Jumat, Mei 29, 2009

DEMI AKAL, KORBANKAN NAFSU

Sungguh, semua perintah dan anjuran Allah SWT pasti membawa kegunaan. Semua larangan Allah SWT pasti berdampak pada kerusakan. Ketentuan Allah SWT ini berlaku untuk semua makhluk-Nya, termasuk manusia. Semua makhluk tunduk kepada Allah SWT. Matahari tunduk dengan berjalan dan bersinar. Bumi tunduk dengan berputar. Angin tunduk dengan berhembus. Jadi, semua makhluk mengikuti perintah Allah SWT dengan caranya masing-masing. Sabbaha lillahi ma fis samawati wa ma fil ardl.

Manusia juga diperintahkan tunduk kepada perintah Allah SWT. Manusia diberi bentuk yang paling sempurna dibanding makhluk lainnya (al-Thin: 4, laqad kholaqnal insan fi ahsani taqwim). Kita adalah makhluk Tuhan yang paling tampan dan paling cantik. Lebih dari itu, Allah SWT melengkapi manusia dengan akal dan nafsu. Akal menunjukkan hal yang baik dan yang buruk, sedangkan nafsu mendorong manusia untuk mementingkan dirinya sendiri. Manusia bisa mengungguli makhluk lain bila memanfaatkan akalnya. Sebaliknya, manusia lebih rendah derajatnya bila ia menyia-nyiakan akalnya dan mengikuti nafsunya. Akal dan nafsu ini bersemayam dalam otak (qalbu).

Seperti tubuh, akal manusia perlu makanan. Kesehatan akal tergantung dari makanannya. Satu-satunya makanan yang bergizi bagi akal adalah ilmu dan hikmah.[1] Semakin rajin menggali ilmu, semakin sehat akalnya. Ternyata, dalam otak kita ada banyak sel glial di area 39. Menurut Dr. Marian C. Diamond, pembedah dan peneliti otak Albert Einstein, sel ini akan semakin banyak dan semakin kokoh bila kita memperkaya ilmu.[2] Islam melarang minuman keras dan narkoba, karena ia bisa merusak sel-sel ini. Karenanya, manusia dengan akal yang sehat bisa memandang luasnya dunia. Ia memiliki banyak pilihan hidup. Ia pun bersemangat menatap masa depannya.

Akal juga bisa terancam penyakit, bahkan mati tak berdaya. Penyakit utama akal adalah nafsu yang tidak terkendali, lalu melahirkan virus-virus yang merusak ilmu, antara lain: pikiran jahat, pikiran kotor, pikiran serakah, dan pikiran dosa. Jika virus ini dibiarkan, perlahan-lahan ia akan membunuh akal.[3] Matinya akal ditandai dengan malas belajar ilmu, enggan berbuat baik, bahkan menentang segala kebaikan. Inilah manusia yang paling hina dibanding binatang apapun.

Benda-benda di sekitar kita dicerna oleh otak (disebut persepsi) melalui penangkapan panca indera (disebut sensori). Otak akan mengelola dan menyimpan informasi (disebut memori) sesuai dengan penangkapan panca indera. Penangkapan ini pun juga dikendalikan otak. Semua gerakan tubuh dalam pengendalian otak. Karena itu, orang yang terbiasa dengan ilmu, akalnya menjadi sehat dan kuat untuk mengendalikan otak serta mendorong untuk berbuat baik. Ia sulit bergaul dengan orang-orang yang salah. Sebaliknya, orang yang terbiasa menangkap informasi sesat, buruk, dan kotor membuat nafsu semakin kuat hingga mengalahkan akalnya, lalu cenderung berbuat tidak baik. Menurut al-Qur’an, ia telah sesat. Jika ia tidak menyadarinya dan enggan bertaubat, maka kesesatannya semakin jauh (al-Nisa’: 60 dan 116).

Dalam ajaran Islam, niat berbuat baik mendapatkan pahala seperti orang yang berbuat baik. Akan tetapi, niat jahat belum dihitung dosa hingga kejahatan itu dilaksanakan.[4] Apabila otak kita penuh dengan ilmu, pasti kita memiliki banyak cita-cita luhur yang hingga kini belum terlaksana. Ternyata, pikiran yang positif sering mendapatkan pahala. Dengan demikian, dalam otak kita ada pertarungan antara akal dan nafsu. Otak kita mudah berubah: terkadang dikuasai akal, terkadang mengikuti nafsu. Kita harus berusaha untuk memenangkan akal dan mengalahkan nafsu. Kepentingan kita boleh menjadi korban demi kepentingan masyarakat. Demi bangsa dan negara, kita korbankan ego kita. Nabi SAW mengajarkan sebuah doa: “Allahumma, mushorrifal qulub shorrif qulubana ‘ala tho’atika[5] (Ya Allah, Wahai Tuhan Yang Mengubah Otak. Ubahlah otak kami untuk selalu patuh kepada-Mu).



[1] Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Vol. I (Semarang: Toha Putra, t.t.), hal. 8.

[2] Jalaluddin Rakhmat, Belajar Cerdas (Bandung: MLC, 2005), hal. 239-240.

[3] Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 18-19.

[4] Muslim, Shahih Muslim, Vol. I (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hal. 75, no. 203.

[5] Ibid. Vol. II, hal. 555, no. 2653.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar