Guru adalah subyek, sedangkan siswa merupakan obyeknya. Guru lebih memahami dan mengerti daripada siswanya. Guru memiliki otoritas dalam kelas, termasuk penentuan metode pembelajaran maupun pemberian nilai. Guru berwenang meluluskan siswa atau tidak. Karenanya, strategi demikian ini merupakan bagian dari pendekatan yang terfokus pada guru (teacher centered approach).

Strategi yang kedua lebih menitikberatkan pada aspek keteladanan guru. Siswa akan menghormati gurunya jika ada penghargaan dari guru kepada siswanya. Kedudukan guru dan siswa sejajar: guru adalah mitra dari siswanya. Untuk bisa melihat keteladanan guru, jarak antara guru dan siswa harus dipersempit, jika perlu guru melebur di arena siswa. Siswa tidak hanya melihat ‘topeng’ guru, melainkan juga merasakan kebatinan guru. Suasana kelas bukan monopoli guru semata, tetapi juga milik siswa. Guru mengajak siswanya ikut merumuskan metode pembelajaran yang efektif dan mudah dipahami. Dalam penentuan kelulusan, siswa telah memiliki kesadaran dan pengertian, sehingga siswa bisa memahami mengapa ia tidak lulus. Bagi siswa, nilai bukan kebanggaan, justru kemampuanlah sebagai tolok ukurnya. Pemahaman ini hanya bisa didapatkan jika guru tekun membimbing siswanya, hingga menyadari bahwa ujian hanya merupakan tes kemampuannya. Karena difokuskan pada kemampuan siswa, maka strategi ini termasuk pendekatan yang terpusat pada siswa (student centered approach).

Kedua strategi di atas bisa diterapkan berdasarkan tingkat kejiwaan siswa. Untuk siswa yang duduk di sekolah dasar, strategi yang pertama layak digunakan. Mereka masih anak-anak yang perlu pengarahan dan bimbingan etika yang lebih dalam. Mereka harus diajarkan dan dibiasakan budi pekerti. Pelajaran yang menyangkut penanaman nilai-nilai moral yang luhur harus diperbesar. Selain kecerdasan otaknya belum maksimal, lukisan hati anak-anak akan menjadi modal menuju kedewasaannya. Oleh karena itu, kurang tepat bila pelajaran eksakta dipacu secara maksimal di sekolah dasar. Seharusnya, kompetensi utama lulusan sekolah dasar adalah mampu memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai moral yang luhur.

Penanaman nilai-nilai moral di sekolah dasar masih dilanjutkan di jenjang sekolah berikutnya. Hanya saja, pola pengajarannya lebih menekankan aspek keteladanan. Di sekolah lanjutan hingga jenjang perguruan tinggi, keteladanan guru sangat berpengaruh dalam pembentukan watak siswa. Keteladanan ini dapat diformulasikan dalam pengajaran ilmu eksakta yang memeras kecerdasan otak. Dengan kecerdasan yang mulai matang, siswa lanjutan mampu menilai kebenaran ucapan dan kebenaran tindakan. Pengalaman bersama guru lebih terkesan dibanding dengan pengetahuan gurunya. Oleh karena itu, guru harus menunjukkan penghargaan kepada siswanya. Penghargaan ini diberikan dengan hati yang tulus melalui kebersamaan dan kemitraan dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Dalam hal ini, strategi kedua relevan untuk diterapkan.

Penerapan kedua strategi di atas membangun kewibawaan guru yang berbeda. Guru sekolah dasar –dengan menerapkan strategi pertama- harus berwibawa secara kharismatis, sedangkan guru sekolah lanjutan hingga perguruan tinggi –dengan penerapan strategi kedua- harus berwibawa secara partisipatoris. Program Jawa Pos tentang pemilihan guru favorit adalah salah satu wujud motivasi peningkatan kewibawaan guru secara partisipatoris. Di lingkungan sekolah dasar, peraturan yang diberlakukan untuk siswa seharusnya lebih diperhatikan, sementara lingkungan sekolah lanjutan dan perguruan tinggi lebih menekankan pada kode etik guru. Pola pemikiran ini bertolak belakang dengan model pendidikan yang diterapkan saat ini, yakni guru hanya menjalankan transformasi informasi, kurang menampilkan edukasi. Siswa sering diperlihatkan kepalsuan, kemunafikan, dan kepamrihan guru. Siswa merindukan ketulusan, kesederhanaan, bahkan doa dari gurunya yang selama ini nyaris musnah. Akibatnya, kewibawaan guru tidak dipandang oleh siswa sebagai seorang pendidik. Masih adakah pahlawan tanpa tanda jasa untuk saat ini?


KEKALAHAN UNTUK MERAIH KEMULIAAN

Dalam riwayat Imam Ahmad, suatu hari, ada seorang laki-laki yang mencaci-maki Abu Bakar ash-Shiddiq RA, sahabat dan mertua Rasulullah SAW. Saat itu Rasulullah SAW. sedang duduk berada di sisinya. Melihat cacian tersebut, Rasulullah SAW. heran dan diam saja. Tak tahan oleh cacian itu, Abu Bakar RA segera membalasnya. Melihat hal itu, Rasulullah SAW. menjadi marah dan berdiri menghadapi Abu Bakar RA. Abu Bakar RA membela diri, “Wahai Rasulullah, dia mencaci-maki diriku, sementara Anda duduk di sampingku, mengapa Anda marah dan menghadapiku saat aku handak membalas caci-makinya”. Rasulullah SAW. menjawab,”Sesungguhnya ada satu malaikat yang hendak membalasnya. Namun, ketika kamu hendak membalas cacimakinya, ada syetan yang datang, aku sekali-kali tidak akan pernah duduk bersama syetan. Wahai Abu Bakar, Aku bersumpah atas tiga hal. Pertama, harta seorang hamba Allah yang disedekahkan tidak akan pernah berkurang. Kedua, hamba Allah yang sabar atas kezaliman yang menimpa dirinya akan ditambahkan kemuliaannya oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Ketiga, hamba Allah yang meminta-minta akan dijadikan fakir oleh Allah”. (al-Bayan wa al-Ta’rif fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif, 259-260).
Abu Bakar RA adalah seorang sahabat Rasulullah SAW. yang dikenal paling sabar dan bijaksana. Ia berjuang bersama Nabi SAW sejak sebelum Nabi SAW diangkat menjadi Rasul. Melihat sahabat setianya dicacimaki, seharusnya Rasulullah SAW. membelanya. Tetapi kenyataannya, Rasulullah SAW. hanya diam melihatnya, bahkan melarang sahabatnya membalas caci maki itu. Tindakan Rasulullah SAW. dalam pandangan manusia pada umumnya dianggap salah dan dinilai tidak setia kawan. Akan tetapi, justru tindakan Rasulullah SAW. ini dapat mengangkat derajat sahabatnya menjadi lebih mulia. Orang yang mencaci-maki, menghina, mencela, atau mengolok-olok hanya terdorong oleh kekuatan nafsunya. Jika orang yang dicacimaki atau dihina ikut terpancing, mengikuti, dan melayani nafsunya, maka ia menjadi rendah dan hina. Saat itu akalnya menjadi tumpul. Ketika orang sedang emosi, ia mudah terpancing untuk melakukan tindakan di luar kesadarannya. Ia menjadi permainan. Ia berperan sebagai orang yang kalah. Ketika ia membakar dirinya dengan emosi dan kemarahan, hampir seluruh gerakan jiwa dan raganya tidak stabil: jantungnya berdetak keras, keringat bercucuran, wajahnya merah padam, anggota tubuhnya gemetar, matanya memerah, dan sebagainya. Saat ini ada orang yang memberikan pesan, berita, dan informasi yang menyesatkan. Jangan mudah terpancing dan terpengaruhi oleh tipu daya orang-orang yang tidak bertanggung-jawab.
Karena pentingnya menahan diri dari perbuatan zhalim, Rasulullah SAW. berpesan agar menyelamatkan orang yang berbuat zalim dan orang yang tertimpa kezaliman. Orang yang berbuat zhalim justru meruntuhkan martabatnya, menjatuhkan kewibawaannya, dan menurunkan derajatnya, sedangkan orang yang dizhalimi akan terangkat derajatnya dan lebih memuliakan martabatnya. Kisah Nabi Yusuf AS –dari seorang budak menjadi raja- adalah contoh sejarah orang terzhalimi menjadi mulia. Kita juga menyaksikan kenyataan bahwa para ulama yang sabar dalam penindasan penguasa justru semakin melambungkan nama dan kharismanya, sedangkan pejabat yang zhalim justru berakhir dengan keterpurukan dan kehinaan. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 249 dinyatakan: “Banyak kelompok yang kecil mengalahkan kelompok yang besar dengan idzin Allah. Allah beserta orang-orang yang sabar”
Di samping seorang yang bijak, Rasulullah SAW. juga mengetahui bahwa Abu Bakar RA juga seorang dermawan. Hampir seluruh kekayaannya diinfakkan untuk perjuangan Islam. Namun, kekayaannya justru semakin bertambah. Ini juga menjadi keyakinan Rasulullah SAW. hingga dijadikan sumpah. Secara matematis dan logika pemikiran manusia, orang yang dermawan justru akan berkurang hartanya, tetapi amat jarang kita mendengar ada dermawan yang jatuh miskin dan bangkrut. Ternyata kita tidak memperhitungkan hal-hal di luar kemampuan manusia, seperti jatuh sakit, kebakaran, perampokan, bencana alam, dan sebagainya. Rasulullah SAW. menjamin bahwa sedekah itu justru akan menolak segala bencana, sebaliknya bencana sering menimpa pada orang yang enggan sedekah. Bahkan para malaikat juga mendoakan agar orang yang dermawan ditambahkan hartanya dan orang yang kikir dikurangi hartanya (Shahih Muslim, I: 446). Kita harus memahami bahwa harta kita adalah titipan Allah SWT dengan satu pesan: agar digunakan untuk hal yang bermanfaat dan disedekahkan agar terjadi pemerataan. Allah SWT bisa saja membagikan harta yang sama kepada setiap jiwa manusia, namun hal itu akan menyalahi keadilan Allah SWT dan menghancurkan kodrat kehidupan. Dengan adanya pembagian harta yang berbeda, maka manusia akan berperan sesuai dengan kelebihan dan kekurangannya: ada majikan ada buruh, ada penguasa ada rakyat, dan seterusnya. Allah SWT hanya menuntut agar orang yang mendapatkan kelebihan rizki membaginya kepada orang yang kekurangan. Dua orang ilmuwan yang mendapatkan penghargaan di bidang kesehatan, Robert Ornstein dan David Sobel, menyatakan bahwa fungsi utama otak manusia bukan hanya untuk berpikir melainkan mengendalikan sistem kesehatan tubuh. Kekuatan otak sangat tergantung pada seringnya manusia berbuat baik. Makin berbuat baik, makin kuat otaknya, dan makin sehat tubuhnya (Majalah Tempo, 28 Juni 1988). Jadi, dengan bersedekah tubuh menjadi sehat.
Sahabat Abu Bakar RA juga dikenal Rasulullah SAW. sebagai orang yang pekerja keras. Kekayaan Abu Bakar RA merupakan hasil jerih payahnya, bukan hasil pemberian orang lain. Rasulullah SAW. banyak mendapatkan ilmu perdagangan dari Abu Bakar RA. Rasulullah SAW. juga yakin bahwa orang yang ulet, tangguh, pantang menyerah, dan rajin dalam bekerja dipastikan akan meraih kekayaan yang melimpah. Harta mudah berkembang dan meningkat di tangan seorang wirausaha. Kita bisa melacak lebih dalam mengenai keberhasilan para pengusaha sukses, ternyata hampir tidak dijumpai mereka mendapatkan kekayaan dari pemberian sedekah, warisan, hadiah, dan sejenisnya. Kalau pun mereka mendapatkan warisan, mereka telah ditempa dan dibina oleh orang tuanya untuk menjadi wirausaha yang tangguh. Sebaliknya, kita sering menyaksikan anak manusia yang jatuh ekonominya dan tidak mampu bangun kembali, sehingga ia berharap pemberian orang lain. Kita lupa bahwa kekayaan yang kita kumpulkan tiap hari akan habis dalam sekejap oleh anak kita yang tidak pernah dibimbing bagaimana menggunakan harta dengan baik. Namun, pernahkah kita berpikir bahwa harta yang didapatkan tanpa cucuran keringat dengan bekerja yang layak akan mudah habis dibelanjakan tanpa perencanaan. Berharap pada pemberian orang lain dengan meminta-minta berdampak pada berkurangnya kepercayaan dan jatuhnya harga diri yang pada akhirnya orang enggan iba kepadanya. Akibatnya, ia jatuh miskin dan tidak mampu bangun. Oleh karena itu, dimanapun tidak ada pekerjaan yang sempit dan langka, karena pekerjaan ada di mana-mana, tetapi justru hal yang terjadi adalah sulitnya orang yang mau dan mampu bekerja. Banyak tenaga kerja kita yang enggan merubah pekerjaan kecil menjadi besar, merubah buruh menjadi majikan, merubah asongan menjadi juragan, dan seterusnya.
Akhirnya, kita harus membuka lembaran baru dengan kehidupan yang lebih bijak, lebih sabar, lebih dermawan, dan lebih rajin bekerja yang akhirnya akan meraih kemuliaan dan kesejahteraan. “Sesungguhnya harta itu hijau dan manis. Barangsiapa yang mengambilnya dengan kemurahan hati, maka ia diberkahi. Jika diambil dengan keserakahan, ia tidak akan diberkahi” (Shahih al-Bukhari, II: 129)