Jumat, Juni 05, 2009

BERBAIK SANGKA SUMBER KEBAIKAN

Shofiyyah RA. (istri Nabi SAW) bercerita:

Suatu saat Rasulullah SAW sedang melakukan i’tikaf (berdiam diri di masjid). Aku datang hendak mengunjunginya di malam yang gelap gulita. Aku pun bercakap-cakap dengannya, lalu aku pun berdiri hendak kembali pulang. Rasulullah SAW juga ikut berdiri hendak mengantarkan aku pulang. Shofiyyah bertempat tinggal di rumah Usamah bin Zaid. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan dua sahabat Anshar. Begitu kedua sahabat ini melihat Nabi SAW bersama dengan seorang perempuan, mereka mempercepat jalannya. Nabi SAW pun menegur mereka, “Pelan-pelan saja, perempuan ini adalah Shofiyyah putri Huyyai”. “Subhanallah, wahai Rasulullah,” kata mereka. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya syetan mengalir dari tubuh manusia mengikuti aliran darah. Aku khawatir syetan itu membisikkan kejahatan dalam hati kalian”. (Abu Dawud, 1994: IV: 327: nomor 4994)

    Dari Persangkaan ke Keputusan

Persangkaan adalah dugaan. Kebenaran dugaan tidak ditunjang dengan bukti maupun tanda yang jelas. Dugaan belum mencapai derajat keyakinan ilmu yang telah diuji dan dibuktikan secara jelas berulang kali. Namun demikian, dugaan bukan merupakan keraguan, karena dugaan dipengaruhi oleh persepsi sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang berada dalam memori otak. Demikian pula dengan keraguan, hanya saja tingkat persepsi dugaan lebih tinggi dibanding keraguan. Untuk memperjelas pernyataan ini, kiranya dapat dilihat tabel sebagai berikut.

HASIL

TARAF

NILAI

KETERANGAN

Ilm

Yakin

100%

Diuji berulang kali dan terbukti dengan banyak data

Zhann

Dugaan

75%

Menyamakan setiap kasus yang berbeda dengan kasus yang telah teruji

Syakk

Ragu

50%

Terdapat kekuatan yang sama antara hal yang berlawanan

Wahm

Anggapan

25%

Sesuatu dengan sedikit data dan belum teruji

Jahl

Tidak Tahu

0%

Sesuatu tanpa dukungan data sama sekali

Dari tabel di atas, prasangka merupakan upaya menemukan titik persamaan di antara kasus-kasus yang berbeda. Padahal persamaan yang diperolehnya seringkali merupakan tipuan bagi dirinya. Ketika SMKN masuk kategori favorit, maka setiap siswanya pun diduga masyarakat sebagai anak terpelajar. Padahal, tidak semua siswa SMKN sesuai dengan dugaan masyarakat. Tidak sedikit orang terkecoh dengan prasangka, hingga Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah prasangka, karena prasangka merupakan perkataan yang paling dusta. Janganlah kalian berusaha mencari berita aib manusia dan jangan pula memperdengarkannya” (Abu Dawud, 1994: IV: 303: nomor 4917; Muslim, 1988: II: 517: nomor 2563).

Kedustaan prasangka terletak pada persepsi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Selain itu, prasangka belum dibuktikan, namun ada dorongan kuat untuk mempercayainya. Informasi salah yang tampak salahnya lebih baik dari informasi salah tetapi tidak tampak kesalahannya (Muhammad ‘Abd al-’Aziz al-Khouli, t.t.: 137). Setelah muncul prasangka buruk, timbul sikap permusuhan, curiga dan tidak percaya. Jika sikap ini tidak dikikis, maka ia bisa berbuat kejahatan. Hampir semua kejahatan berangkat dari motif prasangka. Setelah diadakan penyelidikan hingga tidak ada bukti atas prasangkaannya, baru pelaku kejahatan menyesali diri. Sebaliknya, prasangka yang baik akan membuahkan pikiran yang positif, sehingga kita mudah menjalin persahabatan dan saling percaya. Orang yang dinilai jahat oleh orang lain masih dinilai baik oleh orang yang berprasangka baik. Meski demikian, prasangka baik mudah tertipu. Karenanya, Islam menganjurkan untuk menerima informasi yang dilandasi ilmu dengan data-data yang valid dan akurat. Dari sini, kita diwajibkan untuk senantiasa mengadakan penelitian yang berbuah ilmu pengetahuan.

    Jenis Persangkaan

Sesungguhnya, prasangka itu bersifat netral. Ia bisa menjadi positif yang disebut prasangka baik dan juga bisa bersifat negatif yang dinamakan prasangka buruk. Prasangka dikatakan baik bila obyeknya adalah kebaikan dan didukung oleh beberapa tanda, sehingga tidak terkesan mengada-ada. Kita bisa saja menduga seseorang sebagai orang baik setelah kita mengetahui tanda-tanda kebaikan dalam dirinya. Sebaliknya, prasangka buruk tidak didukung oleh tanda-tanda yang bisa membuktikan keburukan ynag menjadi obyeknya. Kita akan menduga tamu yang datang sebagai orang jahat dari tanda-tandanya yang menggedor pintu rumah. Dugaan kita tidak termasuk prasangka buruk. Namun, tamu yang datang dengan cara yang baik dan kita menyangkanya sebagai orang jahat berarti sangka kita adalah buruk. Seorang guru yang memberi nilai buruk tidak semerta-merta dianggap sebagai sentimen, kecuali ada tanda-tanda kuat yang mengarah sentimen. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, “Janganlah Anda menyangka kalimat yang keluar dari saudara Anda sesama muslim kecuali hal yang baik. Anda dibebani untuk menemukan kebaikan dalam kalimat tersebut” (Ibnu Katsir, 1997: IV: 219). Kita memperhatikan kebaikan dan mengabaikan keburukan dari orang lain. Kita pun memandang setiap orang sebagai orang baik, bahkan mendoakannya agar menjadi orang baik. Hal ini berbeda dengan pandangan buruk atas orang lain yang bisa menimbulkan kebencian kepadanya. Pandangan negatif ini bisa menimbulkan dosa sebagaimana isyarat surat al-Hujurat ayat 12 sebagai berikut.

12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.


    Mengatasi Masalah dengan Berbaik Sangka

Berbaik sangka merupakan bagian dari kebaikan ibadah”, sabda Nabi SAW. dalam riwayat Abu Dawud (1994: IV: 326: nomor 4993). Berbaik sangka berarti mengembalikan manusia kepada fitrahnya, yaitu suci dari dosa. Saat dilahirkan, manusia tidak menanggung dosa apapun, termasuk tidak ada dosa asal. Dosa manusia juga bisa terhapus melalui taubat yang sungguh-sungguh. Dosa yang dilakukan itu pun boleh jadi didorong oleh keterpaksaan atau ketidaktahuan. Tidak hanya itu, orang non-muslim pun masih memungkinkan untuk menjadi orang mukmin. Pendek kata, banyak jalan bagi manusia untuk menjadi orang baik. Dengan pemikiran ini, kita bisa menyebarkan perdamaian di muka bumi. Kita melawan kekerasan dengan kelembutan. Kita mudah memaafkan setiap kesalahan. Kita selalu mendoakan kebaikan dan mengharapkan semua orang menjadi orang baik. Akhirnya, kita merasakan tidak ada masalah, meski orang lain merasakan adanya masalah. Ternyata, berbaik sangka tidak sekedar ibadah, bahkan merupakan ibadah yang terbaik.

Berbaik sangka melahirkan optimis. Optimis memiliki arti kecenderungan untuk bersikap tetap berharap akan terjadinya sesuatu yang menyenangkan, walaupun mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Dalam pengertian ini, tersirat adanya harapan dan keyakinan akan terjadinya sesuatu yang baik di hari depan. Intinya, seseorang tidak mudah menyerah, meskipun mengalami kegagalan (www.binuscareer.com). Berharap kebaikan harus dimulai dari berbaik sangka. Optimis adalah kebaikan, sedangkan pesimis merupakan godaan syetan. Hadits di atas menunjukkan bahwa syetan mempengaruhi otak kita. Berburuk sangka berdampal pada keraguan, bahkan antipati. Tidak hanya bisikan kejahatan yang dijadikannya sebagai virus, namun juga keraguan atas kebenaran. Di bawah ini, ada dialog antara Ibnu ‘Abbas RA dan Abu Zumail mengenai pengaruh syetan dalam membangkitkan keraguan (Abu Dawud, 1994: IV: 365: nomor 5110).

Abu Zumail : “Aku menemukan sesuatu dalam dadaku”.

Ibnu ‘Abbas : “Apa itu”.

Abu Zumail : “Demi Allah, aku tidak bisa mengatakannya”.

Ibnu ‘Abbas : “Apakah sesuatu itu dari keraguan ?”.

Abu Zumail tertawa.

Ibnu ‘Abbas : “Tak seorang pun yang terhindar darinya, sehingga Allah SWT menurunkan ayat: “Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu” (surat Yunus ayat 94). Jika Anda telah menemukan sesuatu dalam diri Anda, maka ucapkanlah: “Dialah yang Awal dan yang Akhir yang Zhahir dan yang Bathin; dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu” (surat al-Hadid ayat 3).

Rujukan

Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats. Sunan Abi Dawud. Vol. IV. Beirut: Dar al- Fikr, 1994.

Ibnu Katsir, Abu al-Fada’. Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim. Vol. IV. Beirut: Dar al- Fikr, 1997.

Khouli, Muhammad ‘Abd al-’Aziz al-. al-Adab al-Nabawi. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Muslim. Shahih Muslim. Vol. II. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar