Jumat, Juni 05, 2009

PERMOHONAN KEPADA ALLAH SWT

Nabi SAW pernah mendengar doa dari tiga orang sahabat. Sahabat pertama berdoa: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang sempurna”. Nabi SAW menyela, “Kenikmatan sempurna yang bagaimana?”. “Doa yang kumohonkan dengan berharap semua kebaikan”, jawab sahabat tersebut. Nabi SAW bersabda, “Yang termasuk kenikmatan yang sempurna adalah masuk sorga dan selamat dari neraka”. Nabi SAW juga mendengar doa sahabat yang kedua: “Wahai Dzat Yang Maha Agung dan Maha Mulia”. Nabi SAW menyela, “Doamu telah dikabulkan, mintalah!”. Doa sahabat ketiga yang telah didengarkan Nabi SAW: “Ya Allah, aku mohon kesabaran kepada-Mu”. Nabu SAW juga menyela, “Justru kamu memohon bencana kepada Allah SWT. Maka, mohonlah keselamatan saja kepada Allah SWT”.

(Hadits Riwayat Imam Abu Dawud, 2005: V: 312: nomor 3538)

  1. Memohon Ampunan Kepada Allah SWT dengan Taubat

Semula bersih, lalu kotor. Awalnya suci, kemudian najis. Asalnya baik, akhirnya rusak. Jika kita menghadapi hal ini, tentu kita marah. Kita ingin kotorannya dihilangkan, najisnya dilenyapkan, dan kerusakannya diperbaiki seperti semula. Demikian halnya dengan ruh kita: ditiupkan Allah SWT saat dalam kandungan sebagai ruh yang suci (fithrah). Begitu lahir di dunia dan hidup dengan dosa, ruh kita menjadi kotor, najis, dan rusak. Untuk membersihkan dan memperbaikinya, kita harus bertaubat. Dengan taubat, ruh kita kembali suci. Saat diambil oleh Allah SWT, ruh suci ini diletakkan berada di sisi-Nya. Ruh ini dipanggil, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku” (surat al-Fajr ayat 27-30). Bila ruh tersebut masih kotor oleh noda dosa, ia ditolak Allah SWT dan menerima siksaan yang abadi di neraka.

Secara singkat, taubat adalah meninggalkan perbuatan dosa dengan penuh penyesalan dan bertekad untuk tidak mengulanginya kembali (Imam al-Ghazali, 1993: 198). Taubat merupakan tahapan awal dalam beribadah kepada Allah SWT, agar kita dalam keadaan suci dari dosa sebelum menapaki ibadah berikutnya. Ruh atau jiwa kita harus disucikan dahulu (takhliyyah=pengosongan) sebelum dihiasi dengan amal-amal yang saleh (tahliyyah=penghiasan). Selama kita masih ada noda dosanya, kita sulit menjalankan ibadah dengan baik. Dosa juga membuat kita menjadi terhina di hadapan Allah SWT (Imam al-Ghazali, t.t.: 9-10). Namun, kita tidak bisa terlepas dari dosa, karena nafsu kita senantiasa digoda syetan, musuh utama manusia. Karenanya, hukum taubat adalah wajib. Acapkali kita melakukan dosa, acapkali pula kita harus bertaubat. Jika kita berdosa, lalu tidak segera bertaubat, maka kita dianggap maksiat (Syekh al-Malibari, t.t.: 114). Kapanpun dan dimanapun kita bisa bertaubat. Hanya saja, pintu taubat akan tertutup saat nyawa meregang di tenggorokan atau ketika matahari terbit dari sisi barat sebagai tanda Hari Kiamat. Hakekat taubat ini telah ditegaskan dalam surat al-Nisa’ ayat 17-18.

17. Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, Maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

18. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang". dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.

Taubat berhubungan dengan dosa. Ada dosa yang dilakukan dengan sengaja dan ada pula yang tidak disengaja. Ada dosa yang berhubungan dengan Allah SWT dan ada dosa yang terkait dengan sesama manusia. Kita berdosa bila kita meninggalkan shalat wajib, puasa wajib, dan perintah-perintah Allah SWT lainnya. Kita juga berdosa kepada Allah SWT jika kita melakukakan perzinahan, perjudian, atau larangan-larangan Allah SWT lainnya. Allah SWT Maha Penerima Taubat. Bila kita membuat kesusahan orang lain, kita menanggung dua dosa, yaitu dosa menerjang larangan Allah SWT dan dosa kepada sesama manusia. Di samping itu, ada pula dosa besar dan ada dosa kecil. Sebesar apapun dosa-dosa kita, selama bukan dosa menyekutukan Allah SWT, kita akan mendapat pengampunan dari Allah SWT manakala kita bertaubat. Taubat kita akan diterima bila memenuhi beberapa syarat sebagai berikut (Imam al-Ghazali, t.t.: 10).

  1. Meninggalkan perbuatan dosa secara sukarela, tanpa ada paksaan.

  2. Dosa yang dimintakan ampunan pernah dilakukan. Karenanya, taubat tidak berlaku pada dosa yang belum pernah dilaksanakannya.

  3. Upaya meninggalkan dosa lain yang sepadan tingkatannya dengan dosa yang pernah dilakukannya. Jika ia pernah melakukan salah satu dosa besar, maka dosa besar lainnya juga harus ditinggalkan.

  4. Taubat dilakukan semata-mata untuk Allah SWT, tanpa tujuan yang lain.

Selain keempat syarat di atas, masih ada empat syarat lagi: menghentikan perbuatan dosa seketika itu; menyesali dosa-dosa yang pernah dilakukan di masa lalu; bertekad kuat untuk tidak mengulanginya di masa mendatang; dan mengembalikan dan memenuhi hak kemanusiaan yang pernah diambilnya (Imam Ibnu Katsir, 1997: IV: 409). Taubat yang telah memenuhi semua persyaratan di atas dinamakan dengan taubat nashuha, sebagaimana diperintahkan Allah SWT dalam surat al-Tahrim ayat 8. Secara ritual, taubat dilakukan dengan mandi, shalat sunnah taubat, memperbanyak bacaan istighfar, dan meminta maaf kepada orang-orang yang pernah kita sakiti. Setelah kita menyucikan diri dari noda dosa dengan taubat nashuha, tahapan berikutnya adalah menghiasai diri dengan melaksanakan perintah dan anjuran Allah SWT serta meninggalkan larangan Allah SWT. Agar giat melaksanakan perintah Allah SWT, kita perlu harapan besar pada pahala Allah SWT yang lazim disebut raja’. Demikian pula, kita harus memupuk perasaan takut pada siksa Allah SWT agar mampu meninggalkan larangan-Nya. Perasaan takut ini disebut dengan khauf.

  1. Berharap Pahala Allah SWT Melalui Raja’

Raja’ adalah kepuasan hati untuk menunggu terjadinya sesuatu yang diidamkannya (Imam al-Ghazali, t.t.: IV: 139). Kita bisa menerjemahkan raja’ dengan harapan. Namun, harapan ini disertai dengan usaha untuk meraihnya. Jika ada kebaikan yang bisa diraih oleh orang yang menghendakinya, namun ia tak kunjung berusaha untuk meraihnya, maka orang tersebut disebut pandir atau bodoh. Pengecualian bagi harapan yang sulit atau mustahil diwujudkan. Harapan ini sia-sia, meskipun ada usaha untuk mencapainya. Ia bukan raja’, melainkan tamanni (berangan-angan), yakni harapan yang sulit terwujud. Suatu harapan disertai dengan usaha untuk mewujudkannya, sedangkan dalam angan-angan tidak ada upaya apapun (Syekh Ibnu ’Athaillah, t.t.: I: 63). Kita hanya berangan-angan menjadi orang shaleh bila tidak ada upaya apapun untuk memenuhinya.

Harapan terkait dengan kepercayaan. Kita berharap kepada seseorang karena kita percaya kepadanya. Sementara itu, kepercayaan muncul dari prasangka baik. Kita sulit mempercayai seseorang bila kita masih berpikir buruk mengenai dirinya. Demikian halnya dengan harapan kita pada rahmat dan ridla Allah SWT. Selama kita masih berburuk sangka kepada Allah SWT, kita sulit berharap apapun dari-Nya. Kita menjadi enggan berdoa, malas beribadah, bahkan kita cenderung menerjang larangan-Nya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mendalami sifat-sifat Allah SWT, janji-janji Allah SWT, serta merenungkan karunia Allah SWT yang dianugerahkan kepada kita. Harapan kepada Allah SWT (raja’) bisa diperkuat dengan dua hal, yaitu mengambil pelajaran dan hikmah dari nikmat-nikmat yang dimilikinya serta menelaah ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW yang terkait dengan rahmat Allah SWT (Imam al-Ghazali, t.t.: IV: 143).

Melakukan sesuatu karena terdorong harapan lebih baik daripada terdorong ancaman. Harapan melahirkan sebuah kesadaran, sedangkan ancaman membuahkan keterpaksaan. Dalam al-Qur’an, Allah SWT banyak menebar janji dibanding ancaman. Janji Allah SWT pasti terpenuhi. Allah SWT menjanjikan kebahagiaan dunia dan akherat bagi siapapun yang menaati perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Janji-janji Allah SWT lain yang luar biasa besarnya itu menjadi harapan kita. Semakin banyak janji Allah SWT yang kita pahami, semakin besar harapan kita kepada Allah SWT, semakin giat kita beribadah kepada-Nya. Agar kita tidak terlalu terlena dengan janji hingga membuat kita ceroboh, kita perlu mengimbanginya dengan memperhatikan ancaman Allah SWT. Dengan ancaman-Nya, kita memiliki perasaan takut kepada Allah SWT (khauf). Harapan kepada Allah SWT tidak hanya berfungsi mengembalikan putus asa seseorang, tetapi juga menjadi keseimbangan dari takut yang berlebihan. Orang yang putus asa bisa meninggalkan ibadah, sedangkan orang yang terlalu takut bisa merusak dirinya dengan beribadah yang melampaui batas (Imam al-Ghazali, t.t.: IV: 142).

  1. Memohon Perlindungan Allah SWT dari Murka-Nya dengan Khauf

Bagaimana kita menghadapi suatu ancaman yang tidak disenangi, sementara kita tidak mampu menghindari dan menghadapinya? Tentu, kita merasa ketakutan. Jika sesuatu itu disebut, kita gemetar, menangis, bahkan menjerit. Takut adalah kepedihan dan kesusahan hati yang disebabkan oleh terjadinya sesuatu yang tidak disukai di kemudian hari (Imam al-Ghazali, 1988: 150). Perasaan takut ini berangkat dari pemahaman tentang ancaman tersebut. Kita tidak akan takut neraka jika tidak ada pemahaman sama sekali tentang seluk beluknya. Begitu pula, orang-orang kafir mengejek siksa Allah SWT yang pernah disampaikan oleh para nabi. Meski diberi pemahaman yang jelas, mereka tidak mau mengerti dan tidak takut sama sekali. Akibatnya, mereka membuat kerusakan di muka bumi. Ini berbeda dengan orang-orang mukmin yang memahami kemurkaan Allah SWT secara mendalam, sehingga sebutan kata Allah SWT saja bisa menggetarkan hatinya (surat al-Anfal ayat 2). “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (surat Fathir ayat 28). Dampaknya, orang-orang mukmin berhati-hati dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Mereka tidak mudah berbuat dosa. Al-Qur’an menyebut orang-orang mukmin yang takut ini sebagai golongan yang beruntung, karena siksa neraka yang ditakutkannya pasti terjadi. Mereka bisa terhindari dari siksa neraka.

Ada dua cara yang dapat menumbuhkan rasa takut, yaitu mengenal Allah SWT lebih jauh dan melihat keadaan orang-orang yang takut, seperti para nabi dan para ulama (Imam al-Ghazali, 1988: 150-151). Semakin mengenal Allah SWT, kita akan semakin mengetahui kekuasaan dan kebesaran-Nya. Dengan mengetahui kebesaran Allah SWT, kita akan lebih mengetahui diri kita sebagai hamba Allah SWT yang lemah. Akhirnya, kita semakin takut dengan murka Allah SWT. Jika hal ini kurang berdampak pada ketakutan, maka kita bisa menelaah teladan dari para nabi dan para ulama. Melalui telaah ini, kita akan memperoleh jawabn, mengapa mereka takut kepada Allah SWT. Selain itu, kita juga mendapatkan cara-cara menumbuhkan rasa takut kepada Allah SWT dari pengalaman keagamaan mereka.

Untuk menutup pembahasan ini, kita sebaiknya mengutarakan permohonan ampunan, pertolongan, dan perlindungan kepada Allah SWT. Para ulama telah mengajarkan permohonan tersebut dalam pujian sebagai berikut.

مـَوْلَايَ صَــلِّ وَسـَلِّمْ دَائـِمًا أَبَـدًا * عَلىَ حَبِيْبِكَ خَيْرَ اْلخَلْقِ كُلَّ حِيْنٍ

هُوَاْلحَبِيْبُ الَّذِيْ تُرْجَى شَفَاعَتُهُ * لِكُلِّ هَوْلٍ مِنَ اْلأَهْوَالِ مُفْتَحِمِ

يَا رَبِّ بِاْلمُصْطَفَى بَلِّغْ مَقَاصِدَنَا * وَاغْفِرْ لَنَا مَا مَضَى يَا وَاسِعَ اْلكَرَمِ



Wahai Tuhanku,

Anugerahkan shalawat dan salam selamanya

Kepada kekasih-Mu, makhluk terbaik sepanjang masa

Dialah Kekasih yang diharapkan pertolongannya

Untuk setiap kesusahaan yang tak tertahankan

Wahai Tuhanku,

Melalui Nabi yang terpilih

Sampaikan tujuan kami

Ampunilah dosa-dosa kami yang telah lalu

Wahai Dzat Yang Maha Luas kasih sayangnya

Rujukan

Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-. Minhaj al-‘Abidin. Surabaya: al-Hidayah, t.t.

-------------------. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Vol. IV. Semarang: Toha Putra, t.t.

-------------------. Kitab al-Arba’in fi Ushul al-Din. Beirut: Dar al-Jail, 1988.

-------------------. Mukhtashar Ihya’ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Fikr, 1993.

Ibnu ‘Athaillah, Ahmad bin Muhammad bin ‘Abd al-Karim. Matn al-Hikam. Vol. I. T.k.p.: Dar Ihya’ al-Kutub al-’Arabiyyah, t.t.

Ibnu Katsir, Abu al-Fada’. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Vol. IV. Beirut: Darul Fikr, 1997.

Malibari, Zain al-Din bin ‘Abd al-‘Aziz ibn Zain al-Din al-. Irsyad al-‘Ibad. t.k.p.: Syirkah al-Nur Asia, t.t.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar