Jumat, Mei 29, 2009

PENGENDALIAN DIRI

Suatu hari, ada seorang laki-laki yang mencaci-maki Abu Bakar ash-Shiddiq RA, sahabat dan mertua Rasulullah SAW. Saat itu Rasulullah SAW. sedang duduk berada di sisinya. Melihat cacian tersebut, Rasulullah SAW. heran dan diam saja. Tak tahan oleh cacian itu, Abu Bakar RA segera membalasnya. Melihat hal itu, Rasulullah SAW. menjadi marah dan berdiri menghadapi Abu Bakar RA. Abu Bakar RA membela diri, “Wahai Rasulullah, dia mencaci-maki diriku, sementara Anda duduk di sampingku, mengapa Anda marah dan menghadapiku saat aku handak membalas caci-makinya”. Rasulullah SAW. menjawab,”Sesungguhnya ada satu malaikat yang hendak membalasnya. Namun, ketika kamu hendak membalas cacimakinya, ada syetan yang datang. Aku sekali-kali tidak akan pernah duduk bersama syetan” (Ibnu Hamzah al-Husayni, t.t. : I: 259-260).

A. Dorongan Nafsu dan Akal

Semua makhluk hidup –termasuk manusia- dilengkapi nafsu oleh Allah SWT. Berkembang-biak, mempertahankan diri dan keluarganya, serta menjaga kelangsungan hidup adalah beberapa ciri mahkluk hidup yang didorong oleh nafsu. Dalam diri manusia, ada hasrat seksual, hasrat marah, hasrat dipuja, dan hasrat hidup lebih lama. Nafsu adalah diri. Mementingkan diri merupakan kewajaran, namun terlalu mementingkan diri disebut egois. Orang yang egois selalu mengikuti nafsunya. Tanpa kontrol dan pengendalian, nafsu bisa menjerumuskan seseorang kepada kerusakan dan kejahatan. Nafsu tidak akan pernah merasa puas. Orang yang egois pun tidak memperdulikan orang lain, pembawaannya suka marah, makannya berlebihan, gejolak seksualnya liar, tidak pernah memikirkan kematian, sukar diajak kebaikan, bahkan selalu dalam kemaksiatan. Nafsu demikian ini dikatakan al-Qur’an (surat Yusuf ayat 53) sebagai nafsu ammaroh. Musuh sejati manusia (syetan) mendorong dengan kuat ke arah nafsu ammaroh melalui kenikmatan-kenikmatan duniawi. Karena manusia juga dilengkapi dengan akal, maka setiap manusia pasti mengetahui nafsu ammaroh termasuk dorongan kejahatan. Tidak sedikit manusia yang telah terjerumus kejahatan dan kemaksiatan menyadari kesalahannya. Nafsu yang menyesal ini disebut al-Qur’an (surat al-Qiyamah ayat 2) dengan nafsu lawwamah. Ketika manusia disadarkan oleh kesalahannya, ia masih didorong syetan lagi menuju nafsu jahat (ammaroh). Namun, manusia yang masih menggunakan akalnya pasti selalu mengendalikan nafsunya. Nafsu yang terkendali ini dinamakan al-Qur’an (surat al-Fajr ayat 27) dengan nafsu muthmainnah. Inilah ayat-ayat tentang nafsu tersebut.

1. Nafsu Ammaroh (diri yang tak terkendali).

“Dan aku (Nabi Yusuf AS) tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang” (surat Yusuf ayat 53).

2. Nafsu Lawwamah (penyesalan diri).

“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)” (surat al-Qiyamah ayat 2).

3. Nafsu Muthmainnah (diri yang terkendali).

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka, masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam syurga-Ku” (surat al-Fajr ayat 27-30).

Nafsu menjadi tenang bila mengikuti akal. Identitas manusia terletak pada akalnya. Dengan akal, manusia bisa hidup lebih baik dan lebih berkualitas. Tidak sekedar membuat makanan, akal manusia bisa membuat makanan yang lezat dan bergizi. Binatang yang buas dan kuat bisa ditundukkan manusia dengan akalnya. Alam lingkungan pun bisa dikuasai manusia. Akal juga mengarahkan manusia kepada kebaikan, bahkan menunjukkan kebenaran. Pekerjaan akal adalah berpikir: membedakan perkara yang benar dan salah. Akal mempu menjangkau sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh indera. Akal juga mampu merenungkan masa lalu, masa kini, dan meramalkan masa mendatang (al-Mawardi, 1995: 10-11). Namun demikian, tidak semua kebaikan dan kebenaran terjangkau oleh akal. Dalam hal ini, agama yang mampu menjangkaunya. Agama Islam tidak bertentangan dengan akal, bahkan tidak sedikit ajarannya yang tidak terjangkau oleh akal, seperti kejadian di Hari Kiamat, suasana sorga dan neraka, alam kubur, dan sebagainya. Islam mendorong manusia untuk mendayagunakan akalnya, agar menempati derajat yang mulia. Membaca al-Qur’an pun hars melibatkan akalnya untuk merenungi (tadabbur) ayat-ayatnya. Karenanya, manusia yang mengikuti akalnya –ia menjadi manusia sejati- lebih unggul dibanding makhluk yang lain. Sebaliknya, manusia yang tidak menggunakan akalnya –cenderung pada nafsunya- bisa disamakan dengan binatang, bahkan lebih rendah darinya. Allah WT berfirman,

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati (akal), tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai” (surat al-A’raf ayat 179).

B. Cara Pengendalian Diri

Nafsu dan akal saling mempengaruhi hati manusia. Al-Qur’an menyebut hati dengan al-qalb (berbolak-balik) yang sering kita ucapkan dengan istilah kalbu. Hati atau kalbu ini yang menentukan sikap dan tindakan manusia, termasuk mempengaruhi kesehatan tubuh manusia. “Ingatlah, sesungguhnya dalam tubuh terdapat sepotong daging. Manakala ia baik, seluruh tubuhnya menjadi baik. Manakala ia rusak, seluruh tubuhnya menjadi rusak. Ingatlah, sepotong daging itu adalah hati”, sabda Nabi SAW (H.R. Imam Muslim, 1988: I: 47; nomor 1599). Untuk mengendalikan diri, hati harus cenderung mengikuti akalnya daripada nafsunya. Ada orang yang rela membantu orang lain tanpa pamrih. Hati orang ini tidak berpihak kepada nafsu yang mementingkan diri sendiri, melainkan cenderung kepada akal yang mengarahkannya kepada kebaikan. Pada dasarnya, semua ibadah dalam Islam –shalat, puasa, zakat, haji, membaca dan merenungkan isi al-Qur’an, dan sebagainya- memperkuat akal dan mendidik nafsu. Penting dicatat bahwa nafsu tidak boleh dihilangkan sama sekali, tetapi hanya dikendalikan atau dididik (tahdzibun nafsi). Jadi, tidak dibenarkan hidup dengan menyakiti diri, seperti hidup tanpa menikah, membiarkan perut dalam kelaparan, tidak bermasyarakat, enggan mandi, dan seterusnya. Mengendalikan nafsu berarti tidak membiarkannya berkeliaran dan juga tidak membunuhnya, melainkan mengikatnya sesuai dengan kehendak akal.

Makanan nafsu adalah kesenangan jasmani, sedangkan makanan akal adalah ilmu. Kesenangan jasmani ini meliputi banyak makan, banyak tidur, terlalu berurusan dengan harta, dan sering membuang waktu untuk hal yang tidak bermanfaat. Nabi SAW bersabda, “Termasuk kesempurnaan iman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak memberikannya manfaat” (H.R. al-Turmudzi). Pendek kata, kegiatan apapun yang tidak membuat akal bekerja akan mudah dimasuki oleh nafsu. Selama seseorang berpikir secara positif, selama itu pula ia tidak dipengaruhi nafsu. Inilah manfaat dari kegiatan yang baik serta bergaul dengan orang-orang yang baik. Demikian ini juga merupakan kerja dari orang yang selalu memperhatikan ilmu. Masyarakat yang dikenal budaya membacanya akan membangun peradaban yang maju, seperti beberapa negara maju saat ini. Masyarakat suka hura-hura sulit bergaul dengan masyarakat senang membaca. Orang yang lebih mencintai harta sulit menjadi teman akrab bagi orang yang mencintai ilmu. Harta di tangan ilmuwan bisa bermanfaat, karena langsung digunakan bukan untuk diri sendiri saja, melainkan untuk hal-hal yang bermanfaat. Jadi, cara yang paling baik untuk mengendalikan nafsu adalah bergaul dengan orang-orang memberikan manfaat ketenagan jiwa, mempelajari ilmu yang bermanfaat, lalu membuahkan perbuatan yang bermanfaat.

Rujukan

Husayni, Ibnu Hamzah al-. al-Bayan wa al-Ta’rif fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif. Vol. I. Beirut: Dar al-Tsaqofah al-Islamiyyah, t.t.

Mawardi, Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-. Adab al-Dunya wa al-Din. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.

Muslim. Shahih Muslim. Vol. I. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar