Sabtu, Juni 13, 2009

SISTEM NILAI DALAM LEMBAGA DAKWAH


Abstrak:

Lembaga dakwah merupakan kesatuan sistem organisasi yang diikat oleh nilai-nilai Islam. Nilai-nilai ini dibentuk dari penafsiran atas ajaran Islam. Karena penafsiran bisa beragam, maka nilai yang diyakini juga berbeda, sehingga lembaga dakwah yang dibentuk juga tidak sama. Berdasarkan teori sistem, lembaga dakwah akan terus berlangsung selama ia membuka diri dengan lingkungannya. Dalam hal ini, nilai menjadi filter bagi pengaruh yang berasal dari luar lembaga. Sedangkan dalam lembaga dakwah, nilai berfungsi sebagai penentu, penggerak, dan pengontrol kerja sistem.

Kata-kata Kunci: Nilai Islam, Sistem, dan Lembaga Dakwah.


    Pendahuluan

Pada tahun 1990-an, masyarakat Indonesia dibanjiri oleh ragam bisnis Multi Level Marketing (MLM), antara lain: Tupperware (produk alat-alat rumah tangga), Avon (produk kosmetik), Ori Flame (produk kosmetik), Amway, Forever Young (produk kesehatan), dan sebagainya. Bisnis berantai ini menjanjikan keuntungan materi yang besar, sehingga tidak sedikit orang yang tertarik menjadi anggotanya. Ketertarikan ini tentu didasarkan pada nilai hedonisme yang semarak saat itu. Orang ingin cepat kaya tanpa susah bekerja. Nilai ini dianggap oleh sebagian aktivis dakwah sebagai dekadensi. Karenanya, mereka membangun sistem baru yang menguntungkan secara moral, sosial, dan finansial. Akhirnya, beberapa tahun kemudian lahir beberapa bisnis berantai yang bernuansa Islam, seperti Ahad-net Internasional dan Kamyabi. Ahad-net, misalnya, menawarkan keuntungan yang disingkat menjadi RAHMAT (Rabat – Asuransi – Hadiah – Manfaat – Andil – Tabungan) dan KAWAN (Kegotongroyongan - Asistensi usaha - Waktu luang - Akhlak terpuji - Nilai persaudaraan).1 Kedua model bisnis ini sama-sama merekrut pengikut. Perbedaan nilai yang dibangun oleh masing-masing lembaga bisnis ini tentu menarik orang lain yang memiliki nilai yang sama.

Ruh-ruh manusia itu laksana tentara yang dibariskan. Manakala di antara mereka saling bersahabat, tentu menumbuhkan sifat kasih; manakala saling bermusuhan, pasti selalu berselisih”. Demikian ini sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalur Abu Hurairah RA.2 Hadis ini menjelaskan tentang pola hubungan manusia di atas. Keterikatan manusia satu sama lain tergantung dari kesamaan beberapa hal, antara lain: agama, wawasan, pendidikan, selera, pekerjaan, domisili, dan sebagainya. Dari semua variabel ini, ikatan yang paling kuat adalah nilai yang diyakini oleh setiap orang. Dengan nilai ini, masing-masing manusia menjalin hubungan kerja sama dalam mencapai tujuan tertentu. Karenanya, setiap lembaga atau organisasi diikat oleh kesamaan nilai yang diyakini oleh para anggotanya. Tulisan ini menitikberatkan pada pernan nilai pada lembaga dakwah. Tentu saja nilai yang dimaksud dalam hal ini adalah nilai-nilai yang lahir dari ajaran Islam.

    Ragam Nilai Keislaman, Ragam Lembaga Dakwah

Islam sulit didefinisikan. Ia hanya berupa nilai yang tidak tampak, tetapi diyakini oleh pemeluknya. Islam juga memberi pengaruh yang besar terhadap perubahan sosial, bahkan peradaban dunia. Karena itu, kajian keislaman diminati banyak orang. Kajian ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang keilmuan. Sudut pandang ini mempengaruhi definisi tentang Islam. Teologi Islam yang berkutat pada logika berbeda dengan Fikih Islam yang menekankan aspek pembuktian yang nyata atau kebenaran materiil. Tidak hanya itu, pandangan umat Islam berbeda satu sama lain tentang Islam. Pengertian Islam menurut kaum sufi tidak sama dengan definisi Islam yang diajukan para pakar hukum Islam. Perbedaan ini memunculkan aliran-aliran, seperti aliran liberal, aliran fundamental, aliran moderat, dan sebagainya. Lebih khusus lagi, sesama pengikut aliran juga memiliki cara pandang yang berbeda, sehingga memunculkan apa yang disebut dengan madzhab. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman keberagamaan masing-masing umat Islam. Saat ini, aliran liberal banyak diikuti oleh sebagian warga NU dan warga Muhammadiyah. Padahal kedua organisasi keagamaan ini menganut madzhab yang berbeda. Sangat sulit –jika tidak dikatakan mustahil- menemukan pemuka agama yang menguasai segala disiplin ilmu. Oleh karena itu, pemikiran secara kolektif menjadi solusi tradisi perbedaan pendapat (ikhtilaf).3 Dalam hal ini, perlu upaya mempertemukan para pemuka dari berbagai lintas madzhab dalam acara tertentu. Dengan demikian, kesulitan mendefinisikan Islam di atas lebih disebabkan oleh munculnya etnosentrisme di kalangan umat Islam.

Kesulitan yang lain adalah kompleksitas Islam. Ajaran Islam tidak hanya berhubungan dengan pemikiran, melainkan juga terkait dengan pengalaman dan pengamalan. Ada ajaran yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya, antara sesama manusia, serta antara manusia dan alam. Dalam kitab suci al-Qur’an dan al-Sunnah, rujukan tertulis bagi ajaran Islam, terdapat penjelasan mengenai keadaan umat terdahulu, keadaan umat sekarang, dan prediksi keadaan umat yang akan datang. Ajaran Islam juga mengajarkan kewajiban dan larangan. Ajaran ini harus dilaksanakan oleh anggota tubuh dan juga batin manusia. Islam mempercayai jiwa dan raga manusia. Hampir semua bidang kehidupan manusia telah diatur oleh ajaran Islam: mulai dari persoalan individu hingga permasalahan masyarakat yang paling luas. Selain itu, Islam juga membahas alam fisika dan alam metafisika, natural dan supranatural, atau alam ghaib (tersembunyi) dan alam syahadah (tampak). Begitu kompleksnya agama Islam, definisi Islam sulit mencakup keseluruhan elemennya. Definisi Islam yang ada selama ini hanya mencakup satu sisi, sedangkan sisi lain tidak termuat.

Di dunia ini, terdapat bermacam-macam aliran dan madzhab dalam Islam. Masing-masing aliran maupun madzhab memiliki dasar, pedoman, dan elemen yang berbeda. Ragam ini banyak dipengaruhi olah para tokoh agama yang memiliki kapasitas berbeda satu sama lain, tetapi dengan otoritas yang sama, yakni sebagai penafsir ajaran Islam. Otoritas ini membuat masyarakat musim mengkultuskan para pemuka agamanya. Dengan kultus individu, para pemeluk agama mencari kebenaran melalui pemimpinnya sebagai belajar agama secara instan, tidak melalui beberapa buku yang menjadi proses belajar agama.4 Dari keragaman ini, Islam menjadi sulit untuk didefinisikan.

Karena sulitnya mendefinisikan Islam, Jalaluddin Rakhmat5 membuat klasifikasi pengertian Islam melalui tipografi agama dalam empat kelompok dari dua sudut pandang. Pertama, sudut pandang pengalaman keagamaan membagi Islam menjadi dua macam, yaitu Islam personal dan Islam sosial. Islam personal terkait dengan iman pribadi individu, sedangkan Islam sosial berhubungan dengan kegiatan kelompok sosial keagamaan. Kedua, sudut pandang masalah kehidupan mengelompokkan Islam menjadi dua bagian, yaitu substansi Islam dan fungsional Islam. Substansi Islam memandang kehidupan dari doktrin dan keimanan, sementara fungsional Islam melihat kehidupan dari peranan agama Islam. Dengan demikian, terdapat empat tipologi Islam.

  1. Islam personal-substansial. Kepercayaan individu yang khusus dan kesadaran personal akan adanya yang sakral, transenden, dan ilahi.

  2. Islam sosial-substansial. Perumusan ajaran Islam yang resmi. Konsensus kelompok tentang kepercayaan dan praktek, semacam Fatwa MUI, Bahtsul Masail NU, dan Majlis Tarjih Muhammadiyah. Sikap di hadapan publik mengenai persoalan ajaran Islam yang diputuskan oleh Departemen Agama RI juga mencerminkan tipe ini.

  3. Islam personal-fungsional. Dalam hal ini, apa saja yang memenuhi tujuan keagamaan individu, seperti: memberikan makna, mengurangi rasa bersalah, menambah rasa bersalah, memberikan bimbingan moral, membantu menghadapi maut, dan sebegainya. Kegiatan-kegiatan dzikir, tarekat, maupun pengajian keislaman merupakan upaya bimbingan antar individu.

  4. Islam sosial-fungsional. Apa saja yang menjalankan fungsi ajaran Islam di masyarakat Muslim. Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah hasil rumusan hukum yang diambil dari beberapa kitab Fikih. Selain itu, Peraturan daerah (Perda) yang mendukung jalannya ajaranIslam oleh umat Islam juga termasuk tipe ini.

Dari tipologi di atas, Islam tidak saja menjadi masalah individu (private religion), tetapi juga bisa berkembang menjadi masalah sosial (public religion). Ada tiga teori yang berkembang mengenai hal ini. Teori pertama adalah sekuler (secular) atau teori agama privat (privat religion), yaitu pemikiran yang mengajukan proposisi bahwa antara agama dan persoalan kemasyarakatan memiliki wilayah yang berbeda. Agama mengurusi masalah ibadah ritual, sedangkan negara menangani persoalan sosial. Agama terkait dengan individu, sementara negara berhubungan dengan publik. Nilai-nilai yang dibangun oleh umat Islam liberal menganut dan mengembangkan teori ini. Teori yang kedua adalah teokratis (non-secular) atau agama publik (public religion) yang beranggapan bahwa antara agama dan persoalan kemasyarakatan merupakan keterpaduan (integralistik). Agama diyakini dapat memberikan solusi atas semua persoalan kemasyarakatan, karena agama memiliki sistem tersendiri mengenai hal ini. Dalam hal ini, agama mengambil bentuk sebagai institusi formal, termasuk negara yang berkedaulatan Tuhan. Para aktivis dakwah yang beraliran fundamentalis selalu menyatakan Islam sebagai solusi atas segala persoalan sebagaimana yang ditegaskan oleh teori ini. Teori yang ketiga merupakan keseimbangan kedua teori di atas yang terkenal dengan nama agama sipil (civil religion). Dalam teori ini, agama diperankan sebagai inspirator atas permasalahan kemasyarakatan. Nilai-nilai agama menjadi dasar dalam mengembangkan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Agama tidak dibentuk secara formalistik, melainkan substantif. Dengan pola ini, agama dapat masuk ke ruang publik dan melakukan perubahan sosial secara kultural. Jose Cassanova, dalam kutipan Bachtiar Effendy, menyebutnya deprivatisasi agama.6 Secara formal, beberapa organisasi Islam menyatakan diri sebagai aliran moderat, meski tidak sedikit anggotanya yang mengikuti aliran liberal maupun fundamental.

Dengan pondasi nilai-nilai keislaman di atas, bangunan lembaga Islam didirikan. Keseluruhan lembaga Islam memiliki gerakan dakwah. Islam digerakkan oleh dakwah, sebagaimana dakwah menyampaikan pesan Islam. Untuk itu, penyebutan lembaga dakwah lebih aktif dan dinamis daripada lembaga Islam. Lembaga dakwah menggambarkan adanya berbagai gerakan menuju satu titik, yaitu tauhid. Sedangkan lembaga Islam mencerminkan perbedaan pemikiran, eksklusif, dan pasif. Dengan keragaman nilai-nilai keislaman, otomatis strategi dakwah yang dijalankan setiap lembaga Islam juga berbeda. Tidak jarang terjadi benturan antar lembaga Islam, akibat perbedaan nilai keislaman yang mendasar.

  1. Lembaga Dakwah Perspektif Teori Sistem

Lembaga dakwah merupakan sarana dari fungsionalisasi ajaran Islam. Organisasi Islam, lembaga bisnis islami, lembaga keuangan syari’ah, yayasan Islam, pondok pesantren, pers dakwah, dan masjid adalah beberapa bentuk lembaga dakwah. Untuk menjalankan lembaga ini, diperlukan nilai-nilai Islam yang digali dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Nilai-nilai yang telah terbentuk dipatuhi oleh suatu masyarakat muslim dari lingkungan lembaga yang bersangkutan. Kepatuhan ini merupakan syarat bagi kelangsungan lembaga dakwah. Untuk menjamin kepatuhan anggota-anggota lembaga (jama’ah) terhadap nilai-nilai yang dibangun, setiap lembaga dakwah (jam’iyyah) memperkuat sistemnya.

Sistem (system) berasal dari bahasa Yunani, Systema, yaitu keseluruhan yang terdiri dari macam-macam bagian. Pada tahun 1960-an, ia telah menjadi sebuah teori dengan nama teori sistem umum (General Systems Theory). Dalam Sosiologi, teori sistem dikembangkan menjadi sistem sosial. Sistem sosial adalah suatu pola interaksi sosial yang terdiri dari komponen-komponen sosial yang teratur dan melembaga.7 Kredo pokok sistem adalah keseluruhan lebih banyak dari sejumlah bagian-bagiannya (the whole is more than the sum of parts). Sistem terdiri dari sejumlah sub-sistem. Setiap sub-sistem ini juga terbagi lagi dalam sub-sub-sistem. Demikian ini bisa berkembang hingga sub-sistem yang terkecil. Dipandang dari fungsinya, Ada empat sub-sistem utama organisasi: sub-sistem tujuan dan nilai organisasi; sub-sistem teknis (keselarasan pengetahuan, tehnik, dan teknologi); sub-sistem psikologi (suasana dan budaya); dan sub-sistem manajerial (penentuan struktur).8 Dalam setiap lembaga dakwah, terdapat keterpaduan bidang yang mendukung pelaksanaan tujuan dakwah. Ada lembaga dakwah yang membagi bidang-bidang dalam beberapa sub-bidang. Pada bidang yang paling terkecil, terbagi beberapa petugas yang memiliki kewenangan masing-masing. Semakin besar lembaganya, semakin panjang pembagian bidangnya, dan semakin banyak pula petugasnya.

Ada dua pola dalam pemecahan sistem lembaga menjadi beberapa sub-sistem. Pertama, pola penyebaran. Pola ini memperluas cakupan bidang dan memperpendek jarak bidang. Lembaga-lembaga dakwah yang berskala kecil menggunakan pola ini, seperti ta’mir masjid, panitia kegiatan keagamaan, dan sebagainya. Selain itu, lembaga yang tidak berorientasi laba atau organisasi sosial lebih efektif menggunakan pola ini. Kelebihannya adalah adanya komunikasi langsung dan efektif antara pimpinan dan bawahan, sehingga jarak sosial semakin tipis. Kelebihan lainnya, pengambilan keputusan organisasi bisa melibatkan semua petugas, sehingga setiap orang merasa dihargai. Selain itu, setiap petugas terfokus pada pekerjaan yang kecil, sehingga kualitas hasil bisa diharapkan. Pola penyebaran sangat cocok untuk lembaga yang berorientasi pada manajemen humanis dengan kepemimpinan yang demokratis.

Kedua, pola jaringan. Dalam lembaga dakwah yang besar, terdapat birokrasi yang panjang. Di organisasi NU, misalnya, birokrasinya dimulai dari tingkat pengurus ranting (desa), pengurus anak cabang (kecamatan), pengurus cabang (kabupaten), pengurus wilayah (propinsi), hingga pengurus besar (negara). Kelebihan pola ini adalah adanya kemandirian dalam pengambilan keputusan, namun keputusan strategis tetap menjadi kewenangan pimpinan puncak. Di samping itu, kaderisasi organisasi bisa melahirkan pengikut yang militan dan pemimpin yang berkualitas. Untuk mencapai tingkat pimpinan puncak, setiap anggota harus berjalan mengikuti karir organisasi dengan baik. Lembaga dengan dengan pola ini mudah dikenal oleh masyarakat. Karenanya, ia memiliki basis yang sangat kuat.

Masing-masing sub-sistem saling berinteraksi satu sama lain. Masing-masing sub-sistem juga memiliki tujuan tersendiri, namun tujuan ini pada hakekatnya mengarah pada sasaran yang sama. Di lembaga dakwah, terumuskan tujuan yang akan dicapai. Tujuan ini harus terukur serta bisa dipahami oleh setiap anggota. Karenanya, apapun kegiatan yang direncanakan oleh sub-sistem di bawahnya tidak boleh keluar dari tujuan besarnya. Masing-masing sub-sistem juga memiliki peran yang berbeda, tetapi peran tersebut difungsikan dalam struktur yang sama. Hubungan antara sub-sistem atau elemen-elemen dalam suatu sistem disebut struktur internal. Ketika struktur internal ini tidak diperhatikan, maka sistemnya menjadi kotak hitam (black boxes). Pada pola jaringan, kaderisasi merupakan kunci kelangsungan lembaga. Jika ada orang lain yang baru masuk, lalu ia ditempatkan pada posisi puncak, maka hal ini akan memotong perjuangan kader yang berangkat dari bawah. Tidak sedikit lembaga dakwah yang besar tidak berfungsi hanya karena persoalan kaderisasi. Untuk itu, penguatan struktur internal lembaga penting diperhatikan. Demikian pula, pola penyebaran mengutamakan aspek kerja sama. Jika ada salah satu bidang yang tumpul, maka hal ini bisa mempengaruhi didang yang lain. Tidak sedikit kepengurusan masjid yang tertumpu pada satu atau dua orang, akibat kurang menghargai usaha pengurus yang lain.

Di luar sistem, ada lingkungan (environment) yang dapat memberikan pengaruh pada suatu sistem. Batasan antara sistem dan lingkungan disebut boundary. Hubungan antara sistem dengan lingkungan di luarnya dinamakan struktur eksternal dan sistemnya sendiri diberi label sistem terbuka (open system). Sebaliknya, sebuah sistem dikatakan sistem tertutup (closed system) jika menolak berhubungan dengan lingkungan luarnya. Sistem tertutup tidak memiliki struktur eksternal. Sistem yang terbuka bersifat dinamis dan tidak mudah mengalami penghancuran atau kekacauan yang disebut entropy. Entropy sering dialami oleh sistem tertutup. Lawan dari entropy adalah negentropy, yaitu kecenderungan sistem untuk mengembangkan diri (elaborate). Ada dua proses pengembangan suatu sistem. Morphostasis adalah proses yang membantu sistem berubah dan mempertahankan diri, sedangkan morphogenesis adalah proses yang membantu sistem berubah dan tumbuh berkembang.9

Terkait dengan keterbukaan suatu sistem, setidaknya ada tiga bentuk lembaga dakwah. Ada lembaga dakwah yang terbuka tanpa ada tabir sama sekali. Lembaga ini bisa bekerja sama dengan lembaga manapun, meski memunculkan kecaman dari umat Islam. Anggotanya juga beragam: multikultural, multietnis, dan multi agama. Yayasan Paramadina Jakarta termasuk lembaga dakwah yang mengutamakan dialog, sehingga ia tidak segan untuk mengundang nara sumber dari kalangan non-muslim. Ada juga lembaga dakwah yang terbuka secara transparan. Ia terbuka untuk kalangan umat Islam manapun, tetapi tidak untuk non-muslim. Pendek kata, ia selektif dalam memilih anggota dan mitra. Perguruan tinggi Islam, pondok pesantren, atau yayasan Islam masih belum bisa menerima anggota, mahasiswa, atau santri dari kalangan non-muslim. Kalau kemitraan dengan lembaga non-muslim, banyak di antara mereka yang membuka diri. Namun demikian, ada pula lembaga dakwah yang selalu tertutup untuk orang lain, kecuali setelah menyatakan diri sebagai anggota. Lembaga ini umumnya memiliki tradisi yang berbeda dengan lembaga dakwah yang lain. Boleh jadi perbedaan ini memicu persoalan di kalangan umat Islam yang lain. Persoalan yang paling krusial adalah masalah akidah dan ibadah. Lembaga tarekat sebenarnya bisa masuk kategori ini, mengingat ia memiliki tradisi ibadah yang unik serta anggota yang terlebih dahulu dibaiat. Dengan ketertutupannya, lembaga dakwah sulit menyesuaikan diri dengan perubahan sosial. Karenanya, lembaga dakwah yang tertutup mudah berakhir.

Struktur eksternal sistem menjadi ciri sistem terbuka. Suatu sistem dinyatakan terbuka bila membuka diri untuk bisa berinteraksi dengan sistem yang lain. Antar sistem ada kemungkinan interaksi, yaitu persaingan dan kemitraan. Setiap sistem terbuka akan mengenal hukum “di atas sistem ada sistem”. Apa yang kita anggap sebagai sistem, ternyata ia adalah sub-sistem dari sistem di atasnya. Oleh karena itu, setiap sistem ditawarkan dua pilihan: sebagai mitra atau pesaing. Pilihan ini umumnya digunakan untuk menghadapi sistem yang sejajar. Persaingan mendorong sistem untuk lebih maju (kreatif dan inovatif), sedangkan kemitraan adalah pilihan untuk menutupi kekurangan.10

Ada beberapa model kemitraan antar sistem (Jeffrey Pfeffer, 2004: 360-364).11 Sistem dengan segala perangkatnya yang dipadukan seluruhnya dengan sistem yang lain disebut merger. Dalam merger ini, sistem lama hilang berubah menjadi sistem baru hasil pemaduan. Jika hanya sebagian perangkat yang digabungkan, maka –meminjam istilah organisasi bisnis- disebut joint venture (al-musyarakah), seperti percampuran antara sebagian organisasi keagamaan (sistem) dengan oragnisasi keagamaan yang lain (sistem) untuk membentuk Majelis Ulama Indonesia atau MUI (sistem baru). Jika hanya perangkat penting sistem diletakkan pada sistem lain, maka disebut kooptasi. Contoh kooptasi adalah Perguruan tinggi Islam (sistem pendidikan) mengirimkan dosen atau mahasiswanya untuk menjadi pembina mental rohani di lembaga pendidikan tentara (sistem pendidikan). Suatu sistem dapat pula meminta bantuan pada sistem di atas dalam bentuk perubahan hukum (regulasi) maupun bantuan kekuasaan (politik). Pilihan-pilihan tersebut terkait dengan umpan balik yang diberikan sistem saat berinteraksi dengan dunia luar. Umpan balik merupakan bentuk respon dari tanggapan dunia luar atas keberadaan dan kerja sistem. Sistem manapun pasti mendapatkan dukungan dan kecaman. Ada yang menganggapnya sebagai kawan, ada pula sebagai lawan. Pengajian dan ceramah agama adalah program yang baik. Namun, tidak semua manusia menyukainya.

    Nilai Menentukan Sistem Ataukah Sistem Merumuskan Nilai

Pertanyaan di atas memunculkan wacana dan perdebatan yang tidak pernah tuntas hingga saat ini. Nilai dapat saja muncul lebih dahulu sebelum membentuk suatu lembaga. Kesepakatan bersama bisa didasarkan pada nilai yang sama, termasuk kesepakatan dalam merumuskan sistem sesuai dengan nilai yang disepakati. Namun demikian, perjalanan suatu lembaga menghasilkan pengalaman-pengalaman dari proses sistem. Dari pengalaman-pengalaman ini, sistem lembaga merumuskan nilai yang dijadikan sebagai budaya organisasi. Oleh karena itu, nilai tetap menjadi pijakan awal. Nilai adalah gagasan-gagasan dan keyakinan yang dianut individu dan kelompok mengenai apa yang benar dan salah.12 Nilai bersifat statis di satu sisi dan dinamis di sisi yang lain. Pada hal-hal yang prinsip dan mendasar, nilai akan tetap statis. Perubahan nilai statis ini berarti perubahan lembaga secara fundamental. Tentu saja hal ini tidak diharapkan. Perubahan suatu lembaga hanya bisa terjadi pada nilai yang dinamis, yakni dalam hal penyesuaian diri dengan zaman dan lingkungan. Manajemen lembaga dakwah bersendikan tauhid sebagai nilai statisnya. Dari nilai tauhid ini, terpancar berbagai nilai, baik nilai yang statis maupun dinamis. Nilai-nilai statis manajemen yang didasarkan pada nilai tauhid adalah menegakkan keadilan, menyebarkan perdamaian, musyawarah, meringankan beban, menolak bahaya, menjaga pemilik hak, dan menunaikan amanah kepada ahlinya.13

Dari beberapa nilai dasar di atas, terumuskan berbagai strategi yang senantiasa mengalami perubahan. Ragam model lembaga dakwah terkait dengan penentuan strateginya, bukan nilai dasarnya. Sebagai contoh, jihad merupakan upaya menolak bahaya dan mewujudkan perbaikan. Pemahaman konsep jihad oleh setiap lembaga berbeda satu sama lain. Perbedaan pemahaman ini berimplikasi pada ragam strategi jihad. Lembaga dakwah yang fundamentalis memahaminya secara tekstual, sehingga gerakannya lebih tegas terhadap kemunkaran. Lain halnya dengan lembaga dakwah yang moderat dan liberal. Kedua aliran lembaga dakwah ini memandang jihad secara kontekstual. Karenanya, perencanaan strategisnya juga mengarah pada kelenturan sikap terhadap kemunkaran atau kejahatan.

Untuk mengefektifkan strateginya, lembaga dakwah merekrut anggota yang memiliki pemahaman nilai yang sama, baik nilai statis maupun nilai dinamis. Dalam suatu lembaga, manusia merupakan faktor yang paling strategis. Untuk mengenali prinsip hidup seseorang, terdapat tiga pertanyaan yang diajukan: “Darimana ia berasal; untuk apa ia hidup; bagaimana ia menjalani hidupnya; kemana setelah ia mati”.14 Pertanyaan-pertanyaan ini bisa dinyatakan dengan tiga kunci, yaitu keikhlasan, kebersamaan, dan pengorbanan.15 Selain itu, pertanyaan-pertanyaan tersebut juga harus diperdalam, sehingga terjadi diskusi hingga bisa mengenali prinsip seseorang. Ada empat indikator penilaian dikotomis yang bisa melengkapi pertanyaan-pertanyaan di atas: penerimaan jarak kekuasaan yang dekat ataukah jauh; Individualisme ataukah kolektivisme; kuantitas ataukah kualitas kehidupan; kepastian ataukah ketidakpastian; orientasi jangka panjang ataukah jengka pendek.16 Jaringan Islam Liberal (JIL) yang kerap mengumandangkan kebebasan berpikir tentu tidak mudah menerima orang yang berprinsip fundamentalis sebagai anggotanya. Demikian pula, para pengurus lembaga dakwah yang beraliran fundamentalis akan mencurigai rekannya yang tersusupi pemikiran liberal.

Fungsi utama nilai bagi kerja sistem adalah sebagai penentu, penggerak, dan pengontrol. Nilai diperhitungkan saat merencanakan kerja sistem. Ketika kerja sistem dirasakan lambat, nilai bisa mempercepat kerjanya. Nilai menjadi motivator. Begitu kerja sistem telah usai, nilai kmbali menjadi pijakan bagi kontrol kerja. Dalam manajemen lembaga dakwah, penerapan fungsi nilai keislaman secara konsisten mengarah pada satu jurusan: mengajak kepada kebenaran, memerintahkan kepada hal baik, dan mencegah dari hal yang buruk. Demikian ini merupakan resep menuju keberhasilan dalam hidup,17 sebagaimana dinayatakan oleh al-Qur’an surat Ali ‘Imran:

104. Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.


  1. Penutup

Lembaga dakwah sulit maju bila nilai keislamannya diabaikan. Gerakannya menjadi lambat. Hal ini bisa disebabkan oleh pemahaman ajaran Islam yang salah, sehingga nilai yang muncul tidak bisa menjadi motivasi. Lembaga dakwah semacam ini lebih mengutamakan tradisi dan menauhkan diri dari modernisasi. Bahaya yang paling besar adalah rentan dengan konflik. Konflik juga muncul dari perbedaan pemahaman tentang ajaran Islam. Ketika otoritas penafsiran ini dikemukakan, tidak sedikit pemuka agama yang merebutnya. Akhirnya, lembaga dakwah menjadi goyah, lalu tumbang. Sistem yang dibangunnya juga hancur berantakan. Untuk itu, nilai-nilai keislaman tidak hanya diupayakan untuk menghidupkan lembaga dakwah, tetapi juga membuat hidup para aktivis dakwah, sehingga kegiatan dakwah pun menjadi hidup.

1 M. Luthfi Hamidi, Jejak-jejak Ekonomi Syari’ah (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003), 337-343.

2 Muslim, Shahih Muslim, Vol. II (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 545, nomor 2637.

3 Moh. Ali Aziz, “Penguatan Kelembagaan Ulama”, Jurnal Ilmu Dakwah (Vol. X No. 2 2004), 22-30.

4 Mun’im A. Sirry, “Ke Arah Rekonstruksi Tradisi Ikhtilaf”, Jurnal Ulumul Qur’an (No. 4 Vol. V, 1994), 58-64.

5 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar (Bandung: Mizan Pustaka, 2005), 42.

6 Bachtiar Effendy, “Masyarakat Agama dan Tantangan Global: Mempertimbangkan Konsep Deprivatisasi Agama”, Jurnal Ulumul Qur’an (No. 3 Vol. VII, 1997), 43-51.

7 Doddy Sumbodo Singgih, “Sistem Sosial”, J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (eds.), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta: Kencana, 2006), 125.

8 Uyung Sulaksana, Managemen Perubahan, 29.

9 Winardi, Kamus Ekonomi (Bandung: Mandar Maju, 1998), 426-427.

10 Ibid., 472-273.

11 Jeffrey Pfeffer, “Fungsi Institusional Manajemen”, A. Usmara (ed.). Handbook of Organizations Kajian dan Teori Organisasi, Ter. V. Nanang Subroto dkk. (Yogyakarta: Amara Books, 2004), 360-370.

12 Uyung Sulaksana, Managemen Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 27.

13 Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manajemen Syariah, ter. Dimyauddin Djuwaini (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2006), 31.

14 M. Karebet Widjajakusuma dan M. Ismail Yusanto, Pengantar Manajemen Syariat (Jakarta: Khoirul Bayan, 2004), 45.

15 Didin Hafiduddin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariat (Jakata: Gema Insani, 2003), 30.

16 Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2003), 247-248.

17 M. Dawam Rahardjo, Etika Ekonomi dan Manajemen (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), 104.

1 komentar: