Sabtu, Mei 30, 2009

DIMENSI EKSOTERIS DAN ESOTERIS DALAM ISLAM


Pendahuluan

Pusat pengendalian manusia adalah otak yang oleh Islam dibahasakan dengan al-qolbu. Tidak sedikit para ulama yang mengartikan al-qolbu sebagai hati, padahal arti ini sulit dijelaskan secara ilmiah. Otak menggerakkan manusia untuk mentransfer informasi melalui panca indera. Otak memutuskan sikap dan perbuatan manusia. Otak pula yang menyimpan segala pengetahuan dan pengalaman manusia. Atas kehebatan otak ini, Nabi SAW. bersabda,

“Sesungguhnya perkara yang halal telah jelas. Perkara haram juga jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar (syubhat). Banyak manusia yang tidak mengetahuinya. Karenanya, siapapun yang menjaga perkara-perkara yang samar, berarti ia berusaha membebaskan diri demi agama dan harga dirinya. Siapapun yang telah jatuh dalam perkara-perkara yang samar, ia pun jatuh dalam perkara yang haram. Ia laksana pengembala yang sedang merumput di sekitar tanah larangan. Ia hampir merumput di tanah tersebut. Ingatlah, setiap penguasa pasti memiliki larangan. Ingatlah, sebenarnya larangan Allah adalah hal-hal yang haram. Ingatlah, sesungguhnya dalam tubuh terdapat sepotong daging. Manakala ia baik, seluruh tubuhnya menjadi baik. Manakala ia rusak, seluruh tubuhnya menjadi rusak. Ingatlah, sepotong daging itu adalah otak”.(H.R. Imam Muslim, 1988: I: 47; nomor 1599).

Secara global, pekerjaan otak meliputi aspek keyakinan, perbuatan, dan perasaan. Keyakinan dapat dideteksi melalui pembicaraan, perbuatan dapat diketahui dengan pengetahuan inderawi, namun perasaan sulit diungkapkan. Ketiga aspek ini berhubungan satu sama lain. Keyakinan menentukan perbuatan dan perasaan. Karenanya, iman adalah segalanya dalam agama. Sebelum mengamalkan ajaran agama, mula-mula pemeluk agama diwajibkan memperteguh imannya. Perbuatan adalah bentuk yang tampak (al-zhawahir, eksoteris), sedangkan perasaan merupakan bentuk yang tersembunyi (al-bawathin, esoteris). Ajaran Islam menetapkan sanksi atas perbuatan yang tampak melalui kewenangan manusia. Sementara perasaan yang tersembunyi hanya kewenanangan Allah SWT. Kita bisa menegur orang yang shalat dengan meninggalkan sebagaian syarat atau rukunnya, tetapi kita tidak berhak menilai keikhlasan shalatnya. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita wajib memberikan penghargaan kepada orang yang dermawan, tanpa menilai keikhlasannya. Hukum harus ditegakkan atas perbuatan yang dapat dibuktikan secara nyata dengan menafikan motif perbuatan tersebut. Asas “praduga tak bersalah” bukan ranah perbuatan, melainkan perasaan berbaik sangka. Para ulama Islam, merumuskan perbuatan-perbuatan yang tampak ini sebagai obyek kajian Ilmu Fikih. Perbuatan-perbuatan yang tidak tampak dapat dijelaskan dengan disiplin Ilmu Akhlaq. Tulisan ini hendak menyajikan gambaran singkat kedua disiplin ilmu keislaman tersebut.

Ilmu Fikih

Umat Islam sering dibingungkan oleh tiga konsep: Syari’ah, Fikih, dan Hukum Islam. Sebelum memberikan definisi masing-masing, terlebih dahulu dikemukakan deskripsinya. Syari’ah terwujud dalam teks atau bacaan al-Qur’an dan al-Hadits. Syari’ah Islam masih berupa ajaran yang mentah. Syari’ah meliputi semua hal yang terkait dengan ajaran agama, sehingga ia diartikan sebagai agama (A. Djazuli, 2006: 2). Teks atau bacaan tersebut dipahami dan diolah hingga menghasilkan kesimpulan hukum. Upaya pemahaman dan pengolahan tersebut memerlukan suatu metode yang disebut dengan Ushul Fiqh. Hasil kesimpulan hukum dinamakan Fiqh yang didefinisikan sebagai mengetahui hukum-hukum syariah praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (‘Abd al-Wahhab Khallaf, 1990: 11). Ketika hasil pemahaman dalil al-Qur’an dan al-Hadits diterapkan sebagai hukum positif maupun norma sosial-kemasyarakatan, maka ia disebut dengan Hukum Islam. Dalam wilayah ini, aspek ritual bukan termasuk Hukum Islam (A. Djazuli, 2006: 13-14). Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah hukum Islam yang dirumuskan dari konsepsi Fikih. Karena itu, suatu dalil ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan secara berbeda oleh para ulama, sehingga perbedaan ini membentuk suatu pandangan atau madzhab. Ada banyak madzhab yang berkembang sepanjang sejarah umat Islam, namun hanya empat madzhab yang dikenal hingga saat ini, yaitu Madzhab Hanafi (dibentuk oleh Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit), Madzhab Maliki (dibentuk oleh Imam Malik bin Anas), Madzhab Syafi’i (dibentuk oleh Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i), dan Madzhab Hambali (dibentuk oleh Imam Ahmad bin Hanbal). Dengan demikian, Ilmu Fikih hanya sebuah disiplin ilmu yang mempelajari hasil pemikiran para ulama mengenai perbuatan yang tampak dari dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadits.

Fikih dikelompokkan dalam dua bidang, (Wahbah al-Zuhayli, 1989: 19) yaitu ‘ibadah (ritual) dan mu’amalah (sosial). Antara ibadah dan mu’amalah, terdapat karakteristik yang mendasar. Ibadah berhubungan dengan Allah SWT (al-khaliq), sedangkan mu’amalah dengan selain Allah SWT (makhluq); dalil tentang ibadah lebih terperinci daripada mu’amalah; dan pemikiran dalam masalah mu’amalah lebih besar wilayahnya daripada masalah ibadah. Lebih terperinci lagi, Fikih dapat diklasifikasi dalam delapan bidang, yaitu: ibadah murni, mu’amalah, masalah keluarga, tindak pidana, peradilan, pemerintahan, hubungan antar negara, dan persoalan budi pekerti (Abdul Azis Dahlan, 2001: I: 335).

Dari definisi dan penjelasan tentang hakekat Ilmu Fikih di atas, tampak bahwa titik berat orientasinya adalah pengaturan hidup bersama manusia dalam tatanan sosialnya. Meski aspek ritual ibadah berkaitan antara manusia dan Tuhannya, namun pembahasan Ilmu Fikih tetap berorientasi hukum. Dalam hal ini, ada lima macam hukum: wajib (keharusan), mandub/sunnah (anjuran melaksanakan), mubah (diberbolehkan), makruh (anjuran menjauhi), dan haram (larangan). Di samping itu, terdapat cara penilaian kepada sesuatu sebagai sah atau batal, yaitu dilihat dari kenyataan apakah semua syarat dan rukunnya terpenuhi atau tidak.

Ilmu Fikih telah tumbuh sejak masa Nabi SAW sendiri, yaitu peranannya sebagai pemimpin masyarakat politik (Madinah) dan sebagai hakim pemutus perkara. Surat al-Nisa’ ayat 65 menegaskan hal ini: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. Tatkala, Nabi SAW telah wafat, pemutus perkara menjadi kewenangan para sahabat senior serta sahabat-sahabat Nabi SAW yang diangkat menjadi hakim, semacam Mu’adz bin Jabal di Mesir, ‘Abdullah bin Mas’ud di Kufah, ‘Abdullah bin ‘Abbas di Mekkah, dan sebagainya. Selain sebagai hakim, para sahabat ini juga mengajarkan Ilmu Fikih kepada para muridnya yang dikenal dengan sebutan Tabi’in (para pengikut sahabat Nabi SAW). Para murid sahabat ini juga menggantikan posisi gurunya dan tersebar di berbagai wilayah kekuasaan Islam. Mereka mempunyai banyak murid yang dikenal dengan nama Tabi’ut Tabi’in (pengikut dari para pengikut sahabat Nabi SAW). Dalam generasi ini, Ilmu Fikih dikembangkan sebagai menulis beberapa kitab Fikih. Dukungan pemerintah atas perkembangan Ilmu Fikih juga tidak kecil. Para ahli Fikih mendapat posisi yang terhormat di masyarakat Islam, karena mereka menjadi konsultan hukum sekaligus hakim. Dengan pedoman Ilmu Fikih, suatu masyarakat diharapkan tumbuh menjadi masyarakat hukum (legal society) yang dasar strukturnya adalah masyarakat yang berakhlak (Sayyid Sabiq, 1968: I: 13).

Saat ini, Ilmu Fikih telah berkembang pada fase perundang-undangan (taqnin). Fase ini melibatkan unsur politik hukum agar diterima sebagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena masyarakat negara bersifat pluralis, maka Ilmu Fikih mengalami rekonstruksi: dari tekstual menjadi kontekstual. Fikih tekstualis ditandai dengan mengikuti pendapat tertulis para ulama di beberapa literatur Fikih klasik. Penerapan fikih model ini menemui hambatan, antara lain perbedaan masa dan daerah antara pendapat ulama dahulu dengan kondisi masyarakat saat ini. Apa yang dirumuskan dan diberlakukan di kawasan Arab belum tentu sesuai dengan keadaan masyarakat di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, Fikih Kontekstual diajukan untuk menghilangkan hambatan ini. Fikih ini menggali pesan moral yang universal dari suatu dalil, lalu dirumuskan hukum normatif. Berdasarkan Fikih Kontekstual, hampir semua produk perundangan-undangan di Indonesia dapat dikategorikan sebagai hukum Islam. Rumusan bakunya adalah selama peraturan perundang-undangan itu bisa menjaga eksistensi agama, menjaga nyawa makhluk, menjadi keturunan, menjaga akal manusia, dan menjaga harta, maka ia termasuk hukum Islam.

Ilmu Akhlaq

Secara bahasa, kata “akhlaq” berarti tabiat, budi pekerti, kebiasaan, keprawiraan, kesatriaan, kejantanan, agama, dan kemarahan (al-Munawwir, 1997: 364). Dalam al-Qur’an, kata “akhlaq” dikemukakan bentuk pluralnya: “khuluq”. Di surat al-Syu’ara’ ayat 7, “khuluq” diartikan adat istiadat, “(agama kami) ini tidak lain hanyalah adat istiadat orang terdahulu”. Kata “khuluq” dalam surat al-Qalam ayat 4 berarti budi pekerti: “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Dari berbagai makna ini, dapat dinyatakan bahwa akhlak merupakan suatu watak atau tabiat seseorang yang dapat meletupkan emosi dan membangkitkan kemarahan untuk menjaga keprawiraan, dan kesatriaannya. Watak ini juga bisa menjadi semangat menjalankan perbuatan baik. Karena menjadi dorongan manusiawi, watak dan tabiat tersebut muncul berulang-ulang dan akhirnya menjadi kebiasaan. Apabila kebiasaan ini dilakukan secara kolektif, maka ia akan membentuk adat istiadat. Ketika adat tersebut disakralkan, maka ia dapat meningkat menjadi suatu agama. Dengan pemahaman terbalik, pembentukan akhlak menjadi sebuah adat dan agama harus terlebih dahulu melalui pembiasaan, pelatihan, dan pembinaan individu, kemudian dilanjutkan pada sasaran kelompok dan masyarakat. Merubah suatu akhlak yang telah menjadi adat dan agama adalah hal yang paling sulit. Tidak jarang para agen perubahan menerima perlakuan kasar dan kekerasan seperti yang pernah dialami oleh para Nabi.

Dari sudut istilah, akhlak memiliki ragam definisi. Definisi yang singkat mengenai akhlak dikemukakan oleh Ibnu Maskawaih (dalam Musa, 1963: 81), yaitu “Keadaan jiwa yang selalu mendorong manusia untuk berbuat tanpa berpikir”. Jadi, akhlak adalah dorongan jiwa secara spontanitas. Ia tidak tampak, namun memiliki dampak. Kekuatan dorongan jiwa muncul dari pembiasaan. Seseorang akan enggan membiasakan sesuatu bila tidak memiliki keyakinan yang kuat mengenai hal tersebut. Pelaksanaan ibadah shalat dapat menjadi contoh. Tidak semua umat Islam memiliki kesamaan dalam melaksanakan shalat: ada yang enggan, ada yang jarang melakukannya, dan ada pula yang rajin. Mereka yang rajin menjalankannya juga bisa diklasifikasikan: ada yang melaksanakannya dengan cepat dan ada pula yang tenang. Perbedaan ini terkait dengan pembiasaan shalat serta pengetahuan tentang shalat. Bagi orang yang terbiasa shalat dengan tenang, tentu pengetahuannya tentang shalat bisa lebih mendalam dibanding orang lain. Ketika seseorang telah mengetahui hikmah yang besar dalam shalat, ancaman bagi yang meninggalkannya, serta ketenangan sebagai salah satu rukunnya, maka ia berusaha menjalankan shalat dengan sebaik-baiknya. Inilah paduan antara ilmu dan amal. Oleh karena itu, akhlak merupakan perantara ilmu dan amal; pikiran dan perbuatan; kognitif dan motorik.

Ada dua macam akhlak, yaitu akhlak yang buruk dan akhlak yang baik. Pengetahuan yang salah atau tidak memiliki pengetahuan sama sekali bisa mengantar seseorang untuk memiliki akhlak yang buruk. Sebaliknya, pengetahuan yang benar akan membawanya menuju akhlak yang baik. Akhlak yang buruk berdampak pada perbuatan yang jahat dan akhlak yang baik akan berbuah perbuatan yang bermanfaat. Untuk menilai baik-buruknya akhlak serta upaya pembiasaannya diperlukan Ilmu Akhlak. Sejatinya, setiap manusia yang dewasa dan berakal sehat bisa membedakan akhlak yang baik dan buruk. Akan tetapi, adanya nafsu sebagai kelengkapan manusia yang lain untuk mempertahankan eksistensi dirinya menjadikan akal senantiasa bertarung dengan nafsu. Orang yang bertindak kejahatan pasti mengerti bahwa apa yang dilakukannya adalah jahat. Ada faktor-faktor tertentu yang mendorong dirinya untuk melakukan itu, seperti keserakahan, egoisme, kesombongan, dan sebagainya. Faktor-faktor ini muncul sebagai akibat tidak adanya ilmu. Selain itu, fungsi utama agama adalah menuntun manusia agar lebih mengendalikan nafsunya dan menggali potensi akalnya. Agama yang berintikan akhlak mengembangkan faktor dorongan tersebut. Dorongan yang paling kuat adalah keimanan. Tentu saja iman juga bersifat fluktuatif: terkadang bertambah kuat, terkadang semakin lemah. Pengetahuan tentang ajaran agama yang mendalam akan memperkokoh keimanan. “Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka ia akan diberi pemahaman mengenai agamanya,“ sabda Nabi SAW (Ibnu Majah, 2004: I: 85: nomor 220). Kekuatan iman ini selalu mendorong jiwa untuk berbuat sesuai dengan ketetapan agama. Al-Qur’an dalam banyak ayat telah mendorong manusia agar senantiasa menggunakan potensi akal pikirannya untuk memperkokoh imannya. Karena tidak tampak, ilmu, iman, dan akhlak menjadi misteri. Keunggulan manusia terletak pada kedalaman ilmu, kokohnya iman, kebaikan akhlak, hingga menghasilkan perbuatan baik yang bermutu. Nabi Saw menyatakan bahwa “Sesungguhnya Allah tidak memperhatikan postur tubuh dan harta kalian, melainkan memperhatikan perbuatan dan hati (otak) kalian” (Muslim, 1988: II: 516: nomor 2559; Ibnu Majah, 2004: II: 549: nomor 4143).

Akhlak juga terbagi antara hubungan manusia dan makhluk serta hubungan manusia dan Tuhannya. Akhlak kepada Tuhan mempengaruhi akhlak kepada makhluk, terutama sesama manusia. Ketika seseorang itu takut kepada Tuhannya, maka dapat dipastikan bahwa ia akan senantiasa berhati-hati dalam bergaul dengan sesama manusia. Ia takut murka Allah manakala berbuat aniaya terhadap makhluk-Nya. Untuk itu, Ilmu Akhlak dalam Islam lebih menitikberatkan aspek hubungan antara manusia dan Tuhannya. Perbaikan dalam hal ibadah menjadi menu yang utama. Pelajaran demikian ini melahirkan disiplin ilmu Tasawwuf. Orang yang mempraktekkan tasawwuf (sufi) terlihat sebagai ahli ibadah. Para sufi tidak cukup dengan praktek ibadah lahir, tetapi juga menjalankan ibadah batin. Jika mereka melaksanakan shalat, mereka tidak hanya memenuhi syarat dan rukunnya, melainkan juga berusaha ihsan, yakni merasakan kehadiran Allah saat shalat. Dalam Tasawwuf, dikenal beberapa tahapan ibadah yang harus dilampaui oleh para sufi. Ketika semua tahapan telah dicapai secara sempurna, para sufi baru membangun hubungan sesama makhluk. Saat demikian ini, para sufi mudah terhindar dari hal-hal yang tercela. Jangankan perbuatan yang haram, berpikir yang tidak baik pun dijauhinya. Karenanya, orang yang telah mencapai tingkatan ini dinamakan orang yang menjadi kekasih Allah atau wali.

Penjelasan di atas bisa menjadi jawaban atas berbagai moral yang berkembang di masyarakat. Tidak jarang ditemukan kasus orang yang memahami ajaran agama dengan baik, namun sikap dan perbuatannya dipandan rendah oleh masyarakatnya. Dalam hal ini, terdapat dua kemungkinan. Pertama, boleh jadi ia berbuat sesuai dengan ilmu yang dipahaminya, sementara masyarakatnya masih belum memahami ilmunya. Ia dianggap asing bagi masyarakatnya. Kedua, ia mengetahui kebaikan, tetapi enggan melaksanakannya. Ia lebih mengikuti nafsunya. Orang seperti ini paling berbahaya: ia sesat dan bisa menyesatkan orang lain. Fitnah di masyarakat, dekadensi moral, hingga mosi tidak percaya kepada pemuka agama lebih disebabkan oleh liarnya nafsu pemuka agama yang dilegitimasi oleh ilmunya. Untuk membedakan kedua kemungkinan tersebut, dapat digunakan batasan halal dan haram. Jika seseorang melakukan hal yang haram, maka ia bisa disalahkan, meski ia memberikan sejuta argumen. Korupsi diharamkan oleh agama dan negara dalam kondisi apapun. Pemuka agama yang terbukti melakukan kejahatan ini dapat disalahkan, meski ia mengajukan macam dalih. Jika ada kyai yang dituduh menghamili santrinya, maka tuduhan itu harus dibuktikan. Tuduhan yang tidak berdasar kepada pemuka agama bisa menjauhkan umat dari agamanya. Masyarakat sering mengecam pemuka agama hanya karena persoalan yang masih diperdebatkan. Poligami masih diperdebatkan hingga kini, tetapi masyarakat selalu menyalahkan pemuka agama yang melakukannya. Ada prinsip moral yang bisa dijadikan pegangan untuk hal ini: “Orang yang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan keharamannya tidak boleh dikecam. Namun, kecaman bisa diarahkan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang disepakati keharamannya (la yunkarul mukhtalaf fih wainnama yunkarul muttafaq ‘alaih)”.

Penutup

Dalam ajaran Islam, terdapat ruangan publik dan ruangan privat. Islam menentukan ruangan publik dengan moral universalnya. Tehnis pelaksanaannya diserahkan kepada umat manusia untuk mengaturnya. Dalam ruangan ini, kesalahan dapat dilekatkan selama didukung oleh bukti yang kuat. Berbeda dengan ruangan privat yang hanya diketahui oleh Allah saja. Orang lain tidak berhak menilainya. Keduanya berhubungan secara erat: ruangan privat menentukan kualitas ruangan publik. Ruangan privat yang terletak di otak berpengaruh pada ruangan publik yang diamati dari gerakan badan manusia. Ada perbuatan yang dinilai baik oleh manusia, tetapi dipandang sebaliknya oleh Allah SWT. Dengan demikian, dimensi eksoteris harus selaras dengan dimensi esoterisnya.

Bibliografi

Dahlan, Abd. Azis (et.al.). Ensiklopedi Hukum Islam. Vol. I. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.

Djazuli, A. Ilmu Fiqih. Jakarta: Kencana, 2006.

Ibnu Majah. Sunan. Beirut: Dar al-Fikr, 2004.

Khallaf, ‘Abd al-Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyyah Syabab al-Azhar, 1990.

Munawwir, Ahmad Warson al-. al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progessif, 1997.

Musa, Muhammad Yusuf. Falsafah al-Akhlaq fi al-Islam wa Shilatuha bi al-Falsafah al-Gharbiyyah. Kairo: Muassasah Khanjiy, 1963.

Muslim bin al-Hajaj al-Qusyairi al-Naisaburi. Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Kuwait: Dar al-Bayan, 1968.

Zuhayli, Wahbah al-. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Damaskus: Dar al-Fikr, 1989.

1 komentar:

  1. Sedikit Kritikan Kepada Penulis .
    pada hadits ar-ba'in tentang Syubhat yang Penulis Tuliskan Diatas .
    Coba anda Baca lagi haditsnya Supaya tidak ada Kekeliruan lagi .
    jika Penulis Mencoba Sengaja Merubah Kata HATI menjadi OTAK pada Hadits diatas , Cepat-Cepatlah Bertaubat .!

    allahuma Ihdihi qaumun laa ya'lamun

    BalasHapus