Sabtu, Juni 13, 2009

MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH ALLAH SWT DI BUMI


“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?". Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Al-Qur’an: Surat Al-Baqarah ayat 30).


    Penciptaan Manusia Pertama

Manusia pertama adalah Nabi Adam AS. Ia diciptakan oleh Allah SWT dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Setelah itu, Allah SWT meniupkan ruh ciptaan-Nya sebagai nyawa untuk tanah tersebut. Jadi, nyawa manusia itu menjadi kekuatannya (Rahardjo, 2002: 239-240). Kita bergerak, diam, berpikir, atau melakukan apapun dengan nyawa kita. Karena nyawa yang suci ini pula, manusia unggul dibanding dengan makhluk lainnya, bahkan para malaikat pun diperintahkan Allah SWT untuk menghormati Nabi Adam AS (al-Qur’an surat al-Hijir ayat 26-31). Dari penciptaan manusia tersebut, nyatalah bahwa manusia pertama (Nabi Adam AS) merupakan makhluk yang suci. Keturunan yang dilahirkan pun juga dihukumi suci. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang diceritakan oleh Abu Dawud (1994: 240) dalam hadits nomor 4714 melalui sahabat Abu Hurairah.

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci. Lalu, kedua orang tuanya yang membuat ia beragama Yahudi dan Nashrani. Sebagaimana sekor onta yang lahir sempurna dari hewan ternak, apakah kamu mengira onta tersebut dari hewan ternak yang cacat?”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, menurut Anda, bagaimana dengan anak orang muslim yang meninggal saat masih kecil?” “Allah SWT lebih mengetahui atas apa yang mereka lakukan”, jawab Rasulullah SAW.

Nyawa yang suci ini ternodai oleh dosa-dosa manusia. Ketika manusia telah meninggal dunia, tubuhnya wajib dimandikan, sementara nyawanya melayang menghadap Allah SWT untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Tubuh manusia boleh rusak, tetapi nyawanya tetap abadi. Karenanya, kehidupan manusia terletak pada nyawanya yang oleh al-Qur’an disebut dengan al-ruh. Kita harus meyakini bahwa kematian manusia hanya pindah kehidupan: dari hidup dengan jasad menuju hidup tanpa jasad.

    Perkembangan Kehidupan Manusia

Islam menjelaskan kehidupan manusia dengan dua bentuk. Bentuk pertama adalah kehidupan manusia menuju Allah SWT. Dalam bentuk ini, manusia dimulai dari bentuk sperma (benda mati), lalu menjadi wujud manusia dengan tubuh dan nyawa (makhluk hidup), kemudian ia wafat sebagai tubuh yang tak bernyawa (benda mati). Pada saat Hari Kiamat, ia dibangkitkan dari kematiannya sebagai makhluk hidup (al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 28). Kesimpulannya, manusia itu sejatinya mati dua kali dan hidup dua kali (al-Qur’an surat Ghafir ayat 11).

Bentuk kedua adalah proses tahapan kehidupan manusia di dunia. Dalam hal ini, pembentukan manusia dimulai dari paduan air sperma, lalu menjadi darah, kemudian menjadi daging. Pada tahap ini, seluruh kehidupan manusia telah ditentukan: dari soal rezeki hingga ajalnya kelak. Begitu manusia terlahir di dunia, ia menjadi bayi, makhluk yang tidak berdaya. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, bayi tersebut menjadi manusia dewasa dengan segala kekuatannya: tubuhnya sehat dan otaknya cerdas. Apabila ia diberi umur yang panjang, niscaya kekuatannya itu semakin berkurang. Ia menjadi orang tua yang pikun dan sakit-sakitan. Akhir dari kehidupannya di dunia adalah kematian yang menjemputnya (Ibnu Katsir, 1997: III: 218-219). Al-Qur’an surat al-Hajj ayat 5 menjelaskan tahapan-tahapan tersebut sebagai berikut.



Hai manusia, jika kalian dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kalian dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kalian dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kalian sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kalian sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kalian ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kalian yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. dan kalian lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah”.



    Sifat-Sifat Dasar Manusia

Pada dasarnya, manusia memiliki sifat yang baik. Ia dianugerahi akal untuk berpikir. Ia dilengkapi dengan indera yang hebat. Ia telah diajarkan ilmu oleh Allah SWT (surat al-‘Alaq ayat 4-5). Bahkan, ia juga telah berjanji saat masih sebagai janin untuk mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya (surat al-A’raf ayat 172). Atas kelebihannya ini, manusia dipercaya menjadi khalifah untuk mengatur dan memelihara kehidupan di bumi. Selain itu, manusia juga dipandang sebagai makhluk dengan bentuk yang terbaik (surat al-Thin ayat 4).

Manusia tidak hidup sendiri, melainkan bersama orang lain. sebagai makhluk sosial, manusia mendapatkan pengaruh dari lingkungannya. Akibat pengaruh lingkungan yang buruk, manusia cenderung memiliki sifat-sifat yang buruk, antara lain: cenderung zalim dan kafir (Surat Ibrahim ayat 34; al-Hajj ayat 22, dan al-Zukhruf ayat 15), tergesa-gesa (surat al-Isra’ ayat 17 dan surat al-Anbiya’ ayat 37), kikir (surat al-Isra ayat 100), bodoh (surat al-Ahzab ayat 72), banyak membantah (surat al-Kahfi ayat 54 dan surat al-Nahl ayat 4), suka mengeluh (surat al-Ma’arij ayat 19), sangat inkar (al-‘Adiyat ayat 6), dan dalam kepayahan (al-Balad ayat 4).

Karena memiliki dua kecenderungan yang bertentangan di atas, manusia perlu pendidikan yang baik. Pendidikan berfungsi untuk mengembalikan manusia pada kodratnya yang suci, yakni sebagai khalifah di muka bumi. Melalui pendidikan, nafsu manusia diredam, akalnya dipertajam, dan hatinya disucikan.



    Tugas Dan Kedudukan Manusia

Sebelumnya menciptakan manusia, Allah SWT telah merencanakan kedudukan manusia sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana ayat di atas. Khalifah adalah pengganti. Di antara makhluk Allah SWT, manusia adalah pengganti-Nya yang bertugas memakmurkan bumi. Tugas sebagai khalifah ini diwariskan secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Namun, setiap generasi memerlukan seorang pemimpin yang mengatur cara memakmurkan bumi, agar perdamaian disebarkan, keadilan ditegakkan, dan kesejahteraan diwujudkan (Ibnu Katsir, 1997: I: 86). Pemimpin merupakan sosok manusia unggulan. Ia memiliki kelebihan dibanding orang lain yang meliputi: ilmu, harta, penampilan, budi pekerti, keturunan, dan sebagainya. Dengan keunggulannya, pemimpin diuji oleh Allah SWT: apakah ia menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Jika keunggulannya itu digunakan untuk membuat kerusakan di bumi, maka Allah SWT segera mengirimkan siksa secara cepat. Sebaliknya, pemimpin yang bisa menegakkan keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya, maka Allah SWT senantiasa mencurahkan kasih-sayang dan ampunan kepadanya (Ibnu Katsir, 1997: II: 212-213). Demikian ini merupakan maksud dari surat al-An’am ayat 165, sebagai berikut,

Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kalian atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk menguji kalian tentang apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Agar tugas sebagai khalifah terlaksana dengan baik, maka manusia harus mengangkat pemimpin yang baik. Sejarah mencatat, kerusakan di muka bumi merupakan akibat dari kejahatan para pemimpin manusia. Satu kebaikan dari seorang pemimpin membuahkan jutaan manfaat untuk umat manusia. Namun, satu kejahatan dari seorang pemimpin berdampak pada kehancuran jutaan umat manusia. Karenanya, kita tidak diperkenankan memilih pemimpin dari orang yang jahat. Demikian pula, kita juga tidak diperbolehkan membiarkan masyarakat tanpa pemimpin. Jadi, memilih pemimpin yang baik adalah kewajiban kita sebagai manusia.



Rujukan

Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats. 1994. Sunan Abi Dawud. Vol. IV. Beirut: Darul Fikr.

Ibnu Katsir, Abu al-Fada’. 1997. Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim. Beirut: Darul Fikr.

Rahardjo, M. Dawam. 2002. Ensiklopedi Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar