Jumat, Juni 05, 2009

MEMBANGUN KEMBALI KEWIBAWAAN GURU

Siswa menghormati gurunya dan guru menghargai siswanya. Ungkapan ini merupakan hubungan timbal-balik ideal antara guru dan siswa. Masing-masing memiliki hak dan kewajiban serta tuntutan dan harapan secara seimbang. Antara penghormatan dan penghargaan, ada dua pilihan strategi: penghormatan siswa mendorong penghargaan guru ataukah penghargaan guru menumbuhkan penghormatan siswa. Strategi pertama dimulai dari aksi siswa, yakni guru akan memberikan penghargaan bila siswa terlebih dahulu menghormatinya. Dalam hal ini, proses pendidikan lebih menitikberatkan pada kesadaran siswa mengenai budi pekerti yang luhur. Tradisi pendidikan yang konvensional membuat norma sosial yang menekankan kewajiban siswa. Ada jarak antara siswa dan guru. Tempat duduk guru diatur lebih tinggi dari tempat duduk siswa. Ketika guru menjelaskan pelajaran, siswa dilarang membantah atau bertanya, kecuali diizinkan oleh gurunya. Guru adalah subyek, sedangkan siswa merupakan obyeknya. Guru lebih memahami dan mengerti daripada siswanya. Guru memiliki otoritas dalam kelas, termasuk penentuan metode pembelajaran maupun pemberian nilai. Guru berwenang meluluskan siswa atau tidak. Karenanya, strategi demikian ini merupakan bagian dari pendekatan yang terfokus pada guru (teacher centered approach).

Strategi yang kedua lebih menitikberatkan pada aspek keteladanan guru. Siswa akan menghormati gurunya jika ada penghargaan dari guru kepada siswanya. Kedudukan guru dan siswa sejajar: guru adalah mitra dari siswanya. Untuk bisa melihat keteladanan guru, jarak antara guru dan siswa harus dipersempit, jika perlu guru melebur di arena siswa. Siswa tidak hanya melihat ‘topeng’ guru, melainkan juga merasakan kebatinan guru. Suasana kelas bukan monopoli guru semata, tetapi juga milik siswa. Guru mengajak siswanya ikut merumuskan metode pembelajaran yang efektif dan mudah dipahami. Dalam penentuan kelulusan, siswa telah memiliki kesadaran dan pengertian, sehingga siswa bisa memahami mengapa ia tidak lulus. Bagi siswa, nilai bukan kebanggaan, justru kemampuanlah sebagai tolok ukurnya. Pemahaman ini hanya bisa didapatkan jika guru tekun membimbing siswanya, hingga menyadari bahwa ujian hanya merupakan tes kemampuannya. Karena difokuskan pada kemampuan siswa, maka strategi ini termasuk pendekatan yang terpusat pada siswa (student centered approach).

Kedua strategi di atas bisa diterapkan berdasarkan tingkat kejiwaan siswa. Untuk siswa yang duduk di sekolah dasar, strategi yang pertama layak digunakan. Mereka masih anak-anak yang perlu pengarahan dan bimbingan etika yang lebih dalam. Mereka harus diajarkan dan dibiasakan budi pekerti. Pelajaran yang menyangkut penanaman nilai-nilai moral yang luhur harus diperbesar. Selain kecerdasan otaknya belum maksimal, lukisan hati anak-anak akan menjadi modal menuju kedewasaannya. Oleh karena itu, kurang tepat bila pelajaran eksakta dipacu secara maksimal di sekolah dasar. Seharusnya, kompetensi utama lulusan sekolah dasar adalah mampu memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai moral yang luhur.

Penanaman nilai-nilai moral di sekolah dasar masih dilanjutkan di jenjang sekolah berikutnya. Hanya saja, pola pengajarannya lebih menekankan aspek keteladanan. Di sekolah lanjutan hingga jenjang perguruan tinggi, keteladanan guru sangat berpengaruh dalam pembentukan watak siswa. Keteladanan ini dapat diformulasikan dalam pengajaran ilmu eksakta yang memeras kecerdasan otak. Dengan kecerdasan yang mulai matang, siswa lanjutan mampu menilai kebenaran ucapan dan kebenaran tindakan. Pengalaman bersama guru lebih terkesan dibanding dengan pengetahuan gurunya. Oleh karena itu, guru harus menunjukkan penghargaan kepada siswanya. Penghargaan ini diberikan dengan hati yang tulus melalui kebersamaan dan kemitraan dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Dalam hal ini, strategi kedua relevan untuk diterapkan.

Penerapan kedua strategi di atas membangun kewibawaan guru yang berbeda. Guru sekolah dasar –dengan menerapkan strategi pertama- harus berwibawa secara kharismatis, sedangkan guru sekolah lanjutan hingga perguruan tinggi –dengan penerapan strategi kedua- harus berwibawa secara partisipatoris. Program Jawa Pos tentang pemilihan guru favorit adalah salah satu wujud motivasi peningkatan kewibawaan guru secara partisipatoris. Di lingkungan sekolah dasar, peraturan yang diberlakukan untuk siswa seharusnya lebih diperhatikan, sementara lingkungan sekolah lanjutan dan perguruan tinggi lebih menekankan pada kode etik guru. Pola pemikiran ini bertolak belakang dengan model pendidikan yang diterapkan saat ini, yakni guru hanya menjalankan transformasi informasi, kurang menampilkan edukasi. Siswa sering diperlihatkan kepalsuan, kemunafikan, dan kepamrihan guru. Siswa merindukan ketulusan, kesederhanaan, bahkan doa dari gurunya yang selama ini nyaris musnah. Akibatnya, kewibawaan guru tidak dipandang oleh siswa sebagai seorang pendidik. Masih adakah pahlawan tanpa tanda jasa untuk saat ini?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar