Sabtu, Mei 30, 2009

SEHAT DENGAN SHALAT

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kalian. Sesungguhnya, sabar dan shalat yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', yaitu orang-orang yang meyakini bahwa sesungguhnya mereka akan menemui Tuhan mereka dan hanya kepada-Nya mereka akan kembali” (Surat al-Baqarah ayat 45-46). Untuk bertemu Allah SWT, ada dua cara, yaitu membaca al-Qur’an dan shalat. Kedua cara ini mensyaratkan adanya pemahaman makna. Dengan mengerti apa yang dibicarakan, Pelaku Shalat (Musholli) bisa merasakan kehadiran Allah SWT yang sangat dekat. Kedekatan ini membuat jiwanya merasa tenang dan nyaman, sehingga ia tidak ingin shalatnya berakhir, bahkan ia ingin terus memperbanyak shalatnya. Islam pun mengajarkan aneka shalat sunnah yang bisa menjadi pilihan Pelaku Shalat.
Dalam Bab Ketika Ruku’ Belum Sempurna, Imam al-Bukhari (t.t.: I: 192) meriwayatkan: “Hudzaifah RA pernah melihat seseorang yang belum menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Hudzaifah pun berkata, “Anda belum melaksanakan shalat. Jika Anda wafat, maka Anda wafat dengan tidak mengikuti fitrah yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW”. Di hadits berikutnya, Imam al-Bukhari (t.t.: I: 192) juga meriwayatkan hadits Abu Hurairah bahwa Nabi SAW pernah menyuruh seseorang untuk mengulangi shalatnya karena gerakannya kurang sempurna. Ini menunjukkan bahwa shalat yang tergesa-gesa bisa jadi berakibat tidak sah.

A. Persiapan Sebelum Pelaksanaan Shalat
Ketenangan dalam pelaksanaan shalat memerlukan keyakinan yang kuat terkait dengan keberadaan shalat. Setidaknya ada lima hal yang perlu dipikirkan sebelum melaksanakan shalat.
1. Ajaran shalat ditentukan aturan dan caranya oleh Nabi SAW. Agar shalat bisa dilaksanakan dengan ikhlas, Pelaku Shalat harus berpandangan bahwa shalat yang dilakukannya adalah perintah Allah SWT dan mengikuti Rasulullah SAW. Untuk meyakinkannya, ia harus mengerti dalilnya.
2. Waktu shalat. Kita harus yakin bahwa semua waktu kita hanya milik Allah SWT. Bukankah banyak waktu yang dijadikan Allah SWT sebagai sumpah dalam al-Qur’an, seperti wadldluhaa (demi waktu Dluha), wallaili (demi waktu malam), wannahaari (demi waktu siang), dan sebagainya. Karenanya, kita harus merelakan sebagian waktu kita untuk shalat. Tinggalkan kegiatan selama kurang lebih 30 menit untuk pelaksanaan satu shalat wajib dengan iringan shalat sunnah Qabliyyah dan Ba’diyyah. Yakinlah bahwa rezeki Anda tidak berubah dengan dikurangi waktu shalat. Anda tetap bekerja. Hanya saja, waktu yang tidak bermanfaat harus dipangkas. Anda harus tegas kepada kawan bicara Anda, “Maaf, saya harus shalat dulu”. Lebih baik, Anda telah membuat jadwal shalat, sehingga rekan Anda bisa mengatur pertemuan di luar jam shalat Anda. Tidak hanya ketegasan pengaturan waktu, pikiran pun harus dikosongkan dari semua kegiatan. Karenanya, bereskan terlebih dahulu hal-hal yang bisa menggangu pikiran saat melaksanakan shalat.
3. Fungsi shalat. Galilah secara terus-menerus hikmah-hikmah yang terkandung dalam shalat, baik dari tulisan, perkataan ulama, maupun pengalaman orang lain. semakin banyak pengetahuan kita tentang hikmah shalat, semakin tekun kita menjalankannya. Kita serius menjalankan shalat, karena kita yakin shalat lebih penting dari segalanya. Dia antara hikmah shalat adalah adanya unsur meditasi yang bisa membuat pikiran lebih segar dan perasaan lebih peka, adanya gerakan tubuh yang bisa memberikan pemijatan pada kaki, merenggangkan otot yang kaku, dan mengatur jalannya pernapasan. Shalat merupakan wahana melatih kesabaran dan mengungkapkan syukur kepada Allah SWT. Kesabaran tersebut tampak dari pengorbanan waktu, sedangkan syukur diungkapkan atas nikmat iman dan kehidupan. Shalat adalah ujian iman, karena orang mukmin mengerjakannya dengan ikhlas, orang munafik melakukannya dengan malas, dan orang kafir enggan melakukannya. Ada empat tanda orang hidup yang tercermin dalam shalat, yaitu bergerak (jasmani luar), bernafas (jasmani dalam), berpikir (rohani otak kiri), dan berperasaan (rohani otak kanan). Bagi Abu Sangkan (2005: 8), setidaknya ada lima fungsi shalat bagi kesehatan manusia, yaitu sebagai meditasi dari doa yang teratur, relaksasi melalui gerakan-gerakan shalat, hetero atau euto sugesti dalam bacaan shalat, terapi kelompok dalam komunikasi antara Pelaku Shalat dan Allah SWT, dan terapi air dari air wudlu. Apabila shalat dilengkapi dengan harum-haruman serta pakaian dan tempat tanpa corak, maka shalat bisa membuahkan terapi aroma dan warna.
4. Keberadaan Pelaku Shalat di hadapan Allah SWT. Kita harus mengukur diri kita dengan Allah SWT. Kita sekarang berada di bagian paling kecil di muka bumi, padahal bumi adalah bagian paling kecil dibandingkan tata surya langit pertama, apalagi enam langit yang lain. Kita tidak memiliki arti dibanding Kerajaan Allah SWT Yang Maha Luas. Saat ini kita hidup dan tidak mengerti kematian kita. Sebelum melaksanakan shalat, pikirkanlah bahwa kita akan mati dalam hitungan detik atau menit. Pikirkanlah dosa-dosa Anda, agar Anda merasa kecil, rendah, dan hina di hadapan Allah SWT, lalu Anda memohon ampunan kepada-Nya. Mintalah perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari godaan syetan selama melaksanaan shalat.
5. Shalat bukan hanya gerakan badan, tetapi juga gerakan pikiran. Ada yang mengatakan bahwa shalat adalah gerakan badan dan ruh. Pada setiap gerakan badan dalam shalat ada tekanan di bagian tertentu. ketika badan bergerak, perasaan Pelaku Shalat juga merasakan gerakan tersebut. Di kala bibir bergerak membaca dzikir, otak bergerak memahami makna dzikir. Tidak hanya itu, otak juga melakukan imajinasi atas bacaan dzikir. Begitu terpikir keagungan Allah SWT, otak menggambarkan keagungan Allah SWT tersebut tanpa batas. Saat membaca surat al-Fatihah ayat 7 yang menyebut “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah SWT”, otak terbayang para sahabat Nabi SAW yang utama, para ulama yang shalih, para pemimpin yang adil, dan seterusnya. Oleh karena itu, hal terpenting dari shalat khusyu’ adalah pemahaman bacaan-bacaan shalat.

B. Pelaksanaan Shalat
Pelaksanaan shalat dimulai dari takbir (membaca Alloohu Akbar = Allah Maha Besar) dan diakhiri dengan salam (membaca assalaamu’alaikum warohmatullooh). Sebelum masuk pelaksanaan shalat, Pelaku Shalat terlebih dahulu mengambil posisi berdiri dengan menghadapkan jari-jari kaki lurus ke kiblat. Berdiri dengan kepala tertunduk adalah salah satu bentuk penghormatan yang bertumpu pada kekuatan kaki. Dalam berdiri ini, diupayakan posisi santai, tidak menekan sama sekali. Pikiran juga terlebih dahulu dikosongkan dengan kesadaran tentang waktu shalat, fungsi shalat, dan posisi Pelaku Shalat di hadapan Allah SWT sebagaimana penjelasan di atas. Agar tidak keliru dalam mengucapkan niat, Pelaku Shalat perlu mengingat: bentuk shalat apakah yang akan dilaksanakan. Jika semua persiapan dianggap cukup, maka Pelaku Shalat langsung mengambil nafas lebih dalam lalu membaca takbir.
Dalam bacaan takbir (takbiratul ihram), Pelaku Shalat mengangkat kedua tangan lebih tinggi hingga dada membusung dengan mengembangkan kedua telapak tangan yang dihadapkan pada kiblat. Ujung jari jempol disentuhkan pada ujung telinga. Gerakan takbir tersebut dapat melenturkan syaraf paru-paru yang terdapat dalam ruas tulang belakang (Yusuf Amin, 2007: 41). Dalam mengangkat kedua tangan ini, dilakukan dengan pelan-pelan penuh perasaan. Artinya, Pelaku Shalat merasakan gerakan tangan yang terangkat. Bersamaan dengan itu, Pelaku Shalat membaca Alloohu Akbar yang diiringi dengan niat shalat dalam hati. Dalam kitab Safiinatun Najaa (Salim bin Samir al-Hadlrami, t.t.: 58-59) dinyatakan bahwa shalat fardlu menuntut maksud, penentuan, dan kefardluan dari shalat, sehingga bacaan niatnya yang terpendek adalah ushollii fardla .......... (sebutkan nama sholat). Jika shalatnya sunnah yang ditentukan waktunya atau karena adanya sebab, maka cukup dengan maksud dan penentuan. Bacaan niatnya adalah ushollii sunatan ..............(sebutkan nama shalat sunnahnya).
Selesai mengangkat kedua tangan yang diiringi niat, kedua tangan tersebut diletakkan di bawah susu dan di atas pusar (Abu Dawud, 1994: I: 289: no. 759; al-Turmudzi, 2005: 288: no. 252) dengan posisi sedekap, yakni tangan kanan mencengkeram kuat pergelangan tangan kiri. Bersedekap yang demikian ini bisa membantu menghilangkan pengapuran tubuh (Yusuf Amin, 2007: 53). Inilah tekanan saat posisi berdiri. Melalui sedekap, Pelaku Shalat juga diingatkan oleh kematiannya yang juga bersedekap. Dalam posisi ini, Pelaku Shalat merasakan dirinya dekat di hadapan Allah SWT. Jangankan suaranya yang lirih, suara hatinya pun bisa didengar Allah SWT. Dengan keadaan ini, Pelaku Shalat segera mengambil nafas yang lebih dalam lalu membaca doa iftitah sebagai berikut. Pelaku Shalat sebaiknya memahami, merenungkan, dan meresapi makna-maknanya.
“Inni wajjahtu wajhiya (sungguh, aku hadapkan wajahku) lil ladzi fathoros samaawaati wal ardli (kepada Allah yang menciptakan banyak langit dan bumi) haniifan muslimaa (sebagai orang yang berpegang teguh pada Islam dan orang yang pasrah kepada Kehendak Allah SWT) wamaa ana minal musyrikiin (aku bukan termasuk golongan orang-orang yang menyekutukan Allah SWT). Inna sholaatii (sesungguhnya sholatku) wanusukii (ibadahku) wamahyaaya (kehidupanku) wamamaatii (dan kematianku) lillaahi robbil ‘aalamiin (untuk Allah Yang Mengatur semua alam). Laa syariika lahuu (tidak ada sekutu apapun bagi-Nya) wabidzaalika umirtu (karena itu, aku diperintahkan) wa ana minal muslimiin (aku termasuk golongan orang-orang muslim)”. (Muslim, 1988: I: 345: no. 771; Abu Dawud, 1994: I: 289: no. 860; al-Nasa’i, 2005: I: 142: no. 894; al-Turmudzi, 2005: V: 266: no. 3432)
Lalu, Pelaku Shalat membaca ta’awwudz (Abu Dawud, 1994: I: 291: no. 764; al-Turmudzi, 2005: I: 275: no. 242; al-Nasa’i, 2005: I: 135: no. 881) dengan suara lirih, “a’uudzu billaahi (aku memohon perlindungan kepada Allah SWT) minasy syaithoonir rojiim (dari syetan yang terkutuk)”. Saat membacanya, Pelaku Shalat harus meluapkan kebencian dan permusuhan kepada syetan seraya berharap pertolongan Allah, agar syetan dijauhkan dari diri Pelaku Shalat.
Selanjutnya, Pelaku Shalat membaca surat al-Fatihah. Sebelum membaca surat al-Fatihah, Pelaku Shalat terlebih dahulu mengambil nafas lebih dalam. Dalam hal ini, Pelaku Shalat harus memperhatikan bacaan surat al-Fatihah dengan benar, selain memahami, merenungkan, dan meresapi makna-maknanya.
“Bis-mil-laa-hir-roh-maa-nir-rohiim (dengan Nama Allah SWT Yang melimpahkan sedikit kasih sayang yang dapat dirasakan oleh semua makhluk sekaligus menganugerahkan banyak kasih sayang hanya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman). Al-ham-dulil-laa-hirob-bil-‘aa-lamiin (semua pujian milik Allah SWT dan layak diperuntukkan kepada-Nya, karena hanya Allah SWT Yang Mengatur semua alam). Ar-roh-maa-nir-rohiim (Allah Yang Melimpahkan sedikit kasih sayang yang dapat dirasakan oleh semua makhluk sekaligus menganugerahkan banyak kasih sayang hanya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman kelak di akherat). Maa-likiyau-mid-diin (Allah Maha Pemilik Hari Kiamat sekaligus Maha Raja Yang Memutuskan). Iyyaa-kana’-buduwaiy-yaa-kanas-ta’iin (hanya kepada-Mu, Ya Allah, aku menyembah dan beribadah. Hanya kepada-Mu, ya Allah, aku memohon pertolongan-Mu). Ih-dinash-shiroo-thol-mus-taqiim (antarkan aku pada jalan maupun cara hidup yang benar nan lurus sesuai dengan ridlo-Mu). Shiroo-thol-ladzii-an-‘am-ta’alai-him (yakni jalan hidup orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat iman, ilmu, amal, ikhlas dalam mengabdi kepada-Mu). Ghoi-ril-magh-dluu-bi’alai-him-waladl-dlool-liin (bukan jalan hidup orang-orang yang Engkau benci karena melawan orang-orang shaleh maupun jalan hidup orang-orang sesat akibat kebodohan mereka dalam menjalankan agama mereka). Aammiin (terimalah permohonanku, wahai Tuhanku).
Meski membaca surat dalam al-Qur’an setelah bacaan surat al-Fatihah dinilai anjuran (sunnah), namun Pelaku Shalat lebih baik membacanya. Pelaku Shalat akan memahami komunikasi dialogis saat membaca ayat-ayat al-Qur’an, karena al-Qur’an merupakan firman Allah SWT. Boleh jadi Pelaku Shalat akan mendapatkan hidayah dari ayat-ayat al-Qur’an yang dibacanya. Tentu saja, Pelaku Shalat harus memahami makna setiap ayat dalam surat yang dibacanya.
Setelah surat terbaca, Pelaku Shalat mengangkat tangan sebagaimana takbir di muka sambil merasakan gerakan pengangkatan tangan. Saat mengangkat tangan langsung turun menuju posisi ruku’, Pelaku Shalat mengucapkan, “Alloohu Akbar (Allah Maha Besar)”. Sekali lagi, Pelaku Shalat perlu bergerak agak pelan, agar ruhnya dapat merasakan gerakan tubuhnya. Dalam posisi ruku’, kedua tangan Pelaku Shalat memegang dan menekan kedua lututnya. Dengan tekanan ini, kepala dan punggung Pelaku Shalat terjulur ke depan hingga tulang punggungnya lurus. Demikian pula, kedua kakinya diupayakan lurus hingga terasa regangannya. Gambaran orang yang sedang ruku’ sama dengan segitiga siku-siku: kaki tegak lurus ke atas dan badan lurus ke depan. Posisi ini tertekan pada lutut. Pelaku Shalat memberi penghormatan kepada Allah SWT yang terasa berada di hadapannya. Pelaku Shalat sebaiknya mengambil nafas yang panjang sebelum membaca doa ruku’. Bacaan doa sholat ketika ruku’ adalah sebagai berikut, “subhaana robbiyal ‘azhiim wa bihamdihi (Maha Suci Engkau, Wahai Tuhanku Yang Maha Agung dan Maha Terpuji). (Abu Dawud, 1994: I: 230: no. 870; Ibnu Majah, 2004: I: 283: no. 888). Karena merasakan kedekatan dengan Allah SWT, doa ini dibaca secara lirih. Doa ini dibaca minimal tiga kali. Jika Pelaku Shalat ingin menambahnya, maka ia dianjurkan pada hitungan ganjil, misalnya: lima kali, tujuh kali, dan seterusnya. Dalam doa ini, Pelaku Shalat menyadari bahwa dirinya demikian lemah, kecil, dan hina di hadapan Allah SWT. Sebagai penyucian Nama Allah, Pelaku Shalat meyakini bahwa Allah SWT tidak kecil dan tidak pula lemah. Allah Maha Agung, sehingga tidak ada satupun makhluk yang bisa menolak Kehendak-Nya. Maka, Allah SWT sangat layak dipuji.
Sehabis ruku’, Pelaku Shalat bangun dengan mengangkat kedua tangan seperti saat takbir pertama, yakni menghadapkan telapak tangan pada arah kiblat dengan menyentuhkan ujung jari jempol pada ujung telinga bagian bawah. Gerakan bangun dari ruku’ ini dilakukan secara pelan, agar dapat dirasakan oleh ruh Pelaku Shalat. Selama gerakan ini, Pelaku Shalat mengucapkan doa: sami’allahu liman hamidah (semoga Allah SWT meridloi siapapun yang memuji-Nya). Gerakan ini berakhir hingga posisi Pelaku Shalat dalam keadaan i’itidal, yaitu posisi berdiri yang lurus hingga membentuk angka satu. Dengan kepala tertunduk, Pelaku Shalat merasakan kehadiran Allah SWT di hadapannya yang sangat dekat, sehingga doa juga dibaca lirih. Posisi i’tidal ini juga mengandalkan kekuatan kaki. Artinya, keseimbangan tubuh merupakan anugerah bagi Pelaku Shalat yang disadari saat melaksanakan shalat. Betapa banyak orang lain yang tidak bisa berdiri, apalagi berjalan. Dengan kekuatan kaki, Pelaku Shalat mendapatkan pengalaman dari berbagai tempat. Karena itu, pujian kepada Allah SWT sangat layak diucapkan oleh Pelaku Shalat. Dalam kondisi yang santai ini, Pelaku Shalat membaca doa: robbanaa lakal hamdu mil`us samaawaati wal ardl wamil’a maa syi`ta min syai`in ba`du (Tuhanku, segala pujian untuk-Mu. Pujian ini telah memenuhi semua langit, bumi, dan apapun yang Engkau kehendaki sesudahnya). (Muslim, 1988: I: 218-219: no. 476; Abu Dawud, 1994: I: 320: no. 846; al-Turmudzi, 2005: I: 299: no. 266; al-Nasa`i, 2005: I: 212: no. 1062; Ibnu Majah, 2004: I: 280: no. 878). Saat membaca doa ini, Pelaku Shalat terbayang keagungan Kerajaan Allah SWT. Pendengaran Pelaku Shalat merasakan suara pujian-pujian dari segala penjuru yang menggetarkan. Pelaku Shalat juga menyadari bahwa ia tidak layak menerima pujian apapun dari siapapun, karena semua makhluk Allah SWT telah memuji Allah SWT. Karenanya, Pelaku Shalat juga tidak berupaya mencari pujian. Hanya ridla Allah SWT semata yang manjadi tujuannya. Pada Shalat Shubuh, ada doa Qunut setelah i’tidal (al-Turmudzi, 2005: I: 411: no. 401; Ibnu Majah, 2004: I: 371: no. 1183). Namun demikian, tanpa Qunut juga dibenarkan (al-Turmudzi, 2005: I: 412: no. 402). Karenanya, hal ini tidak perlu diperpanjang.
Kemudian, Pelaku Shalat turun untuk melaksanakan sujud. Dalam gerakan turun ini, mula-mula Pelaku Shalat menurunkan kedua lututnya ke tanah terlebih dahulu secara pelan, supaya otak kanannya bisa merasakannya. Berikutnya, Pelaku Shalat menurunkan kedua tangannya dengan menghadapkan jari-jari tangan ke arah kiblat (Abu Dawud, 1994: I: 317-218: no. 838). Posisi sujud menjadi sempurna saat dahi Pelaku Shalat turun ke tanah, sehingga anggota tubuh Pelaku Shalat yang menyentuh tanah ada tujuh anggota, yaitu dahi, kedua tepak tangan, kedua lutut, dan jari-jari kaki dari kedua kaki. Posisi sujud menekankan bagian dahi kepala. ia ditekan dengan injakan kedua kaki dan kedua tangan yang kuat. Semakin tertekan lama, semakin baik. Dahi mewakili muka dan otak. Identitas manusia hanya bisa ditelusuri dari mukanya, sedangkan otak menunjukkan pemikirannya. Dahi terletak di antara muka dan otak yang ditutupi batok kepala. Selain itu, sujud membuat aliran darah mengalir ke kepala, padahal hampir semua kegiatan manusia membuat darah mengalir deras dari kepala ke kaki. Karena besarnya hikmah sujud, para ulama menyukai sujud yang lebih lama. Hanya saja, Pelaku Shalat tidak diperkenankan membaca ayat al-Qur’an saat sujud. Doa saat sujud adalah “subhaana robbiyal a’laa wa bihamdihi” (Maha Suci Engkau, Wahai Tuhanku Yang Maha Tinggi dan Maha Terpuji). (Abu Dawud, 1994: I: 230: no. 870; Ibnu Majah, 2004: I: 283: no. 888). Seperti doa ruku’, doa sujud ini juga dibaca setidaknya tiga kali. Penambahannya juga mengikuti hitungan ganjil. Dalam doa ini, terkandung makna posisi Pelaku Shalat sebagai hamba Allah SWT yang rendah di hadapannya. Kepala yang menjadi simbol kesombongan manusia diturunkan hingga mencapai tanah di hadapan Allah SWT. Muka yang menjadi kebanggaan juga dibenamkan, hingga orang lain tidak bisa mengetahui muka orang yang sedang sujud. Kepasrahan Pelaku Shalat saat sujud seperti tawanan perang yang akan dibunuh. Pelaku Shalat menunjukkan kepasrahannya kepada Allah SWT. Apapun yang dilakukan Allah SWT atas Pelaku Shalat merupakan anugerah, meskipun terlihat penderitaan. Pelaku Shalat menyucikan nama Allah SWT dari segala kekurangan. Pelaku Shalat berbaik sangka bahwa demikian ini Kehendak Allah SWT yang terbaik untuk diri Pelaku Shalat. Atas sifat Allah Yang Maha Luhur ini, semua pujian sangat patut dipersembahkan kepada-Nya.
Usai sujud, Pelaku Shalat melakukan duduk iftirosy, yakni duduk dengan meletakkan kaki kiri di bawah pantat, sementara kaki kanan menginjakkan jari-jari kaki ke tanah. Semua jari-jari ini diupayakan menginjak seluruhnya. Tangan Pelaku Shalat diletakkan di atas paha dengan menghadapkan jari-jari ke arah kiblat. Pelaku Shalat mengatur duduk ini pelan-pelan: mula-mula membenahi posisi kaki, lalu kedua tangannya. Dalam duduk ini, tekanan terasa pada jari-jari kaki kanan yang diinjakkan di atas tanah. Setelah posisi duduk dirasakan telah sempurna, Pelaku Shalat mengambil nafas yang dalam, lalu memanjatkan doa. Agar Pelaku Shalat memahami dan mengerti apa yang dimohonkannya, Pelaku Shalat perlu mencerna makna doa iftirasy terlebih dahulu. Inilah doa yang dimaksud.
“Rabbighfirlii (Wahai Tuhanku, tutupilah dosa-dosaku dan aib-aibku), warhamnii (perhatikanlah diriku dengan kasih sayang-Mu), wajburnii (anugerahkanlah aku kekayaan yang bisa menutupi kemiskinan), warfa’nii (angkatlah derajatku di sisi-Mu) warzuqnii (limpahkan rezeki ilmu dan semua kebaikan untukku), wahdinii (antarkan aku menuju ridlo-Mu), wa’aafinii (sehatkanlah aku dan sembuhkanlah aku dari berbagai penyakit), wa’fu ‘annii (hapuskanlah semua dosa-dosaku dan kesalahanku). (Abu Dawud, 1994: I: 332: no. 850; al-Turmudzi, 2005: 312: no. 850I: Ibnu Majah, 2004: I: 286: no. 898)
Semua keinginan manusia telah terkumpul dalam doa di atas. Betapa bahagianya seseorang yang senantiasa sehat, keluarganya sehat, pengikutnya hormat, ekonominya tidak tersendat, pengetahuannya padat, imannya kuat, kepada Allah SWT taat, dalam kebaikan hingga akhir hayat, di alam kubur mendapatkan nikmat, di Hari Kiamat selamat, masuk sorga dengan rahmat. Sesungguhnya, semua bacaan dalam shalat bernuansa pujian kepada Allah SWT. Doa permohonan hanya terbaca di surat al-Fatihah ayat 6, doa iftirosy ini, dan doa di akhir Tahiyyat Akhir yang hanya sebagai anjuran (sunnah). Oleh karena itu, Pelaku Shalat harus sabar untuk tidak tergesa-gesa melakukan sujud yang kedua setelah duduk iftirosy.
Sujud kedua sama dengan sujud pertama, baik dari segi gerakan maupun bacaan. Hanya saja, saat hendak berdiri dari sujud kedua, Pelaku Shalat terlebih dahulu duduk sebentar (duduk istirohah) sebagaimana duduk iftirasy, lalu melanjutkan berdiri dengan menyentuhkan telapak tangan ke tanah untuk menahan badan. Upaya ini bisa dilakukan secara pelan, karena memerlukan sedikit tenaga untuk mengangkat badan. Tentu saja, perasaan harus dilibatkan untuk merasakan nikmat gerak badan.
Apabila sujud kedua dilanjutkan dengan tahiyyat akhir, maka Pelaku Shalat melakukan gerakan duduk. Posisi duduk pada tahiyyat akhir (duduk tawarruk) tidak sama dengan duduk iftirosy. Dalam duduk tahiyyat akhir, Pelaku Shalat meletakkan pantatnya ke tanah, kaki kirinya menahan kaki kanan, sementara kaki kanan bertumpu pada jari-jari kaki yang menginjak tanah. Telapak tangan kiri Pelaku Shalat juga diletakkan di atas paha dengan menghadapkan semua jari-jarinya ke arah kiblat, sedangkan telapak tangan kanannya menggenggam untuk mempersiapkan jari telunjuk yang akan menunjuk arah kiblat saat membaca “illallooh” pada kalimat syahadat pertama dari bacaan tahiyyat (Muhammad bin Qosim al-Ghazzi, t.t.: 15). Posisi ini juga menekankan pada jari-jari kaki sebelah kanan. Sebelum membaca doa tahiyyat, Pelaku Shalat terlebih dahulu mengambil nafas panjang dan dalam seraya berkeyakinan bahwa Allah SWT seakan-akan berada di depannya. Inilah doa tahiyyat akhir yang maknanya harus dipahami, diresapi, dan direnungkan oleh Pelaku Shalat.
“At-taahiyyaatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatulillaah (penghormatan yang suci dan shalat yang terbaik dipersembahkan untuk Allah SWT); as-salaamu ‘alaika ayyuhannabiyyu warohmatulloohi wabarokaatuh (semoga keselamatan, kasih-sayang, dan kenikmatan dari Allah SWT untuk paduka, wahai Nabi Muhammad SAW); assalaamu’alainaa wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin (semoga pula keselamatan untuk kami dan para hamba-hamba Allah SWT yang shaleh di langit maupun bumi [dalam hadits Imam Muslim (1988: I: 188: no. 402) disebutkan bahwa keadaan ini merupakan komunikasi antara Pelaku Shalat dengan hamba-hamba Allah yang shaleh, baik yang telah meninggal maupun masih hidup, di bumi mapun di langit]); asyhadu anlaailaahaillallooh (aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah); waasyhadu annamuhammadar rosulullooh (dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah); alloohumma, sholli ‘ala Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad (Ya Allah, anugerahkan rahmat buat Nabi Muahammad SAW dan keluarganya)”. (Muslim, 1988: I: 189: no. 403; Abu Dawud, 1994: I: 368: no. 974; al-Turmudzi, 2005: I: 315-316: no. 290; al-Nasa`i, 2005: I: 285: no. 1170).
Bacaan doa di atas dapat dibaca pada tahiyyat awal. Untuk tahiyyat akhir, bacaan doa tersebut ditambah kalimat sebagai berikut.
“Kamaa shollaita ‘alaa Ibroohiim wa’alaa aali Ibroohiim (sebagaimana Engkau anugerahkan rahmat untuk Nabi Ibrahim AS dan keluarganya) wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad (anugerahkanlah keberkahan kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya) kamaa baarokta ‘alaa ibroohiim wa ‘alaa aali ibroohiim (sebagaimana Engkau anugerahkan keberkahan kepada Nabi Ibrahim AS dan keluarganya) fil ‘aalamiin, innaka hamiidum majiid (di seluruh alam, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Agung)” (Muslim, 1988: I: 191-192: no. 405; Abu Dawud, 1994: I: 369-370: no. 976; al-Nasa`i, 2005: II: 46: no. 1281)
Sebelum mengucapkan salam, hendaknya Pelaku Shalat berdoa sesuai yang diajarkan oleh Nabi SAW. Inilah doa tersebut yang oleh sebagian ulama dianggap wajib, agar selama dari fitnah yang bisa menjerumuskan iman.
“Alloohumma, innii a’uudzubika min ‘adzaabi jahannam (Ya Allah, sungguh aku mohon perlindungan kepada-Mu dari siksa neraka Jahannam) wa min ‘adzaabil qobri (dan dari siksa kubur), wamin fitnatil mahyaaya wal mamaati (dan dari fitnah medan kehidupan dan fitnah medan kematian), wamin fitnatil masiihid dajjaal (dan dari fitnah Dajjal Sang Penguasa Kejahatan), waminal ma`tsami wal maghromi (dan dari jeratan dosa dan hutang)”. (Muslim, 1988: I: 263: no. 589; Abu Dawud, 1994: I: 335; no. 880; al-Nasa`i, 2005: II: 57: no. 1305)
Akhirnya, Pelaku Shalat mengakhiri shalatnya dengan bacaan salam. Salam pertama dibaca sambil menengok ke kanan dengan lurus hingga pipi Pelaku Shalat terlihat jelas dari belakang. Demikian pula, gerakan yang sama saat menengok sebelah kiri, yakni membaca salam kedua dan menengok lurus. Dengan kata lain, Pelaku Shalat menegok arah kanan dan kiri semaksimal mungkin. Tengokan inilah tekanan dalam gerakan salam. Bacaan salam pertama dan kedua adalah sama, yaitu “assalaamu’alaikum warohmatulloohibarokaatuh”(segala keselamatan, kasih-sayang, dan keberkahan dari Allah semoga terlimpah kepada kalian). (Abu Dawud, 1994: I: 376: no. 996; al-Turmudzi, 2005: I: 319: no. 295; al-Nasa`i, 2005: II: 62: no. 1315; Ibnu Majah, 2004: I: 293: no. 916).

C. Kegiatan Setelah Pelaksanaan Shalat
Setelah shalat dilaksanakan dengan sempurna, Pelaku Shalat langsung membaca doa-doa. Pada prinsipnya, doa dan dzikir dibaca sebanyak mungkin dan dalam keadaan apapun. Berbeda dengan shalat yang harus dilakukan dengan pelaksanaan yang terbaik, meski dengan bacaan yang sederhana. Al-Qur’an menuntut dzikir sebanyak-banyaknya (wadzkurullooha katsiiran) dan pelaksanaan kegiatan sebaik-baiknya (wa’maluu ‘amalan shoolihan). Meski Nabi SAW memberi tuntunan doa-doa setelah shalat, namun doa-doa lain juga bisa dibaca oleh Pelaku Shalat selama dibenarkan oleh Syari’at.
D. Penutup
Tuntunan shalat ini hanya merupakan usaha menuju ibadah yang berkualitas. Kualitas ibadah ritual tidak hanya dilihat dari sisi keikhlasan, tetapi juga memperhatikan tuntunan Nabi SAW. Dengan shalat yang berkualitas sebagaimana tehnis di atas, kita dapat menemukan fungsi shalat tidak hanya sebagai ibadah, tetapi juga sebagai cara menjaga kesehatan jasmani dan rohani. Tidak hanya itu, shalat juga bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Singkatnya, apa yang telah menjadi perintah Allah SWT yang diatur secara terperinci pasti mengandung rahasia hikmah yang tidak terhitung. Untuk itu, tulisan singkat ini harus dibaca terus-menerus, dihayati, dipraktekkan, lalu dirasakan hasilnya. Jika Pelaku Shalat merasakan hasil yang positif dalam hidupnya, ia dianjurkan untuk mengajarkan pengalamannya kepada orang lain. Tentu saja, ia tidak boleh mengabaikan tuntunan Syari’at.

Daftar Rujukan

Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats. Sunan Abi Dawud. Vol. I. Beirut: Darul Fikr, 1994.
Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-. Shahih al-Bukhari. Vol. I. Semarang: Toha Putra, t.t.
Ghozzi, Muhammad bin Qasim al-. Fath al-Qarib al-Mujib. Indonesia: Maktabah al-Nur Asia, t.t.
Ibnu Majah, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini. Sunan Ibn Majah. Vol. I. Beirut: Dar al-Fikr, 2004.
Malibari, Zain al-Din bin ‘Abd al-‘Aziz al-. Fath al-Mu’in. Surabaya: Syirkah Piramid, t.t.
Muslim. Shahih Muslim. Vol. I. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Nasa’i, Abu ‘Abd al-Rahman, Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasani al-. Sunan al-Nasa’i. Vol. I-II. Beirut: Dar al-Fikr, 2005.
Sangkan, Abu. Pelatihan Shalat Khusyu’. Jakarta: Baitul Ihsan, 2005.
Turmudzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa Ibnu Saurah al-. Sunan al-Turmudzi. Vol. I. Beirut: Dar al-Fikr, 2005.
Yusuf Amin, Bukhori Abu A. Keajaiban Senam Para Nabi. Bandung: Takbir Publishing House, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar