Kamis, Mei 28, 2009

STRATEGI DAKWAH EKOLOGIS


Abstrak:

Pesan dakwah yang terkait dengan pelestarian lingkungan jarang ditampilkan. Selama ini lingkungan hidup dianggap kecil dan pasif yang bisa dirubah oleh manusia yang aktif dan dinamis. Akibatnya, manusia hanya memandang dirinya, tanpa melihat alam sekitarnya yang sesungguhnya jauh lebih besar dan lebih luas. Dakwah Ekologis berupaya mengarahkan pandangan manusia agar menyadari posisinya bersama kehidupan makhluk yang lain. Menurut Dakwah Ekologis, ciptaan Allah SWT adalah “wajah” Allah Yang Maha Suci. Mengenal ciptaan Allah SWT dengan benar akan berujung pada pengenalan Allah SWT secara yakin. Untuk tujuan ini, Dakwah Ekologis perlu menggunakan metode kemitraan, agar muncul kesadaran kolektif dalam pelestarian lingkungan. Kesadaran ini akan terwujud melalui kesamaan peranan dari ragam potensi setiap individu. Selain itu, kemitraan juga membuahkan peleburan antara pendakwah dan mitra dakwah, sehingga masing-masing bekerja sama dengan empati. Dengan kebersamaan, terjadi dialog yang terus-menerus hingga menemukan kehadiran alam semesta dan kedekatan dengan Allah Maha Pencipta.

Kata-kata Kunci: Dakwah, Lingkungan, dan Manusia.

A. Pendahuluan

Masyarakat internasional menghadapi tiga krisis lingkungan: krisis minyak, krisis perubahan iklim, dan krisis pangan. Minyak termasuk sumberdaya alam yang tidak bisa diperbarui. Cadangan minyak dunia akan cepat habis bila konsumsi minyak semakin meningkat. Ketegangan politik di kawasan Timur Tengah –tempat sebagian besar negara-negara penghasil minyak- telah membuat masyarakat dunia ikut tegang. Mereka dibayang-bayangi oleh kenaikan BBM yang efek dominonya dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.

Ketegangan masalah minyak belum selesai, masyarakat dunia dihadapkan pada perubahan iklim yang sangat drastis. Perubahan iklim ini juga tidak terlepas dari industrialisasi yang merajalela tanpa kontrol. Industri yang menyebarkan polusi menambah percepatan perubahan iklim. Tidak sedikit dari industri tersebut yang merusak lingkungan hidup dan kanekaragaman hayati: sejak eksplorasi bahan mentah hingga pembuangan limbah.

Dampak dari kebijakan industrialisasi adalah semakin sempitnya lahan pertanian. Banyak kawasan pedesaan yang asri, subur, dan hijau berubah menjadi kawasan industri yang bising, sesak, dan tercemar. Perubahan lingkungan ini juga merubah tingkah laku dan gaya hidup masyarakat. Semula, masyarakat pedesaan sarat dengan nilai-nilai luhur, harmonis, solid secara mekanis hingga disebut oleh para sosiolog sebagai identitas paguyuban. Setelah menjadi masyarakat industri, paguyuban tersebut menjadi patembayan dengan karakter, antara lain: solid secara organis, kompetitif, serta menerapkan nilai-nilai modernitas yang rasional. Lumbung padi telah digantikan koperasi simpan pinjam dengan sistem bunga. Masyarakat tidak lagi menyimpan beras, melainkan menabung atau meminjam uang. Masyarakat mulai bingung ketika beras mulai langka, sementara arus peredaran uang deras mengalir. Akhirnya, terjadi inflasi bahan makanan.

Keadaan demikian harus menjadi perhatian para pendakwah. Selain memberikan wawasan global mengenai dampak lingkungan, pendakwah juga perlu menanamkan kesadaran kepada masyarakat mengenai cara pengelolaan lingkungan sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan oleh masyarakatnya. Untuk masa mendatang, dakwah yang menggerakkan pelestarian lingkungan ini masih tetap relevan. Dalam kaitan ini, dakwah tidak saja menghubungkan manusia dengan Tuhannya atau manusia dengan sesama manusia, melainkan pula manusia dengan lingkungan kehidupannya. Untuk itu, tulisan ini terfokus pada strategi menghubungkan manusia dengan lingkungan kehidupannya, baik sebagai pesan dakwah maupun metode dakwah.

B. Pesan Dakwah Ekologis: dari Antrophosentris ke Ekosentris

‘Imran bin Hushain bercerita: “Pada suatu perjalanan Rasulullah SAW, ada seorang perempuan dari golongan Anshor yang mengendarai seekor onta. Lalu, onta tersebut melenguh hingga sang perempuan pun melaknatnya. Laknat perempuan ini terdengar oleh Rasulullah SAW. Lalu, Rasulullah SAW bersabda: “Ambillah apa saja yang berada pada perempuan tersebut. Tinggalkan dia. Dia telah terlaknat”. ‘Imran, sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadits ini, pernah mengatakan, “Saat ini aku seakan-akan melihat perempuan tersebut berjalan dalam kerumunan manusia, namun tak seorang pun yang menghiraukannya”. Hadits riwayat Imam Muslim[1] ini mengutarakan perhatian Nabi SAW kepada makhluk lain selain manusia. Allah SWT menciptakan semua makhluk untuk kehidupan manusia. Namun, manusia justru memandang dirinya dan mengabaikan lingkungan kehidupannya. Selama ini hubungan antar sesama manusia selalu diperbincangkan. Tema dakwah pun berkutat pada kepentingan manusia atau disebut antrophosentris, semacam demokratisasi, kemiskinan, hubungan antar pemeluk agama, dan sebagainya. Di luar tema ini yang dinamakan ekosentris jarang diungkapkan. Padahal, kehidupan manusia tidak bisa harmonis selama alam lingkungannya telah mengalami kerusakan.

Seluruh ragam makhluk Allah SWT ini diciptakan sesuai hukum keteraturan dan hukum keserasian. Allah SWT adalah robbul ‘alamin yang berarti Tuhan Maha Pemilik, Maha Pengatur, dan Maha Pendidik segala alam. Karenanya, meskipun benda-benda angkasa tidak diikat dan tidak diberi jalan, semuanya berjalan serasi tanpa ada tabrakan. Semua benda ini berjalan sesuai dengan ukurannya hingga manusia bisa mengetahui jumlah hari dalam setahun, jumlah bulan, bahkan jumlah waktu dalam sehari. Setiap makhluk telah ditentukan masa permulaan wujudnya, masa kekuatannya, masa kerusakannya, dan masa kehancurannya. Sebuah mobil akan melewati masa pembuatannya, masa pemakaiannya, masa kerusakannya, lalu masa kehancurannya. Pohon, rumah, manusia, bumi, matahari, dan sebagainya pasti melewati hukum keteraturan Tuhan tersebut (sunnatullah).

Karena alam berjalan serasi, seimbang, dan teratur, maka sedikit kerusakan akan mengganggu keserasian, keseimbangan, dan keteraturan tersebut. Kehidupan makhluk Allah SWT saling terkait dan saling membutuhkan satu sama lain. Bila terjadi gangguan terhadap salah satunya, makhluk yang lain pasti terganggu.[2] Oleh karena itu, kerusakan lingkungan tidak boleh dibiarkan dan diabaikan, melainkan harus diperhatikan dan diantisipasi secara lebih dini. Pencegahan perlu dilakukan. Dalam hal ini, perlu sistem hukum yang melindungi lingkungan dari kerusakan oleh kejahatan manusia. Sistem hukum tersebut memuat sanksi-sanksi yang diharapkan dapat meredam pelanggaran kerusakan lingkungan. Tentu saja penegakkan hukum yang adil menjadi faktor utama dalam mencegah kerusakan lingkungan. Manakala keadilan telah dapat ditegakkan, maka keberkahan dan manfaat lingkungan semakin tersebar.[3]

Dakwah Ekologis mengajak manusia agar memandang positif terhadap semua ciptaan Allah yang lain. Sekecil apapun ciptaan Allah SWT pasti memiliki nilai guna. Bagi Allah SWT, tidak ada ciptaan Allah SWT yang sia-sia. Hanya orang-orang kafir yang memandang remeh ciptaan Allah SWT, seperti dinyatakan dalam surat Shad ayat 27. Sebaliknya, orang-orang yang beriman justru menilai bahwa semua ciptaan Allah SWT memiliki nilai manfaat, sebagaimana ditegaskan oleh surat Ali ‘Imran ayat 190-191. Pandangan positif terhadap ciptaan Allah SWT ini mendorong manusia untuk memanfaatkan sesuatu yang dianggap tidak berguna. Di alam raya ini, ada sesuatu yang kegunaannya telah diketahui oleh manusia dan ada yang belum diketahui. Allah SWT selalu membimbing umat manusia untuk mengetahui kegunaan ciptan-Nya yang selama ini belum diketahui. Bimbingan Allah SWT ini melalui penemuan teknologi oleh manusia yang secara sungguh-sungguh memperdalam ciptaan Allah SWT, tidak terbatas muslim atau non-muslim. Apabila Allah SWT telah menegaskan adanya manfaat dari ciptaan-Nya, tentu ada cara pemanfaatannya. Karena Allah SWT menghendaki manusia yang memanfaatkannya demi kehidupan, maka Allah SWT juga memerintahkan manusia untuk menggali cara tersebut melalui akalnya. Siapapun yang memenuhi perintah tersebut pasti akan menemukan manfaatnya. Demikian ini juga merupakan hukum Allah SWT (sunnatullah) yang berlaku bagi manusia. Hukum ini tidak terkait dengan akidah keimanan manusia. Tidak sedikit manusia yang tidak beriman dianugerahi banyak nikmat oleh Allah SWT di muka bumi ini, karena mereka berusaha menggali nilai pemanfaatan ciptaan Allah SWT. Sebaliknya, banyak umat Islam yang hidup dalam kemiskinan, kebodohan, dan kemunduran akibat keengganan mereka dalam berusaha mencari manfaat dari ciptaan Allah SWT.[4]

Alam sering dianggap manusia sebagai makhluk mati. Karenanya, ia selalu diremehkan. Padahal, ia bisa menjadi penolong dan bisa pula sebagai penghancur kehidupan manusia. Peran alam ini tergantung dari peranan manusia. Jika manusia berbuat baik kepada alam, manusia pun akan menerima kebaikan darinya. Sebaliknya, bila manusia berbuat jahat kepada alam, maka ia pasti mengalami penderitaan akibat kerusakan alam. Alam bertindak sesuai kehendak manusia. Dalam penelitian Masaru Emoto, doktor di bidang pengobatan alternatif lulusan Open International University dan Yokohama Municipal University, setiap benda memiliki hado, yaitu energi yang lembut yang ada pada semua hal. Semua yang ada di alam semesta ini bergetar pada frekuensi yang unik. Jika manusia memancarkan hado kebahagiaan, alam semesta akan merespon dengan kebahagiaan pula. Ada tiga kata kunci untuk memahami hado: frekuensi, resonansi, dan kemiripan. Penulis buku The Hidden Messages in Water, The True Power Of Water, dan The Secret Life of Water ini menyimpulkan, bahwa hado dari suatu jenis suara tertentu memiliki efek. Air yang diberi ucapan-ucapan suci dapat berfungsi sebagai obat yang bisa membunuh kuman dan bakteri. Sebaliknya, air yang diberi ucapan-ucapan kotor juga bisa mengandung kuman dan bakteri yang menimbulkan aneka penyakit. Lebih jauh lagi, alam bergolak di tengah manusia yang saling berperang. Begitu pula, alam berirama syahdu saat manusia sekitarnya hidup dalam kedamaian.[5]

Dari penelitian Emoto di atas, langkah awal yang mendasar dari Dakwah Ekologis adalah menumbuhkan dan memperkuat keyakinan positif tentang alam kepada mitra dakwah. Cara yang paling efektif adalah dengan pendekatan agama. Dalam hal ini, agama mengajarkan hubungan antara Tuhan dan alam. Keyakinan kepada Tuhan berarti juga keyakinan pada alam ciptaan-Nya. Jika Tuhan dimaknai secara positif, maka alam pun juga bermakna positif. Dekat dengan Tuhan berarti dekat dengan alam. Untuk melihat dan bepikir tentang Tuhan –padahal penglihatan dan pikiran tidak bisa menjangkau Tuhan-, alam dapat dijadikan obyeknya. Bukankah berpikir tentang alam akan menemukan eksistensi Tuhan? Rosihan Anwar[6] mengibaratkan Tuhan dan alam laksana air dan es. Tuhan adalah air dan alam adalah es. Nama es sebenarnya tidak ada, karena pada dasarnya es adalah air. Kata es hanya ada ketika air menjadi dingin dan menggumpal. Selama air tidak menjadi dingin dan menggumpal, maka air tidak akan pernah menjadi es dan hanya menjadi air. Artinya, secara hakiki es adalah air dan kata es itu hanya dipinjamkan kepadanya oleh air selama ia dalam kondisi dingin dan menggumpal.

Dengan ajaran agama, alam menjadi sakral. Sakral mengandung makna kesucian. Alam itu suci. Larangan untuk membunuh dan melakukan kerusakan di muka bumi adalah penegasan atas kesucian alam. Alam ini suci, karena ia diciptakan oleh Tuhan melalui proses yang suci pula. Penilaian sakral terhadap alam sesuai dengan kearifan lokal masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, upacara selametan juga dilakukan saat menjelang pembukaan lahan, masa menabur benih dan panen, bahkan mempertahankan kelestarian lingkungan desa yang dikenal dengan nama ruwat deso. Bila setiap masyarakat memiliki tradisi pemanfaatan dan pelestarian lingkungan tersendiri, maka mitra dakwah lebih baik diarahkan untuk mengembangkan potensi ini. Karena itu, strategi dakwahnya tidak terfokus pada pendakwah, tetapi dapat diajarkan oleh masyarakat yang menjadi mitra dakwah. Pendakwah dan masyarakat dapat bekerja sama dalam proses pembelajaran. Strategi ini dikenal dengan nama belajar bersama masyarakat.

C. Kemitraan Sebagai Metode Dakwah Ekologis

Dampak kerusakan lingkungan tidak hanya tertimpa pada satu orang, melainkan dirasakan oleh masyarakat yang luas serta lintas generasi. Hutan gundul bisa mengakibatkan banjir yang menimpa penduduk berbagai kawasan. Ia tidak bisa ditangani dengan membuat jalan pelintasan banjir, tetapi perlu penghijauan kembali (reboisasi). Untuk menikmati manfaat penghijauan ini dibutuhkan waktu yang lama. Karenanya, kerusakan lingkungan hidup tidak bisa dengan cara penganggulangan dampak (kuratif), melainkan harus dengan pencegahan kerusakan (preventif). Ada kaedah Fikih yang dapat dijadikan pijakan, yaitu “Mencegah kerusakan harus didahulukan daripada menarik kebaikan” (dar al-mafasid muqoddam ‘ala jalb al-mashalih). Atas dasar ini, Dakwah Ekologis menekankan pencegahan kerusakan yang hanya dilakukan secara kolektif.

Surat al-A’raf ayat 56 menegaskan larangan membuat kerusakan di bumi. Larangan ini menunjukkan haram. Indikasi kerusakan tersebut dapat diamati dari penurunan kualitas: dari baik ke buruk. Apapun kegiatan manusia yang berdampak pada penurunan kualitas tidak diperkenankan. Jadi, segala sesuatu dimulai dari hal yang baik. Dalam penjelasan ini, dikemukakan bahwa setiap sesuatu pasti mengalami hukum masa menuju kehancuran. Keterkaitannya dengan penurunan kualitas adalah upaya mempercepat masa kehancuran. Setelah berjalan secara tepat, lalu ada upaya penghancuran, maka saat itu timbul hal yang membahayakan bagi kehidupan manusia.[7] Sebagai contoh, televisi yang baru dibuat akan cepat rusak jika dibanting. Ia semakin lama menuju kerusakan jika dirawat dengan baik. Manusia yang berusaha menjaga kesehatannya bisa memungkinkan berumur panjang, namun ia akan cepat mati bila berusaha bunuh diri. Penurunan kualitas tersebut tidak sebatas kondisi fisik, tetapi kondisi non-fisik tidak kalah penting. Penegakkan hukum, peningkatan pendidikan, perbaikan moral, mencerdaskan bangsa adalah beberapa bentuk perbaikan non fisik. Jika keadaan non-fisik masyarakat baik, maka dapat dipastikan keadaan fisiknya pun juga baik. Harta benda yang rusak akan diperbaiki oleh orang-orang yang keadaan non fisiknya baik, bahkan dikelola menjadi lebih baik. Dengan mengutamakan keadaan non fisik tersebut, kerusakan di bumi dimaknai dengan kemaksiatan.[8]

Jika perusakan dikecam dan diancam dosa, maka perbaikan dipuja sekaligus dijanjikan pahala. Al-Qur’an telah memberikan banyak contoh masyarakat yang mendapatkan siksa dunia setelah berbuat kerusakan di bumi. Bekas reruntuhan kota-kota besar menjadi saksi sejarah bahwa dahulu penduduk kota itu hidup makmur. Karena mereka berbuat kerusakan, maka kemakmuran itu diganti dengan penderitaan hingga kota itu menjadi kenangan. Sebaliknya, sejarah juga mengungkapkan masyarakat lemah yang mampu membangun peradaban gemilang, karena mereka mempertahankan upaya perbaikan di bumi. Oleh karena itu, Dakwah Ekologis tidak bisa dilakukan secara mandiri, tetapi perlu kegiatan kelompok, bahkan massal. Dalam hal ini, kesadaran bersama menjadi syarat utama.

Untuk mencapai kesadaran, strategi kemitraan penting diajukan. Kemitraan dapat terbentuk apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: ada dua pihak atau lebih, memiliki kesamaan visi dalam mencapai tujuan, ada kesepakatan, dan saling membutuhkan.[9] Kesalahpahaman akan merusak kemitraan. Karena itu, dakwah ekologis membutuhkan kesepahaman dan kebersamaan masing-masing pihak. Semua kepentingan individu harus diabaikan agar terfokus pada kepentingan bersama. Pelestarian lingkungan tidak boleh dilihat dari sisi ekonomis, politis, maupun etnis, melainkan sebagai kepentingan kemanusiaan. Mitra dakwah harus disadarkan keberadaannya sebagai bagian dari makhluk Allah SWT yang hidup di antara makhluk Allah SWT yang lain. Dengan demikian, mitra dakwah akan memandang dirinya kecil, lemah, dan tak berdaya yang pada gilirannya membutuh makhluk Allah SWT yang lain.

Karena manusia memiliki perbedaan potensi, maka kemitraan berupaya mendayakan ragam potensi ini untuk satu tujuan, yaitu pelestarian alam. Penting dicatat pula bahwa pelestarian alam bukan tujuan akhir dari dakwah ekologis, melainkan sebagai tujuan perantara. Tujuan akhirnya adalah pengenalan Tuhan Pencipta Alam secara benar dan yakin. Dengan tujuan perantara dan tujuan akhir ini, potensi-potensi tersebut juga diarahkan secara bertahap. Ada peleburan masing-masing potensi sehingga tidak ada pihak yang merasa paling penting. Bentuk kemitraan demikian ini disebut kemitraan konjugasi (conjugation partnership).[10]

Kemitraan pelestarian lingkungan dalam Islam terwujud pada kerja sama pengelolaan tanah untuk pertanian maupun perkebunan, seperti persewaan tanah (al-kira’), kemitraan lahan pertanian (al-muzara’ah), kemitraan lahan perkebunan (al-mukhabarah), dan sebagainya. Selain itu, Islam juga menekankan peranan negara dalam pelestarian alam. Dengan kesertaan negara, pelestarian lingkungan akan mendapatkan kekuatan hukum, sehingga ada sanksi tegas bagi pihak yang membuat kerusakan.[11] Namun demikian, peranan negara yang terlalu besar sulit mewujudkan kemitraan yang sempurna, alih-alih menjadi kemitraan semu. Dalam kemitraan, seyogyanya negara hanya menjadi fasilitator bagi masyarakat. Negara hanya menetapkan regulasi yang mendorong pelestarian lingkungan. Untuk itu, kesejajaran peranan tetap dipertahankan antara pemilik tanah dan penggarap, antara pendakwah dan mitra dakwah, atau antara agen dan masyarakat. Pendakwah tidak bisa memaksakan konsep pelestarian lingkungan yang tidak didukung oleh kemampuan dan kemauan masyarakatnya. Apabila terjadi perbedaan pendapat, dialog merupakan jalan yang terbaik. Dialog tidak akan berhenti hingga tercapai kesadaran bersama.

Dialog merupakan sarana pembelajaran bagi Dakwah Ekologis. Setidaknya terdapat lima sumber belajar dalam dialog.[12] Pertama, manusia (people), yaitu orang yang menyampaikan pesan secara langsung. Semua anggota masyarakat adalah pendakwah sekaligus mitra dakwah. Semua orang yang terlibat dalam Dakwah Kolektif memiliki hak yang sama dalam dialog. Boleh jadi pendkawah memiliki kedalaman ilmu agama, namun untuk mewujudkan pelestarian alam, ia membutuhkan mitra dakwah yang lebih kompeten darinya.

Kedua, bahan (materiel), yaitu sesuatu yang mengandung pesan dakwah. Dialog pesan dakwah berarti menghubungkan ajaran Islam yang konseptual dengan tataran realitas yang faktual. Norma-norma masyarakat yang tidak tertulis bisa menjadi pesan penting bagi Dakwah Ekologis. Dalam norma tersebut, ada hak dan kewajiban, kebolehan dan larangan, sanksi, dan sebagainya terkait dengan lingkungan hidup. Di beberapa desa, ada suatu tempat yang tidak diperkenankan bagi siapapun untuk memasukinya. Selain itu, juga ada lokasi yang dianjurkan untuk memanfaatkannya. Kepercayaan-kepercayaan demikian ini perlu dipelajari dalam rangka menemukan sistem pengelolaan lingkungan oleh masyarakat.

Ketiga, lingkungan (setting), yaitu ruang dan tempat ketika sumber-sumber dapat berinteraksi dengan mitra dakwah. Ruangan, kebun, lapangan, rumah, adalah sebagian contoh bentuk sumber belajar kelompok ini. Di suatu ruangan, masyarakat tidak hanya memandang dan memperhatikan penjelasan pendakwah, tetapi sekali-kali masyarakat melihat benda-benda yang berada di ruangan tersebut. Ketika kejenuhan mencapai titik kulminasinya, masyarakat melakukan imajinasi dengan sarana apa dilihatnya di ruang sekitarnya. Dengan sumber belajar ini, Dakwah Ekologis kurang tepat dilakukan di suatu ruang, tetapi sebaiknya berada di luar ruangan, seperti di lapangan, taman, pinggir sungai, persawahan, hutan, dan sebagainya. Lebih jauh lagi, lokasi dakwah yang penuh dengan keindahan alam ditambah hawanya yang sejuk dapat meningkatkan kemampuan berpikir sekitar 30%.[13]

Keempat, alat dan peralatan (tools and equipment), yakni sumber belajar untuk produksi dan memainkan sumber-sumber lain. Peralatan tersebut tidak hanya diperkenalkan nama dan bentuknya, tetapi juga manfaatnya dalam pengelolaan lingkungan. Penting juga dicatat, bahwa masyarakat juga diberikan informasi mengenai peralatan yang membahayakan lingkungan dan peralatan yang bisa menjaga kelestarian lingkungan. Dalam tradisi masyarakat yang gemar memancing ikan, mitra diajarkan secara langsung cara memancing yang benar, sehingga tidak merusak lingkungannya.

Kelima, kegiatan (activities), yaitu sumber belajar yang merupakan kombinasi antara suatu tehnik dengan sumber lain untuk memudahkan belajar. Kegiatan ini harus dirumuskan sendiri oleh masyarakat, termasuk segala hal yang mendukung kegiatan tersebut. Setiap kegiatan diupayakan menggerakan semua potensi elemen masyarakat. Kegiatan juga ditawarkan secara beragam, sehingga mitra dakwah memiliki banyak pilihan kegiatan.

Dengan kelima sumber belajar di atas, Dakwah Ekologis dapat menerapkan hampir semua metode pembelajaran.[14] Metode demonstrasi bisa dipraktekkan oleh mitra dakwah, seperti demonstrasi penggilingan padi yang sehat. Metode karyawisata bisa dilakukan dengan mengajak mitra dakwah melihat pemanfaatan alam secara langsung, seperti pengolahan limbah. Metode eksperimen dipraktekkan dengan melibatkan mitra dakwah untuk bekerja di lapangan. Metode eksperimen ini bisa disertai dengan metode penyelidikan (inquiry) dan metode penemuan (discovery). Mitra dakwah diminta melakukan praktek lapangan hingga menemukan sesuatu yang bermanfaat. Proses ini harus dicatat dan ditulis oleh mitra dakwah hingga menjadi sebuah karya yang sederhana. Selain itu, mitra dakwah dapat pula diminta untuk memecahkan masalah. Tentu saja permasalahan yang diajukan merupakan konsep yang telah dikenal dan dipahami oleh mereka.

Kelebihan lain dari metode kemitraan adalah adanya peningkatan kecerdasan sosial dari diri mitra dakwah. Penderitaan masyarakat dapat dirasakan secara langsung oleh mitra dakwah hingga muncul rasa empati yang mendalam. Pengalaman ini merupakan pendidikan yang paling berharga, karena ia dapat menjadi sumber epifani. Epifani adalah peristiwa istimewa dalam kehidupan seseorang yang menjadi titik balik dalam kehidupannya. Pengaruhnya berbeda-beda, bisa negatif atau positif, bergantung pada apakah epifaninya besar atau kecil.

D. Penutup

Dakwah Ekologis banyak diutarakan dalam ayat-ayat al-Qur’an yang menyinggung alam semesta. Dalam ayat-ayat ini, manusia dituntut untuk menggunakan akalnya agar menemukan hakekat alam semesta dengan baik. Pada setiap penghujung ayat yang membicarakan alam semesta, umumnya terdapat kalimat yang menunjukkan sifat-sifat Allah Yang Maha Kuasa. Ini menunjukkan bahwa Dakwah Ekologis lebih menekankan aspek Tauhid daripada aspek Fikih atau akhlak, meski keduanya sulit dipisahkan. Dengan keyakinan atas kekuasaan Allah SWT, manusia akan menyadari tugasnya sebagai hamba Allah. Ia pun akan menjalankan ajaran agamanya secara sadar, bukan karena beban kewajiban. Kesadaran ini harus dikembangkan secara kolektif, mengingat manfaat Dakwah Ekologis tersebar ke semua ekosistem, bahkan untuk generasi yang akan datang.



[1] Muslim, Shahih Muslim, Vol. II (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 528-529: nomor 2595.

[2] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998), 295.

[3] Abu al-Fada` Ibnu Katsir al-Hafizh al-Damasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Vol. III (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 454.

[4] Ibnu Katsir, Tafsir., Vol. IV, 35.

[5] Masaru Emoto, The True Power of Water: Hikmah Air dalam Olah Jiwa, ter. Azam Translator (Bandung: MQ Publishing, 2007), 25-27.

[6] Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 111-128.

[7] Ibnu Katsir, Tafsir., Vol. II, 236.

[8] Ibid., Vol. III, 454.

[9] Ambar Teguh Sulistiyani, Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan (Yogyakarta: Gava Media, 2004), 129-130.

[10] Ibid., 130-131.

[11] Bambang Subandi, “Model Pengelolaan Hutan dalam Ekonomi Islam”, Jurnal Paramedia (Vol. V, No. 2 April 2004), 180-197.

[12] E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 178.

[13] Bobbi DePorter, Mark Reardon, dan Sarah Singer Nourie, Quantum Teaching: Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Ter. Ary Nilandari (Bandung: Kaifa, 2000), 132.

[14] E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional ., 107-117.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar