Sabtu, Juni 13, 2009

MAHASISWA MITRA DOSEN


Imam Muhammad bin Malik dikenal sebagai pakar Nahwu, karena ia telah menulis sebuah kitab Alfiyah: 1000 bait tentang Nahwu (gramatikal) dan Sharaf (leksikal). Imam al-Khalil bin Ahmad dikenal sebagai pakar Sastra Arab, karena ia yang menciptakan nada-nada sya’ir ‘Arab yang dikenal dengan nama Bahar (lautan). Kedua ulama ini sesungguhnya menjalin mitra dengan memadukan keilmuan masing-masing. Imam Ibnu Malik sejatinya adalah pakar sastra, sedangkan Imam al-Khalil merupakan pakar Nahwu, murid dari Imam Sibawaih, ulama Nahwu yang tersohor. Keduanya bersepakat mendiskusikan keilmuan masing-masing, sekaligus berupaya menciptakan karya ilmiah di luar bidangnya. Imam Ibnu Malik harus menulis tentang Nahwu, meski ia ahli di bidang sastra, sementara Imam al-Khalil juga menulis tentang sastra, walaupun ia pakar Nahwu. Begitu Imam Ibnu Malik telah berhasil menulis kitab Alfiyah-nya, Imam al-Khalil belum menciptakan sama sekali. Dalam kebingungan ini, ia melewati lautan dengan sebuah kapal. Ombak lautan yang menggerakkan kapal ternyata membuat bunyi yang indah. Dari sinilah, Imam al-Khalil menemukan apa yang sekarang dikenal dengan Bahar, yakni nada-nada sya’ir Arab.

Tradisi keilmuan Islam klasik bersifat kemitraan. Saat ini menjadi mahasiswa, besok dapat menjadi seorang dosen. Dosen Agama berarti orang yang mendalami tentang Agama dan bisa mengajarkannya, tetapi di luar Agama belum tentu menguasainya. Dosen ini dapat menjadi mahasiswa kepada siapapun yang mau berdiskusi tentang disiplin ilmu di luar bidang Agama. Dahulu, KH Hasyim Asy’ari mengaji di hadapan Syekh Kholil Bangkalan. Ketika Kyai Hasyim mendapatkan sanad kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Syekh Mahfuzh al-Tarmisi, Syekh Kholil menyempatkan diri untuk mengaji di hadapan Kyai Hasyim. Uniknya, setelah pengajian ini berakhir, kedua ulama mitra ini berebut mengambilkan sandal mitranya.

Tradisi akademik adalah kemitraan keilmuan. Dengan kemitraan ini, tidak ada hubungan hirarkhis antara dosen dan mahasiswa. Imam al-Syairozi, penulis kitab al-Muhadzdzab, biasa memanggil para santrinya dengan sebutan sahabat. “Di antara para sahabatku ada yang berpendapat ….(min ashhabina man qaala…)”, demikian salah satu bunyi teks kitab al-Muhadzdzab. Pijakan utama sebuah kemitraan keilmuan adalah nilai kebenaran ilmiah. Ada satu kaedah tentang hal ini, yaitu: “Kebenaran sejati hanya ada satu, namun setiap orang yang mencurahkan pemikiran dengan sungguh-sungguh dapat dibenarkan” (al-haqq wahid wa kullu mujtahid mushib). Kaedah ini memandang optimis kepada setiap orang yang berusaha mengembangkan ilmu. Mahasiswa dapat dibenarkan jika ia mengikuti pelajaran dosen, menyimak dan mendiskusikannya, serta membuat tugas yang diperintahkannya, meski ia tidak memahami dengan benar apa yang telah diutarakan oleh dosennya. Oleh karena itu, hasil pelajaran bukan dilihat dari hasil nilainya, melainkan proses mengembangkan ilmu. Dengan kata lain, dosen harus mempertimbangkan aspek keaktifan dan kreatifitas mahasiswa, bukan aspek kualitas pengerjaan soal dan tugas.

Inovasi –istilah dari Joseph Schumpeter- menjadi target dari kemitraan keilmuan akademik. Dalam dunia akademik, tidak hanya mahasiswa yang terlibat dalam proses pembelajaran, tetapi dosen juga harus aktif belajar. Bagi dosen, tidak ada kata “mengajar”, melainkan “belajar”. “Jam pertama saya akan belajar bersama mahasiswa Jurusan Manajemen”, misalnya. Belajar bersama berarti dorongan kebersamaan menuju inovasi. Jika mahasiswa mendapatkan tugas, dosen pun harus mengadakan pengkajian. Jika mahasiswa hadir dalam pelajaran, dosen pun diharapkan aktif dalam diskusi keilmuan. Jika mahasiswa mendapatkan tugas lapangan (PSG), dosen pun harus melakukan pengabdian kepada masyarakat. Tidak terlalu penting melihat hasilnya, namun perlu memperhatikan prosesnya. Hasil kerja masing-masing dosen dan mahasiswa dipertemukan dan didiskusikan di kelas. Hasilnya adalah inovasi. Salah satu inovasi dari Imam al-Syafi’i adalah karya monumentalnya yang dikenal dengan nama kitab al-Umm (Kitab Induk). Namun, siapa sangka jika kitab tersebut merupakan hasil diskusi dengan para mahasiswanya. Tiga mahasiswanya, al-Juwaini, al-Buwaithi, dan al-Rabi bin Sulaiman, merekam diskusi tersebut dan menulisnya dengan disandarkan kepada dosennya, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Contoh lain adalah George Herbert Mead yang menggagas teori Interaksionisme Simbolik. Pengkaji teori ini selalu menemukan kesulitan, karena gagasan tersebut telah diolah oleh para mahasiswa Mead sendiri menjadi sebuah buku, Mind, Self, and Society. Dalam konteks pembelajaran di kampus, dosen bersama mahasiswa dapat membuat target bahwa Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di kampus harus menjadi sebuah buku. Caranya, mahasiswa diminta untuk mencari bahan yang relevan dan mendiskusikannya, selanjutnya dosen merevisinya. Dengan kemitraan keilmuan ini, pembelajaran di kelas dapat dibaca oleh orang lain di luar kelas.

Sisi lain dari inovasi KBM adalah kesungguhan sebagai dasar utama, sebagaimana kaedah di atas. Nilai kesungguhan ini memiliki arti penting bagi kreativitas mahasiswa selanjutnya. David McClelland menyebutnya kebutuhan berprestasi (the need for achievement). Di kemudian hari, mahasiswa akan bangga dengan pekerjaannya, meskipun mendapatkan hasil di luar harapannya. Ia tidak terlalu peduli dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK), karena ia telah memiliki kemampuan dan penguasaan dalam keilmuan tertentu. Bukankah nilai IPK belum tentu mencerminkan kemampuan mahasiswa? Kemampuan (kompetensi) beserta prosesnya merupakan bekal yang berarti dalam menghadapi pesoalan global di masa mendatang. Masyarakat global tidak akan percaya dengan nilai yang tertera di ijazah. Masyarakat global menghendaki seseorang yang bisa mengatasi masalah. Untuk hal ini, pengalaman John Maynard Keynes, pencetus ide ekonomi fiskal, perlu diperhatikan. Keynes berhasil mengatasi masalah resesi ekonomi Amerika Serikat pada tahun 1930-an. Para pengagumnya mengembangkan pemikirannya dan memberikan nama dengan Keynesian. Akan tetapi, siapa sangka kalau Kaynes dahulu adalah mahasiswa yang nilainya biasa-biasa saja. Ia sering menentang ajaran dan teori-teori klasik dari dosen- dosennya, sehingga ia tidak pernah mendapat nilai yang memuaskan dalam mata kuliah ekonomi. “I evidently know more about economics than my examiners (saya terbukti tahu banyak mengenai ekonomi dibanding para penguji saya)”, reaksi Keynes. Seperti Keynes, Stephen Howking menulis buku fiksi ilmiah dengan judul, “Black Hole (Lobang Hitam)”. Dari imajinasi Howking ini, para ilmuwan menemukan teori Lobang Hitam –seperti judul buku Howking- yang menyatakan bahwa di bumi ini ada lobang hitam yang menembus porosnya. Kini, saatnya dosen harus mengapresiasikan kesungguhan mahasiswanya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar