Jumat, Mei 29, 2009

BELAJAR BERSAMA: TRADISI YANG TERABAIKAN

Budaya khas masyarakat Indonesia adalah gotong royong. Sebagai negara agraris, sistem gotong royong mutlak dibutuhkan dalam kegiatan bercocok-tanam. Dari kegiatan ini, penggunaan gotong royong dikembangkan dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan, semacam pendirian rumah, penyelenggaraan kenduri, upacara hari besar keagamaan, upacara pernikahan, upacara kelahiran dan kematian, bahkan proses pembelajaran masyarakat. Masing-masing daerah memiliki kearifan lokal dalam mengelola gotong-royong tersebut. Akan tetapi, karakteristik gotong royong tidak terlepas dari hubungan timbal balik sosial sesama warga masyarakat yang dalam Antropologi disebut dengan sistem resiprositas. Ketika ada warga yang hendak mendirikan rumah, maka masyarakat sekitarnya ikut membantunya (soyo) dengan harapan kelak warga tersebut juga membantu pada kegiatan yang sama. Dalam tradisi hajat pernikahan kita, ada istilah bowo dan biyodho. Bowo adalah pemberian bantuan uang atau barang kepada orang yang memiliki hajat pernikahan. Jika bantuannya berupa tenaga, dinamakan biyodho. Tentu saja orang yang menerima bantuan tersebut terbebani secara moral untuk membantu orang yang memberikan bowo atau biyodho.

Bentuk resiprositas dalam kegiatan pembelajaran masyarakat adalah bimbingan belajar oleh seorang terpelajar. Pembimbing ini pernah mengenyam pendidikan di luar daerah dengan iringan doa, uang saku, bahkan pengiring dari masyarakat. Selain itu, bila suatu hari pelajar tersebut kekurangan bekal, maka masyarakat secara gotong-royong membantu sumbangan uang atau pemberian hutang. Pada waktu sekolah belum semarak seperti saat ini, sedikit pelajar yang melanjutkan sekolahnya keluar daerah. Jika ada pelajar yang berminat, masyarakat hanya memberikan dorongan dan bantuan finansial secukupnya. Umumnya, tradisi ini terjadi pada pelajar yang belajar di pondok pesantren, sehingga ia diharapkan masyarakat untuk dapat mengajar “ngaji” di masyarakatnya. Namun, kenyataannya juga terjadi pada pelajar yang hendak belajar di perguruan tinggi. Setelah ia menjadi sarjana, ia diharapkan memajukan pendidikan di masyarakatnya. Di samping mendukung warganya yang melanjutkan sekolah, masyarakat juga mendukung kedatangan warga baru yang terpelajar. Jalur yang paling umum untuk mendatangkannya adalah melalui pernikahan. Setelah resmi menjadi warga tetap, warga terpelajar tersebut dibantu oleh masyarakat dalam pengadaan fasilitas pembelajaran. Karena itu, sebelum didirikan sekolah oleh pemerintah, di beberapa desa telah berdiri sekolah swasta yang dibangun oleh masyarakat. Guru-gurunya adalah orang-orang yang terpelajar di masyarakat. Guru-guru ini tidak hanya mengajar secara formal di sekolah, tetapi juga memberikan pelajaran tambahan di rumahnya. Bagi guru agama, ia membuka pengajian di langgar atau masjid yang oleh Zamakhsyari Dhofier diistilahkan dengan ‘nggon ngaji’. Tradisi semacam ini sekarang telah terabaikan, bila enggan dikatakan punah.

Pergeseran nilai kolektivitas menjadi individualitas dapat dianggap sebagai penyebab utama perubahan tradisi pembelajaran di atas. Paling tidak, ada empat faktor yang menunjang pergeseran nilai tersebut. Pertama, masuknya nilai individualisme kaum metropolis melalui media massa, khususnya televisi. Hampir setiap rumah telah terpasang pesawat televisi, sehingga sulit ditemukan tradisi “nonton bareng” di masyarakat. Dengan durasi acara hingga 24 jam, manajemen waktu setiap warga juga mengikuti acara favorit dalam televisi. Karenanya, kebersamaan masyarakat juga sulit diwujudkan, termasuk penyesuaian waktu di antara sesama pelajar untuk belajar bersama atau antara pelajar dan gurunya. Kedua, industrialisasi yang masuk daerah pedesaan juga ikut menyuburkan individualisme. Manajemen waktu masyarakat didasarkan pada jam kerja pabrik, selain acara televisi di atas. Ketergantungan sosial ekonomi juga beralih ke perusahaan. Dalam istilah Sosiologi: dari solidaritas mekanis ke solidaritas organis. Untuk itu, perhatian kepada sesama masyarakat juga berkurang, sehingga pembelajaran masyarakat diperhitungkan dengan nilai ekonomis. Guru pun kurang dihargai, karena ilmunya dianggap seperti barang yang dijualbelikan. Hubungan guru dan orang tua tak ubahnya seperti hubungan konsumen dan produsen. Ketiga, sulitnya ekonomi yang membuat tingginya angka pengangguran, terutama pengangguran kaum intelektual. Bimbingan belajar secara sukarela sudah hampir musnah. Pekerjaan guru tidak lagi dominan unsur sosialnya, melainkan lebih berorientasi bisnis. Hal ini juga diperkuat oleh tuntutan ekonomi para guru kepada pemerintah. Meski tuntutan ini dianggap wajar, tetapi sebagian masyarakat memandangnya sebagai sikap yang kurang menerima dengan tugas. Akhirnya, gelar pahlawan tanpa tanda jasa menjadi tereduksi. Keempat, pola hidup masyarakat yang konsumeris dan hedonis ikut menggoda gaya hidup seorang guru. Gaya hidup ini tampak dari kemewahan yang ditunjukkan oleh sebagian para guru di masyarakat dan sekolah. Padahal, guru telah lama dijadikan panutan oleh masyarakat. Dengan gaya hidup ini, komersialisasi pendidikan, termasuk pembelajaran masyarakat, juga menjadi tujuan pengabdian guru. Banyak kegiatan belajar bersama di masyarakat saat ini telah berubah menjadi lahan bisnis. Tidak sedikit guru yang lebih memilih sebagai guru privat di kalangan masyarakat elit.

Untuk mengembalikan tradisi belajar bersama di atas, langkah penting pertama adalah perbaikan mental guru sekaligus peningkatan kesejahteraannya oleh pemerintah. Pemerintah perlu membuat pola kebijakan yang mendorong para guru untuk lebih kreatif dan proaktif dengan kebutuhan masyarakat. Karena itu, pemerintah harus membuat tolok ukur dan penilaian guru dalam pengabdiannya kepada masyarakat. Namun, sebelumnya, para guru harus dibina kepribadiannya, agar mereka benar-benar memiliki kesadaran yang tinggi mengenai tugasnya sebagai pendidik masyarakat. Dengan strategi ini, harapan belajar bersama antara masyarakat dengan guru sebagai fasilitatornya dapat tercapai secara maksimal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar