Sabtu, Juni 13, 2009

HUKUM PERKAWINAN ISLAM

Kelompok sosial yang terkecil dan paling menentukan adalah keluarga. Keburukan suatu keluarga akan berdampak luas pada kelompok sosial yang lebih besar. Untuk itu, keluarga harus diperkuat oleh tatanan yang tangguh, yakni perkawinan. Tradisi perkawinan yang berbeda antara satu masyarakat dengan lainnya menunjukkan pengakuan setiap masyarakat atas kekuatan perkawinan tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman, kekuatan perkawinan lambat laun dikikis oleh modernitas. Manusia modern yang cenderung hedonis-materialis justru menganggap perkawinan sebagai hambatan. Mereka pun membangun sistem yang menggantikan perkawinan, sehingga muncul budaya ‘kumpul kebo’, seks bebas, bahkan mengoyak ketabuan virginitas. Jika mereka mengikuti tradisi perkawinan, sakralitasnya hanya terbatas pada pestanya. Usai pesta, mereka kembali mencapakkan nilai-nilai perkawinan sesungguhnya. Dengan budaya semacam ini, dampak yang berkembang adalah semakin tingginya angka perceraian, pesta perkawinan juga semakin mewah, dan masyarakat semakin takut dengan perkawinan.

Hukum Islam memberikan perhatian lebih besar pada aspek perkawinan. Menurut proporsinya, ayat-ayat al-Qur’an yang membahas masalah perkawinan lebih besar dibanding masalah ekonomi, politik, pidana, dan peradilan. Tentu porsi masalah perkawinan ini lebih kecil dibanding masalah akidah dan ibadah. Ini berarti bahwa manusia diperintahkan memperhatikan hubungannya dengan Allah SWT dan Rasul-Nya. Setelah itu, perhatiannya kepada keluarganya. Dalam hadis, masalah perkawinan tidak hanya terpotret pada perkawinan Nabi SAW, melainkan pula penyelesaian Nabi SAW atas kasus-kasus perkawinan yang dialami para sahabat. Dalam kitab-kitab hukum karya para ulama Fikih, hukum perkawinan juga diletakkan setelah ibadah, karena perkawinan merupakan tanggung-jawab individu yang utama kepada masyarakatnya. Hukum perkawinan dimulai dari masa pengenalan, ikatan perkawinan, hubungan suami-istri, hingga kepengasuhan anak, waris, dan perceraian. Tulisan ini membahas hukum perkawinan Islam secara singkat dan menyeluruh. Namun, pembahasan tersebut ditekankan pada aspek hikmah pemberlakuannya


Makna dan Asas Perkawinan

Dalam hukum perkawinan Islam, perkawinan diistilahkan dengan pernikahan. Ada dua makna nikah secara bahasa: persetubuhan dan pernyataan ikatan (akad). Secara istilah, nikah adalah akan yang mencakup rukun dan syarat perkawinan (al-Ghazzi, t.t.: 43). Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dikemukakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara luas pernikahan dalam Islam memiliki arti sebagai berikut (A. Rahman I Doi, 1996: 209).

  1. Merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar.

  2. Suatu mekanisme untuk mengurangi ketegangan.

  3. Cara untuk memperoleh keturunan yang sah.

  4. Mempunyai fungsi sosial.

  5. Mendekatkan hubungan antar keluarga dan solidaritas kelompok.

  6. Merupakan perbuatan menuju takwa.

  7. Merupakan suatu bentuk ibadah, yaitu pengabdian kepada Allah SWT dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW.

Dengan sisi positif di atas, maka hukum dasar perkawinan adalah dianjurkan. Namun demikian, perkawinan bisa dihukumi wajib bila seseorang khawatir tertimpa perzinahan, sementara ia telah mampu untuk menikah. Sebaliknya, perkawinan menjadi haram bila dilakukan oleh orang yang hanya melampiaskan nafsu seksualnya saja tanpa ada kemampuan untuk perkawinan. Kemampuan tersebut dinilai dari kesanggupan seseorang untuk memberikan tanggung jawab lahir dan batin kepada pasangan hidupnya.

Dalam hukum Islam, perkawinan merupakan sistem yang mengatur hubungan seksualitas. Ia merupakan tatanan untuk menjaga keturunan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa manusia memiliki instink berkembang biak, sebagaimana makhluk hidup lainnya. Agar manusia bertanggung-jawab atas anak-anaknya, maka diberlakukan hukum keluarga. Jika tidak demikian, maka dapat terjadi manusia menganiaya dan membunuh anaknya sendiri. Hal ini pernah terjadi pada masa sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul. Hukum keluarga dalam Islam dihimpun dalam pembahasan masalah perkawinan. Oleh karena itu, hukum perkawinan Islam tidak hanya mencakup hubungan suami-istri, tetapi juga hubungan orang tua-anak dan hubungan antar saudara, baik yang terkait dengan harta dan hak-hak lainnya. Oleh karena itu, asas hukum perkawinan dalam Islam adalah kebersamaan. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan keluarga dalam menentukan hubungan suami-istri. Asas ini tidak berbeda dengan asas perkawinan dalam undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang juga menekakankan asas kekeluargaan.

Menurut pengertian perkawinan dalam undang-undang di atas, asas perkawinannya adalah monogami (Amir Martosoedono, 1992: 16). Disebutkan dalam pengertian tersebut, “seorang suami dan seorang istri” (pasal 3 ayat 1). Tentu asas ini berbeda dengan hukum perkawinan Islam yang menganut asas poligami, sebagaimana tercermin dalam surat al-Nisa’. Meski demikian, ada pembatasan dalam poligami, agar tidak dilakukan sewenang-wenang.


Pinangan yang Menentukan Masa Depan

Islam menilai ikatan perkawinan sebagai ikatan yang sangat kuat (mitsaqan ghalizhan). Kekuatannya terletak pada status hukum dengan segala akibatnya. Sebelum kawin, seseorang tidak memiliki tanggung-jawab keluarga sebagaimana ketika ia berada dalam perkawinan. Dengan status ini pula, sanksi perzinahan juga dibedakan. Selain itu, kekuatan ikatan juga bisa dilihat dari persyaratan perkawinan yang dipersiapkan melalui sistem pinangan. Perkawinan tidak langsung terjadi, tetapi melalui proses. Mula-mula pengenalan masing-masing calon mempelai. Pengenalan ini tidak dimaksudkan sebagai pacaran seperti yang dipahami selama ini, melainkan berupa kesediaan masing-masing pihak untuk menjalani hidup bersama. Dalam hukum Islam, ajakan kesediaan tidak monopoli pihak laki-laki. Pihak perempuan pun tidak dianggap tabu untuk memulai ajakan menikah. Nabi sendiri pernah diminta oleh seorang perempuan untuk mengawininya. Di samping itu, kesediaan ini dibedakan antara gadis dan janda. “Izinnya gadis adalah diamnya, sementara izinnya janda terletak pada keputusannya”, sabda Nabi SAW. Dalam Fathul Qarib (al-Ghazzi, t.t.: 45), ketentuan gadis dan janda terletak pada pengalaman hubungan seksual. Seseorang dikatakan gadis bila belum pernah menjalankan hubungan seksual, meski ia pernah terikat perkawinan. Begitu pula, janda adalah orang yang pernah mengalami hubungan seksual, meski sejatinya belum pernah terikat perkawinan.

Pinangan juga dijadikan sebagai sarana penelitian sebelum pernikahan. Hal yang diteliti adalah kesediaan, asal-usul, keluarga, status perkawinan, perencanaan pesta perkawinan, bahkan cacat fisik yang mengganggu organ seksual. Pendek kata, pinangan adalah keterbukaan demi masa depan. Tidak boleh ada sesuatu yang disembunyikan dalam pinangan. Sebaliknya, apa yang telah dibuka saat pinangan tidak diperkenankan untuk disebarluaskan di luar acara pinangan. Hasil dari suatu pinangan adlah dua kemungkinan: sedia dan tidak bersedia. Jika masing-masing saling menutupi jati dirinya, maka perkawinan rentan terhadap masalah. Misalnya, seorang gadis tidak dikemukakan kenyataannya bahwa dirinya memiliki organ seksual yang tidak normal. Setelah berlangsungnya ikatan perkawinan, kelemahan ini baru diketahui oleh suaminya. Dalam hal ini, suami memiliki hak untuk membatalkan perkawinannya karena alasan tersebut. Pembatalan ini dinamakan fasakh.


Pernyataan Ikatan (Akad Nikah): Simbol Kontrak Perkawinan

Dalam hukum Islam, perkawinan itu dibahasakan dengan istilah nikah. Para ulama menekankan nikah pada sisi pernyataan ikatan atau akad. Adanya pernyataan ikatan membuat perkawinan tidak berbeda dengan pernyataan kelangsungan bisnis. Bukankah pernyataan: “Aku terima perkawinannya” sama dengan pernyataan: “Aku terima pembeliannya”?. Bisnis berlaku sistem pertukaran (barang dengan barang atau barang dengan uang), sebagaimana pertukaran perkawinan yang berupa mahar dengan diri mempelai perempuan. Meski demikian, pernyataan perkawinan dilangsungkan dengan kehadiran mempelai, wali dari mempelai perempuan, dan dua orang saksi, sedangkan pernyataan bisnis bisa dilangsungkan tanpa kehadiran siapapun selain penjual dan pembeli. Memang ada juga bisnis yang disaksikan oleh banyak orang. Dalam pernyataan perkawinan, disebutkan bentuk dan jumlah mahar, seperti penyebutan alat pembayaran yang berlaku dalam bisnis. Dengan demikian, perkawinan dalam hukum Islam merupakan bentuk kontrak yang dinyatakan di hadapan publik.

Dalam Undang-undang Perkawinan, perkawinan harus sah menuru ajaran agama dan terbukti secara tertulis. Pernyataan ikatan menurut ajaran Islam dikemukakan dengan lisan, sedangkan bagi negara diwujudkan melalui tulisan. Ketentuan negara yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan menghapus perbedaan ulama, sehingga nikah sirri yang tidak tercatat dinilai tidak sah menurut agama. Demikian pula, ketentuan wali dan saksi yang dimuat undang-undang telah menghapus berbagai pendapat ulama yang ditulis di kitab Fikih. Jadi, klaim perkawinan menurut agama, tetapi mengabaikan hukum negara, sama dengan mengabaikan hukum agama yang memerintahkan umat agar taat kepada pemerintah. Baik ketentuan agama maupun negara, perkawinan dianggap sebagai kontrak yang mengikat secara kuat.

Kontrak perkawinan (bedakan dengan perkawinan kontrak) menyangkut hal-hal sebagai berikut. Pertama, pembatalan perkawinan dibenarkan jika ditemukan hal-hal yang merusak syarat perkawinan atau cacat yang menghalangi hubungan seksual. Perkawinan bisa batal bila di kemudian hari mempelai laki-laki diketahui bukan beragama Islam. Kedua, kontrak perkawinan memandang kemungkinan perceraian dan kelangsungan. Namun, hal ini tidak dinyatakan dalam pernyataan ikatan. Justru hak dan kewajiban suami-istri dikemukakan dalam pernyataan ikatan dalam bentuk ta’liq talak. Ketiga, kontrak perkawinan memuat sistem tawar-menawar. Mahar yang diajukan oleh pihak mempelai perempuan harus disetujui oleh mempelai laki-laki. Jika tidak ada kesepakatan, perkawinannya pun bisa gagal. Selain itu, mempelai perlu melihat fisik masing-masing. Dalam hal ini, perwakilan diperbolehkan, seperti mempelai laki-laki yang meminta saudara perempuannya untuk melihat fisik calon istrinya secara menyeluruh. Setelah itu, diambil keputusan antara kelangsungan dan kegagalan.

Meski terkandung unsur kontrak, ikatan perkawinan Islam tetap sangat kokoh, tetapi bersifat sederhana dan mudah. Kesederhanaan hukum perkawinan Islam terlihat dari tidak adanya tuntutan keabadian perkawinan. Ini realistis, mengingat tujuan utama hukum perkawinan Islam adalah sebagai upaya membolehkan hubungan seksual. Kemudahannya tampak dari tuntutan untuk segera melaksanakan perkawinan bila persyaratannya telah terpenuhi. Tampaknya, sistem kontrak ini mudah meretakkan bangunan perkawinan. Padahal, hukum talak sebagai upaya mengakhiri kontrak perkawinan tidak mudah dilaksanakan. Ia harus didasari oleh alasan yang kuat serta melalui beberapa tahapan.


Tahapan-tahapan Menuju Perceraian

Salah satu prinsip hukum perkawinan Islam adalah mempermudah perkawinan dan mempersulit perceraian. Perkawinan terikat hubungan kerja sama sesama manusia, sebagaimana bentuk kerja sama yang lain, semacam persaudaraan, persahabatan, maupun kemitraan. Dalam kerja sama ini, terjadi interaksi sosial, baik dalam bentuk konflik maupun keharmonisan. Hukum perkawinan Islam memandang bahwa konflik dalam perkawinan tidak dapat dihindari. Konflik yang berkepanjangan dan semakin tajam justru akan merusak kemanusiaan itu sendiri. Manusia tidak akan hidup tenang jika ia terus mempertahankan konflik. Oleh karena itu, perceraian perkawinan tidak dinilai sebagai sesuatu yang salah dan haram. Manusia yang gagal dalam perkawinan tidak berarti gagal segalanya. Perkawinan dan perceraian merupakan suatu keniscayaan: perkawinan memungkinkan adanya perceraian dan perceraian membuka perkawinan baru lagi.

Perceraian, menurut hukum perkawinan Islam, merupakan langkah terakhir ketika kerja sama perkawinan tidak bisa dipertahankan kembali. Penyelesaian konflik rumah tangga harus mengedepankan aspek pendidikan. Artinya, ketika muncul sebuah konflik (nusyuz), langkah-langkah penanganannya adalah

  1. Memberikan teguran dan peringatan secara bijak. Jika langkah ini tidak membuat kesadaran dan pengertian, maka langkah berikutnya harus diambil.

  2. Pisah ranjang, yakni tidur secara terpisah. Pendidikan yang diberikan dalam pisah ranjang adalah tekanan psikologis sebagai sanksi sosial keluarga. Tentu ini memberatkan, mengingat adanya pemberhentian kebersamaan yang senantiasa terjaga. Jika solusi ini masih belum berubah lebih baik, maka solusi berikutnya perlu dilalui.

  3. Pemukulan yang mendidik. Pemukulan ini tidak diarahkan pada kepala atau bagian vital lainnya serta tidak membuat luka pada fisik. Pemukulan yang mendidik hanya menggerakkan tangan secara lemah, namun diiringi oleh perasaan yang mendalam. Dengan sentuhan pukulan ini, diharapkan ada kesadaran untuk memperbaiki hubungan kembali. Jika tidak ada kesadaran, maka perlu menapaki tahap solusi berikutnya.

  4. Menyerahkan persoalan konflik kepada masing-masing wali. Ada pihak ketiga yang diajukan oleh suami maupun istri yang sedang mengalami konflik. Pihak ketiga ini berperan sebagai mediator, karena pada taraf ini komunikasi antara suami-istri telah terputus. Jika mediator tersebut belum meredakan konflik, maka alternatif berikutnya bisa menjadi pilihan.

  5. Perceraian pertama dapat dijatuhkan. Selama masa perceraian pertama ini, suami-istri memiliki waktu untuk berpikir kembali. Waktu tersebut dinamakan ‘iddah, yakni masa menunggu. Pada masa ini, suami-istri diberi waktu tiga kali suci atau tiga kali menstruasi. Jika tidak ada keputusan kembali (rujuk) hingga habisnya masa menunggu, maka baik suami maupun istri diperkenankan menjalin perkawinan baru dengan orang lain. Namun, bila ada kehendak untuk kembali kepada perkawinan semula, maka suami-istri harus mengadakan perkawinan baru. Dalam perkawinan baru ini, penanganan konflik kembali ke awal hingga tiga kali putaran. Jika terjadi perceraian yang ketiga, maka suami-istri tidak bisa membangun perkawinannya kembali, kecuali setelah mengalami perkawinan bersama orang lain. cerai tertutup ini dinamakan talak bain atau cerai tiga. Proses di atas dapat dijelaskan dalam gambar sebagai berikut.


Gambar Proses Perceraian dalam Hukum Perkawinan Islam


Dalam gambar di atas, proses menuju perceraian tertutup sangat panjang. Boleh jadi, seumur hidup seseorang sulit untuk menuju cerai tertutup jika proses di atas dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu konflik bisa diselesaikan pada tahap pisah ranjang, maka tahapan kembali ke awal. Sebagai contoh, sepasang suami-istri bertengkar mengenai masalah keuangan. Pertengkaran ini akhirnya bisa diselesaikan pada pisah ranjang. Dengan penyelesaian ini, tidak ada lagi tahapan. Jika muncul konflik yang lain, maka tahapan dimulai dari awal, yakni teguran. Dengan demikian, perkawinan dalam hukum Islam mengarahkan pada keabadian, meski terkesan ada sistem kontrak. Keabadian ini akan semakin kuat bila perceraian diputuskan di hadapan sidang Pengadilan Agama, sebagaimana pernyataan pasal 117 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Jika suami dapat menceraikan istrinya pada setiap waktu dan tempat, maka ikatan perkawinan akan cepat pudar. KHI lebih menekankan aspek mempersempit perceraian (Makinudin, 1999: 68-84).

Upaya memperkuat ikatan perkawinan juga terlihat pada adanya rujuk, yakni memperbarui perkawinan dengan pasangan yang telah diceraikan. Dalam kawin baru, berlaku persyaratan dan rukun sebagaimana perkawinan semula, seperti adanya mempelai, wali, saksi, mahar, dan pernyataan ikatan. KHI telah mengatur secara lengkap tentang rujuk, baik yang bersifat normatif, teknis, dan administratif. Secara normatif, masalah rujuk diatur dalam KHI pada Bab XVIII pasal 163, 164, 165, dan 166. Secara teknis, rujuk diatur dalam KHI pasal 168 jo. pasal 33, 34, 169, dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975. Secara administratif, rujuk diatur dalam pasal 167, 168, dan 169. Dalam pasal-pasal tersebut ditegaskan adanya perlindungan kepada pihak istri yang sering diperlakukan secara sewenang-wenang oleh suami. Kerelaan istri adalah penting dalam pelaksanaan rujuk.

Perceraian dalam hukum perkawinan Islam menjaga keseimbangan antara kewenangan suami dan istri. Suami berhak menjatuhkan cerai. Demikian pula, istri juga memiliki hak pada gugat cerai yang lazim disebut khulu’. Karena perceraian istri sebagai gugatan, maka istri menebus mas kawin yang pernah diterimannya. Agar istri tidak lebih teraniaya, pemerintah menetapkan beaya gugat cerai secara sepihak, tanpa menuntut persetujuan suami sebagai pihak yang tergugat.


Perceraian Akibat Seksualitas

Permasalahan umum perkawinan dalam hukum Islam adalah masalah seksualitas. Pada dasarnya, perkawinan adalah salah satu pintu untuk membolehkan hubungan seksual. Pintu yang lain adalah perbudakan. Kejahatan seksual dinyatakan oleh Islam sebagai perbuatan yang keji. Artinya, kejahatan seksualitas merusak tatanan moral masyarakat. Kejahatan yang merusak material masyarakat dinamakan kemunkaran. Oleh karena itu, bentuk-bentuk sebab perceraian dalam hukum Islam juga terkait dengan kejahatan seksualitas.

Pertama, menyamakan anggota tubuh istri dengan anggota tubuh ibunya dengan maksud mengharamkan diri berhubungan seks dengan istrinya. Ini yang dinamakan zhihar. Karena kejengkelan suami kepada istrinya, suami enggan mengumpuli istrinya. Kejengkelan tersebut terluapkan dalam kata-kata yang buruk. Kata-kata ini tentu menyinggung perasaan istri. Dalam Islam, mengharamkan hal yang diperbolehkan termasuk perbuatan aniaya. Begitu pula, suami yang mengharamkan hubungan seksual dengan istrinya termasuk orang yang berdosa. Jika diluapkan dengan kata-kata buruk, bisa berakibat perceraian zhihar. Dalam Islam, perceraian jenis ini harus ditebus dengan membebaskan seorang budak muslim. Jika tidak mampu melaksanakannya, maka diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut. Ia harus berusaha menjalankan puasa tersebut. Jika ia tidak mampu melakukannya, maka ganti yang paling akhir adalah memberi makan kepada 60 orang miskin yang masing-masing mendapatkan dua ons makanan pokok.

Kedua, bersumpah untuk tidak melakukan hubungan seksual selama kurang lebih empat bulan. Demikian ini dikatakan ila’. Bagi Imam Malik, tanpa sumpah pun, jika istri diabaikan selama empat bulan, maka bisa dikategorikan ila’. Untuk menghindari penganiayaan terhadap istri berlarut-larut, maka bentuk ini diberlakukan oleh hukum perkawinan Islam.

Ketiga, menuduh istri berbuat zina tanpa bukti yang kuat. Perbuatan ini disebut li’an. Perzinahan merupakan aib dan perbuatan keji. Namun, tuduhan zina tanpa bukti yang kuat juga lebih keji, karena ia meruntuhkan martabat seseorang. Jika tuduhan itu dialamatkan kepada istrinya, tentu ini berimplikasi pada keruntuhan kepercayaan suami-istri. Membiarkan hal ini berarti membuat keretakan rumah tangga berlarut-larut.


Penutup

Perkawinan melibatkan keluarga. Asas ini semakin terkikis, hingga sering terjadi kasus seseorang yang mengawinkan dirinya sendiri. Jika ini dibiarkan, maka kehancuran keluarga akan berada di ambang pintu. Untuk itu, peranan negara dalam mengatur perkawinan merupakan keniscayaan. Masyarakat modern yang menganggap perkawinan sebagai persoalan pribadi merupakan opini yang membahayakan.


Daftar Pustaka

Doi, A. Rahman I. Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan. Ter. Zaimudin dan Rusydi Sulaiman. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.

Ghazzi, Muhammad bin Qasim al-. Fath al-Qarib al-Mujib. Indonesia: Maktabah al-Nur Asia, t.t.

Makinudin. “Komparasi Studi Hukum Islam Tentang Rujuk: Problematika Hukum Rujuk Antara Fiqh dan KHI”. Jurnal Akademika. Vol. V. Nomor 1 Tahun 1999.

Martosedono, Amir. Apa dan Bagaimana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Semarang: Dahara Prize, 1992.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar